alt/text gambar

Rabu, 02 Februari 2022

Topik Pilihan: , ,

Internalisasi dan Implementasi Fungsi NDP HMI: Sebuah Catatan Kritis[1]


Oleh: NANI EFENDI

 

Idealnya, kader HMI sejati itu harus menguasai dan memahami dua persoalan besar di samping menekuni disiplin ilmu yang menjadi pilihannya di kampus. Dua persoalan besar itu adalah persoalan bangsa (wawasan kebangsaan atau keindonesiaan) dan persoalan keagamaan dan keumatan (wawasan keislaman). Dua wawasan ini—kebangsaan dan keislaman—harus benar-benar dimiliki oleh setiap kader HMI. Karena, hal ini sesuai dengan tujuan atau ide dasar didirikannya HMI itu sendiri, yakni mempertahankan NKRI dan mempertinggikan derajat rakyat Indonesia serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam.  Jika dua hal itu tidak dipahami, berarti seorang kader HMI itu tidak mengerti tujuan HMI dan tujuan ber-HMI.

Di samping itu, ada dua wawasan lain yang akan menopang kompetensi seorang kader: wawasan kemahasiswaan dan keorganisasian. Wawasan kebangsaan dan keindonesiaan yang dimiliki oleh kader-kader HMI membuat mereka memiliki kesadaran politik dan kepekaan sosial yang tinggi. Kesadaran ini sangat perlu dalam memperjuangkan cita-cita HMI mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia yang diridhai oleh Allah s.w.t.  

Sedangkan wawasan keislaman akan menjadikan kader-kader HMI sebagai insan-insan moralis dan idealis yang selalu tunduk dan istiqomah untuk senantiasa memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan kebaikan yang berlandaskan al-Qur’an dan sunnah. Ketundukan kepada kebenaran itu adalah konsekwensi logis dari sikap ber-islam, yakni tunduk, patuh, dan pasrah kepada Allah. Wawasan keislaman ini juga menuntut kader-kader HMI untuk selalu mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jadi, setiap mahasiswa yang bergabung dengan HMI harus melek atau paham tentang politik. Tapi bukan berarti semuanya harus menjadi politisi, atau masuk partai politik, atau terjun ke kancah politik praktis. Tidak. Bukan itu maksud saya. Maksud saya: setiap kader mesti melek atau memahami persoalan politik. Harus punya kesadaran politik. Mengapa? Karena, persoalan umat dan bangsa tidak bisa dipisahkan dari persoalan sosial-politik. 

HMI pencetak kader umat

Bertolt Brecht, seorang penyair Jerman, mengatakan, "Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu, dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional."

Oleh karena itu, kader-kader HMI mutlak harus memahami persoalan politik. Tapi, maksud saya di sini adalah politik perjuangan untuk menegakkan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, kebaikan, dan kemaslahatan umat dan bangsa.[2] Politik yang saya maksudkan adalah kepedulian atau kesadaran sosial dan etika (moral) terhadap problem-problem kebangsaan dan keumatan: politik keberpihakan pada nasib kaum yang lemah dan terpinggirkan, yang dalam bahasa HMI disebut kaum mustad’afin.[3] 

Selalu, dengan sikap kritis, melakukan gerakan social control terhadap kekuasaan. Karena, kekuasaan itu tidak selalu harus dilegitimasi tapi juga harus dirasionalisasi dan dikritisi. HMI itu mesti selalu melakukan langkah-langkah korektif-kritis dan fungsi sosial kontrol terhadap setiap kebijakan penguasa yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Sikap kritis yang rasional terhadap kekuasaan itu perlu. Karena, kata senior HMI Nurcholish Madjid (Cak Nur), yang juga mantan Ketua Umum PB-HMI: secara filosofis, manusia itu tidak mungkin selalu benar. Oleh karena itu, perlu terus ada kontrol terhadap jalannya kekuasaan negara. HMI harus tetap berada di garda terdepan membela kebenaran dan keadilan, terutama kepentingan kaum yang lemah dan tertindas (the oppressed). Oleh karena itu, independensi HMI, baik secara organisatoris maupun etis, harus senantiasa dijaga.

