alt/text gambar

Rabu, 31 Maret 2021

Topik Pilihan:

MENYULAP KERINCI MENJADI KOTA BESAR: SEBUAH IMAJINASI

 

Ilustrasi kota besar di Jepang


Oleh: NANI EFENDI

 

Gunung Kerinci adalah gunung berapi tertinggi di Indonesia, lebih tinggi dari Gunung Fujiyama di Jepang. Fujiyama punya ketinggian 3.776 m. Sedangkan Gunung Kerinci  menjulang dengan ketinggian  3.805 m. Keduanya—di samping sama-sama gunung berapi—punya keunikan masing-masing. Apa yang unik di Gunung Fujiyama? Kalau di kaki Gunung Kerinci cuma terdapat desa-desa kecil, hutan-hutan, dan pasar tradisional, seperti Kersik Tuo dan Pelompek, di kaki Gunung Fujiyama terdapat tiga kota besar: Kota Gotemba (timur), Kota Fuji-Yoshida (utara) dan Kota Fujinomiya (barat daya).

Mungkin, karena wilayah Jepang yang kecil, tak sebanding dengan jumlah penduduknya, maka di kaki gunung pun dibangun kota-kota besar yang dihuni banyak penduduk. Mungkin juga karena secara ekonomi Jepang memang lebih maju dari Indonesia. Tapi saya cuma membayangkan jika saja di kaki Gunung Kerinci ada kota besar yang penuh dengan gedung-gedung pencakar langit seperti di kaki Gunung Fujiyama. Mungkin, seperti halnya Fujiyama, ia juga akan menjadi tujuan wisata dunia.

Lantas, di mana gerbang masuknya? Kerinci memiliki bandara: Bandar Udara Depati Parbo yang siap disulap menjadi bandara internasional setaraf Kuala Lumpur International Airport (KLIA), atau Bandara Internasional Changi di Singapura (Singapore Changi Airport), atau mungkin selevel Bandara Dusseldorf di Jerman (Dusseldorf International Airport). Di bawah perut Gunung Selasih menuju Pelabuhan Teluk Bayur dan juga Bukit Pendung menuju Kota Jambi dibangun terowongan kereta cepat seperti terowongan yang menghubungkan Kota Ningbo dengan Kepulauan Zhoushan di Provinsi Zhejiang, Cina.

Ada juga transportasi kereta gantung antar puncak bukit seperti yang terkenal di Gunung Titlis, Swiss. Juga ada jalan raya bebas hambatan seperti sistem jalan raya di California (California Highway System) di Amerika Serikat, untuk menghubungkan dengan kota-kota terdekat, seperti Kota Jambi, Padang, Pekanbaru, dan Bengkulu. Taraf kehidupan ekonomi masyarakat akan tinggi. Pendidikan maju. Angka pengangguran rendah. Karena tersedia banyak lowongan kerja.

Itu kalau kita berpikir positifnya. Negatifnya? Kalau seperti yang saya bayangkan itu benar-benar terjadi banyak juga dampak negatifnya. Apa saja? Ya, yang jelas, hutan akan habis. Jika hutan habis kenapa? Masyarakat Kerinci akan kesulitan mendapatkan air bersih di samping bencana banjir dan tanah longsor. Persoalan pasokan air bersih, masyarakat Kerinci termasuk paling mewah. Sumbernya banyak. Kualitas air sangat bersih dan jernih. Bisa langsung diminum tanpa dimasak. Ini karena masih terawatnya hutan-hutan dengan baik.

Jika hutan habis, sumber air bersih pun bisa hancur. Udara sejuk juga dampak dari hutan yang terpelihara. Jika hutan habis, suhu udara akan panas. Kesejukan yang dinikmati selama ini bisa berubah panas jika hutan hancur. Satwa langka tentu juga akan musnah jika habitat hutannya dibabat. Tentu kita tak berharap itu terjadi. Biarlah hutan terus perawan, terutama di Kawasan TNKS. Karena itu berdampak positif, bukan hanya bagi dunia, tapi bagi masyarakat Kerinci itu sendiri. Masyarakat Kerinci mestinya berterima kasih pada dunia yang konon selalu menggelontorkan dana dalam jumlah besar untuk menjaga dan melestarikan hutan TNKS.

Terus apa lagi dampak negatif jika kota besar dibangun di kaki Gunung Kerinci? Areal persawahan juga habis. Juga polusi udara. Juga kerusakan lingkungan karena limbah industri. Terus? Banyak lagi. Belum lagi kita bicara dampak sosial, budaya, dan lain sebagainya. Ah, itu kan jika terjadi. Apa mungkin terjadi? Entahlah. Ini hanya sekedar berimajinasi. Yang jelas, Kerinci hari ini tetaplah seperti ia yang kita lihat. 

Namun, masyarakatnya tetap mengimpikan Kerinci sebagai daerah yang nyaman ditempati: birokrasi yang mudah pelayanannya (tanpa ada pungli dalam bentuk apa pun); proyek yang tepat sasaran dan benar-benar bermanfaat untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat tanpa ada praktik-praktik korupsi; sektor pendidikan yang baik; sektor kesehatan yang baik; perkantoran yang tertata rapi (tidak seperti saat ini tersebar di berbagai tempat dengan jarak-jarak yang cukup jauh). 

Masyarakat mengimpikan: tak ada banyak tukang parkir  yang nongkrong di setiap tempat yang setiap saat bisa meminta uang parkir secara paksa kepada masyarakat. Dan tak ada sampah berserakan di mana-mana.

Sekarang, lihatlah Sungai Batang Merao: dulu airnya jernih. Kini airnya sangat kotor dan keruh karena sudah dijadikan tempat pembuangan sampah oleh masyarakat. Manajemen pengelolaan sampah yang tidak beres dari pemerintah daerah itulah yang menyebabkan masyarakat akhirnya membuang sampah di mana-mana. Bagaimana mungkin Kerinci bisa menjadi daerah tujuan wisata yang nyaman, jika problem sampah saja tidak bisa dikelola dengan baik? 

Pendek kata, masyarakat mengimpikan Kerinci menjadi daerah yang sejahtera, makmur, berkeadilan, seperti daerah-daerah maju lainnya di Indonesia. Karena, Kerinci—oleh banyak orang—dijuluki sebagai "sekepal tanah surga yang dicampakkan ke bumi". (Nani Efendi)


0 komentar:

Posting Komentar