alt/text gambar

Sabtu, 12 April 2025

Topik Pilihan:

NDP HMI: Mengurai Bab per Bab

 Bab I: Dasar-Dasar Kepercayaan

Oleh: Nani Efendi


Dalam Bab I NDP HMI yang membahas tentang dasar-dasar kepercayaan, Cak Nur menjelaskan bahwa manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan akan melahirkan tata nilai dalam kehidupan manusia (sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain).[1] Oleh karena itu, manusia harus percaya pada “yang benar” dan dengan “cara yang benar” pula. Dan Kebenaran mutlak hanyalah Allah.

Tentang kepercayaan ini, saya berikan satu contoh. Ketika kita naik pesawat terbang, misalnya. Mengapa kita berani terbang ke suatu tempat dengan menggunakan pesawat terbang? Salah satu jawabannya: karena kita percaya bahwa kita akan sampai pada tujuan dengan cepat dan selamat. Dengan dasar percaya, kita tidak perlu lagi mengecek kelaikan pesawat (BBM-nya, olinya, jam terbang pilot, dan lain sebagainya). Kita bermodal percaya saja. Tanpa ada kepercayaan seperti itu, kemungkinan kita tidak akan berani naik pesawat. Nah, dalam hal percaya itu, pertanyaannya, apakah kita percaya pada teknologi (sains) pesawat terbang, atau kepada kemampuan pilot, atau kepada Allah sendiri Yang Maha Menjaga? Di situ persoalannya. Para pengagum sains yang bersifat positivistik, mereka hanya percaya pada hukum alam dengan berbagai penjelasan logika ilmiah semata. Tapi, bagi yang percaya Allah, ia hanya meyakini peran Allah saja. Allah-lah yang akan menjaga. Sains dan lain sebagainya itu hanyalah “perantara” saja. Dari sisi cara dan arah percaya itulah yang membedakan manusia beriman atau tidak. Bagi yang tak beriman pada Allah, mereka semata-mata hanya meyakini sains atau kekuatan lain selain Allah.

Perjanjian primordial

Oleh beberapa kader HMI, Bab I ini dianggap sebagai inti dari keseluruhan bab dalam NDP.  Karena di bab I ini dibahas tentang tauhid—inti dari ajaran semua nabi.

Jadi, menurut saya—sebagaimana yang saya baca dari banyak tulisan Cak Nur—dalam NDP Bab I ini, Cak Nur ingin menjelaskan juga bahwa manusia itu cenderung untuk memiliki kepercayaan dan memiliki naluri untuk menyembah. Mengapa itu terjadi? Menurut Cak Nur—bisa kita baca dari berbagai tulisan-tulisannya—itu karena setiap manusia pada dasarnya sudah bertauhid semenjak lahir.

Sebelum manusia dilahirkan ke dunia manusia sudah menyatakan dirinya bertuhan kepada Allah (Tuhan Yang Maha Esa). Cak Nur menyebutnya dengan ”perjanjian primordial” (primordial covenant) berdasarkan firman Allah:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ”Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: ”Betul (Engkau Tuhan kami). Kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.  (Q.,s. al-A’raaf/ 7:172).

Dengan adanya perjanjian primordial ini, maka manusia memiliki fitrah (kesucian/hati nurani). Fitrah itu pada hakikatnya suci dan cenderung pada kebenaran (hanif). Fitrah itu tidak akan berubah sepanjang masa.[2] Ia disebut lokus kearifan abadi (sophia perrenis/al-hikmat al-khalidah)[3]. Dengan adanya fitrah itu pula manusia mempunyai naluri untuk menyembah dan mencari sasaran-saran penyembahan. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan manusia. Berbagai bentuk praktek dan aktivitas manusia dilakukan sebagai ”bentuk penyaluran” naluri menyembah dan mengabdi dalam diri manusia. Manusia secara terus-menerus rindu dan mencari Tuhan yang telah dikenalnya sewaktu bersaksi sebelum ruh ditiupkan oleh Tuhan.

