alt/text gambar

Senin, 10 Januari 2022

Topik Pilihan:

HUKUM ADALAH "IUS", BUKAN SEKEDAR "LEX"

 - 

Oleh: NANI EFENDI

 

Hukum yang saya maksud dalam tulisan ini adalah hukum positif yang berlaku di sebuah negara. Pertanyaan saya: wajibkah hukum dan negara selalu dipatuhi? Apakah segala yang sudah berdasarkan hukum itu juga benar secara moral? Ini pertanyaan yang sangat lama saya carikan jawaban. Saya menginginkan jawaban yang rasional. Bukan sekedar apa yang diketahui umum bahwa hukum harus dipatuhi dan dihormati. 

Ada banyak buku filsafat hukum maupun tulisan-tulisan tentang filsafat hukum yang saya baca, tapi tidak saya temukan jawaban dari pertanyaan ini. Terlebih buku-buku filsafat hukum yang saya beli di toko-toko buku. Semua pembahasannya standar saja. Tak begitu menggigit penjelasannya. Hasilnya, pertanyaan itu pun terus muncul di benak saya. Tak ada jawaban yang memuaskan.

Penjajah pun menggunakan hukum

Akhirnya, saya menemukan buku Franz Magnis-Suseno yang berjudul Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Buku yang ditulis oleh ahli filsafat itu, bagi saya, sangat luar biasa mencerahkan. Dan, sepengetahuan saya, ada banyak buku-buku bagus, yang ditulis oleh ahli-ahli yang hebat, memasukkan buku Magnis itu sebagai referensinya. Bahkan, permohonan pengujian UU oleh advokat di MK (Mahkamah Konstitusi) juga sering mengutip dan menjadikan buku itu sebagai rujukan. Luar biasa Magnis bagi saya. Dari buku itulah saya mendapatkan pencerahan luar biasa tentang hakikat hukum dalam masyarakat politik. 

Buku yang satu lagi yang cukup memberikan pencerahan dalam memahami substansi hukum adalah buku Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan. Dari buku-buku itu saya memahami bahwa ternyata tidak semua tindakan yang didasarkan atas hukum itu adalah tindakan yang baik dan benar. Ini mementahkan anggapan yang sudah klise di masyarakat bahwa jika segala sesuatu sudah berdasarkan hukum, maka sesuatu itu dianggap sudah benar, sudah baik, sudah adil. Padahal, belum tentu. Dalam sudut hukum positif mungkin ya, tapi dari sudut etika atau filsafat moral belum tentu benar.

Untuk memudahkan memahami, saya berikan beberapa contoh. Pertama, di zaman Nazi. Kebijakan Hitler terhadap warga Yahudi pada masa Nazi adalah benar secara hukum. Mengapa? Karena kebijakan itu didasarkan atas hukum. Jadi, bukan tidak ada dasar hukumnya. Adolf Hitler, sebagaimana saya kutip dari encyclopedia.ushmm.org, mengumumkan Undang-Undang Nuremberg pada 15 September 1935. 

Dua undang-undang terpisah ditetapkan oleh Nazi Jerman itu dinamakan Undang-Undang Nuremberg: Undang-Undang Kewarganegaraan Reich dan Undang-Undang Perlindungan Darah dan Kehormatan Jerman. Undang-undang inilah yang memberikan kerangka hukum untuk penganiayaan kaum Yahudi di Jerman pada masa pemerintahan Adolf Hitler. Artinya, kebijakan Hitler itu legal, bukan ilegal. Secara hukum, sah. Tapi dari sudut moral dan etika, tindakan itu tidak dapat dibenarkan. Ia bertentangan dengan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.

Kedua, politik Apartheid di Afrika Selatan. Apartheid adalah kebijakan politik rasial yang diterapkan di Afrika Selatan pada tahun 1948. Dalam buku Sejarah Afrika karya Darsiti Soeratman, disebutkan bahwa rezim Apartheid memberlakukan diskriminasi terhadap kaum kulit hitam Afrika Selatan melalui hukum negara. Jadi, secara hukum, kebijakan itu benar. Karena ada dasar hukumnya, yakni undang-undang negara. Tapi, lagi-lagi dari segi moral dan etika tindakan itu tidaklah benar alias jahat. Tokoh Afrika Selatan yang terkenal berjasa besar melawan politik Apartheid ini adalah Nelson Mandela.

Ketiga, di Hindia Belanda (sekarang bernama Indonesia), kebijakan-kebijakan penjajah kolonial Belanda masa lalu, juga ada landasan-landasan hukum yang dibuat sendiri oleh pemerintah kolonial. Malahan, pemerintah kolonial mempunyai sistem hukum yang sangat kuat. Ketentuan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa yang terkenal kejam di zaman penjajahan Belanda dulu ternyata dimuat dalam Lembaran Negara (Staatsblad), yakni Staatsblad Tahun 1834 No.22. Artinya, kalau sudah dimuat dalam Lembaran Negara atau Staatsblad, berarti kebijakan itu legal atau sah secara hukum. Tapi sejarah mencatat, kebijakan itu tidaklah benar secara moral.

Hukum harus adil

Dari beberapa contoh di atas, sudah bisa kita pahami bahwa tidak semua tindakan yang berdasarkan hukum itu adalah benar dan baik juga secara moral dan etika. Karena tidak semua hukum atau peraturan bersifat adil. Tiga contoh di atas menunjukkan hal itu. Jadi, menurut Magnis, agar tindakan atau kebijakan yang didasarkan atas hukum itu baik, maka hukum yang dijadikan dasarnya itu sendiri harus baik (adil) terlebih dahulu, baru tindakan yang berdasarkan hukum tersebut bisa disebut baik  dan adil juga.

Jika hukumnya sendiri yang tidak baik (tidak adil), seperti hukum di zaman Nazi, atau di zaman kolonial Belanda, maka perbuatan yang didasarkan atas hukum itu juga tidak baik dalam arti moral yang sesungguhnya. Secara moral, hukum yang tidak adil tidak wajib dipatuhi. Hukum seperti apa yang baik dan harus dipatuhi itu? Yaitu hukum yang adil, yang sesuai dengan moral. Jadi, negara tidak cukup membuat landasan hukum untuk sebuah kebijakan, tapi juga harus memastikan bahwa hukum yang dibentuk itu haruslah baik dan adil. Magnis-Suseno (Etika Politik, h. 295), mengatakan, “Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara; dan hukum itu sendiri harus baik dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat dari hukum, dan adil karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan.”

Andrea Ata Ujan, menjelaskan bahwa hukum (undang-undang) tidak cukup hanya sekedar memenuhi prosedur formal dalam pembentukannya. Ia harus memenuhi tuntutan lain dalam hal isi atau substansi, yakni “keadilan”. Hukum adalah keadilan (ius), bukan sekedar peraturan perundang-undangan (lex). Oleh karenanya, bagi Thomas Aquinas (seorang filsuf besar Italia), hukum positif hanya dapat diterima sejauh tidak bertentangan dengan prinsip moral. 

NANI EFENDI, Alumnus HMI



1 komentar: