alt/text gambar

Senin, 29 Maret 2021

Topik Pilihan: ,

BELAJAR DARI KESEDERHANAAN PARDAMEAN SIMANJUNTAK



Oleh: NANI EFENDI

 

Pada suatu Sabtu sore, kira-kira jam 17.30 WIB, tanggal 15 Januari 2011, saya dan kawan saya, Pak Amin, sampai di rumah kontrakan Ir. Pardamean Simanjuntak, Asisten Kepala (Askep) PT. Tebo Plasma Inti Lestari. Rumah kontrakan yang berlokasi di Kota Muara Tebo itu terlihat sederhana dan sepi. Ketika kami sampai di rumahnya, pria yang akrab dipanggil Pak Juntak itu sedang makan bersama dua orang anaknya. Kami dipersilakan masuk dan duduk di atas lantai tanpa tikar.

Rumah seluas kira-kira 6x10 meter itu terlihat sepi dari berbagai aneka perabot dan hiasan. Hanya ada sebuah meja tulis dengan satu buah kursi, satu buah televisi dan mesin digital. Di dekat pintu masuk, ada sebuah sepeda motor Honda Vario berwarna merah. Sementara dinding rumahnya hanya terpampang foto-foto anaknya dan juga foto ia bersama istrinya. Di rumahnya juga terdapat satu buah kipas angin. Di samping kipas angin, ada kalender bergambar Yesus.

“Permisi!” kata kawan saya, Pak Amin. “Siapa?” tanya beliau dari dalam. “Saya, Pak, Amin,” jawab Pak Amin. “O, ya. Silakan masuk,” kata Pak Juntak mempersilakan kami masuk. “Dari mana?” tanya Pak Juntak memulai pembicaraan. “Dari dalam, Pak. Dari TPIL,” jawab Pak Amin. Pertama, kami berbincang-bincang ringan dan seadanya. “Ibu mana, Pak?” tanya saya. “Masih di Medan,” jawab beliau. 

Akhirnya, setelah beberapa menit berbincang, barulah kelihatan bahwa Pak Juntak yang selama ini terkesan cuek dan serius ternyata cukup familier dan humoris. Kami berdiskusi tentang berbagai hal. Mulai dari persoalan PT. TPIL sampai kepada hal-hal yang berbobot intelektual, falsafah, dan agama.

Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari diskusi selama kurang lebih tiga jam itu. “Inilah keadaan rumah saya. Sangat jauh dari kesan sederhana. Kursi tamu saja tidak ada,” katanya. “Mungkin, orang mengira saya ini seharusnya sudah punya ‘istana’. Tetapi, kenyataannya?” tambahnya sambil membuka kedua tangannya. Beliau juga menjelaskan  bahwa banyak orang yang menilai yang tidak-tidak selama ia menjabat pimpinan PT. TPIL. Seolah-seolah, ia telah mendapatkan banyak keuntungan materi dari jabatan itu.

“Kalau prinsip saya, menjadi pemimpin itu ialah selalu berpikir apa yang dapat saya berikan untuk sebuah kemajuan,” terangnya sambil memandang ke arah kami berdua. “Hanya orang-orang saja banyak yang menilai bukan-bukan terhadap saya,” tambahnya.

Setelah berdiskusi tentang manajemen dan kepemimpinannya dalam mengelola PT. TPIL, kami berdiskusi tentang persoalan kehidupan secara umum. Beliau mengatakan, bahwa menjadi pemimpin atau kedudukan apa pun namanya, disebabkan oleh banyak faktor. Ada satu hal yang sangat berkesan dari istilah beliau, yaitu beliau mengatakan, “Orang bodoh dikalahkan oleh orang pintar; orang pintar dikalahkan oleh orang yang bernasib; orang bernasib dikalahkan oleh orang bertuah.”

Tapi, menurut saya, orang bernasib itulah yang semestinya diletakkan di penghujung. Tepatnya: orang bertuah dikalahkan oleh orang yang bernasib. Karena, nasib ditentukan oleh Tuhan itu sendiri. Tapi bisa jadi maksud beliau sama: tuah diberikan oleh Tuhan juga.

Beliau juga menjelaskan tentang filosofi batang pisang. Beliau mengatakan, “Batang pisang itu punya prinsip yang kuat: biar daunku dicabik-cabik oleh tangan-tangan manusia, dan batangku ditebas-tebas oleh manusia, namun satu hal yang menjadi tekadku: aku tidak akan mau mati sebelum aku menghasilkan buah yang bermanfaat bagi manusia.”

Di samping itu, beliau menjelaskan juga tentang semut. “Ada tiga hal yang dapat saya petik pelajaran dari kehidupan semut: pertama, semut itu tidak pernah tidur. Mereka bekerja sepanjang waktu. Ini artinya apa? Semut itu giat, rajin, dan pekerja keras. Prinsip kerja keras itu mesti kita contoh. Kedua, semut itu mengedepankan prinsip kerjasama. Mereka tidak egois. Lihat saja, misalnya, ketika mendapatkan makanan yang besar, mereka bekerjasama untuk membawanya. Bukan membunuh atau menyingkirkan kawan-kawannya yang lain.

Nah, prinsip kerjasama, saling membantu, dan tidak mengedepankan egoisme, mesti kita jadikan prinsip dalam hidup kita. Ketiga, semut itu teratur. Mereka berjalan secara teratur. Ketika bertemu dengan saudaranya, mereka saling menegur. Kehidupan dalam kerajaan semut sangat harmonis. Nah, kehidupan yang seperti ini mesti kita contoh,” terang beliau secara panjang lebar.

Setelah beliau tak lagi memimpin PT. TPIL, saya sudah jarang sekali bertemu beliau. Beliau sangat menginspirasi saya dalam beberapa hal, di antaranya dalam hal kepemimpinan (leadership), manajerial, dan kecakapan berkomunikasi (public speaking) di depan audiens. Beliau tipe manusia pembelajar. Beliau punya banyak buku dan hobby baca buku. Pernah beliau berkata, “Belajar itu ibarat berenang melawan arus. Ketika kita berhenti, maka seketika itu juga kita terdorong ke belakang dan  tertinggal di belakang.” Tulisan ini saya buat pada 2011 lalu. Beberapa hari setelah kunjungan saya ke rumah beliau seperti awal tulisan di atas. Sekarang terasa perlu untuk saya publikasikan. (Nani Efendi)



0 komentar:

Posting Komentar