alt/text gambar

Jumat, 31 Oktober 2025

Topik Pilihan:

Nixon tentang Kepemimpinan

Kutipan-kutipan berikut ini saya ambil dari buku karya mantan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon, berjudul Tokoh-Tokoh Pemimpin Dunia [judul asli: Leaders. Diterjemahkan oleh: Ermas], Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.

Karena saya anggap penting maka saya publis di-blog pribadi saya ini. Berikut kutipan-kutipan saya:

"Yang membedakan antara anak kecil dengan orang dewasa dalam dunia politik ialah, seorang anak kecil menghendaki jabatan yang tinggi supaya bisa disebut orang besar, sedangkan orang dewasa menghendaki jabatan tinggi supaya ia bisa berbuat sesuatu. Charles De Gaulle (Mantan Presiden Perancis) menghendaki kekuasaan, bukan mencari apa yang bisa diberikan kekuasaan kepadanya, melainkan mencari apa yang ia bisa lakukan dengan kekuasaan itu."

(Richard Nixon, Tokoh-Tokoh Pemimpin Dunia [judul asli: Leaders. Diterjemahkan oleh: Ermas], Jakarta: Pustaka Jaya, 1986, h. 74)

**

Public Speaking

Dalam melakukan fungsi-fungsi sosialnya pun Charles de Gaulle tidak kurang cermat. Ketika mengadakan jamuan makan malam kenegaraan untuk menghormati delegasi kami yang berkunjung pada tahun 1969 ia mengucapkan pidato sambutan yang lancar dan bagus, seakan-akan tidak dipersiapkan lebih dahulu. Setelah upacara selesai, salah seorang ajudan saya memuji de Gaulle karena kemahirannya berpidato panjang tanpa teks. De Gaulle menjawab, ”Saya menuliskannya lebih dahulu, menghafalkannya lalu membuang kertas itu. Churchill juga berbuat begitu, hanya saja ia tak pernah mengaku.”

**

Tokoh berkarakter sama sekali tidak mencari kepuasan dengan menyenangkan atasan, melainkan lebih banyak bersikap jujur kepada dirinya sendiri. Kepribadiannya yang kasar dan tindakannya yang kadang-kadang seperti kurang ajar membuatnya kurang populer di mata atasannya yang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka memerlukan orang dengan kemauan yang keras sebagai bawahannya. Rupanya, tanpa sadar de Gaulle melukiskan dirinya sendiri ketika ia menulis, ” Abdi negara yang terbaik, baik militer maupun politisi, jarang sekali merupakan orang yang lembut-lunak. Para penguasa harus memiliki pemikiran dan saraf penguasa, dan adalah merupakan politik yang sangat buruk menyisihkan orang-orang dengan karakter yang kuat dari jabatannya dengan alasan yang tidak lebih dari sebab mereka merupakan orang-orang yang sulit. Hubungan yang mesra akan baik-baik saja selama keadaan berjalan baik, tetapi pada saat-saat kritis hubungan semacam itu dapat menimbulkan bencana.” 

De Gaulle sering sekali memberikan nasihat kepada pemimpin-pemimpin lain yang memerlukan kekuatan, kepercayaan diri, dan di atas segala-galanya, memerlukan kebebasan. Kepada Shah Iran yang sangat mengaguminya, de Gaulle berkata, "Saya hanya mempunyai satu saran yang dapat ditawarkan kepada Anda, namun sangat penting. Kerahkan semua kekuatan Anda untuk tetap dapat merdeka.” Dalam tahun 1961 ia menasihati Presiden Kennedy untuk memegang erat prinsip yang selamanya menuntun perilakunya sendiri: "Hanya kata hati sendiri yang harus Anda dengar!” Ketika bermobil bersama menuju Paris dari bandar udara, tahun 1969, ia berpaling kepada saya, kemudian memegang tangan saya, dan berkata, "Anda masih muda, penuh semangat dan sedang memegang tampuk kekuasaan. Ini sangat penting. Pertahankanlah itu.” 

Kepemimpinan de Gaulle di masa perang melambangkan citra karakternya. Ia mempertunjukkan semangat yang luar biasa ketika kesulitan-kesulitan dalam Perang Dunia II menghadangnya. Dalam hal ini de Gaulle mempunyai persamaan dengan Mao. Keduanya seperti memiliki kehidupan yang baru kalau sedang menghadapi cobaan yang sangat berat. Perbedaannya, kalau Mao mengacaukan ketertiban untuk menghidupkan perjuangannya, sedangkan de Gaulle berjuang keras untuk menciptakan ketertiban. (h. 88) 

**

Pada suatu saat ketika Zhou dan saya semobil menuju bandar udara Peking, Zhou berbicara tentang syair yang ditulis oleh Mao ketika berhasil kembali ke kampung halamannya setelah ditinggalkannya selama tiga puluh dua tahun. Katanya, syair itu melukiskan betapa kesengsaraan dan kepahitan merupakan guru besar. Saya menyatakan persetujuan saya, lalu menekankan bahwa kekalahan dalam pemilihan terasa lebih pahit dan memedihkan daripada terluka dalam peperangan. Yang terakhir melukai jasad, yang pertama melukai jiwa dan semangat. Tetapi kekalahan dalam pemilihan itu dapat menolong mengembangkan kekuatan dan karakter yang sangat penting untuk perjuangan masa datang. Saya jelaskan pula bahwa masa dua belas tahun de Gaulle tersingkir dari kekuasaan, telah memberinya kesempatan membentuk karakternya. Zhou setuju dan ia menambahkan bahwa seseorang yang senantiasa berjalan di atas jalan yang mulus tidak akan dapat mengembangkan kekuatannya. Seorang pemimpin besar dapat mengembangkan kekuatannya karena ia berenang melawan arus, bukan mengikuti arus. 

