alt/text gambar
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Juli 2025

Ilmuwan Muslim

Ibnu Sina

Oleh: Luthfi Assyaukanie


Setiap kali saya berbicara tentang kemunduran dunia Islam, ada sebagian kaum Islamis yang berargumen bahwa Islam pernah jaya di masa silam. Mereka mengirimkan link dan foto-foto ilmuwan Muslim seperti Ibn Sina, al-Khawarizmi, Ibn Nafis, Ibn Rushd, dan banyak lagi. Seolah-olah saya tidak tahu tentang itu semua.

Gini ya, kalau para ilmuwan yang link dan foto-fotonya kalian kirim itu hidup sekarang, orang jenis kalianlah yang akan mengecam, mencaci, dan mengafirkan mereka. Ilmuwan seperti Ibn Sina, Ibn Rushd, dll, itu pada masanya dan era sesudahnya, dikafirkan oleh banyak ulama. Mereka dianggap sesat karena menjunjung tinggi kebebasan, berpikir kritis, dan mendiskusikan hal-hal yang membuat banyak orang Islam gerah.

Jangankan kalian yang tak berilmu. Al-Ghazali yang dianggap filsuf saja tak sanggup menerima pikiran Ibn Sina. Dia mengafirkannya dan menempatkannya di neraka jahannam, karena mempertanyakan soal kebangkitan jasad manusia setelah kematian. Jika orang terhormat seperti al-Ghazali saja begitu sempit lingkar otaknya, apalagi kalian yang tak belajar filsafat, tak tahu bahasa Arab, dan tak mengerti sejarah peradaban dunia.

Asal kalian tahu, sebagian ilmuwan Muslim itu jika tidak mulhid, agnostik. Bahwa mereka tampil berpakaian seperti ayatullah Khomeini, itu karena busana yang normal pada zaman itu ya memang begitu. Bahwa mereka seolah-olah seperti religius, itu karena tuntutan keadaan. Mereka bekerja kepada sultan dan raja, sebagai ahli hukum (qadi), dokter, dan penasehat politik. Secara personal, seperti terungkap dari karya-karya mereka, mereka adalah para pemikir bebas.

Al-Ghazali paham sekali perilaku para filsuf dan ilmuwan Muslim di sekitar istana, karena dia pernah berada di sana, pernah melewati masa-masa itu, sebelum tobat. Para ulama menilai ilmuwan dan filsuf Muslim bukan dari tampilan mereka, tapi dari pandangan-pandangan dan karya mereka. Ibn Taymiyah dan ulama Salafi menganggap kafir --atau paling tidak, zindik-- semua filsuf. Sebagian besar ulama menganggap rendah ilmuwan/filsuf Muslim dan tak menghormati karya mereka.

Jadi, tidak mungkin orang yang membenci kebebasan, pada saat yang sama mengagumi Ibn Sina dkk. Impossible. Mustahil. Lain halnya kalau dia tak mengerti persoalan.

Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1Lzefv6qhX/

Senin, 07 Juli 2025

Beyt Miqdas

 Oleh: Luthfi Assyaukanie


Ketika Nabi Muhammad dan orang2 Arab menunjuk suatu tempat suci di Yerusalem dengan istilah "bayt maqdis" sebetulnya itu adalah "beyt miqdas", atau "rumah suci" yang dibangun Raja Solomo (Sulaiman). Bayt Maqdis adalah ungkapan bahasa Arab untuk menyebut Beyt Miqdas.

Bahasa membuat segalanya menjadi kacau. Mungkin sang Nabi menganjurkan umatnya untuk menghormati rumah suci yang dibangun oleh raja bangsa Yahudi yang hebat itu. Siapa yang tak kenal Solomo, seorang raja yang dihormati oleh semua bangsa di Asia Barat ketika itu.

Rumah Suci atau Beyt Miqdas dibangun pertama kali pada 966 SM. Pada mulanya disebut "Beyt Solomo", tapi setelah sang raja agung itu meninggal, para pengikutnya menyebutnya "Beyt Miqdas." Bahasa Ibrani adalah rumpun bahasa Semitik yang mengilhami banyak sekali kosakata bahasa Arab.

Ketika pertama kali belajar Ibrani, saya terkejut betapa miripnya bahasa ini dengan bahasa Arab. Tentu saja, karena kedua bahasa ini berasal dari rumpun yang sama. Persis seperti bahasa Jerman dan Belanda atau bahasa Spanyol dan Portugis. Bahkan kedekatan Arab dan Ibrani jauh lebih besar dari semua bahasa yang pernah saya pelajari.

Ketika orang2 Arab menaklukkan Syam, mereka ingat pesan Nabi mereka untuk menghormati "rumah suci" (beyt miqdas) di Yerusalem. Sayangnya, ketika itu rumah suci tersebut sudah tidak ada, dihancurkan oleh pasukan Romawi pada tahun 70 M. Yang mereka saksikan hanyalah puing2 berupa tembok besar dan beberapa sisa fondasinya.

Di atas puing2 itulah "bayt maqdis" didirikan. Tujuannya menghormati peninggalan sang raja dan ajarannya. Semestinya "bayt maqdis" itu adalah Kuil Ketiga yang harus diserahkan kepada umat Yahudi. Mereka yang lebih berhak memilikinya ketimbang orang-orang Arab yang baru datang ke sana.

Sayangnya kekacauan bahasa dan ketiadaan Nabi membuat masalah menjadi rumit. Beyt miqdas itu berubah nama menjadi "bayt maqdis" dan kemudian lama kelamaan berubah nama menjadi "masjid Aqsa." Masjid berarti "tempat sujud," yang sebetulnya berarti sama dengan "rumah suci."

Dalam bahasa Arab, "aqsa" berarti "jauh." Disebut demikian karena jarak Yerusalem dari Madinah, tempat Nabi tinggal, memang cukup jauh. Bahkan, nabi sendiri seumur hidupnya tak pernah ke sana, kecuali dalam perjalanan virtual (mimpi) yang disebut Isra. Sampai tahun 691 M atau sekitar 60 tahun setelah Nabi wafat, masjid itu tak pernah ada.

Yahudi adalah agama yang banyak menginspirasi Islam. Separuh teologi dan ajaran Islam diambil dari Yahudi. Ini tidak mengherankan karena Yathrib, tempat Nabi membangun Islam adalah salah satu pusat agama Yahudi terbesar di Arabia. Obsesi kepada keyahudian, termasuk kisah2 biblikal dan tempat2 sucinya tampak sangat jelas.

Di tengah kecamuk perang dan antagonisme dua cucu Ibrahim itu, tak ada yang lebih elok selain melihat kembali sejarah dua bangsa, dua agama, dua bahasa, yang lebih banyak kesamaannya ketimbang perbedaannya.

Dan kalian, yang berada jauh dari wilayah konflik itu, bukan cucu Ibrahim, bukan bangsa Semit, dan tak punya DNA Yahudi dan Arab, janganlah ikut memanas2i. Kehidupan terlalu berharga untuk diisi kebencian dan perang.

Sumber: https://www.facebook.com/share/19r4MS7Nbe/

Jumat, 04 Juli 2025

Beragama secara Ilmiah?

Oleh: Mun'im Sirry


Ini utk mereka yg masih nanya definisi "ilmiah" apa? Status FB tgl 23 Oktober. Capek melacaknya. Jadi, saya posting lagi saja. Ada yg juga nanya definisi "rasional" apa? Definisi "masuk akal" apa? Malu kalau praktik haji disebut "tidak rasional", "tidak masuk akal." kenapa harus rasional?


Nanti saya ceritakan kisah Hunain bin Ishaq (seorang saintis Kristen di Baghdad abad ke-9) dan dua murid Muslim-nya yang tunduk pada irrasionalitas agama. stay tuned!


“Beragama secara ilmiah?”


Jika yang dimaksud dengan ajakan beragama secara ilmiah ialah memahami dan mengamalkan ajaran agama berdasarkan ilmu, maka itu berarti mengatakan sesuatu yang sudah jelas. Tak ada orang, apalagi ulama, menyuruh pemeluk agama tidak mempelajari agama yang diimaninya. Dalam hal ini, berilmu merupakan kebalikan dari bodoh. Dalam ihya’-nya, imam Ghazali menyebut banyak riwayat tentang keutamaan orang berilmu dibandingkan ahli ibadah yang bodoh.


Namun, jika yang dimaksud “ilmiah” adalah “saintifik” dalam arti beragama berdasarkan pembuktian sains, maka ajakan beragama secara ilmiah merupakan pernyataan paling aneh yang pernah saya dengar. Keanehan ini terjadi karena sains dicampuradukkan dengan hal-hal yang bukan sains.


Misalnnya, sains dicampuradukkan dengan filasafat. Karena beberapa hal dalam agama masuk dalam perbincangan filosofis, maka kemudian dianggap saintifik. “Philosophy is not a science proper.” Sains menggunakan metode tertentu untuk menguji hipotesis berdasarkan bukti-bukti empiris. Tentu saja filsafat itu penting sebagai sumber pengetahuan, tapi bukan sains.

Juga, sains dicampuradukkan dengan rasionalitas. Karena pandangan keagamaan kita rasional, maka kemudian disimpulkan bersifat ilmiah dalam pengertian saintifik. Rasionalitas itu tidak selalu saintifik. Suatu pemahaman rasional bisa dianggap saintifik manakala telah teruji melalui metode saintifik.


Sementara sains berfokus pada pembuktian empiris, yakni alam nyata dan mekanisme kerjanya, penalaran akal (rasional) mencakup hal yang luas sekali, termasuk hal-hal di luar alam nyata yang biasa disebut metafisika. Karenanya, sebagian pertanyaan filosofis yang menjadi obyek penalaran akal bukan wilayah yang digarap sains.


Karena campuraduk antara ilmiah (saintifik) dan rasional dan filosofis, maka persoalannya menjadi rumit seperti benang kusut. Padahal, kalau saya amati dari diskusi yang selama ini berkembang, pertanyaannya lebih sederhana: Apakah doktrin-doktrin agama (Islam) bersifat rasional? Apakah masuk akal? Apakah bisa dibuktikan melalui penalaran?


Jadi, “ilmiah” yang dimaksud adalah “rasional.” Maka, kemudian disusun argumen-argumen rasional untuk membuktikan keberadaan Tuhan, misalnya. Atau, argumen rasional untuk membuktikan Al-Quran sebagai wahyu ilahi. Dan seterusnya.


Pembuktian rasional terkait keimanan itu umumnya bersifat “after the fact.” Artinya, beriman dahulu kemudian dicari beragam alasan untuk menjustifikasi apa yang diimani. Tentu saja orang yang tidak beriman juga punya alasan untuk menilainya tidak rasional. Yang menarik dicatat ialah sebagian orang tampak bernafsu mengkampanyekan bahwa seluruh ajaran Islam bersifat rasional.


Padahal, para ulama dahulu – yang juga saya imani – secara legowo menerima kenyataan bahwa ada hal-hal dalam agama yang ma’qulatul ma’na (maknanya dapat dinalar akal) dan ghayru ma’qulatil ma’na (maknanya tidak dapat dinalar). “Maknanya tidak dapat dinalar” bukan berarti bertentangan dengan nalar! Itu merupakan cara ulama dahulu untuk mengatakan “ya terima saja” sebagaimana diwahyukan.


Saya ini hidup di tengah-tengah masyarakat yang mengedepankan rasionalitas dan bergelut dengan penalaran kritis setiap saat, tapi saya tetap mengimani ada hal-hal dalam agama yang tidak perlu bersifat rasional untuk saya terima. Dalam hal ini, saya setuju dengan pandangan ulama dahulu.


Saya juga teringat pandangan Thomas Aquinas berikut: “seharusnya kamu tidak mencoba membuktikan iman dengan (bersandar sepenuhnya pada) akal. Sebab, hal itu akan mengecilkan sublimitas iman yang kebenarannya melampaui akal manusia, bahkan para malaikat; kami mengimani (ajaran-ajaran agama) karena diwahyukan oleh Tuhan” (non ad hoc conari debes, ut fidem rationibus necessariis probes. Hoc enim sublimitati fidei derogaret, cuius veritas non solum humanas mentes, sed etiam Angelorum excedit; a nobis autem creduntur quasi ab ipso Deo revelata).


Apa alasan saya menerima hal-hal dalam agama yang tidak harus rasional? Karena saya tidak mau sok rasional! Ndak itu bercanda, walaupun ada benarnya juga. Begini jawaban seriusnya: Ada banyak hal dalam agama yang bisa diketahui melalui penalaran akal. Dalam studi agama, ini disebut “natural religion,” yakni aspek-aspek agama yang dapat diketahui melalui logika atau penalaran semata.


