![]() |
| Richard Nixon, Presiden Amerika Serikat ke-37 (1969 - 1974) |
Seorang pemimpin bukan hanya harus membuat keputusan yang benar tentang apa yang harus dijalankan tetapi juga harus dapat menggerakkan orang lain untuk melakukan keputusan itu.
Setiap penghuni Gedung Putih pernah mengalami saat merasakan mendapat kutukan seperti Cassandra, ketika dihadapkan kepada kenyataan, di satu pihak ia melihat jalan yang harus ditempuh, di lain pihak tidak mampu menggerakkan birokrasi, Kongres atau rakyat untuk menempuh jalan benar yang dilihatnya itu.
Dalam bukunya Mata Sebuah Pedang, de Gauile (mantan Presiden Perancis) menulis, seorang pemimpin "harus bisa menciptakan semangat kepercayaan pada bawahannya. Ia harus bisa menyatakan kewibawaannya.”
Kewibawaan itu, menurut de Gaulle, bersumber dari prestise, dan prestise itu "sebagian besar merupakan soal perasaan, sugesti dan kesan, dan itu semua tergantung pertama-tama kepada bakat yang paling elementer, yakni bakat yang tidak dapat diterangkan.”
Bakat ini langka sekali. Ia menulis, "Beberapa orang tentu memiliki, bisa dikatakan sejak lahir, sejenis kewibawaan yang bersifat menetes, seperti barang cair, namun tidak menerangkan dengan tepat apa isi tetesan itu.”
Penggambaran kewibawaaan seperti itu akhir-akhir ini lenyap digantikan dengan istilah baru karisma. Namun ini pun tetap tidak dapat diterangkan, tetapi semua orang dapat mengenalinya.
Kepada bakat yang tak terlukiskan ini, kata de Gaulle, harus ditambahkan lagi tiga bakat yang lebih kongkrit: misteri, karakter, dan keagungan. "Pertama-tama dan terutama,” katanya lagi, "tidak ada prestise tanpa misteri, karena keakraban menumbuhkan kejijikan.
Setiap agama mempunyai tempat beribadat, dan tidak ada seorang pun dipandang sebagai pahlawan oleh pelayan pribadinya. Dalam rencana dan sikap-lakunya pemimpin harus selalu mempunyai sesuatu yang tidak bisa dimengerti sepenuhnya oleh orang lain, yang membingungkan orang lain, yang membangkitkan perhatian dan memukau orang lain.”
Dengan jelas saya teringat lagi kepada kehadiran de Gaulle yang mempesonakan ketika ia datang di Washington untuk menghadiri pengebumian Presiden Kennedy bulan November 1963.
Mrs. Nixon dan saya menyaksikan upacara penguburan itu dari jendela suite kami di Hotel Mayflower. Orang-orang pertama dan kedua dari seluruh dunia berjalan di belakang peti jenazah. Perawakan de Gaulle memang besar, tetapi tampaknya ia melebihi yang lain dalam hal martabat, perawakan, karisma dan juga tinggi tubuhnya.
Kapan saja saya bertemu dengan de Gaulle baik di muka umum maupun hanya berdua, selalu saja menangkap martabat yang sangat agung dari dalam dirinya. Sikapnya yang pasti memberikan kesan jauh dari orang lain. Sebagian orang mengartikan ini sebagai kekakuan, tetapi dalam kasus de Gaulle bukan kekakuan. Esensi kekakuan ialah tidak wajar.
Pada de Gaulle kekakuan itu wajar. Ia mempunyai cara yang akrab kalau berbicara dengan Kepala Negara lain yang ia anggap setaraf dengan dirinya, tetapi dia tidak pernah meninggalkan formalitas, sekalipun dengan kawan dekatnya.
Dalam hal ini de Gaulle sama dengan semua Presiden Amerika yang saya kenal sebelum saya sendiri menjadi Presiden pada tahun 1969. Kecuali Lyndon Johnson, Herbert Hoover, Dwight Eisenhower, John Kennedy dan bahkan Harry Truman, semuanya mempertahankan benar privacy-nya dan tidak suka diperlakukan terlalu akrab.
Bahkan ketika mudanya de Gaulle tetap menjaga jarak dengan kawan-kawan sebayanya. Keluarganya sendiri mencemoohkannya dengan mengatakan bahwa sikapnya yang kaku-dingin itu karena ketika bayi ia terperangkap ke dalam sebuah termos es. Seorang instruktur di sekolah Perang Perancis pernah menulis bahwa de Gaulle mempunya kecenderungan seperti seorang "raja dalam pembuangan”.
Saya tidak dapat membayangkan dia menepuk bahu seseorang, atau memegang lengan seseorang untuk memberikan tekanan kepada apa yang ia katakan, atau terlibat dalam persahabatan yang karib dengan para pemilihnya atau teman sejawatnya.
Ia tidak berkeberatan orang lain berbuat demikian, tetapi ia menganggapnya kurang layak bagi dirinya sendiri. Walau demikian sikap pribadinya itu jauh dari sikap angkuh yang biasa melekat pada orang kecil dengan kedudukan yang tinggi.
Sebagai seorang tokoh nasional de Gaulle bisa menarik pengikutpengikut yang setia, tetapi ia tetap berada jauh dari mereka, sesuai dengan ajarannya sendiri bahwa seorang pemimpin tidak akan memiliki "wibawa tanpa prestise, dan tidak akan memiliki prestise kalau tidak menjaga jarak”.
Di ruang kerjanya di Istana Elysee ada dua buah pesawat telepon di dekat mejanya. Tetapi kedua pesawat itu tidak pernah berdering. Ia menganggap telepon sebagai penemuan dunia modern yang sangat mengganggu. Penasihat-penasihatnya yang terdekat pun tidak berani menghubungi de Gaulle lewat telepon.