Sebagian dari para pemimpin politik tidak pernah bertemu dengan kesengsaraan dan kepedihan, sebagian lagi kalau menemukannya tidak pernah berhasil mengatasinya. Sebagian kecil saja yang berhasil membangun di atasnya. De Gaulle salah seorang dari yang sedikit itu. Dia sangat mengenal kesengsaraan dan kepedihan. Dalam Perang Dunia I ia pernah terluka parah sehingga ditinggalkan di medan perang karena dianggap tak mungkin tertolong lagi. Namun ajal belum tiba dan ia menghabiskan sebagian besar dari waktu perang itu sebagai tawanan perang. Dalam Perang Dunia II ia berjuang untuk mengembalikan kehormatan Perancis melawan rintangan dan halangan terpanjang, dan kemudian didepak oleh bangsanya sendiri segera setelah ia berhasil memenangkan perjuangannya. Baru dua belas tahun kemudian ia kembali memperoleh tampuk pimpinan. 

Ketika de Gaulle mengundurkan diri dari kehidupan politik, ia masuk ke dalam ”belantara”. Kebanyakan dari kaum politisi yang pernah mengecap kekuasaan tidak sanggup meninggalkannya. Banyak Senator dan anggota DPR merasa enggan kembali ke kampung halamannya setelah tidak terpilih lagi atau memasuki masa pensiun. Mereka lebih suka memilih tinggal di Washington, di dekat-dekat wilayah kekuasaan. De Gaulle tidak pernah melupakan desa tempat ia berasal. la selalu kembali ke sana dan menggariskan kekuatannya dari sana pula. Desa Colombey-les-Deux-Eglises adalah cagar alam de Gaulle — "belantara”, baik dalam arti kiasan dan dalam arti harfiah. Colombey berjarak 120 mil dari Perancis arah tenggara, terletak di lereng Plateau de Langes, provinsi Champagne. Dengan penduduknya yang berjumlah 350 orang, tempat itu tidak tercantum dalam kebanyakan peta jalan. Tempat tinggal de Gaulle yang berkamar empat belas, bernama La Boisserie, berupa sebuah gedung putih dengan atap genting berwarna coklat, dengan menara bersegi enam di salah satu ujungnya. Gedung itu terlindung dari pandangan oleh pepohonan dan semak-semak. Dengan tempat terpencil di desa kecil ini, de Gaulle tidak dapat memilih tempat yang lebih sesuai lagi untuk meningkatkan misteri dirinya. 

##

Di Colombey de Gaulle berpendapat, kalau kita merasa terasing di puncak kekuasaan, kita akan merasa lebih terasing lagi di mana pun juga. Tetapi di sana tak ada penyesalan yang mendalam. "Dalam gejolak manusia dan peristiwa,” tulisnya, "kesunyian sungguh merangsang: sekarang ia menjadi sahabatku. Kepuasaan apalagi yang mungkin kita cari setelah kita berhadapan dengan sejarah?” 

Churchill dan de Gaulle keduanya tumbang setelah Perang Dunia II, sekalipun sumbangannya dalam masa perang itu sangat besar dan brilyan. Keduanya mencoba meraih kembali kekuasaannya namun dengan jalan yang berbeda. Kekalahan Partai RPF mengajar de Gaulle, bahwa dalam politik jarak terdekat antara dua titik jarang sekali merupakan garis yang lurus. Setelah mengumumkan pengunduran dirinya dari politik dalam sebuah konperensi pers dalam tahun 1955, ia langsung mengambil sikap tidak memihak, adil kepada semua pihak, hampir-hampir tidak berupaya sedikit pun untuk menarik perhatian masyarakat. Ia seorang aktor besar dan sebagaimana lazimnya aktor besar ia mengetahui kapan harus turun dari panggung. 

Ia pun seorang empu dalam politik. Intuisinya mengatakan, jabatan tinggi harus dirayu seperti wanita. Ia setia mengikuti sikap yang tercermin dalam sebuah pepatah Perancis "Kejarlah wanita itu dan ia akan laris mundurlah, dan ia akan mengikutimu.” Seperti halnya Eisenhower, secara intuitif ia mengetahui bahwa kadang-kadang jalan terbaik untuk meraih kekuasaan itu tidak memperlihatkan diri sedang memperjuangkannya. Tetapi, menunggu di pinggir, bukanlah sifat Churchill. 


0 komentar:

Posting Komentar