Esensi fungsi NDP

Jadi, setiap kader HMI tidak boleh apatis terhadap setiap problem sosial politik dan keumatan. Kader HMI harus memahami berbagai persoalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, komitmen untuk selalu belajar harus menjadi bagian dari jati diri setiap kader HMI. Kader HMI harus menjadi insan-insan pembelajar. Terbuka dalam mencari kebenaran. Belajar tidak sebatas di institusi formal (sekolah atau di kampus saja), tetapi bisa belajar di mana dan kapan saja. Terlebih dengan adanya kemajuan sistem digitalisasi saat ini.

Di atas semua itu, nilai-nilai (values) dan landasan keislaman tidak boleh lepas dari diri setiap kader-kader HMI. Islam harus tetap menjadi ruh, spirit, sumber nilai, serta kekuatan dan landasan etika (moral) bagi setiap kader HMI dalam perjuangannya. Di situlah salah satu esensi fungsi NDP bagi kader-kader HMI. NDP hanyalah nilai-nilai dasar yang bersifat universal yang menjadi pedoman perjuangan kader. Ia bukan sekedar untuk diperdebatkan di forum-forum saja, tapi harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Tanpa memahami NDP dan nilai-nilai keislaman dengan baik, kader HMI tak punya orientasi yang kuat dalam perjuangan. Ia akan mudah menjadi "pecundang" ketimbang "pejuang keadilan dan kebenaran".

Jadi, dengan fondasi iman yang kokoh (keislaman), integritas etika (moral) yang kuat yang dilandasi NDP HMI, serta dibekali dengan profesionalitas dan intelektualitas yang tinggi, itulah sosok ideal kader HMI yang kita harapkan bisa memimpin Indonesia menjadi bangsa yang makmur dan berkeadilan. Persoalan bangsa hari ini ialah terjadi keterpisahan antara dua wawasan itu (split personality). Akhirnya, banyak orang pintar, tetapi tidak memiliki integritas moral yang baik. Sehingga—meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer—kepintaran mereka digunakan untuk hal yang keji-keji saja.

Sebaliknya, juga banyak orang yang mantap keimanan, memiliki integritas moral, tetapi tidak memiliki intelektualitas dan profesionalitas yang mumpuni. Kedepan bangsa kita membutuhkan pemimpin-pemimpin dan orang-orang yang memiliki keduanya: intelektual dan berintegritas.

Nah, kita berharap HMI memberikan kontribusi yang besar melahirkan kader-kader bangsa yang intelektual dan bermoral seperti itu. Untuk mencapai tujuan ini, HMI tentunya harus berbenah diri dan mampu membaca tantangan bangsa kedepan. 

Jika HMI tidak mampu melahirkan kader-kader yang cerdas, idealis, kritis, dan profesional di berbagai bidang serta memiliki semangat juang yang tinggi untuk mensejahterakan umat, maka kader-kader HMI harus bersiap-siap ditinggalkan oleh massa rakyat dan umatKader HMI hanya mampu bertindak reaktif-emosional, tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Kader HMI hanya sadar dirinya dirugikan oleh struktur sosial politik dan ekonomi yang timpang dan tidak adil, tapi tidak memahami secara persis kenapa itu terjadi dan bagaimana mengatasinya.

Persoalan-persoalan ekonomi politik, seperti persoalan keadilan sosial, kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan penghisapan manusia oleh manusia adalah beberapa persoalan besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan umat Islam kedepan. Perebutan sumber daya ekonomi yang terjadi akibat sistem kapitalisme, neoliberalisme, dan individualisme yang serakah akan mewarnai problem-problem bangsa kita kedepan. Ideologi kapitalisme dan individualisme sedang menggerogoti sendi-sendi kehidupan sosial politik bangsa kita hari ini.

Saat ini masih terjadi apa yang dikatakan oleh Bung Karno: “penghisapan kelas atas yang kuat terhadap kelas masyarakat bawah yang lemah”. Kesenjangan sosial sudah kian melebar antara orang-orang kaya (the haves) dan orang-orang miskin (the haves-not). Kemiskinan dan pengangguran sudah menjadi problem besar bangsa ini. Kepedulian sosial semakin menipis. Orang miskin semakin terpinggirkan. Sementara kaum kaya, terutama yang punya akses pada kekuasaan (oligarki—meminjam istilah Jeffrey A. Winters) sibuk memperkaya diri mereka sendiri.[5]

Begitu besar problem-problem umat dan bangsa yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh kader-kader HMI ke depan. Pertanyaannya, mampukah kader-kader HMI mengatasi berbagai persoalan bangsa dan umat ke depan, sehingga masyarakat adil dan makmur dapat terwujud? 

