Akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal diakui dalam suatu kaedah atau ketentuan dasar dalam ilmu Ushul Fiqh, bahwa "Adat itu dihukumkan", (al 'adah muhakkamah), atau lebih lengkapnya, "adat adalah syariah yang dihukumkan" (al 'adah syari'ah muhakkamah). Artinya, adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya, adalah sumber hukum dalam Islam. Tentunya, budaya lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Yang bertentangan dengan Islam harus dihilangkan atau diganti. Dibersihkan dari unsur-unsur syirik, takhayul, mitologi, feodalisme, ketidakpedulian pada nasib orang kecil yang tertindas, pengingkaran hak asasi, perlawanan terhadap prinsip persamaan umat manusia, dst. Semuanya harus ditiadakan dan diganti dengan ajaran Islam tentang tauhid.
Jadi, kedatangan Islam selalu mengakibatkan transformasi sosial (pengalihan bentuk) masyarakat ke arah yang lebih baik. Tapi, pada saat yang sama, kedatangan Islam tidak mesti "disruptif" atau bersifat memotong suatu masyarakat dari masa lampaunya semata, melainkan juga dapat ikut melestarikan apa saja yang baik dan benar dari masa lampau itu dengan cara membersihkannya dari unsur-unsur syirik. Bentuk praktek kebiasaan masyarakatnya bisa saja sama seperti masa lalu, tapi esensinya sudah berbeda. Sudah diisi dengan nilai tauhid. Contohnya yang dilakukan Sunan Kalijaga pada masyarakat Jawa yang sebelum Islam datang masyarakatnya masih menganut budaya Hinduisme dan Budhaisme. Contoh lain: praktik haji, kurban, mitologi tentang "hari dewa-dewa", dsb. Islam datang dan mengisinya dengan tauhid (lebih jelas, baca Nurcholish Madjid. Islam: Doktrin dan Peradaban [Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan]. Jakarta: Paramadina, 1992, h. 550-551)
0 komentar:
Posting Komentar