Namun demikian, ada hal-hal subtil dalam agama yang hanya diketahui karena Tuhan memberitahu melalui wahyu. Tanpa wahyu, baik dalam arti inspirasi yang menjadi teks ataupun Tuhan sendiri turun ke bumi, kita tidak tahu. Kita tak perlu ruwet memikirkan contohnya. Misalnya, kenapa Muhammad dipilih sebagai Nabi terakhir, bukan orang lain? Dalam Kristen, kenapa Trinitas? Kaum beriman mengetahui karena Tuhan memberitahu dengan cara yang sesuai kehendak-Nya. Tanpa pemberitahuan Tuhan, kaum Muslim tidak tahu apakah harus mengimani Muhammad sebagai Nabi atau tidak.


Perkara kenabian Muhammad bisa dirasionalkan, itu urusan lain. Kaum beriman dapat menyusun alasan rasional tentang kenabian Muhammad, namun hal itu hanya dapat dilakukan setelah diberitahu Tuhan bahwa Muhammad itu Nabi terakhir (khatam al-nabiyin). Lagi-lagi, ini contoh bagus tentang justifikasi “after the fact” itu.


Yang perlu disadari ialah, sebagaimana kita dapat mengembangkan argumen rasional untuk menjelaskan kemasuk-akalan (reasonableness) ajaran agama kita, para penganut agama lain juga melakukan hal yang sama. Kalau Anda baca karya-karya Thomas Aquinas, misalnya, maka akan tampak betapa masuk-akal ajaran Kristen. Para apologet dalam setiap agama melakukan hal yang sama.


Berbeda dengan apologet, kaum polemikus biasanya bukan hanya memperlihatkan aspek-aspek rasional ajaran agamanya, melainkan juga mengkampanyekan ketidak-rasionalan agama lain. Teolog Muslim Abu Isa al-Warraq pada ke-9, misalnya, mengkritik Trinitas dan konsep inkarnasi Kristen sebagai ajaran tidak logis dan inkoheren. Sementara dari pihak Kristen, Abdul Masih b. Ishaq al-Kindi pada abad ke-10 mencibir ajaran Islam sebagai irrasional. Para polemikus modern juga sama. Dengar apa yang dikatakan Ahmed Deedat dan Zakir Naik (dari pihak Islam) atau Jay Smith dan Christian Prince (dari pihak Kristen).


Jika sempat, nanti saya lanjutkan dengan penjelasan historis kenapa sebagian ulama Muslim, terutama abad ke-19, menekankan argumen bahwa Islam merupakan agama paling rasional. Saya akan tutup dengan satu tambahan campuraduk yang menyebabkan kata “ilmiah” membingungkan. Yakni, mencampuradukkan “ilmiah” dengan kata “ilmi” dalam bahasa Arab. Misalnya “bahts ‘ilmi” diartikan “pembahasan ilmiah.” Ya benar, tapi ilmiah di situ tidak harus dalam pengertian saintifik.


Kalau mendiskusikan satu tema dengan menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang relevan disebut ilmiah, ya ilmiah dalam pengertian berdasarkan ilmu. Kalau membahas suatu masalah dengan mengutip banyak literatur disebut ilmiah, ya pembahasan ilmiah dalam arti tidak ngibul. Jangan karena ada frasa “hadza bahts ‘ilmi” kemudian dipahami ini pembahasan ilmiah dalam arti saintifik.


Pada akhirnya, kata “ilmiah” bisa bermakna berbeda bagi orang berbeda. Sayangnya, dalam bahasa Indonesia, kata “ilmu” (yang darinya kata “ilmiah” diderivasi) tidak dibedakan dengan “pengetahuan.” Keduanya kerap digunakan dengan makna yang sama. Dalam bahasa Inggris, kata “science” dan “knowledge” itu konotasinya berbeda.

Sumber: https://www.facebook.com/share/1FAnpidbKR/

Selasa, 10 Juni 2025

BARZANJI

 

Menurut Gus Dur, kitab al-Barzanji—yang sering dibaca oleh masyarakat kita dalam acara-acara tertentu—merupakan produk sastra Arab di masa kegelapan. 

Masa kegelapan yang dimaksud Gus Dur dalam konteks ini ialah masa hilangnya spontanitas kreatif masyarakat Arab akibat pengaruh unsur-unsur Yunani ke dalam kebudayaan IsIam pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, yang menundukkan kebudayaan Arab ke dalam kerangka berpikir rasionalitas-formal, suatu hal yang, kata Gus Dur, berlawanan dengan pembawaannya sendiri, yang lebih bersandar pada pengungkapan perasaan yang dalam secara spontan daripada kepada perumusan pikiran-pikiran yang abstrak. 

Bahasa Arab yang begitu plastis dalam ungkapannya, begitu kaya dengan alegori dan begitu halus dalam perumpamaannya, kata Gus Dur, akhirnya harus digunakan hanya dalam rangka kaidah-kaidah bahasa yang kaku, dibebani oleh sistem retorika yang bersifat klise rutin yang tidak mampu mengungkapkan kekayaan bahasa dan kedalaman perasaan mereka. 

Gus Dur menulis:

“'Kenakalan' beberapa sastrawan untuk mengungkapkan perasaan dengan ungkapan bahasa yang kasar, seperti yang dilakukan oleh Abu Nuwas dan Abu Ala al-Maary, secara cepat “ditertibkan” dengan perantaraan kaidah-kaidah bahasa dan sastra yang disusun menurut ukuran-ukuran estetika non-Arab, sehingga hilanglah spontanitas kreatif dari kebudayaan Arab secara berangsur-angsur. Padahal, justru spontanitas itulah jiwa dari kreativitas kebudayaan itu di masa-masa sebelumnya. Demikianlah yang dialami oleh semua bidang kebudayaan di luar kesusastraan waktu itu.

Ketiadaan saluran bagi spontanitas kreatif inilah yang akhirnya mendorong terjadinya letupan perasaan mereka dalam sub-kultur golongan tasawuf. Bagaikan angin segar yang menyirami kekeringan jiwa kebudayaan Arab waktu itu, ekspresi spontan dari kedambaan para mistikus Islam akan pendekatan maksimal dengan Tuhan, sekali lagi menemukan bentuknya pada pengungkapan kembali kekayaan kebudayaan pra-Islam, baik dalam produk tasawuf yang berbahasa Arab maupun Persia. 

Para penyair sufi menyanyikan lagu cinta kepada Sang Pencipta secara profan, sebagaimana dahulu para penyair Jahiliyah mendendangkan tema percintaan mereka. Demikian pula seni lukis dan seni musik memperoleh kembali tempat mereka semula, seperti dalam ritual grup-grup sufi (halaqah) Abu 'Aly al-Farrash dan Abu Yazid al-Bistam. 

Tapi kebangunan kebudayaan lama yang ditimbulkan oleh gerakan tasawuf ini tidak sampai menciptakan kembali kegemilangan kebudayaan Arab, karena gerakan itu sendiri dalam waktu tidak lama juga mengalami “penertiban” dari pihak golongan pemegang hukum agama (golongan ahli hukum syara, yang biasanya dipertentangkan dengan para sufi yang dinamai ahli makrifat atau ahli hakikat).

Sekali lagi kebudayaan Arab kehilangan kesempatan untuk menunjukkan kekayaan dirinya, dan jatuh ke dalam pengulangan ekspresi hidup kejiwaan yang menggunakan gaya klise rutin belaka, berpuncak pada sistem ritual-liturgis (wirid) yang telah dilegalisir oleh agama, baik dalam rangka gerakan tasawuf yang telah ditertibkan (tariqah mu'tabarah) maupun di luarnya. Salah satu puncak dari produk jenis ini adalah ode-ode yang panjang yang ditujukan kepada Rasulullah s.a.w., seperti karya-karya al-Barzanji, al-Dzaiba'y dan Ode al-Burdah karya al-Busairy, yang dianggap sebagai puncak produk sastra Arab di masa kegelapan tersebut.

***

Barzanji merupakan salah satu kitab yang menjelaskan kisah-kisah Nabi Muhammad s.a.w, mulai dari kelahirannya dan perjalanan dakwahnya. Di samping Barzanji, ada banyak kitab yang menjelaskan kisah-kisah Nabi Muhammad. 

Nama lengkap pengarang kitab Barzanji adalah Sayyid Zainal ‘Abidin Ja’far bin Hasan bin ‘Abdul Karim al-Husaini asy-Syahzuri al-Barzanji. Beliau kelahiran Madinah al-Munawwarah pada 1128 Hijriah atau 1716 Masehi.


Referensi:

1. Abdurrahman Wahid, "Kebudayaan Arab dan Islam", dalam Hairus Salim (Peny.), Insya Allah, Saya Serius: NU, Muhammadiyyah, dan Budaya Arab, Yogyakarta: Penerbit Gading, 2024, h. 7-19.

2. "Mengenal Kitab Maulid Al-Barzanji: Penyusun, Keutamaan, dan Cara Bacanya", dalam nu.or.id

Selasa, 20 Mei 2025

,

Seni dan Lembaga Kebenaran

Jakob Sumardjo

Oleh: Jakob Sumardjo


Begitu seorang manusia menemukan kesadarannya, dia menuntut dirinya untuk hidup dalam apa yang disebutnya kebenaran. Apa yang benar bagi seseorang adalah apa yang sesuai dengan kesadarannya, yang disetujuinya, yang dianggapnya baik, yang dianggapnya punya nilai, yang dapat dijadikan pegangan dalam bertindak. Kebenaran adalah sesuatu yang kita mengatakan 'ya' kepadanya. 

Kebenaran bukanlah sesuatu yang ada dalam kesadaran kita sejak lahir. Kesadaran terhadap kebenaran harus dicari oleh setiap manusia. Manusia yang memiliki tanggung jawab terhadap hidupnya dan hidup orang lain tentu memerlukan kebenaran. Kebenaran terus dicari sampai seseorang menyatakan setuju terhadap apa yang ditemukannya. 

Tetapi, apa yang disebut kebenaran bukanlah sesuatu yang sifatnya statis. Kebenaran itu terlalu kaya. Kebenaran itu berkembang. Kebenaran itu tumbuh, memperkaya dirinya tanpa batas. Sebab kebenaran itu ada di luar alam manusia. Kebenaran itu suatu ide yang bersifat mengatasi tempat dan waktu manusia. Kebenaran itu telah ada sebelum manusia ada. Kebenaran itu suatu esensi, suatu hakikat, suatu ide yang mendahului keberadaan wadag ini. 

Inilah sebabnya manusia sepanjang sejarahnya tidak pernah puas setelah menyadari suatu kebenaran. Manusia menyadari bahwa kebenaran itu terlalu luas, dan kodrat manusia itu terlalu terbatas. Meskipun demikian, kebahagiaan sejati manusia adalah menggabungkan diri dengan keabadian yang menampung kebenaran itu. Manusia menyadari bahwa kebenaran tak mungkin dicapai, ia harus terus berusaha mencari dan menemukan kebenaran yang tiada batas itu.

Bagaimana manusia mencari dan dapat menemukan kebenaran? Secara kodrati, manusia memiliki sejumlah potensi kejiwaan dalam dirinya. Manusia mempunyai potensi pikir, potensi inderawi, potensi merasakan, potensi untuk percaya. Semua potensi kejiwaan manusia dapat dipergunakan dan dikembangkan dalam mencari dan menemukan kebenaran. Dalam sejarah umat manusia dikenal sejumlah lembaga kebenaran yang kita kenal sebagai agama, ilmu, filsafat, dan seni. Melalui keempat lembaga itulah manusia mencari dan menemukan kebenarannya sendiri. Tetapi, karena kebenaran itu abadi, maka kebenaran sejati dari setiap lembaga itu akhirnya bermuara juga pada kebenaran itu. Kebenaran agama, kebenaran ilmu, kebenaran filsafat, dan kebenaran seni adalah kebenaran. Ilmu sejati tak akan bertentangan dengan kebenaran agama atau seni. Kebenaran filsafat membantu memperjelas kebenaran agama. Kebenaran agama yang dipercayai bersifat “diturunkan” atau transendental dari keabadian, untuk waktu sekian lama sering disalah-tafsirkan oleh ilmu-ilmu yang berusia muda. Tetapi, berbagai penemuan ilmu, filsafat, dan seni mutakhir sering lebih memperjelas kebenaran agama. Dalam sejarah umat manusia, lembaga kebenaran yang paling tua adalah agama atau sistem kepercayaan, dasar agama adalah kepercayaan. 

