alt/text gambar

Jumat, 31 Oktober 2025

Topik Pilihan:

REVOLUSI PERDANA MENTERI

Tempo, 1981


Resensi oleh: Arief Budiman

(TEMPO, No. 35, Thn. XI,31 Oktober 1981)


Judul buku: THE MALAY DILEMMA

Pengarang: Mahathir bin Mohamad

Penerbit: Federal Publication, Kualalumpur, Singapore, Hongkong, 1981 (Cetakan I, 1970)

Tebal: 198 hal.


Malaysia adalah sebuah negara multirasial. Kira-kira lima puluh persen orang Melayu, empat puluh persen orang Cina dan sepuluh persen orang India. Sistem perekonomiannya kapitalistis, sistem politiknya demokrasi liberal. Dalam kombinasi sistem seperti ini, yang mengutamakan kompetisi bebas, sudah sewajarnya kalau kelompok yang relatif paling kuat menang. Kelompok ini adalah kelompok Cina. 


Pada mulanya ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar, terutama oleh Pemerintah Malaysia. Meskipun pemerintah dikuasai orang Melayu, mereka adalah penganut prinsip ekonomi liberal yang taat. Sampai terjadi huru-hara 13 Mei 1969 yang ditujukan kepada orang Cina. Ada sesuatu yang salah dalam kombinasi sistem tersebut, agaknya. Dan buku Mahathir bin Mohamad yang sempat dilarang pada 1970 ini mencoba mempersoalkannya secara terbuka. 


Anugerah Tuhan 


Menurut Mahathir, dominasi ekonomi orang Cina tidak bisa dibenarkan. Terlepas itu dicapai melalui persaingan bebas yang “adil” sekalipun. Alasannya: Malaysia milik orang Melayu. Orang Cina cuma tamu, ketika orang Melayu sudah lebih dulu menghuninya. 


Lalu bagaimana dengan Australia atau Amerika Serikat, misalnya? Menurut Mahathir, tuan rumah sebuah negara adalah orang-orang yang pertama-tama mendirikan pemerintahan yang efektif di negara tersebut (hal. 126, 127). Di Australia dan AS, orang-orang putihlah yang melakukan hal ini, bukan orang-orang Aborigin atau Indian. Tapi Mahathir memang tidak menjelaskan yang dia maksudkan dengan “pemerintahan yang efektif”. 


Kedua, faktor jumlah. Ini untuk menjelaskan mengapa tuntutan orang-orang hitam di Afrika Selatan dan Rhodesia, bahwa mereka adalah pemilik negara-negara tersebut, adalah sah. Jumlah mereka jauh lebih besar daripada orang putih yang sekarang memerintah. 


Pendapat kedua ini sebenarnya sangat berbahaya buat orang Melayu di Malaysia, karena bisa menjadi bumerang. Pada saat ini memang orang Melayu jumlahnya lebih besar dari orang Cina. Tapi kita masih bisa membayangkan, bisa saja pada suatu saat terjadi perimbangan yang sebaliknya – suatu hal yang tidak terbayangkan bagi Indonesia. 


Maka bagi Mahathir, dominasi ekonomi orang Cina harus diubah. Sekaligus konsep Mahathir ini mau menggantikan ideologi kosmopolitanisme dari sistem kompetisi bebas, dengan ideologi nasionalisme. 


Mahathir tidak membantah bahwa orang Cina jauh lebih kuat dan gesit ketimbang orang Melayu. Bahkan dia memperteguh pendapat ini dengan memakai teori perbedaan sifat-sifat ras yang diturunkan. Katanya, orang Yahudi secara naluriah mengerti uang, orang Eropa punya dorongan keingintahuan yang tak terbatas, orang Melayu santai dan toleran, orang Cina berbakat jadi pedagang (hal. 84). Pada orang Melayu, sifat ras ini diperkuat karena mereka saling kawin dengan sesama keluarganya. Maka hukum Mendel pun berlaku: orang Melayu memperkuat kelemahannya. 


Penjelasan kelemahan orang Melayu berdasarkan teori genetika ini kemudian ditambah dengan penjelasan pengaruh lingkungan. Pertama, lingkungan alam. Malaysia adalah negeri yang subur dan jarang terlibat peperangan. Maka orang Melayu menjadi manja dan santai. Sebaliknya dengan orang Cina. Mereka datang dari negeri yang alamnya kejam, dan di situ peperangan sepertinya tanpa henti. Akibatnya, mereka menjadi orang yang ulet dan rajin. Ketika datang ke Malaysia, mereka dengan mudah mengalahkan orang Melayu. “Apa saja yang dapat dilakukan orang Melayu, orang Cina dapat melakukannya secara lebih baik dan murah,” kata Mahathir (hal. 25). 


Kemudian datang orang Inggris yang mau berdagang (tapi akhirnya menjajah). Adanya orang Cina untuk dijadikan kawan seiring merupakan “anugerah Tuhan,” kata Mahathir (hal. 35). Akibatnya, posisi orang Cina semakin diperkuat. Penjelasan kesejarahan ini masih ditambah lagi dengan penjelasan sistem nilai budaya. 


Terlalu Bersemangat 


Pendeknya, Mahathir benar-benar ingin meyakinkan kita bahwa orang Melayu sangat lemah, dan karena itu perlu dilindungi dari sistem kompetisi bebas. Segala macam penjelasan dia gunakan – dari penjelasan genetis sampai kepada penjelasan historis dan nilai-nilai budaya. 


