Oleh: NANI EFENDI
Pada suatu Sabtu sore, kira-kira jam 17.30 WIB, tanggal 15 Januari 2011, saya dan kawan saya, Pak Amin, sampai di
rumah kontrakan Ir. Pardamean Simanjuntak, Asisten Kepala (Askep) PT. Tebo
Plasma Inti Lestari. Rumah kontrakan yang berlokasi di Kota Muara Tebo itu
terlihat sederhana dan sepi. Ketika kami sampai di rumahnya, pria yang akrab dipanggil
Pak Juntak itu sedang makan bersama dua orang anaknya. Kami dipersilakan masuk
dan duduk di atas lantai tanpa tikar.
Rumah
seluas kira-kira 6x10 meter itu terlihat sepi dari berbagai aneka perabot dan
hiasan. Hanya ada sebuah meja tulis dengan satu buah kursi, satu buah televisi dan
mesin digital. Di dekat pintu masuk, ada sebuah sepeda motor Honda Vario
berwarna merah. Sementara dinding rumahnya hanya terpampang foto-foto anaknya
dan juga foto ia bersama istrinya. Di rumahnya juga terdapat satu buah kipas angin.
Di samping kipas angin, ada kalender bergambar Yesus.
“Permisi!” kata kawan saya, Pak Amin. “Siapa?” tanya beliau dari dalam. “Saya, Pak, Amin,” jawab Pak Amin. “O, ya. Silakan masuk,” kata Pak Juntak mempersilakan kami masuk. “Dari mana?” tanya Pak Juntak memulai pembicaraan. “Dari dalam, Pak. Dari TPIL,” jawab Pak Amin. Pertama, kami berbincang-bincang ringan dan seadanya. “Ibu mana, Pak?” tanya saya. “Masih di Medan,” jawab beliau.
Akhirnya, setelah beberapa menit berbincang, barulah
kelihatan bahwa Pak Juntak yang selama ini terkesan cuek dan serius ternyata cukup familier dan humoris. Kami berdiskusi
tentang berbagai hal. Mulai dari persoalan PT. TPIL sampai kepada hal-hal yang
berbobot intelektual, falsafah, dan agama.
Banyak
pelajaran yang saya dapatkan dari diskusi selama kurang lebih tiga jam itu. “Inilah
keadaan rumah saya. Sangat jauh dari kesan sederhana. Kursi tamu saja tidak ada,”
katanya. “Mungkin, orang mengira saya ini seharusnya sudah punya ‘istana’. Tetapi,
kenyataannya?” tambahnya sambil membuka kedua tangannya. Beliau juga
menjelaskan bahwa banyak orang yang
menilai yang tidak-tidak selama ia menjabat pimpinan PT. TPIL. Seolah-seolah, ia
telah mendapatkan banyak keuntungan materi dari jabatan itu.
“Kalau
prinsip saya, menjadi pemimpin itu ialah selalu berpikir apa yang dapat saya
berikan untuk sebuah kemajuan,” terangnya sambil memandang ke arah kami berdua.
“Hanya orang-orang saja banyak yang menilai bukan-bukan terhadap saya,” tambahnya.
Setelah
berdiskusi tentang manajemen dan kepemimpinannya dalam mengelola PT. TPIL, kami
berdiskusi tentang persoalan kehidupan secara umum. Beliau mengatakan, bahwa menjadi
pemimpin atau kedudukan apa pun namanya, disebabkan oleh banyak faktor. Ada satu
hal yang sangat berkesan dari istilah beliau, yaitu beliau mengatakan, “Orang
bodoh dikalahkan oleh orang pintar; orang pintar dikalahkan oleh orang yang bernasib;
orang bernasib dikalahkan oleh orang bertuah.”
Tapi,
menurut saya, orang bernasib itulah yang semestinya diletakkan di penghujung. Tepatnya: orang bertuah dikalahkan oleh orang yang bernasib. Karena, nasib ditentukan
oleh Tuhan itu sendiri. Tapi bisa jadi maksud beliau sama: tuah diberikan
oleh Tuhan juga.
Beliau
juga menjelaskan tentang filosofi batang pisang. Beliau mengatakan, “Batang
pisang itu punya prinsip yang kuat: biar daunku dicabik-cabik oleh
tangan-tangan manusia, dan batangku ditebas-tebas oleh manusia, namun satu hal
yang menjadi tekadku: aku tidak akan mau mati sebelum aku menghasilkan buah
yang bermanfaat bagi manusia.”
Di
samping itu, beliau menjelaskan juga tentang semut. “Ada tiga hal yang dapat saya
petik pelajaran dari kehidupan semut: pertama, semut itu tidak pernah tidur. Mereka
bekerja sepanjang waktu. Ini artinya apa? Semut itu giat, rajin, dan pekerja
keras. Prinsip kerja keras itu mesti kita contoh. Kedua, semut itu mengedepankan
prinsip kerjasama. Mereka tidak egois. Lihat saja, misalnya, ketika mendapatkan
makanan yang besar, mereka bekerjasama untuk membawanya. Bukan membunuh atau
menyingkirkan kawan-kawannya yang lain.
Nah,
prinsip kerjasama, saling membantu, dan tidak mengedepankan egoisme, mesti kita
jadikan prinsip dalam hidup kita. Ketiga, semut itu teratur. Mereka berjalan
secara teratur. Ketika bertemu dengan saudaranya, mereka saling menegur. Kehidupan
dalam kerajaan semut sangat harmonis. Nah, kehidupan yang seperti ini mesti
kita contoh,” terang beliau secara panjang lebar.
Setelah
beliau tak lagi memimpin PT. TPIL, saya sudah jarang sekali bertemu beliau. Beliau sangat
menginspirasi saya dalam beberapa hal, di antaranya dalam hal kepemimpinan (leadership), manajerial, dan kecakapan berkomunikasi
(public speaking) di depan audiens. Beliau
tipe manusia pembelajar. Beliau punya banyak buku dan hobby baca buku. Pernah beliau
berkata, “Belajar itu ibarat berenang melawan arus. Ketika kita berhenti, maka seketika
itu juga kita terdorong ke belakang dan tertinggal di belakang.” Tulisan ini saya buat
pada 2011 lalu. Beberapa hari setelah kunjungan saya ke rumah beliau seperti awal tulisan di atas. Sekarang terasa
perlu untuk saya publikasikan. (Nani Efendi)
0 komentar:
Posting Komentar