Tulisan Ahmad Wahib Almarhum, bekas wartawan T E M P O : Atheisme dan Theisme, Yang Relatif dan Absolut ( T E M P O, 5 Mei), sudah tentu bukan tulisan yang populer, tapi menarik. Penghargaan dan beberapa keberatan barangkali bisa diberikan kepada paper yang semula dikerjakan memenuhi tugas di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara itu. Berikut ini tanggapan lain – dari saudara Ignas Kleden, seorang penulis dengan latar belakang seminari dari Waibalun, Flores. Dari kancah pemikiran sekitar ketuhanan, dengan latar belakang agama – khususnyayang hidup di sekitar diri para filosof Barat, barangkali bisa didapat tambahan renungan. Menyesal tulisan Ignas Kleden tidak bisa kami muat lengkap, mengingat ruangan – meskipun mudah-mudahan tidak berkurang harganya; Red.
Pertama-tama saya tergoda oleh ‘kecenderungan untuk melihat masalah iman dan penolakan iman dalam diri seseorang – tanpa bertolak dari dalil-dalil agama, tetapi dari kesimpulan-kesimpulan yang murni’ ( T E M P O, 5 Mei). Kecenderungan ini saja melibatkan kita dalam satu masalah yang sudah klasik: tentang kategori mana yang harus dipakai dalam permenungan dan pembicaraan tentang hal-hal iman dan agama. Sejak Augustinus, Kant sampai Karl Rahner sekarang ini, hari ini, tetap terasa adanya satu ketegangan tetap bila orang harus memilih antara kategori teoritis dan kategori praktis dalam pembicaraan tentang kedua perkara tersebut (iman dan agama; red). Kant ternyata memilih yang kedua, Ahnad Wahib memilih yang pertama. Bagi Kant, Tuhan harus diterima bukan sebagai conclusion tetapi sebagai solution. Artinya: Tuhan bukanlah hasil reasoning berupa kesimpulan tidak-boleh-tidak. Tetapi Dia harus diterima, supaya banyak – lebih tepat: semua – hal lain bisa dijelaskan. Saya tak tahu apakah ini paralel dengan penjelasan Ahmad Wahib mengenai atheisme yang relatif dan absolut.
Bila kita teruskan pembicaraan tentang iman dan agama, tak bisa dihindarkan pertanyaan yang menggoda Ahmad Wahib sendiri: adakah iman dan agama identik, ataukah agama merupakan manifestasi iman? Jawab Wahib: agama “sama sekali tidak dipandang sebagai akibat, konsekwensi dan manifestasi satu-satunya dari iman”. Itu kalau dipandang dengan visi seorang theis relatif, Wahib menerangkan pula. Pembedaan semacam itu antara iman dan agama, bukanlah yang teramat orisinil untuk masa kini. Jauh-jauh hari sebelum Wahib menuliskan paper sarjana muda filsafatnya, Karl Barth telah berteriak pula: “Religion ist Unglube” (Kirchiliche Dogmatik, VI, 3). Agama adalah distansi kwalitatif terbesar yang memisahkan Allah dari manusia. Di sini saya rasa, kita tak akan habis berdebat tentang perbedaan dan persamaan antara Agama dan Iman, Religion und Glaube. Dan itu sangat ditentukan oleh sikap kita dalam mengartikan istilah agama (yang untuk tulisan ini kami ambil sebagai terjemahan istilah Karl Barth, Religion).
Mari membuat Tuhan
Dala konteks pemikiran Barth, agama sudah terlalu banyak menunjukkan campur tangan manusia. Manusia terlalu sibuk menentukan konsep-konsep agama, bahkan menciptakan gambaran-gambaran tentang Tuhan. Sehingga menurut Barth, perkataan dari kitab Genesis: “Marilah kita membuat manusia serupa dengan kita (Tuhan)” telah dirobah secara congkak oleh orang-orang zaman ini dengan versi “marilah kita membuat Tuhan serupa dengan kita (manusia)”. Dalan agama sudah dilupakan apa yang dikehendaki Tuhan dalam wahyuNya, dan menjadi amat pentinglah apa yang dibuat manusia tentang agamanya, peraturan, hukum, institusi dan lain-lain. Sehingga kemuliaan Tuhan dan keselamatan manusia – yang menjadi inti setiap wahyu – seakan ditarik ke latarbelakang saja. Aktifitas manusia yang kelewat banyak itu, menurut Barth, hanya memamerkan kesombongan manusia yang tidak tahu diri. Sebab tak mungkinlah manusia mengetahui Tuhan dengan kemampuannya sendiri. Tuhan mengatasi segala kategori yang biasa kita pakai. Dia adalah yang lain-sama sekali: “Der Ganz Andere”.
