Oleh: NANI EFENDI
Fesdiamon, salah seorang kader HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), meminta saya untuk menulis tentang Ketum PBNU terpilih. “Keren,” katanya via
WhatsApp. Saya bingung juga tentang apa tema tulisan yang pas untuk maksud Fes
itu. Tapi baiklah saya akan menulis tentang Ketua Umum PBNU terpilih, KH Yahya
Cholil Staquf (Gus Yahya). Sebenarnya, tidak ada
yang luar biasa dengan keterpilihan beliau menjadi pemimpin PBNU. Hanya saja,
bagi anak-anak HMI, ini sungguh luar biasa. Mengapa? Karena, Gus Yahya itu
adalah alumnus HMI. Semestinya, Ketua PBNU itu ya dari PMII atau dari
organisasi yang berafiliasi dengan NU, semisal GP Ansor, ISNU, IPNU, dan lain-lain.
Tapi, sekali
lagi, menurut saya, hal itu bukanlah hal yang luar biasa. Karena sudah lumrah kader
HMI bisa masuk ke segala lini dan bidang kehidupan bernegara. Di samping itu, secara
kategori, HMI dan NU bukanlah organisasi yang sama. HMI adalah organisasi
mahasiswa dan organisasi kader, sementara NU adalah organisasi massa (ormas). Artinya,
alumni HMI memang bisa masuk ke NU. Karena NU terbuka untuk umat (Islam). Yang “dilarang”
itu kalau anak HMI aktif, pada saat yang sama, masuk dan aktif juga menjadi
pengurus PMII. Itu sudah pasti menyalahi AD/ART organisasi. Karena status keduanya
sama-sama organisasi kemahasiswaan dan organisasi kader.
Andil dari HMI
Alumni HMI memimpin organisasi besar selevel NU bukanlah fenomena yang baru terjadi saat
ini. Sebelumnya, ada Buya Ahmad Syafii Ma’arif, yang juga alumnus HMI, memimpin
salah satu organisasi umat Islam terbesar juga di Indonesia, yakni Muhammadiyah. Ahmad
Syafii Ma’arif, yang lahir di nagari Sumpur Kudus, Sumatera Barat, menjadi
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 1998-2005, menggantikan
Amien Rais. Suatu posisi yang cukup tinggi dan bergengsi di Indonesia.
Rosihan Anwar, seorang sastrawan yang juga tokoh pers Indonesia, dalam artikelnya di Harian Kompas
yang berjudul “Ahmad Safii Ma’arif: Anak Kampung Tinggi Melambung” pernah menulis
tentang Ahmad Safii Ma’arif. “Menurut wartawan Herry Komar, di mata orang-orang
Sumpur Kudus, dengan menjadi Pemimpin Muhammadiyah, Syafii sudah setara
presiden, kepala negara,” tulis Rosihan Anwar. Ya, karena memang tidak gampang
mencapai posisi itu. Demikian juga di NU. Tak sembarang orang mampu menjadi
Ketua PBNU. Dengan jumlah anggota yang besar, konon lebih 100 juta, tentu
seleksinya juga luar biasa ketat.
Hanya
orang-orang yang punya kiprah dan kapasitas intelektual serta keilmuan yang
cukup yang mampu mencapai posisi ketua umum. Kader HMI yang mampu menduduki
posisi Ketua PBNU pastilah kader HMI yang diakui punya kiprah dan kualitas keilmuan
yang mumpuni. Gus Yahya kemungkinan sudah mencapai maqom (level) itu. Nah, kualitas
dan kapasitas keilmuan itulah yang mesti dikagumi dan menjadi inspirasi bagi kader-kader
HMI. Bukan sekedar bangga bahwa sekarang ada kader atau alumnus HMI bisa pimpin
PBNU.
HMI, sesuai
dengan tujuannya—yang tercermin dalam 5 kualitas insan cita—salah satunya
sangat menekankan pentingnya meningkatkan kemampuan akademis dan intelektual.
Kader HMI ditekankan untuk selalu mencintai dan mencari ilmu pengetahuan, serta
berkiprah mengabdikan ilmu untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik. Gus
Yahya sepertinya adalah kader HMI yang konsisten dengan 5 kualitas insan cita.
Hal itu tercermin dari kiprah intelektualnya. Meski ia tak bergelar akademis
tinggi.
Sejauh
penelusuran saya, Gus Yahya tak sempat menyelesaikan kuliah S1-nya di UGM. Hal
itu, sebagaimana dirilis Tempo.co, diakui oleh senior Yahya Staquf di
jurusan Sosiologi UGM yang juga sebagai guru besar Fisip Universitas Airlangga
(Unair), Hotman Siahaan. Menurut Hotman, Yahya memang tak sempat merampungkan
kuliah. Ketika itu, menurut Hotman, Yahya tinggal mengerjakan skripsi saja.
