Pilkada boleh usai.
Tapi, proses demokrasi tak boleh berhenti. Jika kita merujuk ke pemikiran filosof
Jerman Jurgen Habermas, tokoh Teori Kritis Mazhab Frankfurt, demokrasi itu
idealnya berlangsung terus-menerus di ruang-ruang publik:
berupa wacana, diskursus, perdebatan rasional, dialog kritis-argumentatif, bincang-bincang,
dan tindak-tindak komunikatif lainnya. Dari situlah diharapkan perubahan sosial
ke arah yang lebih baik dapat terjadi.
Setelah calon kepala daerah
terpilih dalam bilik suara, bukan berarti selesai juga proses demokrasi dan “kontrol
sosial” dari masyarakat. Kebijakan-kebijakannya justru harus terus-menerus dilegitimasi
dan dirasionalisasi. Pilkada dan pemilu hanyalah “demokrasi prosedural” saja. “Demokrasi
substansial” itulah yang mesti terus berlangsung di ruang-ruang publik. Dalam
tulisan ini, saya tak akan membahas persoalan demokrasi prosedural dan
substansial secara panjang-lebar. Yang ingin saya jelaskan di sini: masalah
legalitas dan legitimasi hasil pilkada, termasuk juga hasil pemilu.
Legalitas
Kata “legal”, berasal dari bahasa
Latin “lex”, yang berarti “hukum”. Legal berarti “sesuai dengan hukum”.
Sesuatu dikatakan legal apabila dilakukan sesuai dengan hukum (lex) atau
peraturan yang berlaku. Legalitas berarti kesesuaian dengan hukum yang berlaku.
Menurut Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-Prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern, (1994), legalitas tidak mungkin merupakan
tolok ukur paling fundamental bagi keabsahan wewenang politik. Karena sifat
keterbatasannya.
Dalam konteks pilkada maupun
pemilu, hasil pemilihan dikatakan legal ialah jika telah sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku, seperti misalnya UU Pilkada, UU Pemilu, peraturan-peraturan
KPU, dan regulasi-regulasi lainnya: mulai dari pemenuhan syarat-syarat
pencalonan, proses pendaftaran calon, kampanye, sampai pencoblosan dan penghitungan
suara. Jika terjadi pelanggaran hukum oleh calon, seperti praktik money
politics ‘politik uang’, intimidasi, kecurangan, kekerasan, dan pelanggaran
hukum lainnya, namun tidak bisa dibuktikan secara hukum, calon tersebut, secara
hukum (legalitas) tetaplah dianggap sah. Mengapa? Karena, meskipun pelanggaran
itu benar-benar ada, ia harus terbukti sah dan meyakinkan bersalah terlebih
dahulu baru si calon dianggap tidak sah secara hukum.
Atau, contoh lain, aturan yang
ada, misalnya, dianggap tidak baik, tidak mencerminkan substansi demokrasi dan kedaulatan
rakyat, dan dipandang perlu di-judicial review ke MK atau MA, namun
karena itulah aturan yang berlaku, maka tetaplah aturan itu yang diikuti. Sekalipun
aturan itu buruk, misalnya, tak demokratis, dan lain sebagainya. Itulah contoh kelemahan
dalam positivisme hukum.
Tentang hasil pilkada maupun
pemilu di berbagai tempat di Indonesia, masyarakat yang waras mungkin tahu ada
pelanggaran-pelanggaran hukum dan cara-cara yang tidak etis dan tak bermoral
dalam memperoleh suara atau dukungan, misalnya, tapi membuktikannya sangat
sulit. Hasil pilkada dan pemilu tetaplah dianggap sah dan calon yang memperoleh
suara terbanyak—terlepas bagaimana cara-cara mereka memperolehnya—tetap
dianggap punya legalitas sebagai kepala daerah atau wakil rakyat.