Lalu bagaimana kita bisa mendapat sesuatu pengetahuan tentang Tuhan? Tidakkah Tuhan lalu mustahil diketahui dan dikenal? Barth menjawab: sumber pengetahuan kita tentang Tuhan cuma satu, yaitu wahyunya sendiri. Dalam wahyu itu Tuhan menyatakan Diri dan kehendakNya akan menyelamatkan manusia. Tugas manusia hanyalah mendengar sabda itu dan menjawabnya dengan rendah hati; jawaban yang mengandung penyerahan mutlak kepadaNya. Itulah pada hakikatnya iman, Glaube. Agama menunjukkan campur-tangan manusia yang dilembagakan. Iman menunjukkan jawaban manusia yang bersifat pribadi. Sehingga kembali kepada soal: bagaimana hubungnan iman dan agama, saya kira jawabannya harus diberikan dalam diskusi: iman sama dengan agama, sepanjang agama diterima lebih dalam aspeknya yang personal. Berbeda dari agama, sepanjang agama sudah menjelma menjadi “badan” yang institusional.
Baik Tak Terperikan
Dalam hubungan dengan pendirian mengenai Tuhan “sebagai sama-sekali yang lain”, kita bisa memahami juga sikap aliran teologi yang menerima Tuhan sebagai ‘yang serba tidak’. Tuhan demikian berbeda dari kita sehingga setiap afirmasi kita tentangNya pastilah salah. Kita hanya bisa mengatakan bahwa Tuhan itu lain dari segala yang dapatkita fikirkan lewat kategori-kategori yang ada: Tuhan bukan materi, bukan roh, bukan budi, bukan rasa dan seterusnya – biarpun dengan demikian kita tak pernah sampai pada suatu pengetahuan “positif” tentang Tuhan. Aliran semacam ini dinamakan juga “theologi negatif”. Sebaliknya aliran lain mengatakan kita dapar memberikan suatu afirmasi adanya Tuhan dan hakikatNya – sambil kita tak boleh lupa bahwa pernyataan kita tentang sifat Tuhan misalnya, serentak menunjukkan persmaan tapi juga perbedaan dengan sifat-sifat manusia. Dalam hal Tuhan, perbedaan selalu lebih besar dari persamaan. Aliran ini ternyata mempergunakan semacam jaln-pengetahuan yang disebut analogi.
Dalam kalangan skolastik Kristen terdapat tiga cara yang umumnya dipakai untuk mendekati hakekat Tuhan. Cara afirmasi mengatakan: Tuhan itu baik. Tapi itu harus segera dilengkapi oleh pernyataan kedua yang merupakan negasi: kebaikan Tuhan tidak sama dengan kebaikan kita. Lalu kita akan sampai pada pernyataan ketiga: Tuhan jauh lebih baik dari manusia secara tak terperikan. Cara terakhir ini di kalangan skolastik disebut cara eminensi. Sementara itu fihak lain tetap bersikeras bahwa sekalian pernyataan itu tak dapat diterima. Sebab dengan itu kita masih mengenakan atribut-atribut manusia pada Tuhan, yang berarti ‘menciptakan gambaran Tuhan’ yang sesuai gambaran manusia. Itu justru merendahkan martabat Tuhan yang transenden di atas kita. Terkenal sekali ucapan Kierkegaard: Tuhan bukanlah superlatif manuais. Aliran terakhir ini menurut klasisikasi Ahmad Wahib dimasukkan ke dalam golongan theis relatif.
