.
Oleh: Nani Efendi
Hampir sebagian besar masyarakat Semurup, Kerinci, pernah tahu ada cerita "Sutan Bagindo". Tapi, apakah ia benar-benar fakta atau hanya fiksi? Sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang juga mantan tapol (tahanan politik) Orde Baru—dan pernah diasingkan di Pulau Buru selama 13 tahun—ketika menulis tentang Tirto Adhi Soerjo (bapak pers Indonesia) dalam novelnya yang terkenal dengan judul Bumi Manusia, mungkin tak semuanya fakta. Tetap ia bercampur fiksi. Bercampur dengan imajinasi Pram (sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer) sendiri selaku penulisnya.
Begitu juga, mungkin, dengan cerita "Sutan Bagindo": tak sepenuhnya fakta, tapi juga bercampur dengan imajinasi Sutan Bagindo sendiri sebagai "sang pencerita". Sutan Bagindo, dalam pandangan saya, adalah seorang cerdas dan memiliki talenta dalam bidang seni. Konon, Sutan Bagindo mampu menceritakan kisah "Sutan Bagindo"—yang menurut kata orang adalah kisah hidupnya sendiri itu—sampai dua harmal (dua hari dua malam), dengan alur cerita yang alot dan teratur.
Tak banyak orang yang mampu seperti itu. Konten dalam kisah itu variatif: ada tangis ada tawa. Tapi, sebenarnya kisah itu adalah kisah tragis. Ceritanya terdengar murung. Mendengarkan kisah "Sutan Bagindo" adalah mengikuti kembali sebuah cerita pedih. Para pendengarnya, konon, selalu terisak-isak bercucuran air mata. Dalam bagian tertentu, ada kemiripan dengan cerita dalam novel Siti Nurbaya karya Marah Roesli (1922), yaitu: tentang kawin paksa dan kasih yang tak sampai.
Tapi juga, kisah "Sutan Bagindo" memotret fakta kehidupan sosial masyarakat Semurup, Kerinci, di masa lalu—mungkin masih berada di zaman pemerintahan kolonialisme Hindia Belanda—yang feodalistik dan mulai tercengkeram pandangan hidup kapitalisme. Ada kritik sosial di situ: kritik terhadap kehidupan masyarakat yang tak peduli dengan kaum miskin. Yang tak berpunya, seperti Sutan Bagindo sendiri, dianggap hina dan selalu tersingkir dalam kehidupan sosial—suatu sikap yang jauh dari gambaran nilai-nilai adat-budaya masyarakatnya sendiri yang katanya menjunjung tinggi filsafat hidup: "Adat bersendikan nilai Islam; nilai Islam bersendikan Kitabullah Al Qur'an".
Diceritakan bagaimana seorang pemuda miskin bernama Sutan Bagindo menjalin cinta sejati dengan kekasihnya, Siti Warno, yang berasal dari keluarga kaya dan relatif terdidik. Mereka adalah dua insan yang memiliki latar belakang stratifikasi sosial (social stratification) yang jauh berbeda. Hubungan itu tak direstui ayah Siti Warno yang notabene adalah orang terpandang di negerinya. Ia tak menginginkan anak gadisnya dinikahi orang yang tak berpunya—dan mereka berdua dianggap tak sekufu. Di dunia yang dibelah stratifikasi sosial yang tajam itulah Sutan Bagindo dan Siti Warno tersekat. Di situ, pengaruh budaya feodalisme, hedonisme, dan kapitalisme terlihat kuat.
Ayah Siti Warno menginginkan anaknya nikah dengan Bujang Rahman, yang sama-sama berasal dari keluarga berada (the haves) pada waktu itu. Tak ada "happy ending" dalam cerita itu: Sutan Bagindo pergi; Siti Warno menghilang, konon: bunuh diri.
Kisah ini, sebenarnya, tak kalah menarik dengan kisah Zainuddin dan Hayati yang ditulis Buya Hamka dalam roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939), yang pernah didakwa plagiat, menjiplak novel Sous les Tilleuls karya penulis Prancis, Jean-Baptiste Alphonse Karr. Hamka diduga mengambilnya dari saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi, yang berjudul Magdalena (Di Bawah Naungan Pohon Tilia).
Cerita Sutan Bagindo juga tak kalah hebat dengan kisah cinta yang gagal antara Hanafi dengan Corrie du Busse (seorang gadis Indo dengan ayah Prancis) dalam roman Salah Asuhan karya Abdoel Moeis yang terbit dalam bahasa Melayu pada 1928 di bawah penerbit Balai Pustaka. Atau, bisa jadi, lebih dramatis dari tragedi cinta dalam film “Titanic” yang disutradarai James Cameron, yang pernah populer pada akhir 1990-an. Tapi, kekurangannya: cerita "Sutan Bagindo" tak diangkat dalam novel maupun film. Dan, ia bahkan tak pernah ditulis sama sekali.
Goenawan Mohamad (GM), sastrawan yang juga mantan Pemred Majalah Tempo, pernah menggambarkan Wiji Thukul (seorang aktivis yang hilang di penghujung kekuasaan otoritarianisme Orde Baru pada 1998) sebagai sebuah "catatan kaki". Dalam kitab besar sejarah Indonesia, kata GM, Thukul tak ditulis di tengah halaman, tapi di bagian lain dalam catatan kaki dengan huruf kecil-kecil. Namun, Wiji Thukul—walaupun itu hanya sebuah gaya penulisan GM saja—masih beruntung: Thukul, walaupun hanya sebuah "catatan kaki", tapi masih ada dalam tulisan-tulisan. Masih dicatat. Sutan Bagindo lain: ia tak tercatat sama sekali—dalam literatur mana pun.
Ia hanya sebuah cerita verbal yang tak begitu membekas karena tak tertulis. Kisahnya tak banyak diketahui orang. Itulah beda bahasa lisan dibanding tulisan. Tulisan bisa abadi. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer juga, "Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Sebuah peribahasa dalam bahasa Latin: "Verba volant, scripta manent; kata-kata lisan terbang, sementara tulisan menetap." Senior saya di HMI, Wo Gazali, pernah menjelaskan kepada saya tentang kehebatan bahasa tulisan.
Ya, "Sutan Bagindo" hanya sebuah cerita lisan. Tak tertulis. Dan tak pernah ditulis. Berharap suatu saat ada orang yang menuliskannya dalam bentuk novel. Cerita "Sutan Bagindo" adalah sebuah magnum opus 'karya besar' orisinil dari Sutan Bagindo sendiri, seorang "seniman" asal Semurup, Kerinci, Jambi. Mungkin juga semacam "otobiografi" dirinya. Namun, penuh makna.
(Nani Efendi)
0 komentar:
Posting Komentar