Manusia percaya kepada agama sebagai kebenaran mutlak yang dipatuhinya secara mutlak pula (takwa). Hidup manusia diabdikan pada kepercayaannya itu. Yang dipercayai dalam agama itu bersifat adikodrati, melampaui kodrat manusia itu sendiri. Dalam lembaga kebenaran agama diajarkan kesadaran terhadap apa yang seharusnya dilakukan manusia agar dia hidup damai, harmonis, dan selamat, baik di dunia ini dan juga di dunia keabadian. Kebenaran agama itu mutlak bagi yang mempercayainya, termasuk hal-hal yang kadang dianggapnya "tidak sesuai” dengan kebenaran pengalaman inderawi dan nalar. 

Lembaga kebenaran lain yang dekat dengan lembaga kebenaran agama adalah seni. Seperti halnya agama yang menjangkau kebenaran mendasar, universal, menyeluruh, dan mutlak serta abadi, seni pun menjangkau hal-hal tersebut. Hanya saja alat untuk mencapai hal itu adalah perasaan dan intuisi. Dasarnya adalah pengalaman inderawi manusia yang bersifat subyektif. Kebenaran pengalaman perasaan intuitif manusia ini hanya dapat dihayati, dirasakan. 

Dan dalam penghayatan itulah manusia menyentuh suatu kebenaran yang tak kuasa dia jelaskan: Kualitas perasaan itu harus dialami sendiri oleh manusianya sehingga ia mampu menemukan kebenarannya. Inilah sebabnya seni sering bergandengan erat dengan lembaga agama. Kehadiran sesuatu yang transendental (yang bukan dari dunia ini yang dipercayai) dalam suatu kepercayaan dapat ditemukan dalam seni. Seni tari, seni musik, seni teater, seni sastra, dan seni rupa sering erat kaitannya dengan kepercayaan manusia purba. Upacara suatu kepercayaan yang menghadirkan “dunia sana” di dunia wadag ini sering terjadi dalam suatu peristiwa kesenian (seni upacara). 

Ini terjadi karena seni bertujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan pengalaman nyata. Bentuk seni itu sendiri adalah realitas yang dihayati secara inderawi. Dengan demikian, kebenaran seni bersinggungan dengan kebenaran empiris dan kebenaran ide kebenaran. Dasarnya adalah pengalaman empiris manusia, tetapi yang ditemukannya realitas baru yang non-empiris. Dalam karya seni, sesuatu itu seperti dunia ini, tetapi kebenarannya bukan dari dunia ini.

Lembaga kebenaran berikutnya adalah filsafat. Alatnya adalah nalar, logika manusia yang bersifat spekulatif (bukan empirik), dan tak ada metode yang baku. Tujuannya adalah mencapai kebenaran yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dalam sistem konseptual. Kegunaannya adalah kearifan hidup. Jadi, ciri-ciri lembaga kebenaran filsafat adalah konseptual, logis, universal, mendasar, menyeluruh, mutlak, dan langgeng. Sejarah lembaga kebenaran filsafat sudah dimulai sejak zaman Yunani Kuno, India Kuno, Cina Kuno, dan dijumpai di berbagai pusat peradaban purba manusia.

Lembaga kebenaran yang relatif "muda” adalah ilmu. Alat untuk menemukan kebenarannya adalah nalar, logika, bermetode dan sistematik. Sumbernya bersifat empirik, fakta apa adanya. Tujuannya adalah pembuktian kebenaran secara khusus dan terbatas. Kegunaannya: sebagai deskripsi, prediksi, dan kontrol atas kenyataan empiris. Seperti kita ketahui, perkembangan lembaga ilmu ini baru berkembang pesat sejak masa Renaisans Eropa pada abad ke-16. 

Dengan demikian, tidak perlu orang mempertentangkan kebenaran yang ditemukan oleh masing-masing lembaga tadi. Tetapi, dalam kenyataannya selalu saja terjadi konflik kebenaran antara berbagai lembaga tadi. Perlu penjelasan lebih jauh mengapa sering terjadi konflik semacam itu. Kalau kebenaran seni, misalnya, memang secara autentik ditemukan, tentu tak akan bertentangan dengan lembaga keagamaan, ilmu, atau filsafat. Begitu pula kebenaran ilmiah yang ditemukan, tentu tak akan bertentangan dengan lembaga kebenaran yang lain. Hanya saja perlu dicatat bahwa temuan lembaga kebenaran ilmu, yang sifatnya sementara dan khusus, mungkin saja untuk sementara bertentangan dengan ketiga lembaga lainnya karena proses penemuan ilmu itu sendiri bisa jadi belum tuntas. 

Untuk menyelaraskan kegiatan pencarian kebenaran dalam masing-masing lembaga tersebut sering kita jumpai adanya kegiatan antar-lembaga. Dalam lembaga agama, misalnya, dikembangkan filsafat agama, ilmu-ilmu agama, dan seni agama. Begitu pula dalam lembaga seni, dikembangkan studi filsafat seni, dan ilmu-ilmu seni. Tetapi, dari semua lembaga kebenaran tadi, lembaga filsafat selalu hadir. Ada filsafat seni, filsafat agama, dan filsafat ilmu. Semua itu diperlukan karena filsafat mencoba menjawab pertanyaan manusia tentang kebenaran yang sifatnya mendasar dan menyeluruh. 

Dengan demikian, manusia yang “lengkap” adalah manusia yang menggunakan semua potensi kejiwaan dirinya dalam mencari dan menemukan kebenaran. Ini berarti bahwa manusia yang manusiawi itu bergerak dalam keempat lembaga kebenaran itu secara seimbang. Kalau ini tak dapat dia lakukan, maka dia harus mempunyai kepercayaan kepada orang yang dipandangnya pakar dalam lembaga yang tak dia kuasai itu. 

Hidup ini pendek, kebenaran itu abadi.

(Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB, 2000, h. 1-6) 

______________

Profil Jakob Sumardjo 

Jakob Sumardjo lahir pada tahun 1939 di Klaten, Jawa Tengah. Pendidikannya diselesaikan di IKIP Bandung, jurusan sejarah pada 1970. Ia tinggal di Bandung mulai tahun 1962 dan bekerja sebagai guru SMA. 

Sejak remaja ia tertarik pada kesusastraan dan sempat menulis beberapa cerpen remaja di harian Nasional, Yogya pada 1953 dan di harian Kompas dan mingguan Mahasiswa Indonesia, Bandung pada 1969. 

Tapi, minatnya berubah: ia menjadi penulis kritik sastra serta artikel budaya. Semua tulisan tersebut kemudian dikumpulkannya dan diterbitkan menjadi beberapa buku, yang sampai sekarang berjumlah kurang lebih 22 buah. Hampir semuanya mengenai kesusastraan Indonesia, dan 3 buku berupa kumpulan kolom. 

Sekarang ia mengajar di STSI Bandung dan di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Di samping sebagai tenaga pengajar, ia juga aktif sebagai penulis kolom sosial budaya di berbagai surat kabar lokal maupun nasional. 

Jika silsilah keluarganya ditelusuri, keluarga dekatnya memang tidak ada yang menekuni bidang kesenian, tetapi nenek moyangnya ada yang berkecimpung dalam teater rakyat (srandul), dalang, dan tukang ukir perak. Rupanya bakat yang dimilikinya menurun dari nenek moyangnya ini. 

Selain menekuni bidang kesusastraan dan budaya, Jakob juga gemar menonton film. Ia bergabung dalam Forum Film Bandung sejak forum ini didirikan pada 1987. 




Jumat, 18 April 2025

,

Ilmu-llmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pasca-Modernisme

Referensi


Oleh: F Budi Hardiman


Dalam bukunya, The New Constelation, Richard J. Bernstein menulis, bahwa diskusi hangat akhir-akhir ini mengenai modernisme/pasca modernisme seharusnya dimengerti sebagai apa yang disebutnya a pervasive amorphous mood atau apa-yang oleh Martin Heidegger disebut Stimmung.[1] Dalam bahasa kita istilah tersebut dapat diterjemahkan sebagai ”suasana hati yang menggejala”. Karena berupa Stimmung, pemikiran-pemikiran postmodern adalah sebuah serangan tanpa bentuk yang pasti, majemuk, dan liar.

Kalaupun dapat dipaksa berjajar dalam satu regu tempur, pasukan tanpa seragam ini sama-sama mengarahkan senjata intelektualnya kepada segala bentuk totalitas abstrak, universalisme, dan rasionalisme yang melekat dalam proyek-proyek modernitas. Dengan macam-macam senjata intelektual, entah itu bernama dekonstruksi, destruksi metafisika, geneologi, dialektika negatif, dan seterusnya mereka mau menyerang asumsi-asumsi dasar filsafat modern yang dirintis sejak Descartes, dan warisan Pencerahan, yaitu proyek-proyek rasionalisasi masyarakat. Mendasari Stimmung ini adalah suatu keraguan mendasar bahwa modernisme akan mampu mewujudkan janji-janjinya, yaitu masyarakat ilmiah yang adil dan makmur berdasarkan sains. 

Diskusi modernisme/pasca-modernisme ini merembes ke berbagai dinding disiplin-disiplin intelektual yang sebagai demarkasi sampai kini dijaga ketat. Dari sastra, seni, arsitektur, yaitu bidang-bidang yang sejak dulu dimasukkan dalam kategori estetika, dan juga ilmu-ilmu sosial dan humaniora, yang masuk ke dalam bidang-bidang etis, sampai pada ilmu-ilmu alam, yang masuk ke dalam kategori teoretis. Demarkasi itu sendiri merupakan penemuan modernisme. Figur besar yang sangat berpengaruh di sini adalah Immanuel Kant yang secara tegas telah membuat distingsi antara rasio teoretis, rasio praktis dan rasio estetis. Pencerahan Barat lebih jauh lagi membuat sebuah demarkasi yang dalam modernitas sangat dinikmati oleh sains, yaitu antara ilusi dan fakta, antara fiksi dan kebenaran ilmiah, antara prasangka subjektif dan pengetahuan objektif.[2] Provokasi yang dibuat oleh para pemikir postmodern adalah mengaburkan batas-batas yang digariskan pencerahan itu. 

Penghancuran tembok perbatasan itu dilakukan bukannya tanpa intensi. Kalau tidak memandang sains sebagai sekadar permainan bahasa atau cerita, para pascamodernis sangat bernafsu untuk menggulingkannya dari takhtanya. Sejak zaman Pencerahan Barat abad ke-18, sains memiliki status khusus dalam kebudayaan. Dengan metode empirisnya dan pendekatan subjektivistisnya, selama dua abad ini sains telah memegang monopoli penafsiran tentang apa yang dianggap benar dan sesat dalam kebudayaan modern. Bidang-bidang lain, yang dimasukkan ke dalam kotak etika dan estetika, tidak menikmati kedudukan istimewa itu, bahkan sering kali duduk di kursi tertuduh sebasai fiksi, prasangka, fantasi, imajinasi, superstis atau dengan kata lain, bukan-kebenaran.[3] Kalau demarkasi dihapus, diharapkan hak-hak khusus sains sebagai semacam ”'inkuisitor” juga akan sirna. Lalu, juga terjadi pengaburan-pengaburan lain, antara sains dan narasi, kebenaran dan fiksi, dan antara logos dan mitos. Itulah Stimmung postmodern yang merasuk ke dalam epistemologi. 

Pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana perkembangan epistemologis tersebut di dalam ilmu-ilmu sosial, dan bagaimanakah pascamodernisme dapat ditanggapi. Pertanyaan pertama menyangkut persoalan sejarah yang sangat menarik, dan saya akan mencoba memberikan sebuah sketsa yang barangkali berguna untuk memahami perkembangan ilmu-ilmu sosial dalam perspektif filosofis. Jawaban atas pertanyaan kedua yang akan diberikan setelah perkembangan itu disketsakan lebih merupakan usaha membuka diskusi lebih lanjut di bidang filsafat pengetahuan. Dengan bekal dua persoalan itu, tulisan ini dimaksudkan sebagai perkenalan mengenai problematik modernisme/postmodernisme dalam ilmu-ilmu sosial. 

Pertarungan antara Mitos dan Logos

Dalam jantung hati penelitian filosofis berperan penting apa yang sejak lama ingin ditolaknya, sehingga peranan sentralnya malah dilupakan, yaitu ”narasi” atau ”cerita”. Keinsafan inilah yang muncul ke permukaan, sejak beberapa filsuf kontemporer, seperti Jean-Francois Lyotard, Alasdair McIntyre, Paul Ricoeur, dan Richard Rorty, menarik perhatian kita. Filsafat modern ingin menyingkirkannya karena menganggap narasi sebagai bentuk pengenalan yang cukup primitif tentang kenyataan, sebagaimana terdapat dalam mitos-mitos. Kalaupun modernisme tidak keliru dengan distingsinya antara fiksi dan kebenaran objektif, sekurang-kurangnya adanya struktur naratif dalam diskursus filsafat sulit disangkal, sehingga persoalannya menjadi distingsi antara narasi yang "fiktif” dan yang ”objektif”. 

