Oleh: Nani Efendi
Peraturan Komisi Pemilihan Umum lazim dikenal, terutama di internal KPU, dengan penyebutan “PKPU”. Padahal, dalam hukum, ada juga kepanjangan lain dari PKPU, yaitu: “Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. Menurut saya, Peraturan KPU lebih tepatnya disingkat dengan Per-KPU. Sama halnya dengan Perpres, Permen, Pergub, Perbup, dan lain sebagainya. Namun, karena sudah terlanjur populer dengan istilah PKPU, ya kita maklumi saja. Karena, di lingkungan KPU maupun dalam hal-hal yang menyangkut Pemilu, yang disebut PKPU itu ya Peraturan KPU.
Dalam tulisan ini, saya ingin menjelaskan apa itu PKPU: kedudukannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan, dasar kewenangan pembentukannya, tujuan pembentukan, proses judicial review-nya, tempat pengundangan, dan hal-hal lain seputar Peraturan KPU.
Ada yang beranggapan Peraturan KPU itu hanya untuk KPU saja yang bisa dibuat sesukanya oleh KPU. Nah, itulah salah satu tujuan saya menulis tentang PKPU ini. Agar masyarakat memahami, terutama di kalangan KPU atau penyelenggara Pemilu, apa sebenarnya Peraturan KPU itu.
Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, di BAB III yang mengatur mengenai jenis, hierarki, dan materi muatan peraturan perundang-undangan Pasal 7 ayat (1), bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia terdiri atas: a. UUD 1945; b. Ketetapan MPR; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Ayat (2)-nya menyebutkan: “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).” Dalam Pasal 7 ini tidak terdapat Peraturan KPU. Lantas, Peraturan KPU itu ada di mana? Ketentuan tentang peraturan KPU terdapat di pasal berikutnya, yakni Pasal 8, yang berbunyi:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Pasal 8 ayat (1) menjelaskan bahwa selain jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana disebut dalam Pasal 7 UU No. 12/2011, ada juga peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, badan, lembaga, termasuk juga KPU. Karena pada Pasal 8 disebutkan “komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang.” Sedangkan KPU itu sendiri merupakan komisi yang dibentuk dengan Undang-Undang. Merupakan amanah UUD 1945 hasil amandemen pasca Reformasi.
Jadi, jelas bahwa Peraturan KPU diakui keberadaannya. Dan merupakan salah satu peraturan perundangan-undangan di Indonesia yang mempunyai kekuatan hukum. Bukan dibuat hanya berdasarkan mau-maunya KPU. Lantas, dasar kewenangan KPU membuat Peraturan KPU itu apa? Apakah sesukanya juga? Tidak. Kewenangan itu berasal dari pendelegasian yang diberikan oleh undang-undang itu sendiri. Bisa Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Pilkada, atau undang-undang lainnya.
Contoh perintah delegasi (penyerahan) membuat peraturan itu, misalnya, terdapat dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum: “Ketentuan mengenai tata kerja KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan KPU.” Jelas dengan tegas didelegasikan oleh undang-undang bahwa ketentuan selanjutnya diatur dengan Peraturan KPU. Artinya, KPU-lah yang selanjutnya diserahi kewenangan untuk mengatur lebih lanjut (detail dan teknis) dalam bentuk Peraturan KPU.
Hal demikian, dalam ilmu hukum, merujuk pada penjelasan pakar hukum tata negara Profesor Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Perihal Undang-Undang, disebut dengan istilah delegation of rule-making power (pendelegasian atau penyerahan kewenangan legislasi atau kewenangan membuat peraturan). Mengapa ada pendelegasian atau penyerahan kewenangan semacam itu? Karena sudah lazim dipahami bahwa undang-undang tidak mengatur hal-hal secara detail dan teknis.
Undang-undang hanya mengatur secara garis besarnya saja. Aturan yang bersifat detail dan teknis diserahkan kepada peraturan-peraturan di bawahnya, yang disebut dengan istilah produk regulasi (executive act), misalnya PP, Pergub, Perbup, dan lain sebagainya. Sedangkan undang-undang (dan juga Perda) merupakan produk legislasi (legislative act).
Oleh karenanya, kita mengenal adanya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang dibentuk untuk menjalankan undang-undang dengan perintah yang tegas diberikan dalam undang-undang itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah sebagai peraturan pelaksana itu biasa disebut “subordinate legislations” atau “delegated legislation” (legislasi limpahan).
Pada hakekatnya, kewenangan legislatif itu ada di tangan rakyat yang berdaulat, maka kewenangan untuk membentuk subordinate legislations itu juga harus dipahami berasal dari rakyat. Karena itu, lembaga pelaksana undang-undang tidak dapat menetapkan suatu peraturan perundang-undangan apa pun kecuali atas dasar perintah atau delegasi “kewenangan mengatur” (rule-making power) yang diberikan oleh lembaga perwakilan rakyat melalui undang-undang. Artinya, harus didasarkan atas “legislative delegation of rule-making power” dari pembentuk undang-undang kepada pembentuk peraturan.
Di Indonesia, kita mengenal Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres). Di samping itu, ada pula peraturan yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga yang bersifat independen di berbagai bidang penyelenggaraan fungsi-fungsi kekuasaan negara seperti Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan BPK, Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan lain sebagainya. Termasuk juga Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Semuanya berdasarkan atas perintah atau delegasi dari undang-undang (lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, 2011: 271).
Artinya, karena Peraturan KPU dibuat adalah untuk menjalankan undang-undang, maka KPU tidak bisa membuat aturan dalam bentuk peraturan-peraturan KPU tanpa ada dasar kewenangan yang diberikan oleh undang-undang itu sendiri.
Bagaimana jika ada yang merasa dirugikan dengan berlakunya suatu Peraturan KPU, kemana masyarakat harus men-challenge atau mengujinya? Apakah kepada KPU Kabupaten, KPU Provinsi, atau kepada KPU RI yang membentuknya? Bukan. Tetapi, harus melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Agung (MA). Mengapa ke MA? Karena menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang adalah kewenangan MA. Sedangkan menguji undang-undang terhadap UUD 1945 adalah wewenang MK.
Mahkamah Agung-lah satu-satunya lembaga yang berwenang membatalkan Peraturan KPU. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu, Mahkamah Agung (MA) membatalkan Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum. Dalam putusannya, terhadap judicial review yang diajukan oleh Rachmawati Sukarnoputri, MA menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. MA menilai, Peraturan KPU dimaksud telah melebihi aturan UU Pemilu yang lebih tinggi sehingga tidak mencerminkan asas keseimbangan, keselarasan, dan keserasian.
Jadi, Peraturan KPU, dilihat dari sisi judicial review, setara dengan Peraturan Pemerintah: sama-sama bisa diuji (challenge in the court) dan dibatalkan hanya oleh Mahkamah Agung. Namun, ia berbeda dari sisi tempat pengundangan: Peraturan Pemerintah diundangkan dalam Lembaran Negara, Peraturan KPU diundangkan dalam Berita Negara.
Dalam Peraturan KPU, sebagaimana lazimnya peraturan perundang-undangan, di kalimat penutupnya disebutkan: “Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Komisi ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.” Kalau bersifat pengundangan, berarti ia tidak hanya mengikat untuk internal KPU saja, tetapi juga mengikat untuk umum.
NANI EFENDI
Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tebo (2018-2023)
0 komentar:
Posting Komentar