alt/text gambar

Rabu, 15 Oktober 2025

Topik Pilihan: , ,

WTO, KORUPSI, DAN INDONESIA

Drs. Kwik Kian Gie


Oleh: Kwik Kian Gie


Untuk pertama kalinya World Trade Organisation (WTO) menganggap korupsi sebagai penghalang perdagangan bebas, seperti yang dikemukakan oleh Direktur Institute for International Economics, Fred Bergsten. Pandangannya didukung oleh Wakil Presiden Komisi Eropa, Sir Leon Brittan, dan Dirjen WTO, Renato Rugierro (Kompas, 25 April 1996). Juga dikatakan bahwa kecuali mengganggu perdagangan bebas, korupsi juga menghambat pertumbuhan ekonomi. 

Belum lama ini, majalah Der Spiegel memeringkat Indonesia sebagai negara paling korup nomor 1 di dunia. Majalah Economist memeringkat Indonesia sebagai negara paling korup nomor 2 di dunia, dan yang terakhir, Political and Economic Risk Consultancy Ltd. memeringkat Indonesia negara paling korup nomor 3 di Asia. Dapatkah tingkat korupsi diperingkat demikian eksaknya? Rasanya sangat sulit. Tetapi bahwa korupsi di Indonesia besar dan meluas, kita tidak perlu mengacu pada orang luar. Tokoh-tokoh kita sendiri sejak zaman Bung Hatta sudah menganggap tingkat korupsi di Indonesia parah dan memprihatinkan. Banyak yang merasakan bahwa sejak itu, korupsi tidak mengendur, tetapi menjadi semakin parah. 

Dapatkah negara yang sangat korup mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkesinambungan, dan dapatkah mengurangi kemiskinan? Dapat, bahkan sangat mungkin. Bagian dari pendapatan koruptor yang dikonsumsi secara gila-gilaan meningkatkan permintaan akan barang dan jasa. Dampaknya menggairahkan ekonomi dan pertumbuhan. Ini segi permintaannya. Dari segi penawaran, bagi orang yang sangat kaya, (antara lain dari korupsi), bagian dari pendapatan yang tidak dapat dikonsumsi atau ditabung juga sangat besar. Tabungan ini dipakai untuk berinvestasi. Investasi, beserta dampak multipliernya meningkatkan pertumbuhan.

Maka kita saksikan bahwa di banyak negara yang sedang membangun dan berkembang, korupsinya juga marak. Yang dirisaukan dari korupsi bukan dampak ekonomi makronya, tetapi segi moralitas dan segi keadilannya. Kecuali itu, seandainya tidak ada korupsi, pertumbuhannya bisa semakin tinggi lagi.

Apakah kemiskinan bisa dikurangi dengan korupsi yang menyeluruh, baik vertikal maupun horisontal? Sangat mungkin. Orang miskin yang hidup di daerah pedesaan dan terpencil akan mendapatkan tetesan ke bawah (trickle down effect) dari yang baru saya kemukakan. Orang miskin yang gajinya teramat rendah, tetapi mempunyai kekuasaan, karena pegawai negeri, mengkomersialkan kekuasaannya, sehingga kemiskinannya berkurang. Dalam hal ini justru korupsinya itu sendiri yang langsung mengurangi kemiskinannya.

Namun demikian sulit diterima kalau korupsi dibenarkan sebagai cara untuk mengentaskan kemiskinan. Alasannya adalah dampak demoralisasinya tadi. Berkurangnya kemiskinan karena korupsi sangat tidak merata, sedangkan ketidakadilan yang diakibatkan olehnya terlampau besar. 

Pemeringkatan lembaga-lembaga internasional dalam bidang korupsi, yang memberikan Indonesia kedudukan sebagai kampiun dalam korupsi, tentu tidak terlepas dari pengertian dan persepsi yang berbeda mengenai korupsi. Yang oleh bangsa lain dianggap korupsi, oleh kita dianggap bukan korupsi. Maka korupsi bersifat relatif. Saya berikan beberapa contoh yang sangat mencolok dan menonjol sebagai berikut. 

Ada pejabat sangat tinggi yang mengatakan, bahwa dia sebagai pejabat tinggi mempunyai kekuasaan membeli barang dan jasa dalam membelanjakan APBN. Dia berunding sangat ketat dengan pemasok. Dicapailah harga melalui perundingan yang tajam dan ketat ini. Tetapi sebelum kontrak ditandatangani, pejabat tinggi ini minta supaya harga diturunkan lagi, dengan ancaman kalau tidak, kontrak akan digagalkan. Daripada kehilangan kontrak, pemasok rela labanya berkurang. Selisih antara harga yang pertama disepakati dengan harga yang pada saat terakhir turun lagi adalah hak pribadi pejabat tinggi. Dia tidak merasa korup, dan dia juga tidak merasa mengkomersialkan jabatannya. Melalui perundingan yang sangat tajam dan ketat itu, dia sebagai abdi negara sudah menjalankan tugasnya secara optimal. Bahwa ”on the last minute” dia berhasil menurunkan harga adalah haknya yang absah dan halal. Lembaga-lembaga internasional yang memeringkat Indonesia sebagai kampiun korupsi mungkin menganggap sikap si pejabat tinggi yang bersangkutan tetap saja korup, sedangkan menurut kita tidak korup. 