Seperti dikatakan oleh Bernstein dalam buku tersebut di atas, setiap filsuf besar cenderung menempatkan diri dan karya-karyanya dengan menuturkan sebuah narasi mengenai apa yang terjadi sebelum dan sesudah dia. Dengan cara demikian, filsuf tersebut melahirkan sebuah tradisi pemikiran beserta norma-normanya.[4] Saya akan meneruskan ide ini dengan mengatakan, bahwa sejarah filsafat Barat sejak zaman Yunani kuno memiliki sebuah plot narasi yang kurang lebih jelas, yaitu sebuah cerita mengenai sebuah pertarungan antara dua pahlawan peradaban. Protagonisnya adalah rasio atau apa yang sejak zaman Klasik disebut Logos, sedang antagonisnya adalah Mitos. Narasi filosofis ingin menutup halaman terakhirnya dengan kematian sang antagonis dan kemenangan sang protagonis. Yang menarik dalam sejarah filsafat adalah bahwa antagonis itu hidup lagi, atau sekurang-kurangnya mengalami metamorfosis, dan sang protagonis harus muncul lagi dengan segala kemudaan dan kesegarannya untuk memenangkan lagi pertarungan itu. Kemenangan itu perlu, juga bagi si pencerita, agar tradisinya dapat digelar.[5]

Filsafat sebagai penemuan orang Yunani muncul bukan dalam segala kepenuhannya sebagai Logos. Para filsuf pra-Sokratik, seperti Thales, Xenophanes, Herakleitos, Pythagoras, dan Parmenides, adalah genius-genius yang memperkenalkan cara berpikir baru yang kritis terhadap Mitos. Namun, mereka tidak pernah seratus persen meninggalkan Mitos. Ambil contoh Parmenides yang termasyhur sebagai perintis metafisika, yang nanti diperkembangkan oleh figur-figur agung seperti Sokrates dan Plato. Filsuf ini berfilsafat dengan sebuah puisi bernapaskan agama misteri yang disebut Orphisme, menceritakan bagaimana dengan keretanya dia bertolak dari kegelapan malam ke terang siang dan menerima wahyu dari seorang dewi yang mengajarkan sesuatu yang lalu menjadi tradisi Parmenidean, bahwa "yang Ada itu ada, yang Tidak Ada tak mungkin ada”.[6] Yang lebih menarik adalah bahwa kemungkinan besar perjalanan dari gelap ke terang itu adalah sebuah narasi tentang kemenangan filsafatnya atas filsafat mazhab Pythagorean sebagai antagonisnya.[7]

Pertarungan antara Mitos dan Logos menghebat dalam pemikiran Barat modern. Kedua tokoh dalam narasi itu mengalami metamorfosis. Perkembangan segi-segi material dan empiris kebudayaan modern telah menempatkan cara-cara pendekatan ala ilmu-ilmu alam (sains) pada kedudukan protagonis, sebagai Logos, sedangkan cara-cara pendekatan lain yang ”lompat” pada spekulasi metafisis-teologis tanpa basis empiris merupakan antagonisnya, Mitos. Bahwa kemenangan sang protagonis bukan ilusi terbukti dalam kemajuan-kemajuan teknis yang dimulai pada zaman Pencerahan abad ke-18. Bukan hanya kemajuan teknis, di abad yang lalu cara berpikir modern yang dipengaruhi oleh ilmu-ilmu alam tersebut juga ikut melahirkan sebuah kemajuan praktis, yaitu demitologisasi kekuasaan dalam bentuk demokratisasi. Momentum historis yang pragmatis di sini adalah Revolusi Prancis. Karena itu, banyak filsuf mengalami "peralihan Parmenidean” memihak sang protagonis, dengan mengklaim filsafatnya ”ilmiah”, yang dalam kosakata lama diucapkan lain sebagai ”benar”. 

Kalau kita mengikuti pandangan Horkheimer dan Adorno dalam Dialektik der Aufklarung tanpa mengambil pesimisme mereka, kita barangkali akan terbantu untuk mempelajari apa itu Mitos dan Logos. Keduanya adalah momen-momen dalam pengetahuan manusia mengenai kenyataan yang sama-sama berusaha menyusun skema kenyataan agar dapat dimengerti secara teratur. Melanjutkan narasi kita di atas. Mitos dan Logos adalah dua saudara sekandung yang sebenarnya memiliki musuh bersama, yaitu Khaos atau kekacaubalauan. Manusia tidak tahan hidup dalam sebuah dunia yang tidak mampu memberikan jawaban atas 'mengapa'-nya kehidupan dan realitas, dan Mitos adalah kakak kandung Logos yang menyelamatkan manusia dari Khaos.[8] Logos, yang datang kemudian, tampil lebih maju, menawarkan sebuah Kosmos yang lebih leluasa untuk didiami dan menimbulkan tilikan yang dapat lebih dimengerti dan diterima. Pertarungan keduanya, dan juga metamorfosis mereka, tergelar dalam satu arena dan satu cerita yang sama: sejarah rasionalisasi. 

Cita-Cita Sains, Saintisme, dan Kegagalan-Kegagalannya 

Kalau di atas kita berbicara mengenai sejarah rasionalisasi, hal itu tak dapat kita pisahkan dari protagonis modernitas, yaitu sains. Optimisme sosial terhadap sains modern tampil secara sangat luar biasa dalam pandangan para filsuf Pencerahan. Di penghujung abad ke-18, misalnya, Marquis de Condorcet menulis sebuah karya monumental yang dapat dianggap sebagai manifesto "janji-janji Pencerahan Prancis”. Buku itu berjudul Esquisse d'un tableau historique des progres de l'esprit humain (Sketsa mengenai suatu lukisan historis tentang kemajuan pikiran manusia) (1795). Dalam buku itu, sang pengarang melukiskan bahwa penyebaran kekuatan-kekuatan rasional dalam masyarakat akan membawa suatu kemajuan yang tidak sekadar berupa pertumbuhan ekonomi dan pembangunan material, namun terutama terwujudnya tujuan (telos) sejarah, yaitu kesempurnaan tak terbatas umat manusia yang juga bersifat etis. Dia memprediksi bahwa di masa depan Rasio yang terwujud dalam sains akan menghancurkan ketimpangan-ketimpangan kultural, politis, dan ekonomis di antara berbagai bangsa, menyempurnakan kemampuan manusia, mewujudkan kebahagiaan pribadi dan kesejahteraan umum, menyingkirkan diskriminasi seksual dan rasial, serta menghapus perang dari muka bumi.[9] Dilihat dari sudut kelabu abad ke-20 ini, yang sudah mengenal barbarisme Nazi, totalitarianisme, pemusnahan massal di Hiroshima dan Nagasaki, Krisis Teluk, dan pembersihan etnis di Bosnia, janji-janji Pencerahan tersebut kedengaran sinis. 

Visi total tentang sains sebagai protagonis rasionalisasi tersebut bukannya tanpa dasar. Watak sains modern adalah ”netral”, yaitu tidak berprasangka, tidak memberikan penilaian baik atau buruk dan bebas dari kepentinan-kepentingan manusiawi. Watak-watak objektivistis macam ini secara meyakinkan melekat dalam ilmu-ilmu alam, dan secara tegas dibedakan dari etika yang justru berciri preskriptif, personal dan menilai tindakan. Dengan watak-watak macam itu, sains merupakan pembawa nilai-nilai modern yang paling mendasar di kalangan komunitas ilmiah, seperti sikap tak berpihak, toleran, rasional, dan demokratis, karena penelitian ilmiah bagaimanapun meyakini adanya kebenaran objektif yang tidak tergantung pada perspektif dan autoritas subjektif.[10] Anggapan bahwa sains dapat menjadi juru selamat seperti dikisahkan oleh Condorcet itu mengandaikan bahwa nilai-nilai yang dianut komunitas ilmiah yang terbatas itu dapat menjadi sumber autoritatif bagi masyarakat luas. Asumsi inilah yang oleh Tom Sorell disebut ”saintisme”, yaitu suatu kepercayaan, bahwa sains adalah satu-satunya proses belajar manusia yang paling bernilai karena sifat kegunaan, autoritatif, dan seriusnya.[11] 

Saintisme, misalnya, terlihat dalam pandangan Rapaport. Dia menjelaskan bagaimana sebuah visi total ilmiah itu mungkin. Sains mengandung empat asas etis universal, yaitu keyakinan akan adanya Kebenaran objektif, keyakinan akan adanya metode-metode untuk mendekati Kebenaran tersebut, keyakinan akan mungkinnya konsensus tentang Kebenaran itu, dan keyakinan bahwa konsensus itu bisa dicapai tanpa paksaan. Menurutnya, keempat asas ini dapat menjadi dasar suatu ”sistem etika umum” yang mengatur kehidupan bermasyarakat.[12] Saintisme macam ini adalah bentuk matang dari positivisme modern yang dirintis oleh Auguste Comte pada abad lalu, dan Lingkungan Wina pada abad kita ini. Basis epistemologisnya adalah doktrin fenomenalisme, yaitu sebuah penegasan bahwa fondasi terakhir pengetahuan adalah pengalaman indrawi, maka segala omongan mengenai sesuatu yang melampaui pengalaman adalah mustahil, misalnya diskusi dalam etika, metafisika, dan agama tentang ”Allah”, ”Hakikat”, ”Kebaikan”, dan seterusnya. 

Bary Hindess secara menarik menunjukkan rapuhnya basis itu. Pertama, tentu ada kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya pengalaman, dan positivisme mengelak untuk membicarakan hal itu, maka bersifat dogmatis. Kedua, dengan mengimani bahwa fenomen faktual adalah kenyataan sejati, program pembasmian metafisika yang dilakukan kaum positivis malah mengandung "metafisika diam-diam”.[13] Karena itu, tidak mengherankan kalau dari perspektif pasca-modern, positivisme dan saintisme termasuk ke dalam metafisika di samping netralismenya adalah sebuah putusan nilai untuk memelihara status quo sosial. 

Banyak pemikir di abad kita ini telah menganggap bahwa saintisme telah mengalami kegagalan menerjemahkan ”asas-asas ilmiah” ke "dunia manusiawi”.[14] Rasionalisasi melalui sains bukannya mentrasformasikan seluruh dunia-kehidupan sosial, melainkan malah meretakkannya ke dalam apa yang disebut C.P Snow sebagai "two cultures” yang saling bertentangan.[15] Seperti dikatakan oleh Richards, memilih salah satu dari kutub antagonis itu bukanlah soal Kebenaran objektif, melainkan soal "putusan moral” dan kebebasan subjektif.[16] Karena itu, rupanya tidak cukup alasan, mengapa pola pikir sains harus mendominasi kehidupan bermasyarakat. 

Benturan kedua ”kebudayaan” itu lebih mencolok lagi manakala sains dan teknologi memiliki tendensi imperialis untuk menundukkan dunia-kehidupan sosial, karena pertarungan keduanya bukanlah sekadar pencarian Kebenaran, melainkan pertarungan untuk mengklaim hak-hak hidupnya. Sains, sang protagonis Pencerahan, ketika melampaui batas-batasnya dengan menerjang wilayah-wilayah “manusiawi yang serba subtil, kehilangan ciri netral dan sikap non-koersifnya. Narasi tentang sains bukan sekadar cerita tentang emansipasi dari fiksi, takhayul, metafisika, feodalisme, dan seterusnya, melainkan juga seperti ditunjukkan oleh Foucault, sebuah cerita tentang dominasi dan eliminasi. 

Sampai di sini, narasi kita tentang pertarungan antara Mitos dan Logos menginjak tahap baru dalam sejarah rasionalisasi yang dilukiskan oleh Adorno dan Horkheimer dalam Dialektik der Aufklarung tahap metamorfsis.[17] Sesudah pengusiran, penyingkiran, pembasmian, penghancuran Mitos dalam profanisasi, sekularisasi, dan rasionalisasi agama, moralitas, dan metafisika, sains yang tampaknya berperan sebagai pembebas, sebagai Logos ini, mulai mengubah perawakannya. Tiba-tiba, sesudah peristiwa-peristiwa katastrofik dalam dua Perang Dunia, selaput yang menutupi kedua mata kita seakan-akan terlepas, dan dengan cukup terang kita menyaksikan perawakan sains, bukan sebagai Logos, melainkan sebagai Mitos baru yang didukung, dipuja, diamini secara sukarela, tetapi juga dengan cara itu membiarkan dominasinya. Begitulah kira-kira kritik yang disampaikan oleh Adorno dan Horkheimer, sebuah kritik total atas Pencerahan yang membuka diskusi modernisme/pasca-modernisme dewasa ini.

