alt/text gambar

Rabu, 15 Oktober 2025

Topik Pilihan: ,

Politik sebagai Pertengkaran Menurut Jacques Ranciere

Jacques Ranciere, filsuf asal Aljazair yang besar di Prancis

Oleh: Willy Vebriandy


Jacques Ranciere adalah nama yang relatif asing untuk publik Indonesia. Sebagian besar yang mengetahui Ranciere, umumnya berasal dari kalangan akademik di kampus yang tertarik dengan kajian filsafat dan politik.

Ranciere ialah intelektual asal Aljazair yang besar di Prancis. Menurut Robertus Robert, bersama Alain Badiou, Francois Jullien, dan Jeac-Luc Nancy, Ranciere dipandang sebagai salah seorang pemikir Prancis generasi baru yang berhasil menegakan pendekatan dan pandangan baru mengenai filsafat, ilmu pengetahuan, politik, dan estetika.

Ranciere dikenal sebagai murid filsuf Marxis, Louis Althusser. Bersama Althusser, Ranciere turut menyumbang tulisan dalam buku berbahasa Prancis berjudul, Lire Le Capital (1965) yang hingga kini sangat berpengaruh dalam tradisi Marxis. Hubungan baik antara Ranciere dan Althusser hanya berjalan singkat karena Ranciere berbalik menyerang gurunya itu sebagai imbas atas sikap diam Althusser dalam momen Revolusi Mei 1968 di Paris.

Pasca Revolusi 1968, Ranciere mengambil jarak dengan Althusser. Sambil mengajar di Universitas Paris VIII, dia lalu terlibat dalam berbagai macam aktivitas politik di Prancis—baik dalam gerakan mahasiswa maupun gerakan buruh.

Ranciere menulis banyak karya di bidang filsafat, politik, pendidikan, dan sosial-humaniora lainnya. Beberapa yang terkenal antara lain: The Ignorant Schoolmaster: Five Lessons in Intellectual Emancipation (1991), Disagreement: Politics and Philosophy (1999), Dissensus: on Politics and Aesthetics (2010), dan masih banyak lagi.

Awalnya, pemikiran Ranciere hanya dikenal di Prancis. Baru pada 2000-an, berbarengan dengan penerjemahan buku Disagreement: Politics and Philosophy (1999) ke dalam bahasa Inggris, pemikiran Ranciere mulai dibaca oleh pembaca berbahasa Inggris. Setelah itu, nama Ranciere menjadi perbincangan luas di kalangan intelektual di seluruh dunia. 

Ranciere adalah pemikir yang konsisten dengan tesis tentang kesetaraan pada setiap orang dan untuk semua orang. Baginya, kesetaraan adalah pengandaian dasar dalam melihat hubungan antar manusia. Ranciere percaya bahwa tiap manusia memiliki akal budi yang setara satu sama lain (hlm. 2).

Konsep mengenai kesetaraan sangat penting untuk memahami fondasi pemikiran politik Ranciere. Dari konsep tersebut, Ranciere berhasil menelurkan gagasan politik yang terbilang radikal dalam perkembangan pemikiran politik kontemporer. Dia menggugat pemikiran dan praktik politik yang telah mapan di dunia, sambil menyusun konsep politik baru yang berbeda dengan yang telah ada.

Politik dalam tradisi pemikiran arus utama acapkali dipahami semata sebagai konsep kekuasaan yang terkait dengan bagaimana tata kelola pemerintahan, partai politik, DPR, atau pemilu. Bagi Ranciere, hal tersebut bukanlah inti dari politik. Menurutnya, politik terjadi ketika ada gangguan terhadap tatanan sosial dominan yang dilakukan oleh demos untuk memverifikasi kesetaraan (hlm. 16-17).

Untuk memahami konsep politik Ranciere ini, kita perlu kembali pada konsep kesetaraan yang menjadi fondasi pemikirannya. Bagi Ranciere, di dalam pemikiran dan praktik politik kontemporer, terdapat ketidaksetaraan yang mengikutinya. Dalam sistem politik hari ini, selalu ada individu, kelompok, atau subjek yang tidak terhitung dalam politik. Mereka yang tidak terhitung adalah bagian dari tatanan sosial, tetapi dianggap tidak ada (hlm. 10). Suara mereka tidak didengar dan justru malah dipandang sebagai pengganggu harmoni yang telah terbentuk dalam struktur sosial yang ada. Mereka yang tidak terhitung ini dapat berupa kaum minoritas etnis/agama, orang miskin, perempuan, buruh, petani, nelayan, atau tahanan politik (tapol).

Mereka yang tidak dihitung tersebut, oleh Ranciere disebut sebagai ‘yang salah’. Mereka dianggap tidak ada, tidak terhitung, dan tidak terlihat oleh struktur politik yang berkuasa. Pemilahan antara yang terhitung dan yang tak terhitung, didasari oleh kelayakan. Mereka yang terhitung atau dianggap ada ialah mereka yang menempati bagian-bagian dalam tatanan sosial, di mana masing-masing memiliki peran yang dipandang berguna. Sedangkan yang tidak dihitung, mereka dinilai tidak memiliki kualifikasi apapun yang dapat dijadikan ukuran untuk menjadi bagian dari masyarakat (hlm. 11-12).

