Kalau
kita merujuk ke silabus perkaderan HMI,
khususnya Latihan Kader I (Basic Training), tidak ada materi Pengantar
Filsafat. Materi wajib dalam silabus LK I hanya ada lima: Sejarah Perjuangan
HMI, Mission HMI, Konstitusi HMI, Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI, dan materi Kepemimpinan, Manajemen, dan Organisasi (KMO). Selebihnya, hanya bersifat
muatan lokal saja. Sesuai kebutuhan yang dipandang relevan untuk Cabang
masing-masing. Di beberapa Cabang, tidak ada materi Pengantar Filsafat. Tapi
juga tidak salah jika ada Cabang yang tetap memasukkan materi filsafat dalam
Latihan Kader I.
Semenjak
saya dikader beberapa tahun yang lalu di HMI Cabang Kerinci, sudah ada materi
filsafat. Tapi pada awalnya dulu, nama materinya tidak umum seperti saat ini
“Pengantar Filsafat”, namun lebih spesifik yakni “Pengantar Filsafat Ilmu”.
Sekarang materinya menjadi lebih umum: Pengantar Filsafat. Yang jelas, tradisi
ini dipertahankan hingga kini di Cabang Kerinci. Saya, bahkan, beberapa kali
diminta oleh Cabang untuk mengisi materi ini, di samping materi-materi wajib
lainnya, seperti NDP, KMO, Konstitusi, Mission, dan lain-lain.
Pertanyaan saya, apa urgensi HMI Cabang Kerinci, dalam hal ini BPL, memasukkan materi Pengantar Filsafat? Alokasi waktunya pun sedikit: dua jam. Padahal, pembahasannya luas sekali. Ketika kita menyebut filsafat, tentu menimbulkan banyak pertanyaan. Karena dalam sejarah filsafat, ada banyak aliran-aliran filsafat yang harus dipahami. Ada banyak tokoh-tokoh filsafat yang harus dikenali beserta pemikiran-pemikiran mereka. Ada filsafat klasik, ada filsafat kontemporer. Ada filsafat Barat, filsafat Islam, filsafat Timur, dan lain-lain. Jadi mau kita mulai dari mana menerangkan dengan alokasi waktu yang sedemikian singkat? Benar-benar sulit menurut saya.
Jadi, apa pentingnya materi "Pengantar Filsafat" untuk peserta Latihan Kader I HMI? Setelah beberapa waktu merenung, saya mencoba untuk menyimpulkan mengapa materi filsafat dimasukkan ke dalam Latihan Kader HMI. Dan biasanya lagi, dimasukkan sebelum NDP HMI. Asumsi saya: kemungkinan, agar ada sedikit bekal landasan berpikir kritis dari peserta LK I. Karena NDP muatannya sangat filosofis. Tak bisa dipahami dengan mudah. Apalagi pesertanya kebanyakan masih usia belia yang belum terbiasa berpikir radikal atau mendalam. Tanpa ada kemampuan berpikir filosofis, bisa saja pemahaman kader terhadap NDP akan melenceng jauh dari maksud yang sebenarnya. Itu mungkin urgensinya menurut asumsi saya. Dan saya setuju materi filsafat tetap dimasukkan dalam Latihan Kader I HMI.
Apa itu filsafat?
Reza
A.A. Wattimena, alumni Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, yang banyak
menulis tentang filsafat, pernah mengajukan beberapa pertanyaan. Pertanyaan dia,
pernahkah Anda bertanya dalam hati, apa tujuan hidup ini? Atau mengajukan
pertanyaan, mengapa saya ada? Memang, katanya, agama memberikan jawaban. Namun,
lanjut Reza, apakah Anda puas dengan jawaban yang diberikan agama?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini merupakan pertanyaan dalam ranah filsafat.
Dari sini, sudah ada sekilas penjelasan apa itu filsafat. Tapi masih merupakan
penjelasan sederhana.
Jadi,
apa itu filsafat? Ada pengertian yang sangat umum tentang filsafat, yaitu: kata
“filsafat” berasal dari kata Yunani “filosofia”, yang arti harfiahnya
"cinta akan hikmat”. Atau cinta akan kebenaran dan kebijaksanaan. Tapi itu
pengertian yang sangat standar dan harfiah. Kita ingin pengertian yang lebih
mudah dipahami dalam konteks kehidupan manusia sehari-hari.