Teori Tindakan, Fenomenologi, dan Hermeneutik 

Kalau kita mengikuti jalur perkembangan ilmu-ilmu sosial pasca-positivisme, kita akan menemukan suatu upaya yang sangat gigih untuk mempertahankan rasionalitas dalam sebuah perspektif yang kritis terhadap saintisme dan positivisme. Tanpa meninggalkan cita-cita Pencerahan dan proyek modernitas, sikap kritis tersebut diperlihatkan dengan usaha untuk memandirikan ilmu-ilmu sosial secara metodologis dan epistemologis. Alternatif-alternatif baru ini, dalam narasi kita di atas, dapat dipandang sebagai usaha-usaha untuk mempertahankan Logos sebagai Logos, dan sekuat mungkin menghalangi metamorfosisnya menjadi Mitos. Itu berarti, bahwa mereka mencoba memberi tilikan baru terhadap apa yang disebut sebagai "rasionalitas”. Beberapa pendekatan yang berpengaruh di sini adalah Teori Tindakan, fenomenologi, dan hermeneutik, dan sesudah ketiga pendekatan tersebut, Teori Kritis. 

Weber dan Teori Tindakan 

Teori Tindakan adalah salah satu pendekatan yang sangat berpengaruh dalam ilmu-ilmu sosial. Pendirinya adalah Max Weber, salah seorang raksasa sosiologi modern di samping Durkheim dan Marx. Dua karya terpentingnya adalah The Methodology of the Social Sciences dan Economy and Society. Meskipun tidak berhasil sepenuhnya membebaskan diri dari tendensi saintisme, Weber berusaha dengan sekuat tenaga untuk menemukan metode otonom bagi ilmu-ilmu sosial, dan dia menemukan konsep "tindakan” sebagai ladang yang subur bagi pemahamannya mengenai masyarakat.[18] Dengan tegas dia membedakan ”tindakan” (action) dan ”perilaku” (behaviour). Sementara "perilaku” merupakan kegiatan naluriah tanpa pemaknaan subjektif, tindakan adalah semua perilaku sejauh pelakunya menghubungkannya dengan makna subjektif. Tindakan, kalau demikian, adalah suatu realisasi dan ekspresi fenomenal dari makna-makna transendental. Makna-makna, misalnya ”keselamatan abadi”, "kebaikan hati”, "kerendahan hati”, tidak bisa di-observasi karena bersifat numenal, namun tampil secara fenomenal dalam tindakan. Karena tak bisa diobservasi, kita juga tak bisa menentukan apakah makna itu rasional atau tidak, namun Weber mau mempertahankan rasionalitas masyarakat dalam konsep tindakannya. Menurutnya, dalam modernitas ada dua macam tindakan rasional, yaitu zweckrationales Handeln (orientasi sarana-tujuan) dan wertrationales Handeln (orientasi realisasi nilai absolut). Ini tampil dalam sistem ekonomi dan birokrasi modern, dan menurutnya, tindakan rasional inilah yang dapat menjadi objek kajian ilmu-ilmu sosial. Menurutnya, meskipun tidak bisa bebas nilai, ilmu-ilmu sosial dapat memiliki gengsi objektivisme sains, karena peneliti bisa mendekati "makna” melalui ”tindakan” yang fenomenal itu dengan sikap objektif. 

Dengan distingsi numenal-fenomenal itu, pendekatan Weberian bisa meninjau arah sebagai proses perealisasian makna-makna dalam tindakan sosial. Sejarah modernisasi, lalu, adalah proses rasionalisasi masyarakat yang melibatkan aspek maknawi manusia. Sayangnya, Weber gagal melepaskan diri dari cengkeraman saintisme, ketika dia menegaskan pendekatannya bersifat objektif. Suatu problem mendasar dari Teori Tindakan ini justru terletak pada soal objektivisme itu. Menurutnya, untuk meneliti tindakan, kita harus bisa membedakannya dengan perilaku berdasarkan makna yang mengorientasikannya. Padahal makna, katanya, tak bisa diobservasi. Akibatnya, Weber harus menegaskan bahwa makna itu dipostulatkan oleh peneliti. Akan tetapi, ini malah menimbulkan soal, yaitu diskontinuitas antara makna yang dipostulatkan itu dan makna yang dihayati pelaku. Kalau demikian, hasil riset hanyalah fungsi dari makna si peneliti. Di sini Weber jatuh pada kearbiteran teoretis dan relativisme epistemologis.[19] Konsekuensi lebih jauh bagi Weber sendiri adalah bahwa pandangan-pandangannya mengenai modernitas adalah hasil dari pilihan relevansi-nilainya sebagai peneliti. Alhasil, bahwa ”etos Protestan” yang dipilihnya sebagai matra maknawi modernitas tidak bisa dipahami secara objektivistis ala sains. Sebaliknya, orang malah bisa menunjukkan bagaimana dengan objektivismenya Weber melegitimasikan modernitas kapitalis dengan risetnya itu, 

Husserl, Schutz, dan Fenomenologi 

Fenomenologi menolak objektivisme saintistis, yang kali ini tampil dalam baju "psikologisme”, ”sosiologisme”, dan ”logisme”. Penolakannya berbunyi ”anti sikap natural”.[20] Husserls, pendiri pendekatan ini, berpendapat bahwa sikap natural adalah suatu sikap pra-reflektif (naif) yang percaya begitu saja bahwa dunia faktual itu ada an sich, ditemukan ”di luar sana”, dan dapat dilibati semua orang. Orang yang berada dalam sikap natural secara naif menghayati kesehariannya, dan meski mungkin memikirkannya, toh mengandaikan begitu saja faktualitasnya. Alfred Schutz menyebut sikap ini sebagai ciri eksistensi sosial kita atau apa yang disebutnya "Wir-Charakter” (Ciri Kekitaan). Kita menunggu bis di halte, naik, dan tak merasa asing dengan kondektur yang memungut ongkos dan situasi penumpang lain yang berdiri. Kita sedang berangkat ke kantor, dan termasuk ke dalam pengalaman weness (ke-kita-an) dengan para penumpang lain. Itu tak perlu dipikirkan, sebab esok akan terjadi lagi dan lagi. "Perjalanan bis ke kantor” adalah faktualitas yang bisa dilibati setiap orang (man kann immer wieder) dan berulang secara rutin (und so weiter). Oleh Schutz, pengalaman ini disebut ”tipifikasi” yang menduduki status a priori dalam pengalaman sosial kita. 

Anti sikap natural di sini berarti bahwa peneliti mengadakan suatu self-questioning terhadap dunia kesehariannya yang ”faktual” itu untuk menemukan awal mula pembentukan dunia objektif itu dalam kesadaran subjek sosial. Dalam arti ini, Maurice Natanson menyebut fenomenologi sebagai the sciences of beginnings, sebab meneliti dasar-dasar primordial dari pembentukan pengalaman mengenai dunia objektif, seperti institusi sosial, status sosial, peran sosial, dan kelas sosial.[21] Sukses fenomenologi dalam mendekati kenyataan sosial adalah kemampuannya melalui metode reduksi fenomenologis tersebut untuk mengembalikan objektivitas pada dunia penghayatan langsung para pelaku sosial, yang sejak Husserl disebut Lebenswelt (dunia-kehidupan) dan yang oleh Schutz disebut social-world (dunia-sosial). Sebagai usaha mempertahankan Logos dalam modernitas, fenomenologi berhasil memperlihatkan sisi-sisi pra-reflektif kehidupan sehari-hari yang membentuk pengalaman mengenai modernitas ini sebagai a shared public world. "Tugas fenomenologi adalah ”deskripsi” atas sejarah Lebenswelt tersebut untuk menemukan "endapan makna” yang merekonstruksi kenyataan sosial sehari-hari. Di sini objektivisme dilampaui, namun fenomenologi, khususnya Husserl, tidak beranjak dari saintisme, karena ingin menjadi rigorous science tentang ”fenomen apa adanya” dari sudut pandang suatu subjek intensional (kesadaran). Bahkan, fenomenologi sosial Schutz, seperti ditunjukkan Susan Hekman, meskipun sudah menampilkan aspek intersubjektif, masih memahami ”makna” dari sudut intensionalitas (kesadaran) individual.[22] Di sini, bersama Teori Tindakan, fenomenologi masih terperangkap dalam konsep pengetahuan ala Pencerahan, yaitu paradigma individualistis, dan dikotomi subjek-objek. 

Dilthey, Gadamer, dan Hermeneutik Makna 

Kekurangan fenomenologi, yaitu "absennya dialog” dalam penciptaan makna, dilengkapi oleh pendekatan ketiga: hermeneutik. Semula hermeneutik adalah "tafsir teks Kitab Suci”, tetapi kemudian Wilhelm Dilthey memakainya sebagai metode bagi Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu kemanusiaan). Menurutnya, objek ilmu tersebut adalah ”ekspresi-kehidupan” (Lebensaeusserung), seperti konsep, tindakan, penghayatan (Erlebnis) manusia. Objek ini didekati dengan Verstehen (memahami). Verstehen muncul dari kepentingan praktis manusia untuk mengkomunikasikan maksud masing-masing. Dalam masyarakat, maksud-maksud para individu telah menjadi jaringan otonom yang disebutnya "pikiran objektif” (objektif-ver Geist), misalnya hukum, negara, agama, adat, dan seterusnya. Pikiran objektif ini menjadi medium seorang peneliti untuk melakukan Verstehen atas ” ekspresi-kehidupan” masyarakat. Menurut filsuf ini, Verstehen atas makna objektif itu dilakukan dengan re-living atau re-experiencing, yaitu mereproduksi makna sebagaimana dihayati oleh penciptanya. Misalnya, kalau mau memahami maksud sebuah teks (misalnya, surat Luther), peneliti harus melukiskan seutuh-utuhnya maksud pengarang seolah-olah peneliti mengalami peristiwa-peristiwa historis seperti yang dialami pengarang.[23] Meskipun berhasil memberi metode khas bagi ilmu-ilmu sosial, dengan konsep "reproduksi makna” itu hermeneutik Dilthey belum bebas dari cacat saintisme dan objektivisme zaman Pencerahan.[24] Kelemahan ini telah diperbaiki oleh Hans-Georg Gadamer dalam bukunya yang termasyhur, Wahrheit und Methode (Kebenaran dan Metode). Gadamer berusaha keras untuk mengatasi konsep pengetahuan ala Pencerahan yang masih dianut oleh ilmu-ilmu sosial modern. Objektivisme dan saintisme yang masih menyelimuti Teori Tindakan, fenomenologi, dan hermeneutik Dilthey, dianggapnya merupakan akibat dari "eliminasi prasangka” sejak Pencerahan. Proses tersebut berlangsung dalam rasio historis. Riset sejarah, misalnya, berusaha memahami tradisi secara objektif, yaitu tanpa prasangka. Kebenaran tradisi diuji di depan rasio dengan menyingkirkan elemen-elemen autoritas yang melekat di dalamnya. Gadamer berpendapat bahwa eleminasi prasangka dalam riset historis dimungkinkan karena modernitas kita ini mengandung sebuah prasangka, yaitu prasangka bahwa prasangka harus diatasi.[25] Sebab itu, Logos atau rasio tidak hanya mengandung prasangka, namun juga dimungkinkan olehnya. Atas dasar rehabilitasi prasangka itu, Gadamer lalu berpendapat, bahwa dalam riset historis berlaku apa yang disebutnya Wirkungsgeschichte (sejarah efektif), yaitu kenyataan bahwa tindakan peneliti maupun pelaku sama-sama merupakan tindakan historis yang berada dalam kontinuitas sejarah, hingga riset menghasilkan efek dalam sejarah.[26] Jika demikian, objektivisme suatu riset diam-diam menyembunyikan keterlibatan historis. Karena itu, tak ada jalan lain dalam ilmu-ilmu sosia kecuali mengeksplisitkan wirkungsgeschichtlichers Bewusstsein (kesadaran sejarah efektif). Ini berarti peneliti tidak lebih ungguI dari pelaku, dan pengetahuan sejarah hanya mungkin dicapai lewat pemahaman hermeneutis timbal-balik. 