Di bandar udara, kita bisa dilayani oleh pejabat imigrasi tanpa antre dengan masuk ke dalam kamar dan memberikan uang. Apakah ini korupsi? Pejabat imigrasi merasa sama sekali tidak korup. Tidak ada yang dirugikan. Antrean bertambah pendek, sehingga yang tidak mau bayar diuntungkan, karena antreannya menjadi pendek. Yang membayar sangat senang, karena tidak perlu antre, dan uang yang dibayarkan untuknya tidak ada artinya. Dia seikhlas-ikhlasnya dan serela-relanya membayar uang pelicin itu. Lembaga internasional yang memperingkat Indonesia mungkin menganggap ini sebagai korupsi. 

Hak tinggal di Indonesia dari seorang turis asing habis masa berlakunya. Dia masih ingin tinggal beberapa hari menunggui putrinya melahirkan. Imigrasi mengatakan bisa, tetapi harus menyuap dia Rp 500.000. Kalau tidak, dia harus pergi ke Singapura, dan masuk lagi. Ini biayanya lebih mahal dari Rp 500.000. Pejabat imigrasi tidak merasa korup, karena tidak ada yang dirugikan. Turis diuntungkan karena lebih murah dibandingkan kalau harus pergi ke Singapura. Negara diuntungkan karena turis terap membelanjakan devisanya beberapa hari lagi di Indonesia. Lembaga pemeringkat mungkin mengatakan bahwa ini sudah korup. 

Dalam pembicaraan saya dengan warga RRC, dia membenarkan korupsi di negaranya. Dia mengatakan bahwa ketika kapitalisme dibolehkan dan ekonomi akan didasarkan atas mekanisme pasar, di RRC tidak ada kapitalis sama sekali, betapa pun kecilnya. Bagaimana membangun sistem 

ekonomi pasar kalau tidak ada para kapitalisnya? Bagaimana membangun para kapitalis ini kalau tidak boleh mengkomersialkan jabatannya dalam memberikan izin-izin dan kemudahan-kemudahan? 

Ada ketentuan bahwa orang yang dapat membuktikan bahwa dia mengekspor, dia berhak atas kredit murah dari Bank Indonesia. Banyak pengusaha yang tidak mengekspor. Mereka memalsukan semua dokumen yang membuktikan bahwa dirinya mengekspor. Dengan dokumen-dokumen tersebut mereka mendapatkan kredit dengan tingkat bunga 12 persen setahun. Uangnya didepositokan di bank negara dengan bunga deposito 17 persen setahun. Prakteknya ketahuan, koran ribut. Fenomenanya disebut ekspor fiktif. Pelaku tidak diapa-apakan, karena dianggap tidak ada unsur korupsi atau tindak kriminal. Alasannya adalah bahwa Bank Indonesia memberi pernyataan bahwa dirinya tidak dirugikan. Bunga yang 12 persen dibayar lancar, kreditnya sama sekali tidak macet, didepositokannya juga di bank BUMN yang milik pemerintah. Mungkin hal yang demikian oleh lembaga-lembaga internasional yang memperingkat korupsi dianggap sebagai korup. 

Banyak bank papan atas mempraktekkan apa yang disebut deposito di Cayman Island. Uang rupiah diterima oleh bank yang bersangkutan. Dokumennya dibuat bahwa deposan mendepositokannya di Cayman Island. Uang tidak pernah bergerak dari Indonesia. Tetapi karena dokumen mengatakan uang didepositokan di Cayman Island, bank tidak mengenakan pajak atas bunga deposito sebesar 15 persen. Setelah ramai diberitakan dan didiskusikan di koran, tidak ada tindakan apa-apa. Tidak jelas apa alasannya. 

Mungkin karena pemerintah menganggap secara formal dokumen memang mengatakan deposito tidak di Indonesia. Lembaga internasional pemeringkat korupsi mungkin menganggap yang demikian ini korupsi, sedangkan kita tidak. Kredit diberikan dalam jumlah sangat besar oleh satu bank BUMN kepada satu debitur. Kreditnya macet. Orang menduga bahwa sangat mungkin kredit diberikan karena debitur menyuap direksi bank. Kalau tidak, tidak mungkin direksi bank bodoh atau ceroboh seperti itu. Orang menduga kemungkinan lain adalah ada surat sakti atau katebelece. Satu ditindak, yaitu kasus Eddy Tansil. Banyak lainnya dibiarkan sampai saat ini. Berita dan diskusi di koran mengenai ini sangat ramai. Dikatakan oleh pemerintah bahwa tidak ada bukti korupsi. Masyarakat mengatakan, ada dugaan kuat. Maka harus disidik dan diteliti. Pemerintah mengatakan tidak bisa, karena ada ketentuan mengenai rahasia bank dalam undang-undang tentang perbankan. Mungkin lembaga internasional pemeringkat korupsi menganggap ini korupsi, sedangkan kita tidak. 

Kita yang sedang sangat membutuhkan masuknya modal asing untuk mengimbangi defisit transaksi berjalan, akan sangat terganggu kalau isu korupsi di Indonesia akan mempengaruhi sikap pemodal asing. Dengan agenda WTO yang memprioritaskan masalah korupsi, kita mendapat tambahan beban bagaimana menjelaskan kepada dunia, bahwa Indonesia jauh dari kampiun korupsi. Namun bagaimanapun juga, sambil menetralisir dampak negatifnya sebanyak mungkin, rasanya juga tidak bisa dipungkiri bahwa kita memang harus bersungguh-sungguh memberantas korupsi

Kwik Kian Gie, ekonom senior

Kompas, 29 April 1996


Sumber

Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998.


0 komentar:

Posting Komentar