Dalam pandangan Ranciere, ‘yang salah’ justru memiliki tempat dan kedudukan yang setara dengan orang-orang lain di dalam tatanan sosial. Namun kenyataannya, ‘yang salah’ justru tidak dianggap dalam politik kontemporer. Hal ini dapat dilihat pada kasus-kasus diskriminasi etnis/agama, penggusuran, atau pencerabutan hak-hak politik para tapol. Para korban diskriminasi agama, penggusuran, dan tapol, suara mereka tidak didengar di dalam tatanan yang mapan. Keberadaan mereka pun dianggap tidak ada. Sekeras dan sekuat apa pun mereka bicara, suaranya tidak akan didengar. Mereka ini yang dimaksud sebagai ‘yang salah’ dalam terminologi pemikiran Ranciere.

Pembelahan antara yang terhitung dan yang tak terhitung, bagi Ranciere terjadi karena tatanan sosial bekerja dalam logika arkhe atau pembagian berdasar persepsi indrawi. Persepsi indrawi adalah hukum implisit yang menentukan bentuk-bentuk pembagian masyarakat dengan pertama-tama menentukan bentuk-bentuk persepsi tentang di mana mereka berada (hlm. 13). Berdasar hukum tersebut, masyarakat akan ditentukan keberadaan posisi mereka dalam tatanan sosial berdasar kedudukan tertentu, ada yang menjadi A, B, C, D, dan seterusnya.

Logika arkhe merupakan sumbangan pemikiran filsuf Yunani Kuno, Platon. Platon yang pertama membagi tatanan sosial berdasar kedudukan tertentu dalam masyarakat. Ada budak, pengrajin, seniman, filsuf, politisi, dan lain sebagainya. Bagi Platon, orang-orang sebaiknya berada di tempatnya dan menjalankan perannya di tempat tersebut demi harmoni kehidupan kota (hlm. 78). Pemilahan tersebut yang dipakai dalam tatanan sosial-politik modern dan dikritik oleh Ranciere.

Ranciere mengkritik segala bentuk tatanan masyarakat yang berdasarkan pada arkhe, seperti yang tampak dalam cara melegitimasikan kekuasaan atas dasar keturunan, kepakaran, keningratan, dan kekayaan (hlm. 13). Menurut Ranciere, tatanan sosial yang demikian adalah tatanan yang tidak setara karena meminggirkan, menghilangkan, dan melenyapkan mereka yang tidak termasuk pada bagian yang ditentukan.

Berangkat dari pembacaannya atas kondisi tatanan sosial yang tidak setara tersebut, Ranciere merumuskan konsep politik baru yang terbilang radikal. Bagi Ranciere, politik terjadi ketika ada gangguan terhadap tatanan sosial dominan yang dilakukan oleh demos untuk memverifikasi kesetaraan. Demos di sini bukan dalam artian rakyat seperti pada pengertian umum. Demos adalah nama lain dari ‘yang salah’, yang melakukan verifikasi kesetaraan di dalam tatanan sosial dominan (hlm. 14).

Politik dalam pemikiran Ranciere muncul ketika orang-orang yang dipinggirkan, dianggap tidak ada, dan tidak diperhitungkan ini menggugat tatanan sosial yang mapan. Mereka mempersoalkan pembagian-pembagian dalam masyarakat dan berusaha mengubah tatanan yang sudah ada tersebut. Dari sini kemudian bisa dimaknai bahwa politik bukanlah semata soal pemilu, pemerintahan, atau perebutan kekuasaan elektoral. Politik adalah tindakan untuk mengoreksi kesetaraan. Ketika ‘yang salah’ berupaya menyetarakan dirinya dengan tatanan yang mapan, di situlah politik terjadi. Saat ‘yang salah’ muncul memverifikasi kesetaraan, ketika itu pula ia akan bertempur secara terbuka dengan logika arkhe yang menjadi dasar tatanan sosial. Pertempuran inilah esensi sesungguhnya dari politik dan segala turunannya.

Berdasar pada abstraksi teoretis di atas, Ranciere menolak konsep konsensus dalam politik. Baginya, konsensus hanya melanggengkan peminggiran bagi ‘yang salah’. Ranciere justru menawarkan disensus sebagai bentuk baru politik kontemporer. Menurutnya, politik selalu berupa pertengkaran (dissensus) yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak dihitung sebagai bagian dalam tatanan sosial, terhadap logika membagi-bagi posisi berdasarkan kegunaan, tempat, kepakaran, keningratan, bakat, kekayaan, dan kepercayaan. Ide Ranciere ini bertolak belakang dengan gagasan politik mainstream yang lebih menekankan konsensus atau kesepakatan komunal dalam tatanan sosial.

Untuk konteks Indonesia, pemikiran Ranciere bisa dibilang tidak umum dalam dinamika pemikiran dan praktik politik saat ini. Di tengah dominannya pragmatisme dan logika transaksional dalam politik Indonesia, tesis kesetaraan Ranciere kemungkinan besar akan dianggap sebagai gagasan utopis. Padahal konsepsi politik milik Ranciere ini sesungguhnya menarik untuk ditelaah lebih jauh. Ide tentang politik sebagai pertengkaran membantu memberi payung teoretis terhadap berbagai gerakan sosial yang berjuang di luar kerangka politik elektoral. Selain itu, diskursus mengenai politik akan menjadi lebih luas dimensinya karena tidak hanya melulu membicarakan kekuasaan pemerintahan, tapi juga soal bagaimana menyetarakan orang-orang yang tak dianggap dalam tatanan sosial mapan.


(Ulasan buku Sri Indiyastutik, Disensus: Demokrasi sebagai Perselisihan Menurut Jacques Ranciere, Jakarta: Buku Kompas, 2019).


Sumber: https://semutapi.id/politik-sebagai-pertengkaran-menurut-jacques-ranciere/


0 komentar:

Posting Komentar