Menurut Franz Magnis-Suseno, kata "ideologi", walaupun sering dipakai, tapi tidak terdapat kesamaan paham. Oleh karenanya, Magnis membedakan kata "ideologi" yang luas dan kurang tepat di satu pihak dan arti yang sempit dan tepat di lain pihak. Dalam arti luas, istilah "ideologi" dipergunakan untuk segala kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar, dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif. Penggunaan kata "ideologi" ini oleh kebanyakan penulis, menurut Magnis, dianggap tidak tepat, bahkan menyesatkan.
Pada banyak orang, kata Magnis, istilah "ideologi" langsung menimbulkan asosiasi negatif. Tapi, karena dalam bahasa Indonesia, dengan mengikuti cara bicara yang terutama ditemukan dalam negara-negara komunis (yang mengaku Marxisme-Leninisme sebagai "ideologi" yang mereka banggakan), kata "ideologi" dipakai sebagai sesuatu yang positif, maka, kata Magnis, ia juga akan menyebut nilai-nilai dan cita-cita yang luhur sebagai ideologi, tetapi bukan sebagai ideologi begitu saja, melainkan sebagai "ideologi terbuka".
Dalam arti sempit dan sebenarnya, kata Magnis, ideologi adalah gagasan atau teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Ideologi dalam arti ini disebut Magnis sebagai "ideologi tertutup". Karena kemutlakannya tidak mengizinkan orang mengambil jarak terhadapnya. Dalam arti lain; ideologi tertutup adalah gagasan-gagasan tertentu yang dimutlakkan.
Di samping kata "ideologi", ada juga kata "ideologis". Kata ini selalu berkonotasi negatif dan tidak pernah dipakai dalam arti "ideologi terbuka". Setiap usaha untuk memutlakkan gagasan-gagasan tertentu disebut ideologis. Biasanya kata "ideologis" sekaligus membawa konotasi, bahwa gagasan-gagasan yang dimutlakkan itu sebenarnya menyelubungi dan melindungi kepentingan-kepentingan kekuasaan tertentu.
Ideologi tertutup dapat dikenali dari beberapa ciri khas. Dalam sebuah negara, ideologi tertutup bukan cita-cita yang sudah hidup dalam masyarakat, melainkan berupa cita-cita kelompok yang mendasari suatu program untuk mengubah dan memperbaharui masyarakat. Kalau kelompok itu berhasil merebut kekuasaan politik, ideologinya itu akan dipaksakan pada masyarakat. Ideologi tertutup biasanya bersifat totaliter (menyangkut seluruh bidang kehidupan). Demi ideologi itu, segalanya dikorbankan, bahkan nyawa manusia. Tanda ideologi tertutup: tuntutan-tuntutannya kongkrit dan operasional.
Ideologi tertutup harus ditolak. Negara, kata Magnis, tidak berhak membuat sebuah ideologi tertutup untuk menjadi dasar kebijakannya. Penolakan itu berdasarkan: (1) dari segi tanggung jawab moral, (2) dari segi klaim para pengemban ideologi itu, dan (3) dari segi wewenang negara.
Dari segi moral, yang tidak pantas dari ideologi tertutup adalah ideologi itu menuntut ketaatan mutlak. Tidak ada manusia atau sistem pikiran manusia yang berhak menuntut ketaatan mutlak. Manusia selalu wajib untuk bertanggung jawab dan menilai sendiri apa yang sebenarnya menjadi kewajiban kita. Secara sederhana: kita selalu harus taat terhadap suara hati kita. Sedangkan ideologi menuntut agar kita secara buta taat atas perintah-perintahnya. Tuntutan itu amoral. Yang berhak menuntut dengan mutlak hanyalah satu: Allah. Tuntutan Allah tidak pernah memperkosa suara hati manusia.
