Oleh: Nani Efendi
Berwenangkah Aparatur Sipil Negara (ASN) membuat peraturan
perundang-undangan? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita harus melihatnya
dari perspektif ilmu hukum tata negara. Oleh karena itu, saya mencoba menjelaskannya
dengan merujuk kepada penjelasan salah seorang pakar hukum tata negara yang
sangat terkemuka di Indonesia, yakni Profesor Jimly Asshiddiqie. Agar tidak
menyalahi pengertian dan penjelasan, dan agar bisa memberikan pemahaman yang
utuh, beberapa tulisan beliau ada yang memang sengaja tidak saya edit. Sengaja saya jelaskan terlebih dahulu, agar tidak disebut plagiat. Ada dua
buku beliau yang saya rujuk tentang masalah ini. Pertama, Perihal Undang-Undang, terbitan Rajawali
Pers, Jakarta: 2011. Yang kedua, buku Teori Hierarki Norma Hukum, yang
diterbitkan tahun 2020 oleh Penerbit Konstitusi Press, Jakarta. Saya juga
merujuk ke UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundangan-undangan.
Wewenang membuat hukum dalam negara demokrasi
Jadi, dalam negara demokrasi, sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat, rakyatlah yang berdaulat menentukan peraturan-peraturan (hukum) yang mengikat mereka dalam kehidupan bernegara. Jika pemerintah bermaksud menetapkan suatu peraturan yang mengikat untuk umum, jelas Jimly Asshiddiqie, kewenangan pengaturan semacam itu haruslah lahir dari pendelegasian kewenangan (delegation of rule-making power) oleh para wakil rakyat (DPR) di parlemen dan dituangkan dalam bentuk undang-undang yang memberikan delegasi kewenangan pengaturan itu kepada pemerintah (misalnya dalam bentuk PP dan Perpres) atau kepada lembaga pelaksana undang-undang lainnya (misalnya KPU [membuat Peraturan KPU], MK, MA, BPK, KY, BI, KPI, dsb).
Jika sekiranya peraturan yang dibuat oleh lembaga pelaksana undang-undang itu akan memberikan delegasi lagi atau subdelegasi (subdelegation of rule-making power) kepada lembaga lain (misalnya Peraturan Menteri, Peraturan Dirjen, dsb, bisa juga kepada Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota), maka harus sudah ditentukan dalam undang-undang yang bersangkutan.
Contoh pendelegasian kewenangan dalam undang-undang ialah adanya ketentuan dalam salah satu ayat atau pasal, yang bunyinya: "Ketentuan lebih lanjut mengenai... diatur dengan Peraturan Pemerintah". Kalau dalam Perda, misalnya, ada ketentuan dalam pasal berbunyi: "Ketentuan lebih lanjut... diatur dengan Peraturan Kepala Daerah." Atau: "... dengan Peraturan Gubernur".
Jika pengaturan dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi; subdelegation of rule-making power), harus ada kalimat dalam pasal yang, salah satu contoh, bunyinya: "Ketentuan lebih lanjut mengenai... diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah."
ASN sebagai pelaksana peraturan
Nah, pertanyaannya, berwenangkah PNS atau ASN (Aparatur Sipil Negara), katakanlah selevel Direktur Jenderal sekalipun, membuat peraturan? Direktur Jenderal Pajak, misalnya. Direktur Jenderal adalah jabatan yang bersifat administratif pegawai negeri sipil atau ASN, bukan jabatan politik yang mempunyai tanggung jawab politik di bidang pengaturan yang bersifat mengikat untuk umum. Zaman Orde Baru memang ada beberapa ketentuan dalam UU tertentu yang mendelegasikan kewenangan membuat pengaturan ke direktur jenderal.