Bonafid & Malafid
Lalu tentang atheisme? Ahmad Wahib membedakan atheisme absolut dan relatif. Dalam kedua jenis atheisme itu nyata bahwa Wahib telah menerima penolakan adanya Tuhan sebagai inti atheisme. Dalam yang satu (atheisme relatif; red) penolakan itu adalah kesimpulan, dalam yang lain (atheisme absolut; red) penolakan itu justru titik-tolak. Tapi betulkah justru ‘ada atau tak-adanya Tuhan’ yang menjadi pokok penerimaan atau penolakan seorang atheis? Tak kurang benarnya bahwa ada juga orang atheis yang menolak bukan adanya Tuhan itu sendiri, tetapi gambaran tertentu dari Tuhan yang diajarkan oleh satu agama. Mungkin juga atheisme itu bukan terutama merupakan negasi militan terhadap adanya Tuhan, tetapi lebih merupakan akibat suatu afirmasi yang terlalu asyik tentang kemanusiaan. Kiranya benar ucapan: “Atheismus ist mehr eine Bejahung des Menschen als eine Verneinung des Gottes (Atheisme lebih merupakan pengiyaan terhadap kemanusiaan daripada daripada penolakan terhadap ketuhanan; red)”. Itu bisa merupakan reaksi terhadap ajaran agama yang terlalu memperhatikan kehidupan di akhirat dan sedikit-banyaknya melalaikan keadaan manusia di dunia.
Pada hemat saya, atheisme bisa juga digolongkan ke dalam kelompok yang ditentukan oleh motivasi. Seorang yang menerima tak-adanya Tuhan sebagai kesimpulan yang jujur (semoga demikian) dari pencariannya, saya namakan bona fide. Sedang seorang yang justru mencari(-cari) alasan untuk meniadakan Tuhan saya namakan mala fide. Yang pertama melihat belum ada alasan cukup untuk percaya kepada Tuhan. Yang kedua mau mencari alasan cukup untuk tidak percaya kepada Tuhan. Bila Konsili Vatikan II ( T E M P O, 5 Mei) mengatakan bahwa komunisme adalah juga semacam ‘kepercayaan’, saya kira yang dimaksudkannya adalah ‘komunisme’ yang bona fide.
Satu keberanian
Tapi pabilakah kita mempunyai alasan cukup untuk percaya atau menolak Tuhan? Itu bukan urusan alasan semata-mata. Dibutuhkan suatu ‘afective break-through’ supaya kita bisa percaya. Dengan lain perkataan: seorang yang percaya ialah seorang yang mau percaya, sedang orang yang tidak beriman ialah dia yang menolak untuk percaya. Sebab iman – seperti perbandingan Wahib sendiri (yang benar: perbandingan T E M P O; red) – seumpama cinta. Kita juga bisa mengerti seseorang kalau kita mencinta dia sepenuhnya. Adalah benar bila Augustinus mengatakan: saya percaya supaya mengerti. Sebab iman bukan hanya satu jalan fikiran yang menelurkan Tuhan sebagai hasil-logisnya. Iman adalah keterlibatan total dalam masalah tak terbatas. Untuk itu dibutuhkan keberanian. Paul Tillich – yang pernah dibandingkan dengan Ahmad Wahib – berkata dengan penuh sugesti: “Iman adalah suatu keberanian untuk menancapkan arti hidup kita pada sesuatu yang tak kita lihat dan tak dapat kita buktikan. Dalam keberanian serupa itu terdapat kemungkinan riil yang gagal; tetapi risiko itu harus diambil sebab bila kita tidak melaksanakan semacam tindakan iman, maka arti yang ultim dari hidup kita akan melintas hilang begitu saja” (Dynamics of faith, NY: Harper 1957).
Dan mengapa pula kita terlalu bercemas hati tentang alasan dan pembuktian.Tidakkah mencari Tuhan sama dengan menemukanNya? “Our discovery of God is really God’s discovery of us” – begitu pesan Thomas Merton, jauh sebelum dia meninggal kena arus listrik.
Sumber: TEMPO, 1 Desember 1973
0 komentar:
Posting Komentar