Dengan motto, “Yakin Usaha Sampai”, semestinya HMI mesti mampu berjuang menggapai semua cita. Dengan syarat, kader-kader HMI harus berbenah diri dan mempersiapkan diri dengan selalu meningkatkan intelektualitas, profesionalitas, spiritualitas, dan moralitas, serta idealisme yang kokoh. Untuk itu, kader-kader HMI haruslah banyak belajar. Terus memperkuat organisasi dan menyatukan kekuatan.

Menurut saya, untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan, ada beberapa  bekal yang wajib dimiliki oleh setiap pribadi kader HMI. Bekal itu antara lain: (1) penguasaan terhadap bahasa asing (minimal bahasa Inggris), (2) penguasaan terhadap IT (information technology), (3) kemampuan organisasi, leadership, dan manajerial, dan (4) communication skill (kemampuan komunikasi/public speaking, presentasi, pidato, menulis, dsb). Itu merupakan beberapa bekal dasar personal bagi kader HMI dalam berjuang.

Tentu, tidak cukup hanya sebatas itu. Komitmen atau sikap istiqomah untuk mewujudkan cita-cita sosial yang lebih adil juga mesti terus hidup dalam dada setiap kader HMI. Sikap progresif-revolusioner harus tetap menyala. Jaga idealisme dan moralitas! Teruslah belajar! 

Perbanyaklah membaca dan menulis! Ikhlaslah berjuang untuk umat dan kemanusiaan! Teruslah mencintai kebenaran, kebaikan, keadilan! Lawan terus segala bentuk arogansi kekuasaan, kezaliman, dan ketidakadilan di muka bumi, kapan dan di mana pun kalian jumpai![6] Itulah wujud nyata internalisasi dan implementasi fungsi NDP dalam diri setiap kader HMI.

Menurut Asghar Ali Engineer dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasansebagaimana juga inti Bab 6 NDP HMI (Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi)komitmen kepada tatanan sosial yang adil, nir eksploitasi, dan egaliter adalah semangat Islam yang sejati. Al Quran dengan tegas mendukung tatanan yang egaliter, tidak opresif, dan tatanan yang adil. Al Qur’an sangat menentang zulm (kezaliman, penindasan; kejahatan), dan konsentrasi kekayaan. Al Qur’an menuntut distribusi kekayaan dan membagikannya secara adil.

Demikianlah. Semoga sacred mission (misi suci), yakni terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah s.w.t. bisa diwujudkan oleh HMI. Yakin Usaha Sampai! Dan, jayalah HMI! 

NANI EFENDI, Alumnus Advance Training (Latihan Kader III) Badko HMI Sumbagsel



[1] Ditulis untuk mengisi acara diskusi  follow up  Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI, di Sekretariat HMI Cabang Kerinci, Sungai Penuh, 31 Desember 2016.

[2] Bahkan, orang-orang yang shalat, namun tidak mau memperhatikan dan menolong kaum miskin, diancam oleh Allah: “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang mengusir anak yatim dan tidak memberi makan fakir miskin.” (lihat Qs. Al Ma’un).

[3] Dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 104 dijelaskan: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

[4]Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad); Hanyalah ketaatan itu dalam hal (perkara) yang ma’ruf.” (HR. Bukhari, no. 7145 dan Muslim no. 4742).

[5] Lebih jelas tentang persoalan ini, lihat Asghar Ali Engineer dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Al Qur’an menuntut distribusi kekayaan dan membagikannya secara adil. “Janganlah kekayaan itu hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu,” kata Al Qur’an (59: 7). Komitmen Islam yang seperti ini, tentu saja, jarang dan tidak begitu terlihat. Yang lebih banyak terjadi adalah komitmen keislaman terhadap status quo.

[6]Barangsiapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisan. Jika tidak mampu, bencilah di dalam hati. Namun, hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim). Dalam Al Qur’an 4: 148 dijelaskan, Allah tidak menyukai kata-kata kasar, kecuali oleh orang yang teraniaya; dalam Qs. 8: 39 dijalaskan: Muslim diperintahkan untuk berperang sampai tidak ada lagi penindasan.

 

 

0 komentar:

Posting Komentar