Ya, secara hukum memang sah. Tapi
dalam hakikat berdemokrasi, di situ terdapat persoalan “legitimasi atau
keabsahan” kekuasaan yang didapat. Jika legalitas bersifat hal-hal yang formal
secara hukum yang berlaku, legitimasi melampaui tatanan hukum positif yang ada.
Ia bicara sumber kekuasaan secara hakiki, bukan sekedar legal-formal. Ia
berbicara dalam tataran etika politik (filsafat), bukan sekedar hukum positif semata.
Dalam demokrasi, sumber kekuasaan
(power) itu adalah dari rakyat (people) itu sendiri, bukan hanya
sekedar “dilegal-legalkan” berdasarkan peraturan-peraturan yang ada. Dengan
kata lain, tidak cukup berdasarkan regulasi yang ada. Jika hanya berdasarkan
regulasi yang ada, maka pilkada atau pemilu tidak lebih hanya sekedar alat atau
sarana belaka untuk “melegalkan kekuasaan” seseorang atau sekelompok orang
terhadap orang banyak.
Apa
itu legitimasi kekuasaan?
Secara sederhana, legitimasi
diartikan dengan “keabsahan”. Untuk lebih mudah memahami, saya berikan sebuah contoh:
di suatu pilkada kabupaten, misalnya, terdapat dua pasang calon: calon A dan
calon B. Calon A berhasil memperoleh suara terbanyak dalam pilkada. Tapi itu
dilakukan dengan cara-cara melanggar aturan, seperti penggelembungan suara, politik
uang, intimidasi, kekerasan, dan lain sebagainya. Hampir semua orang yang berakal
sehat di kabupaten itu tahu praktik kecurangan yang dilakukan calon A. Tapi,
karena berbagai sebab, masyarakat tidak bisa membuktikan secara hukum. Akhirnya,
calon A memperoleh suara terbanyak.
Calon B tidak menerima hasil
pilkada dan berupaya mengajukan gugatan ke MK. Tapi, malangnya, di MK, ia tak
mampu menghadirkan saksi-saksi maupun bukti-bukti yang sah dan meyakinkan
majelis hakim. Akhirnya: gugatan ditolak. Calon A ditetapkan sebagai calon
terpilih, dan berhak menjadi bupati. Secara hukum atau legalitas, calon A
dianggap sah sebagai bupati. Mengapa? Karena pelanggaran hukum yang ia lakukan
tidak bisa dibuktikan secara hukum juga. Walaupun pada faktanya, misalnya, calon
B-lah yang mendapatkan dukungan murni dan terbanyak.
Itulah contoh sederhana perbedaan
legalitas dan legitimasi. Legitimasi berbicara tentang substansi cara-cara
seseorang memperoleh kekuasaan. Pertanyaan dasar legitimasi kekuasaan ialah: “Atas
dasar apa Anda berhak memimpin kami? Siapa yang memberikan wewenang kepada Anda
untuk memimpin kami?”
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan
itu dianggap punya legitimasi jika kekuasaan itu diperoleh dari rakyat itu sendiri.
Itulah prinsip kedaulatan rakyat. Jadi, ada semacam “restu” atau persetujuan dari
rakyat itu sendiri. Dan rakyat mendukung penuh orang yang telah diberi kekuasaan
itu. Kalau kita imajinerkan, seolah-olah rakyat berkata: “Pimpinlah kami dan
kami rela engkau menjadi pemimpin kami. Kami dukung engkau sepenuhnya. Tapi, kami
berhak meluruskan engkau jika engkau memimpin tak sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan dan kebenaran.” Begitulah kira-kira hakikat legitimasi. Idealnya,
kepala daerah maupun wakil rakyat terpilih itu tidak hanya berdasarkan
legalitas formal semata, tapi benar-benar memperoleh persetujuan murni atau
legitimasi dari rakyat.
Nani Efendi
Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Tebo (2018-2023), Provinsi Jambi
Mantap kando
BalasHapus