Selama ini, orang sering salah membedakan antara Surat Edaran KPU dengan Surat Dinas KPU. Sering disamakan antara keduanya. Bahkan, banyak yang menyebut setiap surat dari KPU RI ke KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota itu adalah Surat Edaran (SE). Maka populer di antara teman-teman penyelenggara Pemilu dengan sebutan “SE”. Padahal, antara Surat Dinas (SD) dengan Surat Edaran (SE) itu berbeda. Surat Edaran itu mempunyai format tersendiri. Sementara surat dinas hanya seperti format surat biasa yang berisi perihal, sifat, lampiran. Sistem penomorannya juga berbeda.
Dalam website JDIH (Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum) KPU juga dibedakan: ada tempat untuk Surat Edaran dan lain lagi tempat untuk Surat-surat Dinas. Sistem penomoran Surat Edaran mirip dengan penomoran peraturan perundang-undangan resmi, semisal undang-undang dan Peraturan KPU: tidak panjang. Hanya disebutkan “judul”, “nomor”, “tahun” dan “tentang”. Contohnya: Surat Edaran KPU Nomor 20 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Tahun 2020 dalam Kondisi Bencana Non Alam Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Sedangkan sistem penomoran Surat Dinas biasa, lazimnya lebih panjang. Contoh: Surat Dinas Nomor: 485/PP.04.2-SD/01/KPU/VI/2020. Perihal: Arahan Tindak Lanjut Pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dalam Pemilihan Serentak Tahun 2020. Disebutkan juga “Sifat”nya, dan Lampirannya kalau ada.
Jadi, dari sisi formatnya saja sudah berbeda antara Surat Dinas dengan Surat Edaran. Dalam Surat Edaran biasanya juga dicantumkan latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup, dasar hukum, isi edaran, penutup, dan lain sebagainya. Sedangkan surat dinas tidak demikian.
Surat Edaran dalam tinjauan hukum
Pakar hukum tata negara Profesor Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Perihal Undang-Undang, menjelaskan tentang persoalan surat edaran. Di samping peraturan perundang-undangan (PP, Perpres, Peraturan Menteri, Perda, Permen, Pergub, Perbup, Peraturan Dirjen, dan lain sebagainya), termasuk juga Peraturan KPU, dikenal pula istilah quasi-legislation berupa “peraturan kebijakan”. Atau diistilahkan dengan beleidsregels, atau policy rule.
Disebut “beleids”, atau “policy”, atau kebijakan, jelas Jimly, karena secara formal tidak dapat disebut atau memang bukan berbentuk peraturan yang resmi. Misalnya, arahan dari seorang menteri atau seorang direktur jenderal yang ditujukan kepada seluruh aparatur sipil negara yang berada dalam lingkup tanggung jawabnya, atau dari Ketua KPU RI kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, dapat dituangkan dalam bentuk surat edaran (circular), bukan berbentuk peraturan resmi semisal Peraturan Menteri, Peraturan Direktur Jenderal, atau Peraturan KPU.
Akan tetapi, isinya bersifat mengatur (regeling) dan memberi arahan atau petunjuk dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas kepegawaian atau kedinasan. Surat edaran semacam inilah yang biasa dinamakan “policy rule”, atau “beleidsregels”. Oleh para sarjana hukum, lanjut Jimly, istilah “policy rule”, atau “beleidsregels” ini biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “peraturan kebijakan”.
Untuk membedakannya dari peraturan resmi (PP, Perpres, Perda, Permen, Pergub, Perbup, dan lain sebagainya), menurut Jimly, sebaiknya kita tidak menyebutnya dengan “peraturan kebijakan”, melainkan “aturan kebijakan”. “Policy rules” tersebut hanya “rules”, bukan “regulation” ataupun “legislation”, sehingga lebih tepat disebut “aturan kebijakan” daripada “peraturan kebijakan”.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, khususnya dalam Bab III yang mengatur tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak dikenal istilah “Surat Edaran”. Secara hierarki dan jenis, yang ada: UUD 1945, Tap MPR, UU/Perpu, PP, Perpres, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota. Di samping itu, dalam UU No 12/2011, diakui pula jenis peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR , DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Tidak terdapat Surat Edaran. Lantas, mengapa ada aturan berbentuk surat edaran atau pun dalam bentuk surat dinas? Apakah itu dibenarkan secara hukum? Di semua negara, lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menjelaskan, aturan kebijakan dianggap suatu hal yang tidak terhindarkan. Karena, memang dibutuhkan dalam praktik. Seperti halnya “subordinate legislation” yang butuhkan untuk menjalankan undang-undang (semisal Peraturan KPU untuk menjalankan UU Pemilu atau UU Pilkada) aturan kebijakan (semisal surat edaran--meskipun resminya bukan peraturan perundang-undangan, dan tidak termasuk dalam hierarki maupun jenis peraturan perundang-undangan resmi di Indonesia--namun diperlukan dalam menjalankan peraturan resmi. Misanya, surat edaran dan surat-surat dinas KPU RI diperlukan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk menjalankan Peraturan-peraturan KPU secara lebih teknis.
Quasi-Peraturan
Aturan kebijakan disebut juga quasi-legislations atau quasi-peraturan. Ia bisa dibuat dalam berbagai bentuk dokumen tertulis yang berisi arahan, bimbingan, tuntunan, atau mengatur suatu pelaksanaan tugas atau pekerjaan. Di Indonesia, dalam praktiknya, aturan kebijakan itu sering dibuat dalam bentuk-bentuk seperti: Surat Edaran atau Circulars (misalnya Surat Edaran Mahkamah Agung; SEMA), Surat Perintah atau Instruksi (seperti Inpres atau Instruksi Presiden), Petunjuk Teknis (Juknis), Petunjuk Pelaksanaan (Juklak), Buku Panduan, Kerangka Acuan (TOR atau Term of Reference), Pedoman Kerja, dan lain sebagainya. Semua bentuk peraturan kebijakan ini ditetapkan oleh lembaga-lembaga atau pejabat-pejabat administrasi negara (lihat Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, 2011: 273-274)
Di internal KPU, “aturan kebijakan” itu biasanya dibuat dalam bentuk Surat Dinas dan Surat Edaran. Format kedua surat itu berbeda, sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas. Jadi, harus dibedakan mana surat dinas biasa dan mana surat edaran. Jangan setiap surat dari KPU RI ke KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota itu kita sebut SE atau Surat Edaran semua. Kalau surat edaran, memang dituliskan dengan jelas di bagian kepala suratnya: “Surat Edaran”. Sedangkan Surat Dinas formatnya seperti lazimnya surat-surat dinas biasa pada umumnya.
NANI EFENDI
Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tebo
0 komentar:
Posting Komentar