Dalam bukunya, Teori Hierarki Norma Hukum, Jimly Asshiddiqie menjelaskan, kedepannya tidak boleh lagi ada UU yang mendelegasikan kewenangan menerbitkan regulasi kepada direktur jenderal (seperti Dirjen Pajak, misalnya), yang statusnya hanyalah ASN yang bertugas melayani atasan dan melayani rakyat. Tidak seharusnya, kata Jimly, para pelayan rakyat diberi kekuasaan untuk mengatur dan menentukan kewajiban-kewajiban yang membebani rakyat yang harus mereka layani, dan juga mengurangi hak-hak dan kebebasan mereka. Hak dan kewajiban rakyat sudah diatur dan dijamin oleh konstitusi, yakni UUD 1945 (lihat Jimly Asshiddiqie, Teori Hierarki Norma Hukum, h. 179)
Pada prinsipnya, PNS (ASN) hanyalah pelaksana peraturan perundang-undangan. Kalau pun mereka membuat regulasi, haruslah ada perintah yang jelas dalam UU atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya, tetaplah itu adalah kewenangan yang diberikan oleh rakyat sendiri melalui delegasi dari UU (yang dibentuk oleh wakil rakyat atau DPR) atau subdelegasi dari perturan yang lebih rendah dari itu, seperti PP, Perpres, Permen, dsb. Tanpa ada perintah dari peraturan yang lebih tinggi, regulasi tidak boleh dibentuk.
Sebagai contoh, Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN). Ia hanya bisa dibentuk berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh peraturan yang lebih tinggi, seperti PP, misalnya. Tanpa ada subdelegasi kewenangan dari peraturan di atasnya, tidaklah sah. Karena, pada prinsipnya: kewenangan membuat peraturan (hukum) ada pada rakyat sendiri melalui wakil-wakilnya di DPR. Namun, yang dibuat oleh ASN itu pun hanya hal-hal yang bersifat pengaturan teknis untuk menjalankan peraturan di atasnya, dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Jadi, yang jelas, harus ada dasar hukum yang lebih tinggi untuk membuat peraturan pelaksana di bawahnya. Peraturan BKN, misalnya, setidaknya ada pasal dalam peraturan di atasnya yang menjadi dasar pembentukannya. Dan itu dinyatakan dalam konsiderans "Menimbang" dan "Mengingat". Namun, itu juga tidak langsung dari UU ke Peraturan BKN, tapi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari UU, semisal Permen, dsb. Untuk lebih mudah memahami, silahkan di-download Peraturan BKN, misalnya, untuk melihat contoh bagaimana peraturan (regulasi) dibuat berdasarkan peraturan yang lebih tinggi atau berdasarkan peraturan yang setara. Lebih jelas, lihat UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, dalam Lampirannya, khususnya yang menjelaskan tentang pendelegasian kewenangan.
Namun, dalam praktik, kata Jimly, kadang-kadang ditemukan kebiasaan pendelegasian dengan "cek kosong" (blangko), sehingga pemerintah mengatur sendiri secara sewenang-wenang segala hal yang belum diatur dalam UU, termasuk hal-hal yang seharusnya diatur dalam UU. Misalnya, di bidang perpajakan, kadang-kadang ditemukan adanya PP, Permen, dan bahkan selevel Peraturan Dirjen Pajak yang secara eksplisit membebani wajib pajak dengan beban-beban baru yang sama sekali belum ditentukan dalam undang-undang. Bahkan, sebagaimana dijelaskan di atas, di masa lalu, ada dari UU langsung mendelegasikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak. Padahal, Dirjen Pajak hanyalah jabatan struktural yang bersifat administratif PNS (ASN), bukan jabatan politik yang mempunyai kewenangan legislasi. Tetapi, setelah berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, delegasi langsung dari UU ke Peraturan Dirjen tidak dibolehkan lagi.
Referensi:
1. Jimly Asshiddiqie. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 149, 195-196, dan 265.
2. UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan.
3. Jimly Asshiddiqie. Teori Hierarki Norma Hukum. Jakarta: Konstitusi Press, 2020, hlm. 179)
0 komentar:
Posting Komentar