Celakanya, penjelasan eklektis seperti ini kadang-kadang menimbulkan kesimpulan yang saling bertentangan. Misalnya, penjelasan yang memakai teori genetika dari perbedaan ras. Teori ini membawa pada kesimpulan, bahwa perkawinan campuranlah yang harus dipakai sebagai jalan keluar, sesuai dengan teori Mendel. 


Tetapi Mahathir tidak menuju ke sini (karena alasan politis? – pen.). Dia lebih banyak bicara tentang tindakan pemerintah yang positif untuk mengubah lingkungan yang tidak menguntungkan orang Melayu. Dengan mengubah lingkungan, Mahathir percaya bahwa “perubahan sifat-sifat dan tingkah laku rasial bukan tidak mungkin” (hal. 96). Teori genetika yang banyak dipakai Mahathir memang memberikan kemungkinan ini – teori mutasi dari gen. Tapi ini amat memerlukan waktu yang sangat lama, melibatkan beberapa generasi. 


Saya sendiri setuju dengan kesimpulan Mahathir, dan ada banyak teori yang mendukungnya. Misalnya teori kesejarahan tentang hakekat manusia dari Marx, yang pada dasarnya berpendapat hakekat manusia berubah sepanjang sejarah, tergantung pada sistem sosial yang melingkunginya. Hanya saja, persoalan buku ini adalah pembicaraan yang agak terlalu bersemangat tentang teori genetika lebih banyak merintangi daripada membantu kesimpulan yang dijadikan program politik penulis buku ini. 


Seperti sudah dinyatakan, Mahathir ingin mengubah lingkungan sosial yang membuat orang Melayu tersisih dari posisi penting ekonomi Malaysia. Dan dia menolak perubahan secara evolusioner. Karena perubahan macam ini “terlalu tergantung pada keadaan lingkungan dan pelbagai faktor yang sulit dikenali sebelumnya” (hal. 103). 


Dia menginginkan sebuah revolusi. Tapi bukan revolusi berdarah disertai kekacauan, melainkan revolusi “yang direncanakan dengan teliti” dan damai (hal. 103). Pemerintah harus secara aktif menghancurkan dominasi ekonomi orang Cina, membuka kesempatan kerja kepada orang Melayu. Kalau perlu melakukan diskriminasi rasial dalam mempekerjakan dan menempatkan orang Melayu ke posisi-posisi ekonomi yang penting. Mendidik dan mendobrak nilai-nilai feodal dan nilai-nilai lain yang menghambat kemajuan orang Melayu, dan sebagainya. Semacam affirmative action yang sekarang populer di AS, untuk menolong orang hitam, kaum wanita dan kaum minoritas lainnya di sana. 


Memang, dalam spektrum orang-orang yang fanatik pada sistem persaingan bebas, usul yang diajukan Mahathir terasa sebagai sebuah revolusi. Bagi orang-orang penganut ajaran sosialisme, usul ini cumalah merupakan ekspresi pertentangan di kalangan kaum borjuis Malaysia dengan menggunakan kontradiksi rasial sebagai alat penggalang kekuatan. Siapa yang bisa menjamin, setelah “revolusi” ini berhasil, sebagian orang Melayu yang sudah menjadi kapitalis baru tidak akan mengeksploatasi orang-orang sekaumnya? Bukankah sistem kapitalis didasarkan pada dikembangkannya wiraswasta yang profit motivation-nya kuat, dan tahu bagaimana memancing keuntungan di antara orang-orang miskin yang berlimpah mencari kerja? 


Tapi memang tidak bisa disangkal juga, bahwa “revolusi” Mahathir paling sedikit bisa mematahkan dominasi ekonomi orang Cina – sekiranya berhasil. Tapi, mungkinkah ini? 


Ada baiknya kalau kita melihat keadaan di Indonesia. Kedua negara ini sama-sama menghadapi dominasi ekonomi oleh orang Cina. Tapi Cina di Indonesia, karena jumlahnya yang kecil, tidak mempunyai akses langsung ke bidang politik. Di Malaysia, orang Cina bukan saja punya kekuatan ekonomi, tapi juga politik. 


Juga, di Indonesia terdapat keinginan kuat untuk menghilangkan dominasi ini. Ini sampai sekarang berlum berhasil, terlepas dari sudah banyaknya kemajuan diperoleh kalangan pengusaha pribumi. 


Kalau di Indonesia usaha ini belum berhasil, barangkali kita boleh merasa tidak terlalu optimistis bahwa pelaksaan “revolusi” Mahathir di Malaysia bisa berhasil. Kehidupan negara Malaysia itu sendiri, ditambah dengan kehidupan enak dari pejabat-pejabat Malaysia, seperti halnya juga di Indonesia, sudah saling berkaitan secara kompleks dengan kehidupan perekonomian orang Cina. Paling-paling, “revolusi” ini bisa menarik beberapa pengusaha Melayu untuk mendapat porsi yang lebih besar dari rezeki pembangunan. 


Tentu saja kenyataan ini tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan “revolusi” ini. Cuma, ada persoalan yang lebih besar, ialah apakah “revolusi” ini bisa memecahkan persoalan kemiskinan mayoritas orang Melayu? 


Buku ini tidak punya pretensi sebagai buku ilmiah. Pada edisi tahun 1981, di sampul belakanganya dituliskan: “Ini bukan karya yang obyektif. Bagaimanapun juga, (buku) ini diterbitkan karena dia menggambarkan pemikiran dan kepercayaan dari seorang Melayu yang terdidik, modern dan progresif.” 


Buku ini lebih merupakan manifesto politik Dr. Mahathir bin Mohamad, yang sekarang menjadi Perdana Menteri Malaysia. 


Sumber: TEMPO, No. 35, Thn. XI,31 Oktober 1981

0 komentar:

Posting Komentar