Suara hati, menurut Franz Magnis-Suseno adalah: kemampuan manusia untuk membedakan antara apa yang baik dan apa yang tidak. Bersikap dan bertindak menurut suara hatinya sendiri merupakan salah satu hak setiap orang yang paling asasi. Kuasa apa pun di dunia tidak berhak untuk memaksa seseorang untuk bertindak bertentangan dengan suara hatinya. Kalau dalam bahasa Islam, suara hati yang dimaksud Magnis, mungkin: hanief (nurani; bersifat nur). Menurut Magnis, "bertentangan dengan suara hati" dalam bahasa sehari-hari dapat diterjemahkan dengan "berdosa", "berbuat jahat", "berbuat tidak bertanggung jawab", "bertindak melanggar tuntutan keadilan".
Negara dan Hak Perlawanan
Salah satu pertanyaan dalam etika politik: sejauh mana manusia berhak untuk melawan negara? Perlawanan terhadap negara, menurut Magnis, merupakan fakta yang menonjol dalam abad ini. Apakah itu gerilyawan-gerilyawan kita yang melawan penjajah Belanda, para mullah yang menentang Syah Iran, pejuang kemerdekaan di Afghanistan, kaum demonstran antinuklir di Jerman Barat, dsb., mereka semua yakin bahwa mereka berhak, bahkan berkewajiban untuk melawan suatu kebijakan atau kekuasaan yang menurut pandangan legalistik sah (tetapi bagi mereka justru tidak sah).
Di Barat, gagasan tentang hak perlawanan berakar dalam Perjanjian Lama dan dalam filsafat Yunani dan kemudian dikembangkan berdasarkan tradisi feodalisme Jermanik dan etika kristiani. Tradisi Jermanik berpendapat bahwa apabila tuan melanggar kewajiban kesetiaannya terhadap bawahannya, misalnya dengan melanggar hak dan kewajiban antara mereka, bawahan boleh melawan. Dalam etika kristiani, perintah raja yang melawan hukum Allah, boleh dilawan.
Hak untuk menurunkan penguasa yang memerintah dengan melanggar keadilan, diakui umum. Dalam filsafat politik abad ke-16 dan 17 dan kemudian dalam "pernyataan tentang hak-hak manusia dan warga negara-warga negara" tahun 1789, hak warga negara untuk melawan penindasan dianggap sebagai hak asasi manusia (Magnis, hlm. 157).
Apa isi hak atas perlawanan? Pada zaman sekarang, dengan hak itu dimaksud "hak untuk, berhadapan dengan tindakan-tindakan yang secara kasar bertentangan dengan keadilan, terutama berhadapan dengan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, menentang kekuasaan negara: dengan menolak ketaatan atau dengan memakai kekerasan".
Perlu diketahui, hak perlawanan tidak sama dengan anarkisme. Anarkisme secara prinsipil menolak hak eksistensi kekuasaan negara. Sebaliknya, hak perlawanan justru mengakui perlu adanya tatanan hukum dan kekuasaan yang menjamin keberlakuannya. Perlawanan hanya dibenarkan dalam keadaan ekstrem ketika kekuasaan negara mendukung tindakan ketidakadilan yang justru bertentangan dengan citra hukum yang paling fundamental.
Hak perlawanan selalu hanya dibenarkan kalau terpenuhi dua syarat: pertama, ketika tindakan-tindakan penguasa secara kasar bertentangan dengan keadilan. Kedua, semua sarana dan jalan hukum yang tersedia untuk menentang ketidakadilan itu sudah dicoba dan tidak berhasil, termasuk dengan cara protes-protes politik biasa.
Ditambah Magnis dalam catatan kaki: apabila negara menutup segala kemungkinan masyarakat untuk menyuarakan protes, negara sendirilah yang harus dipersalahkan jika masyarakat mengambil jalan kekerasan.
Bahwa secara prinsipil warga negara berhak untuk melawan tindakan kekuasaan negara yang secara kasar bertentangan dengan keadilan, tidak dapat disangkal dan memang tidak disangkal dalam pustaka etika hukum dan politik (walaupun hak itu oleh banyak pengarang dianggap problematis).
Profesor Coing, tulis Magnis dalam catatan kaki, menjelaskan: "Perlawanan aktif yang mengambil jalan kekerasan moral tidaklah wajib, tetapi dari segi hukum kodrat halal dan sah berhadapan dengan suatu pemerintah yang kriminal, yang secara sadar bertindak melawan hukum kodrat. Perlawanan aktif itu dapat dibenarkan tidak hanya dari segi hak manusia untuk membela diri, melainkan sama dengan hak hukum untuk memaksa pada umumnya, dari kodrat manusia yang tidak mengizinkan pemeliharaan tatanan umum tanpa pemakaian kekerasan dan paksaan, jadi akhirnya karena hukum kodrat diarahkan pada perwujudan tatanan umumnya. Dari lain pihak, hakikat hukum sebagai tatanan mengimplementasikan bahwa perlawanan aktif hanya dapat dibenarkan dalam kasus-kasus ekstrem."
