alt/text gambar

Sabtu, 25 Desember 2021

Topik Pilihan: , , , , ,

Kader HMI Pimpin NU: Fenomena Yahya Cholil Staquf


Oleh: NANI EFENDI

 

Fesdiamon, salah seorang kader HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), meminta saya untuk menulis tentang Ketum PBNU terpilih. “Keren,” katanya via WhatsApp. Saya bingung juga tentang apa tema tulisan yang pas untuk maksud Fes itu. Tapi baiklah saya akan menulis tentang Ketua Umum PBNU terpilih, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Sebenarnya, tidak ada yang luar biasa dengan keterpilihan beliau menjadi pemimpin PBNU. Hanya saja, bagi anak-anak HMI, ini sungguh luar biasa. Mengapa? Karena, Gus Yahya itu adalah alumnus HMI. Semestinya, Ketua PBNU itu ya dari PMII atau dari organisasi yang berafiliasi dengan NU, semisal GP Ansor, ISNU, IPNU, dan lain-lain.

Tapi, sekali lagi, menurut saya, hal itu bukanlah hal yang luar biasa. Karena sudah lumrah kader HMI bisa masuk ke segala lini dan bidang kehidupan bernegara. Di samping itu, secara kategori, HMI dan NU bukanlah organisasi yang sama. HMI adalah organisasi mahasiswa dan organisasi kader, sementara NU adalah organisasi massa (ormas). Artinya, alumni HMI memang bisa masuk ke NU. Karena NU terbuka untuk umat (Islam). Yang “dilarang” itu kalau anak HMI aktif, pada saat yang sama, masuk dan aktif juga menjadi pengurus PMII. Itu sudah pasti menyalahi AD/ART organisasi. Karena status keduanya sama-sama organisasi kemahasiswaan dan organisasi kader.

Andil dari HMI

Alumni HMI memimpin organisasi besar selevel NU bukanlah fenomena yang baru terjadi saat ini. Sebelumnya, ada Buya Ahmad Syafii Ma’arif, yang juga alumnus HMI, memimpin salah satu organisasi umat Islam terbesar juga di Indonesia, yakni Muhammadiyah. Ahmad Syafii Ma’arif, yang lahir di nagari Sumpur Kudus, Sumatera Barat, menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 1998-2005, menggantikan Amien Rais. Suatu posisi yang cukup tinggi dan bergengsi di Indonesia.

Rosihan Anwar, seorang sastrawan yang juga tokoh pers Indonesia, dalam artikelnya di Harian Kompas yang berjudul “Ahmad Safii Ma’arif: Anak Kampung Tinggi Melambung” pernah menulis tentang Ahmad Safii Ma’arif. “Menurut wartawan Herry Komar, di mata orang-orang Sumpur Kudus, dengan menjadi Pemimpin Muhammadiyah, Syafii sudah setara presiden, kepala negara,” tulis Rosihan Anwar. Ya, karena memang tidak gampang mencapai posisi itu. Demikian juga di NU. Tak sembarang orang mampu menjadi Ketua PBNU. Dengan jumlah anggota yang besar, konon lebih 100 juta, tentu seleksinya juga luar biasa ketat.

Hanya orang-orang yang punya kiprah dan kapasitas intelektual serta keilmuan yang cukup yang mampu mencapai posisi ketua umum. Kader HMI yang mampu menduduki posisi Ketua PBNU pastilah kader HMI yang diakui punya kiprah dan kualitas keilmuan yang mumpuni. Gus Yahya kemungkinan sudah mencapai maqom (level) itu. Nah, kualitas dan kapasitas keilmuan itulah yang mesti dikagumi dan menjadi inspirasi bagi kader-kader HMI. Bukan sekedar bangga bahwa sekarang ada kader atau alumnus HMI bisa pimpin PBNU.

HMI, sesuai dengan tujuannya—yang tercermin dalam 5 kualitas insan cita—salah satunya sangat menekankan pentingnya meningkatkan kemampuan akademis dan intelektual. Kader HMI ditekankan untuk selalu mencintai dan mencari ilmu pengetahuan, serta berkiprah mengabdikan ilmu untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik. Gus Yahya sepertinya adalah kader HMI yang konsisten dengan 5 kualitas insan cita. Hal itu tercermin dari kiprah intelektualnya. Meski ia tak bergelar akademis tinggi.

