Dalam bukunya, Teori Hierarki Norma Hukum, Jimly Asshiddiqie, membedakan hierarki norma hukum secara "formal" dan "substansial". Yang formal juga disebut struktural. Yang substansial disebut juga fungsional. Yang formal/substansi contohnya adalah yang resmi disebut dalam hierarki: UUD, UU/Perpu, PP, Perpres, Perda Prov., Perda Kab/Ko.
Sedangkan yang substansial/fungsional, contohnya: delegasi kewenangan langsung dari UU Otonomi Khusus Papua ke Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua, atau UU tentang Pemerintahan Aceh memberikan delegasi kewenangan kepada Pemerintahan Daerah Istimewa Provinsi Aceh untuk menetapkan Qanun sebagai Perda otonomi khusus. Dalam konteks ini, walaupun secara hierarki formal dan struktural Perda berada di bawah PP atau Perpres, tapi secara hierarki substansial atau fungsional ia setara dengan PP dan Perpres, karena sama-sama pelaksana langsung dari UU.
Masalahnya, kata Jimly, apakah mungkin suatu PP maupun Perpres mengatur hal-hal yang bertentangan dengan materi Perdasus atau Qanun yang secara terang benderang hanya melaksanakan perintah UU Otonomi Khusus Papua dan UU Pemerintahan Aceh?
Atau contoh lain: dari UU ke Peraturan KPU, ke Peraturan BI, Peraturan BPK, dsb. Peraturan-peraturan seperti yang terakhir ini tidak berada dalam hierarki formal. PKPU, misalnya, tidak berada di bawah PP, Perpres, maupun Perda. Ia langsung dari UU.
Hierarki substansial atau fungsional, kata Jimly, jelas berbeda dari hierarki secara formal/struktural seperti yang biasa dikaitkan dengan teori Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen, struktur norma hukum itu bertingkat-tingkat secara hierarkis, mulai dari norma yang paling tinggi sampai norma yang paling rendah. Kalau menurut Hans Nawiasky, urutan norma meliputi:
-Staatsfundamentalnorm
-Staatsgerundgesetz
-Formal gesetz
-Verordnung en autonomic satzung
Logika susunan hierarki yang bersifat formal inilah yang dijadikan landasan pemikiran untuk menyusun hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia mulai dari TAP MPRS Tahun 1967, TAP MPR Tahun 2000, UU 10/2004, dan UU 12/2011. Itu hierarki formal. Namun, menurut Jimly, di Indonesia, secara substansial, hierarki itu tidak mutlak berurutan seperti itu.
Contoh selanjutnya, PP secara formal struktural lebih tinggi daripada Perpres. Tapi, dalam praktik, dapat terjadi UU memberikan delegasi kewenangan pengaturan lebih lanjut langsung kepada Peraturan Presiden (Perpres), sehingga kedudukan Perpres itu langsung berfungsi sebagai peraturan pelaksana UU seperti halnya PP.
Dalam konteks demikian, menurut Jimly, "substansi Perpres" tersebut tidak dapat dikatakan berada di bawah PP, walaupun secara "hierarki formal/struktural PP" berada di atas Perpres. Secara substansial, PP dalam konteks ini, menurut Jimly, tidak dapat mengatasi materi norma yang terdapat dalam Perpres yang langsung mendapat delegasi dari UU.
Jika materi PP tersebut, lanjut Jimly, bertentangan dengan materi yang diatur dalam Perpres yang nyata-nyata mendapatkan delegasi kewenangan langsung dari UU, sedangkan PP tidak mendapatkan delegasi kewenangan untuk itu, maka kedudukan Perpres dalam hal seperti ini lebih kuat daripada PP. Itulah yang dimaksud Jimly dengan hierarki fungsional atau hierarki substansial, yaitu urutan hierarkis yang ditentukan bukan oleh struktur formalnya tetapi oleh substansi atau fungsi substantifnya berdasarkan delegasi kewenangan pengaturan (delegation of rule-making power) oleh peraturan yang lebih tinggi.
Dalam hal demikian, PP tidak boleh digunakan untuk membatalkan Perpres yang secara substansial mendapatkan kewenangan pengaturan langsung dari UU. Keduanya, menurut Jimly, dalam perihal seperti ini mempunyai kedudukan yang sederajat, sama-sama sebagai peraturan pelaksana langsung ketentuan UU. Nah, bandingkan PP dengan Peraturan KPU. Keduanya sama-sama sebagai peraturan pelaksana langsung dari UU.
(Lebih jelas, lihat Jimly Asshiddiqie, Teori Hierarki Norma Hukum, h. 247-248, 262-263, 265-266)
0 komentar:
Posting Komentar