Tetapi, apakah hak perlawanan dapat dibenarkan? Jelaslah bahwa pernyataan ini bersifat moral, bukan hukum. Tidak mungkin ada hak hukum atas perlawanan, karena, perlawanan dengan sendirinya melanggar hukum. Kita baru bicara tentang perlawanan apabila protes warga negara melanggar hukum. Jadi, pertanyaan kita termasuk etika, bukan teori hukum.
Jadi, terang Magnis, hak negara untuk menuntut ketaatan secara prinsipil terbatas oleh tujuan negara, kesejahteraan umum, dan dalam paham kesejahteraan umum termasuk pula keadilan. Apabila negara menetapkan peraturan yang tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, warga negara tidak wajib untuk menaatinya. Dan kekuasaan negara hanya boleh dipergunakan untuk menunjang tatanan negara yang adil. Maka suatu tindakan kekuasaan negara yang secara kasar bertentangan dengan keadilan, boleh dilawan.
Perlawanan itu dipandang sebagai semacam hak darurat untuk membela diri terhadap serangan yang tidak adil hak mana dimiliki oleh setiap orang. Jadi, bukan hanya perampok yang boleh dilawan apabila mau merampas harta dan hak seseorang, tetapi juga negara apabila telah menjadi perampok.
Hak perlawanan dibedakan menjadi dua: pasif dan aktif. Perlawanan pasif ialah tidak menaati suatu perintah atau peraturan negara. Misalnya, kita menolak untuk membayar pajak. Penolakan terhadap wajib militer pun termasuk di sini.
Perlawanan pasif itu, secara etis, dapat dibenarkan. Tidak dapat disangkal. Apabila keadilan atau salah satu hak asasi manusia dilanggar dengan kasar, perlawanan itu malah merupakan tuntutan etis. Hak perlawanan pasif itu dapat disimpulkan langsung dari tuntutan untuk selalu menaati suara hatinya sendiri, dan dari keterbatasan prinsipil hak negara untuk menuntut ketaatan.
Menurut Aristoteles, dalam negara
yang baik, manusia yang baik mesti juga merupakan warga negara yang baik. Tetapi,
dalam negara yang buruk, manusia yang baik mesti menjadi warga negara yang
buruk (karena sebagai manusia yang baik ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan
pola pergaulan negara yang buruk itu), sedangkan warga negara yang baik (yang
hidup sesuai dengan aturan negara yang buruk itu yang tidak adil) adalah
manusia yang buruk.
Bentuk-bentuk lain dari
perlawanan yang pasif adalah kritik lisan dan tertulis walaupun tidak
diizinkan, pencetakan tulisan-tulisan secara diam-diam, pemogokan kerja,
boikot, demonstrasi damai, dan pelarian ke luar negeri. Ciri khas perlawanan pasif
ialah bahwa tidak dipergunakan ancaman atau kekerasan fisik.
Nah, perlawanan yang secara etis
problematis adalah perlawanan aktif. Di sini termasuk kekerasan terhadap benda
milik orang lain atau negara dan terhadap
manusia, Tindakan-tindakan perusakan, sabotase, pemberontakan dan
revolusi, termasuk juga penghasutan agar orang lain melakukan tindakan semacam
itu.
Ciri khas perlawanan aktif ialah dipergunakan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan dimaksud. Sifat perlawanan aktif secara hakiki berlainan dengan perlawanan pasif. Menggunakan kekerasan berarti mau memaksa. Memaksa dengan sendirinya adalah sikap terhadap manusia lain yang tidak memadai, karena tidak menghormati kebebasannya.
Dengan memaksa, saya mengubah situasi
secara sepihak dan dengan demikian mengubah syarat hidup orang lain. Ini menimbulkan
pertanyaan: dari mana saya mengambil legitimasi untuk memaksakan perubahan kehidupan
pada orang lain? Cita-cita luhur, termasuk perjuangan demi keadilan, mengizinkan
banyak interpretasi dan belum tentu merupakan cita-cita mereka yang terkena
oleh tindak kekerasan saya itu. Pemaksaan selalu menyerupai pemerkosaan dan
pemerkosaan demi tujuan baik pun tidak dapat dibenarkan.
Kekerasan selalu membahayakan kesehatan, keutuhan badan, dan bahkan nyawa orang lain yang tidak bersalah. Dengan demikian, kekerasan sendiri menjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia. Padahal, tindak kekerasan justru mau dilegitimasikan sebagai perlawanan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia. Dengan demikan, kekerasan adalah sarana yang tidak adil. Sering dibuat distingsi antara kekerasan terhadap benda dan terhadap orang. Yang kedua memang ditolak, tetapi yang pertama dikatakan dibenarkan.