Sejauh penelusuran saya, Gus Yahya tak sempat menyelesaikan kuliah S1-nya di UGM. Hal itu, sebagaimana dirilis Tempo.co, diakui oleh senior Yahya Staquf di jurusan Sosiologi UGM yang juga sebagai guru besar Fisip Universitas Airlangga (Unair), Hotman Siahaan. Menurut Hotman, Yahya memang tak sempat merampungkan kuliah. Ketika itu, menurut Hotman, Yahya tinggal mengerjakan skripsi saja. Tapi terus ditinggal studi ke Mesir atau ke Arab, kata Hotman Siahaan, sehingga kuliahnya tidak sempat selesai.

Namun, dan saya sepakat dengan guru besar Unair itu, gelar akademik tidak menjamin kualitas intelektual seseorang. Dalam sejarah, banyak sekali kita melihat tokoh-tokoh hebat yang tidak memiliki gelar akademis, atau tidak menyelesaikan pendidikan formal. Gus Dur, Emha Ainun Nadjib, Pramoedya Ananta Toer, adalah beberapa contoh. Yang seharusnya dilihat, menurut Hotman, adalah kiprah intelektual seseorang ketimbang gelar akademis. Dan professor Unair itu menilai Yahya Staquf punya kemampuan mengelola sebuah organisasi besar. Penjelasan Hotman ini adalah respon terhadap salah seorang kader NU yang menginginkan PBNU dipimpin oleh seorang yang bergelar profesor doktor.

Padahal, sebagaimana kita maklum dengan kondisi saat ini, gelar akademis terkadang bisa didapatkan dengan gampang dan dengan cara-cara yang tidak terpuji. Hotman mengatakan saat ini berderet-deret intelektual bergelar profesor doktor. Yang bergelar guru besar pun berseliweran. Namun banyak yang jejak rekam kiprah intelektualnya tidak jelas. “Pengetahuan dan ilmu Yahya Staquf luar biasa, itu yang menurut saya lebih penting dari sekedar gelar,” kata Hotman. Saya sependapat dengan Hotman.

Gus Yahya juga pandai berkomunikasi dan piawai berbahasa Inggris. Dengan kemampuan bahasa asing, ia bisa berkiprah dan berdialog di forum internasional. Dan saya yakin, walaupun tak bergelar akademis, Gus Yahya adalah pecinta ilmu dan dunia intelektual. Dapat dipastikan, ia seorang pembelajar, sebagaimana diajarkan HMI. Dan saya juga yakin seyakin-yakinnya pengkaderannya di HMI punya andil besar membentuk dirinya seperti saat ini.

HMI dan NU berkiprah untuk umat

Dalam beberapa hal, esensi tujuan NU dan tujuan HMI terdapat kesamaan. Dalam Anggaran Dasar NU dijelaskan, “Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut faham Ahlus-Sunnah Waljama’ah dan menurut dari salah satu madzhab yang empat untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.” Sementara tujuan HMI juga mensyiarkan Islam, mempertahankan NKRI, serta bertanggung jawab mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah.

Jadi, HMI dan NU sama-sama membawa sacred mission (misi keummatan dan kebangsaan), yaitu mensyiarkan Islam dan mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Jadi, kehadiran Gus Yahya di PBNU bukanlah melemahkan misi NU, tapi justru memperkaya wawasan keislaman dan kebangsaan bagi NU. Luthfi Assyaukanie, salah seorang dosen Universitas Paramadina, melalui tulisannya di media sosial, yang berjudul “Masa Depan NU”, menjelaskan sejak ditinggalkan Gus Dur, NU seperti kehilangan arah, tak punya karakter, dan mudah terombang-ambing. Satu-satunya kekuatan yang dimiliki NU adalah jumlah anggotanya, yang menjadi daya tarik sangat besar bagi politik nasional.

Memang, banyak orang berharap NU memerankan fungsi keumatan dan kebangsaan. Berkontribusi memajukan kehidupan bangsa. NU tidak diharapkan menjadi alat bagi golongan tertentu dalam berbagai kepentingan politik. NU adalah milik umat, milik bangsa. Bukan milik kekuasaan. Juga bukan milik kekuatan oligarki atau sekelompok orang. Gus Yahya yang merupakan kader HMI, tentu sangat memahami persoalan keislaman dan keindonesiaan, kebangsaan dan keumatan. Beliau diharapkan mampu memimpin NU dalam upaya mewujudkan masyarakat Indonesia adil makmur yang diridhai Allah SWT, sebagaimana tujuan HMI itu sendiri.

NANI EFENDI, Alumnus LK III (Advance Training) Badko HMI Sumbagsel, 2008



0 komentar:

Posting Komentar