Sementara fenomenologi cenderung bersifat transendental, karena mencari eidos (hakikat) universal dari fenomen, hermeneutik Gadamer cenderung pada imanentisme epistemologis. Karena rasio tak pernah sepi prasangka, pengetahuan tak pernah melampaui sejarah dan tradisi. Karena sejarah dan tradisi merupakan anyaman dialog dan wawancara, pengetahuan tak pernah melampaui conversation that we are.[27] Itu berarti bahwa kita adalah bahasa atau, lebih tegas lagi, ”teks” dan realitas berlansung dalam bahasa. Pengaruh Heidegger yang menegaskan bahwa bahasa adalah "rumah Ada” sangat jelas di sini. Dengan kesimpulan ini, hermeneutik Gadamer menjadi hermeneutik ontologis. Hermeneutik adalah hakikat segala pemahaman bukan hanya pemahaman dalam ilmu-ilmu sosial, melainkan juga ilmu-ilmu alam. Hermeneutika ontologis ini tak mengenal telos (tujuan) sejarah. Karena rasio historis selalu berubah sesuai konteks ruang dan waktu, mustahil mengarahkannya ke pada satu tujuan objektif, misalnya Kebenaran objektif. Yang berlangsung dalam sejarah adalah kreativitas hermeneutis dan fusi horizon-horizon pen: etahuan. Artinya, kebenaran itu lebih merusakan invention dari pada discovery. Pada pokok ini, Gadamer sejalan dengan banyak pemikir postmodern, dan menggiring kita ke pada relativisme. 

Revitalisasi Logos: Teori Kritis dan Rekonstruksi Teori Sosial Modern 

Pendekatan mutakhir yang paling berpengaruh dalam ilmu-ilmu sosial modern adalah Teori Kritis yang bukan hanya mengenal ketiga pendekatan di atas, melainkan juga menghasilkan rekonstruksi rasional yang subtil bagi ketiganya, tanpa mengecualikan teori sistem yang berhaluan positivistis. Tokohnya yang terbesar di sini adalah Jurgen Habermas. Dengan Teori Kritisnya, Habermas berusaha memberikan pemahaman yang sangat mendalam mengenai hakikat modernitas dan produksi-produksi kulturalnya, khususnya ilmu-ilmu sosial. Yang sangat menarik dari Teori Kritisnya adalah kegigihannya untuk menyelamatkan elemen-elemen kritis emansipatoris dalam teori-teori sosial modern, dengan sebuah asumsi bahwa Pencerahan Barat bukan hanya mengandung ciri patologis, melainkan juga penemuan dan peningkatan diri (individuasi) dan pendewasaan kehidupan sosial (sosialisasi) yang universal. Ambiguitas ini juga ditanggung oleh ilmu-ilmu sosial modern. Karena menggunakan apa yang disebut "paradigma filsafat kesadaran”, ilmu-ilmu ini menyingkirkan potensi komunikatif masyarakat. Sebab itu Habermas berusaha menyusun ilmu-ilmu sosial modern ke dalam matriks Teori Tindakan Komunikatif. 

Dalam kerangka narasi kita mengenal pertarungan Mitos dan Logos di atas, Habermas secara sangat meyakinkan telah menemukan penyebab metamorfosis Logos menjadi Mitos, atau apa yang oleh kedua seniornya, Horkheimer dan Adorno, disebut "dialektika Pencerahan”. Logos mengubah perawakannya menjadi Mitos, karena Logos dipahami sebagai "rasio instrumental”, yaitu kemampuan akal budi kita untuk mengontrol proses-proses objektif melalui kerja (Arbeit). Padahal, menurutnya, Logos itu juga "bahasa” dan komunikasi, maka juga merupakan "rasio komunikatif,” yaitu kemampuan akal budi kita untuk memahami maksud-maksud orang lain secara timbal-balik (Kommunikation).]28] Proses rasionalisasi pertarungan Mitos dan Logos tak perlu merupakan sejarah dominasi dan teror, kalau pencapaian Logos dipahami sebagai proses diskursus argumentatif, di mana argumen yang lebih baik, yaitu yang menghasilkan klaim-klaim kesahihan (Geltungsanspruche/validity claims), dapat diterima tanpa paksaan, sampai munculnya gangguan baru dalam konsensus. Ketika konsensus merupakan pseudo-komunikasi atau dominasi, Logos tampil sebagai kritik untuk menyingkirkan distorsi-distorsi.[29] Dengan proyeknya itu, Habermas berusaha menampilkan kembali Logos dengan segala kesegaran dan kemudaannya dalam membasmi Mitos yang operasional dalam komunikasi sosial. 

Teori Tindakan Komunikatif membuat distingsi antara System (sistem) dan Lebenswelt (dunia-kehidupan), dua matra kehidupan sosial yang menandai modernitas.[30] Ilmu-ilmu sosial positivistis dapat bermanfaat untuk meneliti proses-proses sistemik yang ”kuasi-obektif”, seperti sistem ekonomi modal (modal) dan birokrasi negara (kuasa) yang bekerja menurut logika rasio intrumental. Namun, pendekatan macam itu tidak boleh melanda batas-batasnya ke dunia-kehidupan sosio-kultural (solidaritas), karena tumpang tindih inilah yang disebut ”Saintisme”.[31] Yang terjadi dalam Lebenswelt adalah proses-proses komunikasi intersubjektif, dan ini dapat didekati dengan fenomenologi sosial dan hermeneutik. Apa yang disebutnya ”ilmu-ilmu sosial kritis” atau Teori Tindakan Komunikatif” bersifat kritis terhadap pendekatan-pendekatan Parsonian dan Weberian, manakala tidak lagi sensitif terhadap paradoks-paradoks perkembangan masyarakat (rasionalisasi) dan asal-usulnya. Selain itu, ilmu-ilmu ini juga kritis terhadap fenomenologi dan hermeneutik, manakala kehilangan kepekaannya terhadap intersubjektivitas.[32] Sementara fenomenologi masih terperangkap dalam filsafat kesadaran (dikotomi subjek-objek) yang tidak mengenal dialog untuk menemukan ”eidos,” hermeneutik tidak curiga bahwa dialog bisa berupa pseudo-komunikasi dan paksaan-paksaan (tertutup/terbuka) untuk konsensus. Di sini, berbeda dari Gadamer, Habermas meyakini aspek normatif modernitas, yaitu "demokrasi radikal” atau masyarakat yang berkomunikasi bebas-dominasi. 

Pembunuhan Logos: Pasca-strukturalisme/ Pasca-modernisme

Upaya gigih untuk merekonstruksi ilmu-ilmu sosial yang dapat mendorong transformasi sosial yang bermakna dalam kerangka modernitas mendapat tantangan yang sangat radikal dari aliran yang menyebut diri ”pasca-strukturalisme” Prancis, dengan tokoh-tokohnya yang terpenting Michel Foucault dan Jacques Derrida. 

Aliran ini sangat penting dalam diskursus modernisme/pasca-modernisme karena membentuk sebagian besar matriks pemikiran pasca-modern. Para pemikir pasca-modern, seperti Baudrillard, Gilles Deleuze, Guattari, Julia Kristeva, tidak asing dengan aliran yang mencurahkan perhatiannya pada problematik yang sudah dibuka oleh Gadamer dan Heidegger ini, yaitu problematik ”bahasa” dan ”teks”. Seperti kebanyakan pasca-modern lain, aliran ini pun merupakan ahli waris filsafat besar Jerman abad ke-19, Friedrich Nietzsche.[33] Di samping pasca-strukturalisme, pragmatisme Amerika juga telah melahirkan seorang pasca-modernis dalam epistemologi, yaitu Richard Rorty. 

Derrida dan Dekonstruksi 

Problematik "teks” dan "bahasa” tidak bisa dianggap sepi oleh ilmu-ilmu sosial, sebab sejak strukturalisme Saussure dan Levi-Strauss, linguistik (ilmu bahasa) dipandang sebagai kunci bagi filsafat dan ilmu-ilmu sosial, seperti juga matematika bagi ilmu-ilmu alam.[34] Realitas (sosial) adalah ”teks” atau ”bahasa”, dan bahasa selalu memiliki dua sisi: bahasa sebagai parole (tuturan percakapan lisan/sisi eksekutif bahasa) dan sebagai langue (sistem tanda/ tata bahasa), dan sebagai "tanda” (sign), dalam bahasa ada dua aspek: "penanda” (signifer) dan "petanda” (signified). 

Sejak strukturalisme, sudah muncul pendapat bahwa bahasa sebagai sistem tanda bersifat arbiter. Tidak ada alasan, mengapa suatu benda kita sebut ”kursi” dan bukan "kue”. Tanda itu ditetapkan begitu saja entah mengapa. Suatu tanda mendapat maknanya karena perbedaannya dengan tanda-tanda lain, misalnya kata ”pohon” mendapat maknanya karena berbeda dari "batu”, “sungai”, “semak”, dan seterusnya. Kalau demikian, seperti juga relasi antara penanda dan petanda bersifat arbiter, relasi antarkata, antarkalimat, dan seterusnya dalam sistem bahasa juga arbiter. Dan jika realitas adalah ”teks”, totalitas suatu realitas (entah itu masyarakat, kebudayaan, bahasa, dst.) adalah suatu struktur relasi-relasi antarkomponen yang berbeda-beda. Singkatnya, suatu structure of difference. Satukah langkah lagi dapat disimpulkan bahwa "pikiran” atau Logos tidak pernah berkorespondensi dengan kenyataan, sebagaimana diyakini oleh kaum modernis. Itu berarti setiap klaim kebenaran bisa disangsikan secara mendasar. 

Langkah itu diambil oleh Derrida, yang meradikalkan tiga konsep strukturalis di atas, yaitu ciri arbiter dari tanda, konsep perbedaan, dan ciri relasional dari totalitas.[35] Derrida termasyhur dengan penolakannya atas apa yang disebutnya "Metafisika Kehadiran”. Seluruh tradisi pemikiran Barat, yang dalam narasi kita berupa pertarungan Mitos dan Logos, adalah sebuah Metafisika Kehadiran, seperti pernyataan berikut ini. 

”.... anggapan mengenai ada sebagai kehadiran dalam segala kepenuhan arti dari kata ini. Mungkinlah memperlihatkan bahwa segala istilah yang berkaitan dengan dasar-dasar, asas-asas, atau pusat senantiasa melukiskan suatu kehadiran yang tetap — eidos, arche, telos, energeia, ousia (hakikat, eksistensi, substansi, subjek), aletheia, transendentalitas, kesadaran atau suara hati. Allah, manusia, dan seterusnya.”[36]

Kalau demikian, Derrida bukan hanya meninggalkan modernitas dengan pertarungan klasiknya itu, melainkan juga berusaha membunuh kedua pahlawan narasi kita, Mitos dan Logos, dengan menghampakan jatidiri keduanya. 

Ada dua ide penting Derrida yang sangat berpengaruh, yaitu radikalisasi konsep difference menjadi diffrance — neologi ciptaannya sendiri dan prioritas tulisan (ecriture) atas percakapan.[37] Konsep differance tidak hanya menentukan makna, namun juga kenyataan. Differance berarti baik ”to differ” (membedakan/ spasial) maupun ”to defer” (menunda/temporal). Jadi, pemaknaan suatu kenyataan berlangsung dengan ”membedakan” sekaligus "menunda” makna yang diperolehnya. Itu berarti bahwa kita tak pernah dapat mengidentifikasi makna kenyataan. Pengartian, dan juga pengertian, bukanlah korespondensi (kesesuaian) dengan objek. Lalu, bagaimana munculnya pengetahuan dapat dijelaskan? Menurut Derrida, kita hanya menangkap atau mengenali "jejak” atau bekas” (trace) dari proses differance itu, seperti jejak-jejak ingatan pada otak, suara yang melenyap sesudah diucapkan. Implikasi pandangan ini bagi ilmu-ilmu sosial dan filsafat cukup jelas: keduanya hanya menangkap trace, maka klaim-klaimnya tidak pernah berkorespondensi dengan objeknya. Dengan lain kata, Kebenaran tak pernah dicapai. 

Pendirian itu lebih jelas lagi dalam prioritas tulisan atas percakapan. Dalam Grammatology, Derrida berpendapat bahwa Metafisika Kehadiran sudah melekat pada bahasa percakapan, sebab dalam percakapan si penutur, tanda, dan makna (acuan tanda) hadir sekaligus. Dalam percakapan, bahasa ”dipersonalkan” dengan kesadaran penuturnya, padahal menurutnya bahasa itu anonim. Bahasa primordial sebenarnya bukan percakapan, sebagaimana diyakini banyak filsuf, melainkan bahasa tulisan atau archiecriture (tulisan-purba). Tidak seperti dalam percakapan, dalam tulisan tak ada kaitan antara tanda, acuan makna, dan kesadaran penulis. Dengan pendirian ini, dia sebenarnya mau meradikalkan sifat arbiter dari tanda. Oleh sebab itu, kalau kenyataan dipandang sebagai ”teks” teks itu dapat ditafsirkan dalam relasinya dengan teks-teks lain (intertekstualitas) sampai tak terhingga, dan tak ada alasan untuk merujuk pada suatu "teks asli” (yang ditulis oleh Allah?) sebab teks itu dianggap sudah hilang (lost text). Dengan kata lain, setiap upaya untuk merekonstruksi sebuah teks ”asli” harus dibongkar dan direlatifkan terhadap teks-teks lain, yaitu didekonstruksi. Implikasi epistemologis dekonstruksi dan intertekstualitas kiranya juga jelas, yaitu pengaburan demarkasi Mitos dan Logos, fiksi dan pengetahuan, prasangka dan objektivitas, sastra dan sains, dan seterusnya sebab yang satu tidak lebih benar dari yang lain dan klaim kebenaran salah satu hanyalah absolutisasi suatu trace. Karena itu, dengan visi yang sama, Lyotard juga menyebut filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern sebagai Grandnarrative (cerita agung) yang tidak lebih baik atau lebih buruk daripada Mitos. 