Walaupun distingsi itu tidak sama sekali tanpa arti, namun tetap meragukan. Karena,
garis antara benda milik orang lain dan orang yang memilkinya hanyalah tipis. Sebagai
makhluk jasmani, manusia memerlukan benda-benda material untuk dapat hidup. Maka
miliknya dapat dipandang sebagai perpanjangan tubuhnya, sebagai lingkaran luar
dimensi jasmani manusia. Dan oleh karena itu, pelanggaran terhadap milik
seseorang juga melanggar keutuhannya sebagai manusia. Dengan demikian,
kekerasan terhadap benda pun secara etis tidak dapat dibenarkan untuk dijadikan
sarana untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang luhur.
Satu-satunya situasi di mana perlawanan dengan kekerasan dapat dibenarkan adalah situasi di mana saya langsung diancam, entah benda milik saya, entah nyawa saya. Setiap orang berhak untuk membela diri terhadap kekerasan yang tidak sah. Sedangkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan luhur, kekerasan tidak dapat dibenarkan.
Kekerasan yang dilegitimasi demi tujuan-tujuan moral atau religius merupakan salah satu
sumber keganasan, kebrutalan, dan ketidakadilan yang paling utama dalam sejarah
umat manusia. Tidak ada manusia yang lebih menakutkan daripada sang fanatik
yang berdasarkan pahamnya tentang suatu tujuan suci mau memaksakan kehendaknya
kepada orang lain atau merasa berhak untuk merusak dan membunuh.
Revolusi
Perlawanan yang tidak hanya untuk
menentang kebijakan atau peraturan tertentu, melainkan bertujuan untuk
menumbangkan pemegang kekuasaan dan mengubah seluruh system ketatanegaraan disebut
revolusi. Berbeda dengan perlawanan pasif, perlawanan aktif dapat meluas menjadi
usaha revolusioner.
Dengan revolusi, di sini dimaksud
suatu perubahan undang-undang dasar negara secara mendadak yang dipaksakan oleh
suatu gerakan massal. Ciri khas revolusi ialah bahwa ia tidak legal. Ia merupakan
upaya perubahan di luar dan bertentangan dengan tatanan hukum yang sedang
berlaku. Revolusi harus dibedakan dari kudeta dan putsch, di mana sekelompok
kecil merebut kekuasaan, atau orang-orang yang berkuasa sendiri menghapus
konstitusi yang lama.
Dalam penilaian terhadap legitimasi revolusi, kita harus membedakan antara legalitas dan legitimasi moral. Revolusi dengan sendirinya bertentangan dengan hukum yang berlaku. Yang menarik ialah, kata Magnis-Suseno, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Zippelius, kualifikasi hukum revolusi ditentukan oleh hasilnya. Apabila revolusi gagal, para pelaku sudah pasti akan dihukum. Tetapi, apabila revolusi berhasil, revolusi menciptakan hukum dan tatanan kenegaraan baru yang dengan sendirinya menjadi legal dan merupakan sumber hukum.
Negara selalu memerlukan kekuasaan, maka kalau
kekuasaan baru itu lama-kelamaan diakui masyarakat, kekuasaan baru itu dengan
sendirinya sah. Lebih lanjut, Magnis-Suseno menjelaskan dalam catatan kaki,
mengutip Zippelius, “Kualifikasi yuridis revolusi ditentukan oleh sukses. Apabila
revolusi gagal, artinya bersifat pidana (strafrechtlich). Apabila
berhasil, artinya yuridis (staatsrechtlich). Apabila kekuasaan negara
baru, dapat mempertahankan diri, maka yang terjadi bukan hanya situasi
kekuasaan yang baru, melainkan juga situasi hukum yang baru.”
Tetapi etika politik tidak memasuki masalah-masalah legalitas, melainkan mempertanyakan legitimasi moral revolusi. Dapatkah suatu revolusi dibenarkan secara moral? Singkatnya, dengan mengambil contoh Revolusi Prancis, Revolusi Oktober, revolusi di Vietnam, Kamboja, atau Iran, Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik, menjelaskan bahwa revolusi (yang jelas dengan kekerasan), sulit dicarikan dasar legitimasi moralnya.
Bahwa revolusi, menurutnya, selalu dilakukan dengan kekerasan dan menindas hak-hak asasi manusia. Revolusi dilakukan untuk mengakhiri penindasan. Tapi, penindasan selalu melahirkan penindasan baru. Demikian kira-kira penjelasan Prof Magnis. Namun, muncul pertanyaan, dan Prof Magnis juga memunculkan pertanyaan dalam bukunya, bagaimana halnya dengan bangsa-bangsa yang mau membebaskan diri dari penjajahan atau dari pendudukan tentara bangsa lain?
Indonesia, misalnya, ketika revolusi kemerdekaan? Prof Magnis tak membahas problem revolusi Indonesia menentang kolonial Belanda dari perspektif etika politik. Dan bagaimana pula, dalam pandangan Islam, perang melawan musuh? Apakah dilema seperti itu yang dimaksud Magnis dengan problematika etis?
(lebih jelas penjelasan Magnis, lihat Franz Magnis-Suseno. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, hlm. 146-168, Bab tentang "Kebebasan Suara Hati dan Hak Perlawanan")
0 komentar:
Posting Komentar