Setelah
banyak membaca dan mempelajari filsafat, penjelasan Reza A.A. Wattimena, tentang
filsafat, menurut saya lebih mudah dipahami. Menurut Reza, “Filsafat adalah
aktivitas untuk berpikir secara mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan besar
dalam hidup manusia (apa tujuan hidup, apakah Tuhan ada, bagaimana menata
organisasi dan masyarakat, serta bagaimana hidup yang baik), dan filsafat mencoba
menjawabnya secara rasional, kritis, dan sistematis.”
Filsafat,
lanjut Reza, sudah ada lebih dari 2000 tahun, dan belum bisa (tidak akan pernah
bisa) memberikan jawaban yang pasti dan mutlak, karena filsafat tidak
memberikan jawaban mutlak, melainkan menawarkan alternatif cara berpikir. Jadi,
mempelajari filsafat, menurut saya, bukanlah kita akan sampai pada kebenaran
mutlak, tapi lebih kepada memberikan pemahaman bahwa tidak ada kebenaran mutlak
dalam sejarah berpikir manusia. Selalu ada pemikiran-pemikiran alternatif. Dan
sebagaimana filsafat Hegel, segala sesuatu mengalami dialektika: tesis,
antithesis, dan sintesis. Begitulah seterusnya.
Jadi,
salah satu manfaat kita mempelajari filsafat, adalah keterbukaan berpikir. Membiasakan
kita untuk selalu berpikir kritis tentang segala hal. Senantiasa mempersoalkan
semua yang dianggap benar oleh masyarakat. Objek yang dipersoalkan luas sekali,
seperti persoalan agama dan ketuhanan, tentang kehidupan yang baik, tentang politik,
sosial, budaya, ekonomi, hukum, ideologi, etika, moral, estetika, termasuk ilmu
pengetahuan sekalipun. Pendek kata, semua ingin dipersoalkan oleh filsafat.
Jadi, filsafat mengajari kita untuk berpikir kritis dan radikal. Filsafat
selalu berupaya menemukan kebenaran mutlak. Tapi filsafat juga seakan-akan
menyadarkan kita bahwa tak ada kebenaran mutlak. Semuanya relatif. Yang mutlak
hanyalah yang Maha Mutlak itu sendiri, yakni Tuhan.
Filsafat dan kebenaran
Intinya,
filsafat selalu berupaya mencari kebenaran. Pertanyaannya, apakah “kebenaran”
itu? Adakah “kebenaran” itu? Untuk menjawabnya, kita tidak bisa menjadikan satu
jawaban filosof saja, atau satu aliran filsafat saja. Harus membedah
aliran-aliran filsafat yang ada. Di dalam tulisan ini, saya mencoba memberikan
jawaban dari beberapa pemikiran filosof saja. Mungkin ada yang menilai bahwa
jawaban ini tidak mutlak. Saya pikir itu sah-sah saja. Sebagaimana saya jelaskan
di atas, pemikiran filsafat tak ada yang mutlak. Senantiasa bisa dipersoalkan. Proses
filsafat mencari kebenaran tak pernah selesai. Tapi, mempersoalkan pemikiran
filsafat haruslah dengan berpikir filosofis juga: harus rasional, kritis, dan
sistematis.
Untuk
sekedar mengisi materi di forum LK I, saya mencoba menyampaikan yang saya kira
relevan saja untuk membangun pikiran kritis peserta. Namun, perlu saya
tegaskan, filsafat tidaklah sesederhana penjelasan saya dalam tulisan ini. Berikut
saya paparkan beberapa hakikat kebenaran menurut beberapa aliran saja dalam
filsafat.
Pertama, rasionalisme.
Rasionalisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah
ditentukan atau didapatkan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan
fakta, bukan berasal dari pengalaman inderawi semata. Rasionalisme menentang
paham empirisme. Kebenaran tak cukup didapatkan dengan pengalaman empiris, tapi
harus dianalisa oleh rasio. Jika hanya dengan empiris, pengetahuan itu bisa
keliru. Contohnya: gula manis kalau kita cicip dengan indera secara empiris.
Tapi mengapa bagi orang yang sakit gula bisa terasa pahit?
Kedua, empirisme.
Jika rasionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar adalah rasio (akal budi), empirisme adalah aliran yang
mengajarkan bahwa hanya pengalaman (lewat indra) merupakan sumber pengetahuan
yang benar.
