Dalam sebuah dialog di TVRI beberapa waktu lalu, Dr Dirhamsyah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan bahwa banyak sarjana di Indonesia belum siap pakai. Tidak hanya itu, dalam sebuah artikel di Harian Kompas tanggal 4 Januari 1999 berjudul “Reformasi Pengajaran?” yang ditulis oleh J. Drost, terdapat penjelasan yang menarik. Dijelaskan bahwa sarjana di Indonesia—tentu bukan semuanya—belum bisa disebut profesional. Ia menjelaskan sarjana di Indonesia baru setingkat sarjana muda (B.A.) di Inggris dan Amerika.
Mengapa demikian? Karena, sampai tahun 1970-an, universitas-universitas di Indonesia memakai pola dan sistem Eropa, yakni Belanda. Tetapi, kemudian diubah dengan cara sistem Amerika dicangkokkan dengan pola Eropa.
Di Amerika, sebelum masuk ke universitas, mahasiswa harus terlebih dahulu masuk ke college yang berlangsung 3-4 tahun. Dalam college belum ada fakultas dan jurusan. Lulusan college mendapat gelar B.A. atau B.Sc., namun belum profesional. Artinya, masih bersifat umum. Nah, untuk menjadi profesional, mereka harus mencapai gelar master dan kemudian doktor di universitas atau graduate school.
Di Indonesia, sistem Amerika itu dikawinkan dengan pola Eropa, yakni sejak masuk perguruan tinggi sudah harus memilih fakultas. Sedangkan waktu kuliahnya hanya empat tahun. Nah, kuliah yang cuma empat tahun ini sudah diberi gelar sarjana. Gelar sarjana itu bukanlah gelar yang masih bersifat umum seperti B.A. dan B.Sc. di Amerika sebagaimana yang dijelaskan di atas, tetapi gelar yang sudah terspesialisasi atau spesifik, seperti Sarjana Ekonomi, Sarjana Hukum, Sarjana Pendidikan, Sarjana Peternakan dan lain sebagainya.
Gelar-gelar sarjana ini—di Indonesia—sudah dianggap profesional. Padahal, kalau di Amerika, gelar sarjana yang mereka istilahkan dengan B.A. dan B.Sc. belumlah profesional. Ia tidak ubahnya seperti diploma tiga di Indonesia.
Kalau di Eropa, tidak ada titel S1 atau gelar sarjana sebagaimana yang kita kenal di Indonesia. Yang ada ialah titel M.A., M.Sc., diplom, dokterandus, insinyur, namun waktu kuliahnya minimal enam tahun. Sementara gelar S1 di Indonesia diperoleh dalam waktu empat tahun. Jadi, sebenarnya, kata J. Drost, sarjana kita itu sebetulnya adalah B.A. ekonomi, B.A. teknik, B.A. pendidikan, dan sebagainya.
Dengan kata lain, sarjana kita setara dengan “diploma III” di Amerika dan Eropa. Nah, bagaimana supaya lulusan kita setara dengan lulusan luar negeri? Ya, mereka harus mengambil gelar magister. Tetapi, bukan “M.M.”. Mengapa? Karena, Magister Manajemen bukanlah gelar akademis, melainkan gelar profesional seperti halnya dokter, apoteker, psikolog, akuntan, dan sebagainya. Jadi, M.M. bukan strata 2.
Oleh karenanya, sulit menyebut seorang sarjana (B.A.) sebagai seorang profesional. Di luar negeri, baik Ir. atau diploma-Ir., Master of Engeneering maupun M.A. dan M.Sc. dibentuk di tingkat magister. Oleh karena itu, agar setara dengan lulusan di Amerika dan Eropa, maka Indonesia harus merubah sistem di perguruan tinggi. Kita jangan lagi pakai pola Amerika yang dicampuradukkan dengan pola Eropa.
Kita harus memakai pola dari salah satunya, yakni pola Amerika secara murni atau pola Eropa secara murni juga. Artinya, tidak boleh lagi dicampurkan. Titel akademik di Amerika ialah: College-Universitas: B.A.-M.A.-Ph.D. Sedangkan pola Eropa adalah: Universitas: M.A.-Dr.
Budaya membanggakan gelar
Di samping itu, terlepas dari penjelasan di atas, yang perlu dipahami juga oleh masyarakat adalah, gelar akademis bukanlah ukuran kemampuan seseorang. Jadi, kalau saya perhatikan, ada sebuah budaya yang salah di masyarakat kita saat ini, yaitu terlalu menghargai dan membanggakan gelar akademis yang dipunyai seseorang ketimbang kemampuan. Apakah terlalu menghargai gelar akademis ketimbang kemampuan itu salah? Hal itu sebenarnya tidaklah salah. Akan tetapi, semestinya kita harus lebih menghargai kemampuan atau ilmu seseorang daripada titel akademik semata-mata.
Terlalu menghargai dan menyanjung gelar akademik yang dilekatkan pada nama seseorang, menurut saya, adalah sebuah budaya feodal yang harus kita singkirkan jauh-jauh. Mengapa? Karena, gelar itu bukanlah ukuran mutlak kemampuan seseorang. Apalagi kalau kita melihat kondisi pendidikan di Indonesai saat ini, di mana gelar bisa didapatkan dengan mudah.
Bahkan, tanpa kuliah pun seseorang bisa mendapat gelar dengan cara “membeli”. Yang memang kuliah di perguruan tinggi pun terkadang memperoleh gelar dengan cara-cara yang tidak terpuji, seperti menjiplak skripsi, tesis, bahkan disertasi atau sering disebut plagiat. Ada juga praktik membeli skripsi, dan bahkan menyuruh orang lain untuk mengerjakan skripsinya dengan cara membayar sejumlah uang.
Jadi, untuk apa kita harus terlalu membanggakan gelar, kalau cara memperoleh gelar bisa dilakukan dengan cara gampang seperti itu? Yang mesti dihargai adalah kemampuan dan ilmu yang dimiliki seseorang serta kontribusinya dalam kehidupan, bukan embel-embel di depan atau di belakang namanya. Karena, embel-embel itu tidaklah dapat memastikan bahwa seseorang itu hebat atau luar biasa.
NANI EFENDI
Alumnus Himpunan Mahasiswa Islam
0 komentar:
Posting Komentar