Foucault dan Genealogi 

Minat Derrida sesungguhnya lebih menyentuh metafisika daripada ilmu-ilmu sosial. Karena itu, hubungannya tidak langsung, dan tetap ada celah kosong di antara metafisika dan ilmu-ilmu sosial, yaitu basis empiris. Celah ini diisi oleh Michel Foucault. Filsuf ini menolak baik positivisme maupun teori-teori sosial alternatif yang berbau humanisme, seperti pendekatan Weberian, Husserlian, dan Habermasian yang kita bicarakan di atas. 

Kalau ada pusat dalam pemikirannya, pusat itu sama seperti Derrida, yaitu bahasa dan teks, yang kali ini tampil dalam "teori diskursus”. Menurutnya, diskursus, antara lain yang dipraktekkan dalam ilmu-ilmu sosial dan sains, adalah yang paling bertanggung jawab atas penciptaan objek dan subjek epistemologis, khususnya subjek "manusia”.[38] Sejalan dengan Gadamer dan Derrida, dia juga memandang kenyataan sebagai teks, dan baginya, teks ini juga tanpa pengarang (subjectless). Sebagai sistem tanda, subjek ”aku” mendapatkan maknanya dengan membedakannya dari "kamu”, ”kita”, ”dia”, ”mereka”, dan seterusnya, maka subjek sebenarnya anonim dan tercipta melalui proses percakapan.[39] Pandangan ini disebut the decentring of the subject, pandangan yang sudah tumbuh sejak Saussure. 

Berbeda dari Derrida, teori diskursus Foucault bukan hanya bersifat linguistik, melainkan juga politik, sebab dia berpendapat bahwa diskursus, seperti dilaksanakan dalam ilmu-ilmu sosial dan praktek-praktek sosial adalah suatu jaringan praktek pengetahuan sekaligus kekuasaan.[40] Diskursus menciptakan subjek (ilmu-ilmu sosial) sekaligus objeknya (penyakit, rakyat, dan seterusnya). Dalam Madness and Civilization (1973), dia menjelaskan bagaimana pertumbuhan psikiatri sejak abad ke-17 erat kaitannya dengan praktek-praktek eksklusi dan terapi kegilaan. Kegilaan mau dihapus dari wilayah rasio dengan menganggapnya abnormal, padahal di zaman Renaisans masih terjadi dialog antara rasio dan kegilaan yang sering didengarkan sebagai unsur tragis, bahkan profetis. Tesis tentang hubungan ilmu-ilmu sosial dan teknologi dominansi dipertahankan juga dalam Discipline and Punishment (1977). Di dalamnya, dia memperlihatkan bagaimana kelahiran penjara modern berhubungan dengan pengukuhan kedaulatan negara yang memegang monopoli kekerasan atas warganya. Untuk praktek dominasi itu, dibentuklah sistem administrasi sentral, yang kemudian menumbuhkan ilmu-ilmu seperti statistik, demografi, dan seterusnya. Bahkan, psikoanalisis pun dilihatnya sebagai teknologisasi praktek pengakuan dosa dalam agama Katolik. Dengan risetnya itu, sejalan dengan Nietzsche, dia ingin menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sosial tak kurang dari perwujudan the will to power yang sekarang bernama the will to truth. 

Riset Foucault kelihatannya tak jauh berbeda dari kritisisme modernis. Habermas sendiri menyebutnya sebagai semacam Tiefenhermeneutik (hermeneutik-dalam) dalam psikoanalisis dan kritik-ideologi.[41] Dalam Archaeology of Knowledge (1972), Foucault mengeksplisitkan metodenya, yang sebenarnya menolak keras tema-tema modern, seperti refleksi-diri, subjektivitas, pencarian asal-usul, dan humanisme, maka dia menolak baik strukturalisme dan positivisme maupun alternatifnya, seperti hermeneutik makna yang juga masih diteruskan dalam Teori Kritis.[42] 

Mengikuti Nietzsche, metodenya ia sebut ”genealogi”.[43] Genealogi Foucault adalah semacam sejarah yang melukiskan pembentukan macam-macam pengetahuan, diskursus, objek-objeknya, dan seterusnya. Namun, sejarah ini tidak memburu makna berdasarkan kontinuitas kausal yang mengarah kepada suatu telos. Genealogi justru merupakan pemutusan (rupture) kontinuitas sejarah, yang oleh Gadamer disebut Wirkungsgeschichte (sejarah efektif) itu. Karena anggapan mengenai kontinuitas sejarah dihasilkan oleh subjek historis, yaitu sejarahwan atau masyarakat pengingatnya (baca: pengarang teks), pemutusannya adalah suatu decentring of the subject, penghapusan subjek itu sendiri. Jadi, historiografi Foucault adalah suatu sejarah tanpa subjek. Alasannya sejak awal sudah jelas: subjektivitas hanya menggiring kita pada dominasi, maka setiap upaya merestorasi Logos adalah berbahaya. 

Dalam The Order of Things, Foucault mempraktekkan genealogi itu.[44] Di zaman Renaisans, tulisnya, benda-benda diatur menurut hubungan-hubungan kesamaan (semilarity): benda yang satu diacu dengan benda yang lain. Mulai abad ke-16 dan 17, susunan itu berubah: benda-benda diubah menjadi representasi atau sistem tanda. Dalam susunan ini, manusia belum muncul, masih sejajar dengan benda-benda, sebab representasi manusia identik dengan benda-benda. Mulai abad ke18, Kant mempersoalkan batas-batas kemampuan representasi. Penemuan batas-batas ini bukan hanya destruksi metafisika, tetapi juga penemuan suatu agen yang menghasilkan representasi, yaitu kesadaran diri. Inilah awal antroposentrisme Barat. Sebab itu, Foucault mengatakan bahwa manusia ditemukan karena perubahan susunan kata-kata dan benda-benda. Sekarang, dengan penghapusan subjek sejarah itu, Foucault juga memproklamasikan ”kematian manusia”, sebab subjectum mengandung pemerasan-pemerasan, dominasi, dan teror. Dengan membasmi subjek sejarah, satu langkah lagi Foucault menyudahi filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern, sebab dua bentuk pengetahuan ini dihasilkan oleh suatu keyakinan akan adanya subjek. 

Rorty dan Kesudahan Epistemologi 

Langkah itu sebuah langkah epistemologis, dan ini diambil oleh seorang pragmatis Amerika, Richard Rorty. Berbeda dari para pasca-strukturalis, dalam bukunya yang termasyhur, Philosophy and the Mirror of Nature, dia ingin menyudahi apa yang disebutnya epistemology centered philosophy atau tradisi Cartesian-Lockean-Kantian. Epistemologi didefinisikannya sebagai berikut: 

”... sebagai pencarian, yang dirintis oleh Descartes, untuk menemukan hal-hal yang istimewa dalam wilayah kesadaran yang merupakan batu penjuru kebenaran”.[45]

Epistemologi, jika demikian, adalah suatu pencarian fondasi kenyataan, dan Rorty berusaha membuktikan bahwa pencarian macam itu keliru sebab mendasarkan diri kepada asumsi bahwa filsafat dapat mencerminkan alam (mirror of nature). Menurutnya, dewasa ini adalah "the end of philosophy (as epistemology)”.[46]

Untuk memusnahkan epistemologi, dia memakai istilah Gadamer, yaitu ”hermeneutik”, Hermeneutik baginya, bukan suatu disiplin metode alternatif bagi epistemologi, ataupun program riset, melainkan ”... suatu ungkapan pengharapan bahwa ruang kultural yang disisakan oleh kesudahan epistemologi tidak akan terisi.”[47] Kekosongan itu adalah ketiadaan fondasi atau kerangka permanen. Jika demikian, hermeneutik tidak mengandaikan "rasionalitas atau fondasi bersama” yang akan mendasari konsensus, sebab baginya setiap sumbangan dalam diskursus bersifat incommensurable (tak terbandingkan). Tanpa fondasi itu, kita hanya bisa berharap akan terjadinya konsensus, atau setidaknya disensus yang kreatif. Dengan alasan-alasan ini, Rorty membela apa yang disebutnya edifying philosophers, yaitu mereka yang bukan mencari fondasi akhir pengetahuan, melainkan meneruskan conversation of mankind. Mereka antara lain adalah John Dewey, Nietzsche, Wittgenstein, Heidegger, Gadamer, dan Derrida.[49] Mereka ini tidak melakukan — meminjam istilah Kuhn — "diskursus norma”, melainkan "diskursus abnormal” yang hasilnya merentang dari nonsense sampai revolusi intelektual tak terduga. Epistemologi melakukan diskursus normal, sebab mengandaikan adanya konvensi-konvensi tetap, sedang hermeneutik melakukan diskursus abnormal, sebab menyingkirkan konvensi-konvensi itu.[50]

Sesudah Logos: Gulita Malam Nihilisme dan Relativisme? 

Jika kita kembali kepada narasi kita di atas, Logos yang ditolak oleh Derrida, Foucault, Rorty, dan kaum pasca-modernis lainnya, bukanlah pemikiran pada umumnya — sebab filsafat mereka tetap merupakan pemikiran — melainkan pemikiran yang cenderung mencari fondasi akhir kenyataan atau apa yang termasyhur dengan istilah "filsafat kesadaran”. Filsafat kesadaran, atau pemikiran yang membuat dikotomi subjek-objek ini telah menjadi paradigma utama filsafat dan ilmu-ilmu sosial sejak Descartes dan Auguste Comte. Paradigma berpikir macam ini telah menghasilkan rasionalitas yang sangat berbahaya karena wataknya yang totaliter dan katastrofik, entah itu bernama Metafisika Kehadiran, Logosentrisme (Derrida), homogenisasi (Bataille), Zwectrationalitat (Weber/Habermas), reifikasi (Lukacs), Geste// (Heidegger), atau antroposentrisme (Foucault). Logos dalam arti inilah yang dikritik oleh pasca-modernisme, sehingga bersama Bernstein kita dapat mengatakan bahwa dewasa ini terjadi "kemurkaan terhadap rasio”. Pertanyaan kita lalu adalah bagaimanakah Stimmung (Heidegger) pasca-modernisme dalam ilmu-ilmu sosial ini dapat ditanggapi. 

Pertama-tama kita dapat belajar banyak dari kritik pasca-modern terhadap ilmu-ilmu sosial modern, bahwa setiap upaya rekonstruksi rasional suatu teori sosial, kalaupun tidak secara eksplisit, secara implisit rentan untuk terpeleset ke dalam saintisme ataupun epistemologi (menurut pengertian Rorty). Akibatnya, ilmu-ilmu sosial mengandung bahaya normalisasi dan dominasi, karena menyingkirkan aspek-aspek sosial yang berada di luar wilayah rasionalitasnya (Foucault). Dengan mencari fakta positif (Comte dan Lingkungan Wina), eidos (fenomenologi), makna (hermeneutik), dan tindakan sosial (teori tindakan), segala kenyataan lain di pinggirnya cenderung disingkirkan sebagai non-realitas atau bukan Kebenaran. Dalam arti ini ilmu-ilmu sosial merupakan penampilan Metafisika Kehadiran dan Logosentrisme Barat (Derrida). 

Kritik pasca-modern ingin menolak sama sekali kepercayaan kita akan Kebenaran, sebab dengan kedok retorika Kebenaran, tindakan-tindakan totaliter dapat dibenarkan. Ini terjadi dalam zaman agama, dan juga dalam zaman sains. Seakan menelanjangi teror-teror bertopeng Kebenaran, kritik pasca-modernisme membuat kita semakin berhati-hati dan waspada terhadap bahaya-bahaya konseptualisasi Kebenaran, entah dalam wujud Agama, Sains, ataupun Ideologi yang cenderung mentotalisir segalanya menjadi "yang Sama” (the Same) dan mengeliminasi ”yang Berbeda” (the Other). Pasca-modernisme, bahkan mungkin, dapat membuat filsafat dan ilmu-ilmu sosial lebih bersahaja dalam kehidupan yang serba majemuk ini. 