Sama seperti MacArthur, de Gaulle tidak menyukai pembicaraan yang tidak berarti. Bila saya bertemu dengannya, jelas sekali ia ingin segera masuk ke dalam pembicaraan yang serius. Ia juga sama Seperti MacArthur, suka memilih kata-kata yang tepat, apakah itu dalam konperensi pers, dalam pidato mendadak, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan, atau bahkan juga dalam pembicaraan-pembicaraan yang informal. Keduanya berbicara dengan kalimat-kalimat yang terpilih, yang mengandung makna yang tepat tentang apa yang dimaksudkan si pembicara. Seandainya salah seorang dari mereka sempat menjadi anggota Senat AS, pasti ia tidak akan perlu mengoreksi dahulu ucapan-ucapannya sebelum dicetak dan dimasukkan ke dalam arsip Kongres.
De Gaulle tidak bisa melihat tindakan-tindakan bodoh. Pada jamuan makan malam resmi yang saya adakan untuk menghormatinya dalam tahun 1960, ia memilih sebagai penterjemahnya seorang konsul Jenderal Perancis dari satu kota besar di Amerika. Ketika ia menterjemahkan kata-kata sambutan de Gaulle pada waktu toast, tangan penterjemah itu gemetaran dan berbicara terbata-bata. Saya melihat betapa de Gaulle marah.
Kemudian saya mendengar de Gaulle menggantikannya dengan penterjemah yang lain untuk sisa perjalanannya, De Gaulle tidak pernah mau terlibat dalam perdebatan sengit.
Dalam rapat-rapat kabinet ia akan mendengarkan dengan cermat menteri-menterinya dan dengan sopan mencatat apa-apa yang mereka katakan.
Apabila ia menginginkan bertukar pikiran dengan salah seorang menterinya, biasanya ia mengatur pertemuan tersendiri. Keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah besar ada pada tangan de Gaulle sendiri.
Ia tidak berpretensi berpengetahuan seluas Nabi Sulaeman, tetapi ia yakin mempunyai kemampuan membuat pertimbangan serupa Nabi Sulaeman. Mula-mula ia akan meminta ”semua catatan” tentang sesuatu persoalan tertentu, kemudian dengan kemampuannya yang luar biasa dalam menguasai soal-soal detail, ia akan dapat mempelajari segala yang perlu diketahui tentang persoalan itu. Setelah itu ia akan mengucilkan diri untuk mempelajari persoalannya, lalu membuat keputusan dalam kesendiriannya.
Ia paham benar betapa pentingnya bagi seorang pemimpin mempunyai waktu untuk berfikir. Oleh sebab itu ia meminta dengan sangat kepada stafnya untuk menyediakan waktu beberapa jam setiap hari untuk berfikir tanpa diganggu.
Saya sendiri, sebagai Presiden, mencoba mengikuti pola yang sama, namun ternyata bahwa salah satu hal yang paling berat bagi seorang pemimpin ialah menghadapkan disiplin ini kepada permintaan waktu dari para pejabat pemerintah, pemimpin-pemimpin legislatif dan yang lain-lainnya.
Kalau mereka melihat sedikit saja celah dalam jadwal acara si pemimpin itu, mereka semua secara khas mengira bahwa si pemimpin itu pasti mempunyai waktu bagi mereka. Mereka cenderung untuk menjadikan prioritas mereka sendiri menjadi prioritas si pemimpin. Tetapi biasanya, prioritas mereka itu bukan — dan tidak harus menjadi — prioritas si pemimpin. Tanggung jawab pemimpin lebih penting dari tanggung jawab mereka. Hanya sedikit sekali keputusan-keputusan tentang yang saya buat sebagai Presiden, ditentukan di Ruang Oval, Bila saya harus membuat keputusan penting, selalu saya mengasingkan diri untuk beberapa jam
di ruang duduk Lincoln atau di perpustakaan-perpustakaan kecil dj Camp David, Key Biscayne, atau San Clemente. Menurut pengalaman, saya lebih bisa berfikir dan membuat keputusan yang baik di tem. pat-tempat yang terpencil, jauh dari hingar-bingar Washington.
Selain sikap menyendiri, tulis de Gaulle, misteri itu menuntut ucapan-ucapan dan tingkah yang ekonomis, dan perilaku yang terlatih. "Tidak ada sesuatu yang dapat lebih meningkatkan kewibawaan daripada diam,” lanjutnya. Tetapi diam itu, "yang merupakan nilai terbaik seorang kuat,” hanya akan berarti apabila ia bersifat menyem. bunyikan kekuatan pikiran dan kebulatan tekadnya. "Hal itu sama benar dengan pergeseran antara kekuatan dalam dan pengendalian luar sehingga melahirkan satu kekuatan atau gaya seorang penjudi tingkat tinggi yang mampu bersikap lebih tenang daripada biasanya ketika ia meningkatkan taruhannya, atau kehebatan seorang aktor itu tergantung dari kemampuannya menampilkan emosi tokoh yang dimainkannya sembari ia mengendalikan dirinya sendiri dengan kuat.”
De Gaulle mengetahui bahwa politik adalah teater—dalam pelaksanaan praktisnya kalau bukan dalam substansinya—dan sebagian berkat penguasaannya terhadap seni teaterlah ia berhasil memaksakan keinginannya.
Sumber:
(Richard Nixon, Tokoh-Tokoh Pemimpin Dunia [judul asli: Leaders. Diterjemahkan oleh: Ermas], Jakarta: Pustaka Jaya, 1986, h. 78-82)


0 komentar:
Posting Komentar