Secara teknis formal: etika kritis menunjukkan bahwa yang berlaku mutlak hanyalah prinsip-prinsip moral dasar yang abstrak dan belum operasional--seperti kewajiban untuk selalu bersikap adil--sedangkan kewajiban-kewajiban kongkrit yang disimpulkan dari prinsip-prinsip abstrak non-operasional dasar itu tidak pernah berlaku mutlak. Antara prinsip dasar dasar moral yang memang berlaku mutlak dan aplikasinya dalam praktik yang dianggap wajib selalu terdapat jarak pertanggungjawaban. Orang harus mempertanyakan apakah aplikasinya dalam praktik itu memang merupakan perwujudan yang tepat dari prinsip moral dasar itu dalam situasi tertentu.
Tuntutan ideologis bersifat kongkrit dan mutlak dan tidak mengizinkan orang untuk mempersoalkannya. Sebagai contoh: saya mutlak wajib untuk selalu bertindak jujur. Tapi kemutlakan itu tidak menghilangkan ruang tanggung jawab saya. Karena saya tetap masih harus mencari apa arti kejujuran dalam situasi kongkrit tertentu. Kalau negara ideologis menuntut ketaatan mutlak, ruang tanggung jawab itu hilang.
Dari segi klaim para pengemban ideologi negara, harus dikatakan bahwa tidak ada manusia yang berhak untuk dengan mutlak memerintahkan sesuatu pada orang lain. Tidak ada ide-ide manusia yang berlaku mutlak dan tidak ada manusia yang berhak untuk mengklaim bahwa ia mempunyai suatu pengetahuan khusus tentang bagaimana orang lain harus hidup. Secara moral, setiap orang harus dianggap sama kuat dan lemahnya.
Dari sisi negara, negara sudah jelas tidak berwenang sama sekali untuk menetapkan bagaimana masyarakat harus hidup dan bertindak. Negara tidak berwenang untuk menentukan apa yang harus dipikirkan masyarakat dan bagaimana orang harus hidup. Negara ideologis merupakan salah satu perkembangan terburuk zaman modern karena menyerang manusia langsung pada martabatnya, pada tanggung jawabnya sebagai manusia yang berkesadaran, bersuara hati, dan bebas.
Tetapi penolakan terhadap negara ideologis tidak berarti bahwa negara harus diselenggarakan secara pragmatis belaka--apalagi negara pragmatis condong memakai pragmatisme sendiri sebagai ideologi, karena mudah dipakai untuk membenarkan suatu kekuasaan eliter. Yang berlaku tentang negara dengan ideologi tertutup tidak berlaku bagi negara dengan ideologi terbuka.
Ciri khas "ideologi terbuka": nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari harta kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat sendiri. Dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, tapi "konsensus masyarakat".
Dalam semua sistem politik yang tidak menganut ideologi tertutup, kita akan menemukan bahwa penyelenggaran negara berdasarkan pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar tertentu. Kadang-kadang dasar normatif itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tapi dalam kebanyakan negara, "undang-undang dasar" memuat rumusan normatif itu. Dasar normatif yang dapat kita sebut "falsafah negara" itu diperlukan sebagai kerangka untuk menyelenggarakan negara.
Falsafah negara itu merupakan norma yang paling dasar untuk mencek apakah kebijakan-kebijakan legislatif dan eksekutif sesuai dengan persetujuan dasar masyarakat. Nah, demokrasi modern berdasarkan kesepakatan dasar bersama. Kesepakatan itu berlandaskan pada nilai-nilai dan cita-cita dasar masyarakat. Maka ia menjadi dasar normatif bagi penyelenggaraan masyarakat. Ciri khas ideologi terbuka ialah: isinya tidak langsung operasional. Contohnya: kemanusiaan dan keadilan sosial dapat dapat merupakan unsur dalam falsafah negara.
Dua tuntutan itu tidak tertutup melainkan terbuka terhadap perkembangan dan pengertian baru. Keluhurannya justru terletak dalam fakta bahwa dua prinsip dasar itu tidak langsung operasional. Setiap generasi harus berusaha kembali untuk memahami apa arti kemanusiaan dan keadilan sosial dalam situasinya itu. (Lebih detail lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 366-373)
0 komentar:
Posting Komentar