Meskipun demikian, kritik total dari pasca-modernisme tersebut mengandung masalah yang serius. Jika kepercayaan akan Kebenaran dilenyapkan, apakah kritik pasca-modern itu masih bisa disebut ”kritik”? Bukankah suatu kritik atas Kebenaran mengasumsikan suatu kepercayaan akan Kebenaran tertentu, sekurang-kurangnya kebenaran isi kritik itu? Persoalan ini dilontarkan dengan kata-kata lain oleh Habermas, bahwa sebuah kritik atas rasionalitas (ilmu-ilmu sosial) tidak bisa tidak mengandaikan kepercayaan akan rasio yang mungkin menjadi kritis.[51] Kritikus-kritikus Foucault dan Derrida rupanya menemukan asumsi implisit itu dalam pekerjaan mereka. 

Dengan genealoginya, Foucault berusaha menemukan relasi-relasi objektif dalam kenyataan sosial, dan sebenarnya dia memiliki keinginan untuk menganalisis relasi-relasi diskursif itu secara "ilmiah”. Dreyfus dan Rabinow menamakan perspektif implisit yang tidak disadari oleh Foucault sendiri ini "positivisme fenomenologis”. Jadi, bagaikan seorang arkeolog, dia berhasil menyelidiki pola-pola diskursus, tetapi sang arkeolog tidak menyadari peranannya, mungkin karena dia begitu terobsesi untuk melenyapkan subjek.[52] Dengan dekonstruksinya, Derrida telah melenyapkan rujukan (baca fondasi) kenyataan, dan rmenggantinya dengan intekstualitas dan multi-interpretabilitas, sebab katanya, tak ada "teks asli” (fondasi). Bukankah pernyataan itu sebuah pengetahuan metafisis (yang yakin diri) tentang tidak adanya fondasi. Habermas mengatakan bahwa Derrida mewarisi kelemahan kritik atas metafisika, yaitu ingin menjadi prima philosophia tentang the lost text.[53] Rorty terlalu jauh menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial dan filsafat pasti bersifat fondasionalistis, padahal sekurang-kurangnya " filsafat” Rorty tentang kesudahan filsafat itu sendiri, seperti dikatakan Gary B. Madison, merupakan sebuah "filsafat anti-fondasionalis”.[54] Agaknya ketiga pioner pasca-modernisme ini, seperti dikatakan oleh Habermas, masih tergelincir ke dalam paradigma filsafat kesadaran yang ditolaknya. Bahwa paradigma ini masih mengurung mereka, kelihatan ketika kritik mereka diarahkan kepada pendekatan mereka sendiri: kritik itu menikam dirinya sendiri! 

Mungkin dalam arti pemikiran pasca-modern hanyalah sebuah Stimmung yang cenderung destruktif, tak pernah berhasil mengeksplisitkan basis normatifnya, ditandai oleh keterputusan-keterputusan teoretis, dan seterusnya. Konsekuensi epistemologis dari destruksi Logos, seperti dilihat banyak kritikus, adalah nihilisme dan relativisme, sedang konsekuensi sosiologisnya adalah neo-konservatisme dan anarkisme. Mereka bersifat nihilis karena menghapus segala makna dan kebenaran (termasuk makna dan kebenarannya sendiri), maka tak ada alternatif yang mereka tawarkan. Kalau pun tidak nihilis, mereka bersikap relativis, sebab telah mengganti Kebenaran (K besar) dengan kebenaran (k kecil), yang sebenarnya hanyalah fiksi-fiksi lokal dan personal belaka. Mereka disebut anarki sebab selalu ingin menolak segala sesuatu yang mau memapankan kenyataan sosial. Betapa pun ”baik” dan ”benar”-nya, bukan hanya stabilitas, tetapi juga alternatif selalu mengandung bahaya. Ironisnya, dengan cara itu, mereka malah dikritik sebagai neokonservatif, sebab mempertahankan apa yang sudah ada (sebab tak punya alternatif, bahkan anti-alternatif ?).[55]

Orang bisa saja menyebut diskursus modernisme/pasca-modernisme akhir-akhir ini sebagai semacam mode, ataupun Stimmung, seperti yang pernah terjadi dengan eksistensialisme di waktu-waktu yang silam. Meski demikian, beberapa intelektual Barat sendiri melihat diskursus ini menandai suatu krisis intelektual dalam ilmu-ilmu sosial dan alam pikir modern sendiri. Dalam krisis itu pasca-modernisme ingin sama sekali meninggalkan modernitas dan ilmu-ilmu sosialnya. Masalahnya, apakah pasca-modernisme sudah cukup jeli menangkap ciri paradoksal dari modernitas sendiri? Habermas, kritikus pasca-modernisme yang sangat berpengaruh dewasa ini, dalam The Philosophical Discourse of Modernity, menanggapi bahwa pasca-modernisme memang berhasil menggali dasar-dasar modernitas, tetapi gagal menemukan perbedaan antara segi-segi emansipatoris dan segi-segi represifnya yang mengalienasikan.[56] Kalau Logos atau rasionalitas berciri paradoksal, adalah tugas kita, menurut Habermas membangun suatu ilmu-ilmu sosial yang dapat menyingkirkan segi-segi represif itu dengan mempertahankan isi normatif modernitas, yaitu rasionalisasi Lebenswelt dengan dasar rasio komunikatif. Karena itu, Habermas lebih melihat pasca-modernisme sebagai "simtom suatu krisis dalam sebuah paradigma modernitas,” yaitu "paradigma filsafat kesadaran”. Dengan kata lain, Stimmung ini, baginya, hanya menandai perlunya kita mengganti paradigma itu dengan paradigma modernitas yang lain, yaitu paradigma intersubjektivitas atau rasio komunikatif.

Sesudah diskursus modernisme/pasca-modernisme, kita mungkin tidak mendapatkan sebuah kesimpulan final, mungkin juga tidak bertambah bijaksana. Namun, barangkali saja kita akan semakin berhati-hati terhadap bahaya-bahaya intelectual hybris (keangkuhan intelektual) dan bertambah rendah hati terhadap segala upaya intelektual kita yang rupanya senantiasa dalam kegentingan dan kerentanan untuk terpeleset ke dalam palung nihilisme, relativisme, obskurantisme, dan irasionalisme, atau terjerat ke dalam jaring-jaring totalitarianisme, teror, homogenisasi, normalisasi, dan seterusnya. Intelektualitas bukannya untuk dihapus dari peradaban umat manusia, melainkan untuk menghadapi dan menyadari sebuah bahaya yang kadang juga dilahirkannya sendiri. Pembaca yang budiman boleh tidak setuju dengan pernyataan Foucault dalam sebuah wawancara yang saya kutip di bawah ini, tetapi saya berpendapat bahwa pernyataan itu sangat menarik dan simpatik. Dia mengatakan sebagai berikut. 

”... Yang saya persoalkan bukanlah bahwa segalanya buruk, melainkan bahwa segala sesuatu itu berbahaya, yang tidak persis sama dengan buruk. Jika segalanya berbahaya, kita selalu memiliki sesuatu untuk dikerjakan”.[57]


(Sumber tulisan: F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 13-20).



_____________

Catatan kaki

1 Lihat RJ. Bernstein, The New Constellation, Cambridge: Polity Press-Basil Blackwell Ltd., 1991, hlm. 11-12

2 Lihat Guthrie, A History of Greek Philosophy, Jilid II, Cambridge, hlm. 10-11. 

3 Dugaan ini dikemukakan oleh J. Burnet dalam Early Greek Philosophy, hlm. 184-187. 

4 Lihat Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1975, hlm. 48. 

5 Bdk. Guthrie, op.cit, hlm. 28-29. 

6 Lihat Richards, Philosophy and Sociology of Science. Basil Blackwell, Oxford, hlm. 147-150. 


7 Lihat Sorrel Tom, Scientism, Routledge, London, 1991, hlm. 1. 


8 t Richards, op.cit, hlm. 137-138. 


9 Lita Hindess, EN Philosophy and Methodology in the Social Sciences, The Harvester Press, Sussex, 1977, hlm, 134-141. 4 

10 Lihat Richards, op.cit. hlm. 144-145. 

11 lihat 1b/d, hlm. 179-182, » 

12 That 19jd, hlm. 145. 

13 Lihat Adorno and Horkheimer, Dialcties of Enlightenment, New York, Herder & Herder, 1972, hlm. XVI. 

14 Lihat Hindess, B., op.cit., hlm. 24-30. | 

15 Lihat kid, him. 33, 38. 

16 Lihat Natanson, M. (ed), Phenomsala and tbe Social Sciences, North-Western University Press, 1973, hlm. 9.22 

17 Lihat ibid, hlm. 6. 

18 Tihat Hekman, S., op.r., hlm. 29. 233 

19 Lihat Dilthey, W.,”Hermeneutics of the Human Sciences, dalam: Miiller-Vollmer, K. (ed.), Tbe Hermenen#cs Reader, Oxford, Basil Blackwell, 1985, hlm. 159-161. 

20 Lihat Hekman, op.dr, hlm. 15. | 5 

21 Lihat Gadamer, H.G., "The Historicity of Understanding,” dalam: Muiiller-Vollmer (ed.), op.£., hlm. 260. 

26 T ihat ibid., hlm. 267-273. #A 

Lihat Habermas, "On Hermeneutics Claim to University”, dalam ibrd., hlm. 302. 

yi Liha t Habermas, Theory and Practice, London: Heinemann Ltd., la 974, hlm. 14271 53 

Lihat Habermas, Theory of Cormmunicatiue Action, Jilid I, Beacon Press, i Lo ima. A33 erkara, Diskursas 

2 Tihat Budi Hardim an, ”Mengatasi Paradoks Modernitas,” Ti Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 143-145. 

31 Untuk analisis soal ini, lihat Habermas, Toward a Rational Society, London: Heinemann, 1971, hlm. 81122 32 

Lihat Habermas, Theory of Communicative Action, jilid 11, hlm. 375-377. 33 

Lihat S.A. Erickson, ”Nietzsche and Postmodernity”, dalam Philosophy Today, Vol. 34, Summer 1990. 

ihat A. Giddens, ”Structuralism, Post-structuralism and the Production of Culture”, dalam Giddens & "Turner (ed.), Social Theory Today, California: Stanford Univ. Press, 1987, hlm. 196. 


ihat :bid. hlm 202. 'utipan diambil dari J. Strurrock (ed.), Structuralism and Since, Oxtord: Oxford Univ. Press, 1979, hlm. 161. 


37 Lihat Giddens, op.af, hlm. 202-205. 


38 Lihat Hekman, S., op.ci£, hlm. 173, dan Giddens, 

39 Lihat ibid., hlm. 206. . . . 


40 Lih at #bid. Lihat Hekman, :bid., hlm. 174.

4 Komentar ini diberikan Habermas dalam The Philosophical Discourse of Modernity, Massachuset: The MIT Press, 1987. 


2 Lihat Hekman, op.dt, hlm. 175. 


43 Lihat /bid, hlm. 176. 


# Uraian ini didasarkan pada Habermas, bid. 

45 Rorty, Philosophy and tbe Mirror of Nature, Oxford: Basil Blackwell, 1980, him. 210.

46 Lihat sbid, 

P' Lihat ibid, hlm. 315. 


A Lihat ibid, hlm. 318. 


P Lihat Hekman, op.at., hlm. 164. P Lihat Rorty, ibid, hlm. 320. 


51 Kritik ini disampaikan dalam The Philosophical Discourse of Modernity. 

Lihat Hekman, opa, hlm. 175. 


Lihat kritik Habermas atas Derrida dalam Habermas, ibid. 


Lihat G.B. Madison, ”Coping with Nietrzsche's Legacy” , dalam Pbilosophy Today, Spring 1992. Madison mengatakan, Rorty gagal melihat bahwa teori dan kriuk filosofis tidak perlu "fondasionalistis'. Saya melihat sekurangnya Rortwy sendiri mengembangkan model ini. 

55 Lihat Hilary Lawson & Lisa Appignanesi (ed.), Dismantiing Truth, New Yorki St. Martines's Press, 1989, hlm, xxvi, Salah seorang yang mengkritik pasca-modernisme sebagai neokonservatisme adalah Habermas. Untuk sikap curiga dari Foucault terhadap alrernatif, lihar Bernstein, op.@t, hlm. 157. 5 

56 Kritik Habermas dalam The Pbilasophical Discourse of Modernipy, NN