Ketiga,
intuisionisme. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, intuisi diartikan dengan
bisikan hati, gerak hati atau daya batin untuk mengerti atau mengetahui sesuatu
tidak dengan berpikir atau belajar. Salah satu tokoh aliran ini adalah Henri
Bergson (1859-1941). Tokoh epistemology Intuisionisme ini menganggap tidak
hanya indera yang terbatas, akal juga terbatas. Objek-objek yang kita tangkap
itu adalah objek yang selalu berubah, jadi pengetahuan kita tentangnya tidak
pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Dengan menyadari keterbatasan
indera dan akal tersebut, Bergson mengembangkan satu kemampuan yang dimilki
oleh manusia, yaitu intuisi. Intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui
secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan
adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif),di samping pengalaman oleh
indera. Menurut Bergson, intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman
inderawi, namun yang sempurna adalah yang diperoleh melalui intuisi. Konon,
wanita lebih tajam intusinya ketimbang laki-laki. Wanita, sebagaimana pernah
saya baca, mudah mengetahui orang yang di hadapannya ingin berbuat jahat atau
berbuat baik.
Keempat,
positivisme. Positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang
berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi.
Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak
mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi. Yang menjadi ciri khas dari
positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. Dengan
demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya
oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga diklaim obyektif murni dan
universal.
Metodologi
yang diakui dalam positivisme adalah metode ilmu-ilmu alam yang mengklaim mampu
mencapai obyektifitas murni dan bersifat universal. Ilmu-ilmu sosial pun
dianggap benar menurut paham positivisme jika menggunakan metodologi ilmu alam.
Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam dianggap tidak mencukupi. Paham
inilah yang ditentang oleh aliran Teori Kritis Mazhab Frankfurt di Jerman, yang
tokoh-tokohnya antara lain: Max Horkheimer, Adorno, Herbert Marcus, dan Jurgen
Habermas.
Jadi,
yang dimaksud dengan kebenaran menurut pandangan positivisme adalah kebenaran
yang pernah dialami oleh pancaindera (empiris), yang realistis dan memiliki
fakta-fakta yang sebenarnya. Oleh karena itu, aliran positivisme tidak meyakini
hal-hal yang berhubungan dengan metafisika atau pun gaib yang tidak disertai
dengan fakta-fakta yang ada.
Kelima,
pragmatisme. Kata Charles S. Baylin, "Suatu preposisi adalah benar
sepanjang preposisi tersebut berlaku (works), atau memuaskan (satisfied);
berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut
teori tersebut." Menurut teori pragmatisme, kebenaran suatu pernyataan
diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu
atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan
manusia” (Jujun, 1984: 58-9). Dalam Pendidikan, misalnya, prinsip kepraktisan
telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing fakultas. Jurusan yang
lebih disukai adalah yang punya pasar kerja yang lebih luas. Mengenai kebenaran
tentang adanya Tuhan, para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah
Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau ide. Yang menjadi perhatian mereka
adalah makna praktis. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini
untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau
memuaskan.
Itulah
sekedar contoh aliran filsafat dalam upaya mencari kebenaran. Mana yang lebih
benar? Sampai saat ini, pemikiran-pemikiran filsafat terus berkembang. Tak bisa
dibatasi. Karena pikiran manusia tak mungkin dikekang dalam upayanya mencari
kebenaran. Proses manusia mencari kebenaran tak pernah selesai. Itu baru dari
sisi aliran. Belum lagi kita membahas dari tokoh-tokoh filsafat. Jika kita
membahas filsafat dari pemikiran tokoh-tokoh, kita akan berkenalan dengan banyak
tokoh filsafat, seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Friedrich Nietzsche, Karl
Marx, Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, hingga filosof
kontemporer seperti Jurgen Habermas, Hannah Arendt, Alain Badiou, Slavoj Zizek,
Ernesto Laclau, Jacques Ranciere, dan lain-lain.
Dalam
perkembangan filsafat dan keilmuan, tokoh-tokoh dengan pemikiran penting tidak
hanya lahir dari Barat, tapi juga ada filsuf muslim seperti Al-Kindi, Ar-Razi,
Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Muhammad Iqbal, Al-Ghazali, Ibnu Miskawaih, Mulla Sdra,
Ath-Thusi, Ibnu Thufail, Ibnu Bajjah, Al-Farabi, dan lain-lain.
Tapi untuk hanya sekedar pengantar filsafat, saya pikir cukup sebatas ini kita bahas. Bagi peserta yang ingin mendalami filsafat lebih luas, tentu harus belajar serius dengan banyak membaca berbagai literatur-literatur filsafat, termasuk karya-karya filosof-filosof besar.
Nani Efendi, Alumnus Latihan Kader III (Advance Training) Badko HMI Sumbagsel, 2008
--------------------------------------
Tulisan saya ini sudah saya presentasikan dalam mengisi materi "Pengantar Filsafat" Latihan Kader I (Basic Training) HMI Komisariat STIE SAK-STIA NUSA, di Mess Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, 15 Oktober 2021.
0 komentar:
Posting Komentar