Tapi terus ditinggal studi ke Mesir atau ke Arab, kata Hotman Siahaan, sehingga
kuliahnya tidak sempat selesai.
Namun, dan
saya sepakat dengan guru besar Unair itu, gelar akademik tidak menjamin
kualitas intelektual seseorang. Dalam sejarah, banyak sekali kita melihat
tokoh-tokoh hebat yang tidak memiliki gelar akademis, atau tidak menyelesaikan
pendidikan formal. Gus Dur, Emha Ainun Nadjib, Pramoedya Ananta Toer, adalah beberapa
contoh. Yang seharusnya dilihat, menurut Hotman, adalah kiprah intelektual
seseorang ketimbang gelar akademis. Dan professor Unair itu menilai Yahya
Staquf punya kemampuan mengelola sebuah organisasi besar. Penjelasan Hotman ini
adalah respon terhadap salah seorang kader NU yang menginginkan PBNU dipimpin
oleh seorang yang bergelar profesor doktor.
Padahal, sebagaimana
kita maklum dengan kondisi saat ini, gelar akademis terkadang bisa didapatkan
dengan gampang dan dengan cara-cara yang tidak terpuji. Hotman mengatakan saat
ini berderet-deret intelektual bergelar profesor doktor. Yang bergelar guru
besar pun berseliweran. Namun banyak yang jejak rekam kiprah intelektualnya tidak
jelas. “Pengetahuan dan ilmu Yahya Staquf luar biasa, itu yang menurut saya
lebih penting dari sekedar gelar,” kata Hotman. Saya sependapat dengan Hotman.
Gus Yahya juga
pandai berkomunikasi dan piawai berbahasa Inggris. Dengan kemampuan bahasa asing,
ia bisa berkiprah dan berdialog di forum internasional. Dan saya yakin,
walaupun tak bergelar akademis, Gus Yahya adalah pecinta ilmu dan dunia
intelektual. Dapat dipastikan, ia seorang pembelajar, sebagaimana diajarkan
HMI. Dan saya juga yakin seyakin-yakinnya pengkaderannya di HMI punya andil
besar membentuk dirinya seperti saat ini.
HMI dan NU berkiprah untuk
umat
Dalam beberapa
hal, esensi tujuan NU dan tujuan HMI terdapat kesamaan. Dalam Anggaran Dasar NU
dijelaskan, “Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang
menganut faham Ahlus-Sunnah Waljama’ah dan menurut dari salah satu madzhab yang
empat untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi
kemaslahatan dan kesejahteraan umat.” Sementara tujuan HMI juga mensyiarkan
Islam, mempertahankan NKRI, serta bertanggung jawab mewujudkan masyarakat adil
makmur yang diridhai Allah.
Jadi, HMI dan
NU sama-sama membawa sacred mission (misi keummatan dan kebangsaan),
yaitu mensyiarkan Islam dan mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Jadi,
kehadiran Gus Yahya di PBNU bukanlah melemahkan misi NU, tapi justru memperkaya
wawasan keislaman dan kebangsaan bagi NU. Luthfi Assyaukanie, salah seorang
dosen Universitas Paramadina, melalui tulisannya di media sosial, yang berjudul
“Masa Depan NU”, menjelaskan sejak ditinggalkan Gus Dur, NU seperti kehilangan
arah, tak punya karakter, dan mudah terombang-ambing. Satu-satunya kekuatan
yang dimiliki NU adalah jumlah anggotanya, yang menjadi daya tarik sangat besar
bagi politik nasional.
Memang, banyak
orang berharap NU memerankan fungsi keumatan dan kebangsaan. Berkontribusi memajukan
kehidupan bangsa. NU tidak diharapkan menjadi alat bagi golongan tertentu dalam
berbagai kepentingan politik. NU adalah milik umat, milik bangsa. Bukan milik
kekuasaan. Juga bukan milik kekuatan oligarki atau sekelompok orang. Gus Yahya
yang merupakan kader HMI, tentu sangat memahami persoalan keislaman dan
keindonesiaan, kebangsaan dan keumatan. Beliau diharapkan mampu memimpin NU
dalam upaya mewujudkan masyarakat Indonesia adil makmur yang diridhai Allah
SWT, sebagaimana tujuan HMI itu sendiri.
NANI EFENDI, Alumnus LK III (Advance Training) Badko HMI Sumbagsel, 2008
0 komentar:
Posting Komentar