Oleh: NANI EFENDI
Gunung Kerinci adalah gunung
berapi tertinggi di Indonesia, lebih tinggi dari Gunung Fujiyama di Jepang. Fujiyama
punya ketinggian 3.776 m. Sedangkan Gunung Kerinci menjulang dengan ketinggian 3.805 m. Keduanya—di samping sama-sama gunung
berapi—punya keunikan masing-masing. Apa yang unik di Gunung Fujiyama? Kalau di
kaki Gunung Kerinci cuma terdapat desa-desa kecil, hutan-hutan, dan pasar
tradisional, seperti Kersik Tuo dan Pelompek, di kaki Gunung Fujiyama terdapat
tiga kota besar: Kota Gotemba (timur), Kota Fuji-Yoshida (utara) dan Kota Fujinomiya
(barat daya).
Mungkin, karena wilayah
Jepang yang kecil, tak sebanding dengan jumlah penduduknya, maka di kaki gunung
pun dibangun kota-kota besar yang dihuni banyak penduduk. Mungkin juga karena
secara ekonomi Jepang memang lebih maju dari Indonesia. Tapi saya cuma
membayangkan jika saja di kaki Gunung Kerinci ada kota besar yang penuh dengan
gedung-gedung pencakar langit seperti di kaki Gunung Fujiyama. Mungkin, seperti
halnya Fujiyama, ia juga akan menjadi tujuan wisata dunia.
Lantas, di mana gerbang
masuknya? Kerinci memiliki bandara: Bandar Udara Depati Parbo yang siap disulap
menjadi bandara internasional setaraf Kuala Lumpur International Airport (KLIA),
atau Bandara Internasional Changi di Singapura (Singapore Changi Airport), atau
mungkin selevel Bandara Dusseldorf di Jerman (Dusseldorf International
Airport). Di bawah perut Gunung Selasih menuju Pelabuhan Teluk Bayur dan juga
Bukit Pendung menuju Kota Jambi dibangun terowongan kereta cepat seperti
terowongan yang menghubungkan Kota Ningbo dengan Kepulauan Zhoushan di Provinsi
Zhejiang, Cina.
Ada juga transportasi kereta
gantung antar puncak bukit seperti yang terkenal di Gunung Titlis, Swiss. Juga
ada jalan raya bebas hambatan seperti sistem jalan raya di California (California
Highway System) di Amerika Serikat, untuk menghubungkan dengan kota-kota
terdekat, seperti Kota Jambi, Padang, Pekanbaru, dan Bengkulu. Taraf kehidupan
ekonomi masyarakat akan tinggi. Pendidikan maju. Angka pengangguran rendah.
Karena tersedia banyak lowongan kerja.
Itu kalau kita berpikir
positifnya. Negatifnya? Kalau seperti yang saya bayangkan itu benar-benar
terjadi banyak juga dampak negatifnya. Apa saja? Ya, yang jelas, hutan akan
habis. Jika hutan habis kenapa? Masyarakat Kerinci akan kesulitan mendapatkan
air bersih di samping bencana banjir dan tanah longsor. Persoalan pasokan air
bersih, masyarakat Kerinci termasuk paling mewah. Sumbernya banyak. Kualitas
air sangat bersih dan jernih. Bisa langsung diminum tanpa dimasak. Ini karena
masih terawatnya hutan-hutan dengan baik.
Jika hutan habis, sumber air
bersih pun bisa hancur. Udara sejuk juga dampak dari hutan yang terpelihara.
Jika hutan habis, suhu udara akan panas. Kesejukan yang dinikmati selama ini
bisa berubah panas jika hutan hancur. Satwa langka tentu juga akan musnah jika
habitat hutannya dibabat. Tentu kita tak berharap itu terjadi. Biarlah hutan
terus perawan, terutama di Kawasan TNKS. Karena itu berdampak positif, bukan
hanya bagi dunia, tapi bagi masyarakat Kerinci itu sendiri. Masyarakat Kerinci
mestinya berterima kasih pada dunia yang konon selalu menggelontorkan dana dalam
jumlah besar untuk menjaga dan melestarikan hutan TNKS.
Terus apa lagi dampak negatif jika kota besar dibangun di kaki Gunung Kerinci? Areal persawahan juga habis. Juga polusi udara. Juga kerusakan lingkungan karena limbah industri. Terus? Banyak lagi. Belum lagi kita bicara dampak sosial, budaya, dan lain sebagainya. Ah, itu kan jika terjadi. Apa mungkin terjadi? Entahlah. Ini hanya sekedar berimajinasi. Yang jelas, Kerinci hari ini tetaplah seperti ia yang kita lihat.
Namun, masyarakatnya tetap mengimpikan Kerinci sebagai daerah yang nyaman ditempati: birokrasi yang mudah pelayanannya (tanpa ada pungli dalam bentuk apa pun); proyek yang tepat sasaran dan benar-benar bermanfaat untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat tanpa ada praktik-praktik korupsi; sektor pendidikan yang baik; sektor kesehatan yang baik; perkantoran yang tertata rapi (tidak seperti saat ini tersebar di berbagai tempat dengan jarak-jarak yang cukup jauh).
Masyarakat mengimpikan: tak ada banyak tukang parkir yang nongkrong di setiap tempat yang setiap saat bisa meminta uang parkir secara paksa kepada masyarakat. Dan tak ada sampah berserakan di mana-mana.
Sekarang, lihatlah Sungai Batang Merao: dulu airnya jernih. Kini airnya sangat kotor dan keruh karena sudah dijadikan tempat pembuangan sampah oleh masyarakat. Manajemen pengelolaan sampah yang tidak beres dari pemerintah daerah itulah yang menyebabkan masyarakat akhirnya membuang sampah di mana-mana. Bagaimana mungkin Kerinci bisa menjadi daerah tujuan wisata yang nyaman, jika problem sampah saja tidak bisa dikelola dengan baik?
Pendek kata, masyarakat mengimpikan Kerinci menjadi daerah yang sejahtera, makmur, berkeadilan, seperti daerah-daerah maju lainnya di Indonesia. Karena, Kerinci—oleh banyak
orang—dijuluki sebagai "sekepal tanah surga yang dicampakkan ke
bumi". (Nani Efendi)
0 komentar:
Posting Komentar