alt/text gambar

Jumat, 31 Desember 2021

Topik Pilihan: , ,

MULTATULI, BUKU YANG MENGHANCURKAN SARAF-SARAF?

 


Oleh: Nani Efendi

 

Saya pernah merekomendasikan buku bagus untuk dibaca kepada salah seorang senior saya. Buku itu berjudul Max Havelaar karya Multatuli. Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker. Douwes Dekker menulis Max Havelaar di Belgia pada tahun 1859. Buku ini sebenarnya adalah karya sastra berbentuk novel. Saya mengenal dan tertarik dengan buku ini karena penjelasan dari salah seorang sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. 

Dalam sebuah wawancara, Pram (sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer) menjelaskan tentang kehebatan karya Multatuli ini. Bahkan, Pram sendiri—sesuai penjelasan beliau dalam wawancara itu—dalam menciptakan karya-karya sastra, juga terpengaruh Multatuli. Bukan hanya Pram, R.A. Kartini, Bung Karno, dan banyak pemimpin pergerakan Indonesia juga terpengaruh Multatuli.

Menggugah kesadaran etis

Novel Multatuli berisi tentang kritik terhadap praktik penindasan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda. Buku inilah, salah satunya, yang menggugah kesadaran etis dan menyadarkan kaum pribumi bahwa mereka dijajah. Dalam salah satu tulisan di Kompas.co, dijelaskan: dalam buku Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983) karya Subagio Sastrowardoyo, disebutkan bahwa buku Max Havelaar mampu menggemparkan Belanda pada tahun 1860. Kritik dalam novel Multatuli itu, juga menggugah kaum humanis di Belanda untuk melakukan protes terhadap kerajaan Belanda sendiri. Sepuluh tahun setelah novel Max Havelaar terbit, Belanda menghapuskan kebijakan tanam paksa (Cultuurstelsel) di Hindia Belanda (negara yang sekarang bernama Indonesia)

Jadi, pengaruh karya Multatuli itu sungguh dahsyat. Ia mampu menggugah kesadaran etis dalam politik. Oleh karenanya, tidak salah Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “Seorang politikus tidak mengenal Multatuli, praktis tidak mengenal humanisme secara modern. Dan, politikus tidak mengenal Multatuli, bisa menjadi politikus kejam: pertama dia tidak kenal sejarah Indonesia; dua, tidak mengenal humanisme secara modern, dan bisa menjadi kejam.” Ketika ditanya lagi, apakah politisi sekarang membaca Multatuli, Pram menjawab dengan nada keras, “Saya yakin, para politikus sekarang tidak membaca apa-apa.” Pewawancara itu kaget dan bertanya, “Tidak membaca apa-apa?” Pram menjawab, “Tidak membaca apa-apa!

Dari penjelasan Pram inilah saya penasaran dengan novel Multatuli. Lama saya cari-cari. Akhirnya saya dapat membelinya lewat teman di Facebook. Saya baca sampai tamat. Namun, saya akui, buku ini tidak mudah dipahami. Hanya orang yang betul-betul serius dan sabar dalam membacanya yang mampu memahami dengan baik. Memahaminya tak gampang. Tak segampang membaca dan memahami novel-novel Pram. Novel Multatuli membosankan. Tapi, karena penasaran dan ingin memahami intisarinya, saya terus membaca dan membacanya. Dan akhirnya, saya berhasil menamatkannya. Tapi memang bagus isinya. Saya bisa memahami inti novelnya.

Setelah saya membaca novel itu, saya sarankan kepada salah seorang senior saya untuk membacanya juga. Saya jelaskan kehebatan novel ini. Karena tertarik dan penasaran juga mendengar penjelasan saya, akhirnya dia membacanya juga. Namun, beberapa bulan kemudian, dengan tertawa-tawa ia mengatakan kepada saya: buku Multatuli itu sulit sekali dipahami. Buku apa itu? Kira-kira seperti itu katanya pada saya. Novel itu tidak berhasil ia baca sampai tamat. Ia berikan kepada seorang teman lagi, katanya. Sampai sekarang, tidak jelas apakah teman yang dikasih itu memahaminya atau malah lebih bingung lagi.

Hanya seloroh

Beberapa waktu lalu, saya nonton wawancara dengan tema filsafat, di YouTube. Pembahasannya tentang filsafat moral dari salah seorang filosof besar Jerman, Immanuel Kant (1724-1804). Yang menjadi pembicaranya adalah seorang ahli filsafat, Fitzerald Kennedy Sitorus, yang meraih gelar doktor filsafat dari Johann Wolfgang Goethe-Universität, Frankfurt am Main, Jerman. Dalam diskusi itu, Kennedy Sitorus menjelaskan tentang pemikiran Immanuel Kant mengenai etika. Diskusi yang cukup menarik.

Tapi ada ungkapan yang “menarik” juga dalam diskusi itu: Kennedy Sitorus mengatakan bahwa ada buku karya Immanuel Kant yang cukup berat dan susah dipahami. Judulnya: Kritik Akal Budi Murni (Kritik der reinen Vernunft). Kata Sitorus: karena sulitnya memahami, filosof Jerman, Moses Mendelssohn, menyebut buku Kant itu adalah "buku yang menghancurkan saraf-saraf”. Maksudnya: bukan berarti bisa menghancurkan saraf beneranItu hanya seloroh atau gurauan saja untuk menyatakan betapa berat dan sulitnya memahami buku dimaksud. Mendengar istilah Mendelssohn itu, sontak saya teringat dengan senior saya yang dulu mentertawakan buku Multatuli: bisa jadi, pikirku, bagi senior saya itu, buku Multatuli adalah juga termasuk buku yang “menghancurkan saraf-saraf”. Entahlah. Saya jadi tertawa sendiri dalam hati. Tapi, yang jelas, itu adalah buku yang bagus. 

Nani Efendi, Alumnus HMI



0 komentar:

Posting Komentar