Jimly Asshiddiqie, dalam bukunya, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (h. 145-146) membedakan antara pengertian perwakilan pemikiran atau keterwakilan aspirasi (representation in ideas) dan perwakilan fisik atau keterwakilan fisik (representation in presence). Keterwakilan fisik ini terwujud dalam bentuk terpilihnya seorang wakil menjadi anggota parlemen (DPR, DPD, dan juga DPRD). Namun, dalam praktek, sistem perwakilan fisik belum menjamin tersalurnya aspirasi rakyat sebagaimana yang diharapkan. Banyak faktor yang menjadi persoalannya: faktor pribadi para wakil rakyat, faktor pilihan sistem yang dipraktikkan, sistem pemilu yang dianut, sistem kepartaian, dsb. Oleh karena itu, mekanisme keterwakilan rakyat melalui fungsi MPR (DPR dan DPD) tidak boleh dipahami secara mutlak, seolah-olah menjadi satu-satunya saluran kedaulatan rakyat yang sah. Meskipun rakyat telah menyalurkan aspirasinya melalui pemilu dan wakil-wakil rakyat yang terpilih telah duduk dalam keanggotaan MPR (yang terdiri atas dua kamar: DPR dan DPD), rakyat secara sendiri-sendiri masih tetap memiliki hak-hak asasinya masing-masing. Setiap individu rakyat tetap memiliki media lain untuk menyalurkan aspirasinya setiap waktu yang dijamin dalam konstitusi, yaitu melalui kebebasan pers, kebebasan berekspresi atau menyatakan pendapat, baik lisan maupun tulisan, kebebasan berunjukrasa, hak untuk mogok kerja, dan lain-lain saluran aspirasi. Inilah demokrasi yang substansial. Proses pemilihan wakil rakyat hanyalah baru sebatas demokrasi prosedural.
0 komentar:
Posting Komentar