Dikarenakan naluri menyembah sebagai konsekwensi dari perjanjian primordial itulah maka problem yang  banyak dihadapi oleh manusia adalah politeisme (menyembah banyak Tuhan/syirik atau menserikatkan Tuhan) bukan ateisme. Fenomena yang banyak terjadi dalam kehidupan manusia bukan tidak percaya Tuhan, tapi mempercayai banyak Tuhan (politeisme). Oleh karena itu, dalam Al Qur’an, yang banyak disebut bukanlah ateisme (orang yang tak percaya Tuhan), tapi politeisme atau syirik (mempercayai banyak Tuhan). Hanya sedikit ayat yang berbicara tentang ateisme. Kata Cak Nur, ”Tantangan manusia ialah bagaimana menyalurkan naluri dan hasrat alamiahnya untuk berbakti dan memuja itu ke arah sasaran pemujaan yang benar dan dengan cara yang benar, sehingga memiliki konsekuensi yang benar pula”.[4]

Fungsi kalimat syahadat ”la ilaha illa Allah”

Fungsi kalimat Tauhid laa ilaaha illa-Allah sebenarnya adalah meluruskan kembali arah serta cara penyembahan dari naluri menyembah yang ada dalam diri manusia dan menunjuki, membantu, serta membersihkan kembali nurani atau fitrah manusia supaya tetap berada dalam kesucian, dan cenderung kepada kebenaran (hanif)  sebagai mana awal diciptakannya fitrah itu oleh Allah s.w.t. semenjak manusia dilahirkan. Dengan kata lain, supaya manusia tetap berada dalam fitrahnya (yang senantiasa cenderung kepada kesucian, kebenaran, kebaikan dan kesempurnaan atau yang disebut hanif).[5]

Jadi, jika penyaluran naluri menyembah dalam diri manusia yang bersumber dari fitrah (nurani) itu tidak terbimbing atau ditunjuki ke jalan yang benar, maka naluri alamiah itu bisa terperosok ke lembah kesesatan dan keburukan. Di sinilah fungsi kalimat syahadat ”la ilaha illa Allah”. Dengan kata lain, fitrah (nurani) manusia yang hanif  (cenderung kepada kebenaran) itu harus dibantu oleh Allah sendiri melalui wahyu yang disampaikan melalui para nabi dan rasul.

Jadi, hasrat untuk percaya (bertuhan) adalah bawaan azali manusia. Oleh karena itu, kata Cak Nur dalam NDP, yang dipercayai atau yang dituhankan haruslah sesuatu benar terlebih dahulu. Dan Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah saja. Lebih lanjut dalam teks NDP dijelaskan: perumusan kalimat persaksian (syahadat) Islam yang kesatu: tiada tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada tuhan" (dengan t kecil) meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan "selain Allah" memperkecualikan satu kepercayaan kepada Kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan, kata Cak Nur, agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Tunduk dan pasrah pada Tuhan YME itu yang disebut islam atau ber-islam.

Agar kepercayaan kepada Tuhan itu sempurna, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan. Diperlukan "wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia yang disampaikan melalui para rasul. Jadi, jelas Cak Nur, untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua ialah percaya bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.

Konsekuensi Pemahaman Kalimat Syahadat dalam Diri Seseorang

Abdullah Ibnu Sinan sebagaimana dikutip oleh Taufiq Pasiak dalam bukunya Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan Al-Qur’an, menafsirkan fitrah sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an surat Ar Ruum ayat 30 adalah al-islam[6]. Naluri menyembah yang ada pada diri manusia bersentuhan dengan lingkungannya yang bersifat materil telah membuat naluri itu menyembah berbagai bentuk benda dan kecenderungan sebagai tuhan selain Allah. Dulu manusia menyembah berbagai bentuk benda-benda seperti berhala, batu, pohon-pohon besar yang dianggap keramat, bintang, bulan, matahari, dan lain sebagainya. Di zaman kontemporer, manusia yang tidak bertauhid secara benar menyalurkan naluri menyembahnya kepada berbagai bentuk benda dan kecenderungan termasuk hawa nafsunya sendiri. Mempertuhankan hawa nafsu ialah memperturutkan keinginan nafsu, sehingga ia diperbudak oleh nafsunya sendiri, dengan kata lain ia dibelenggu oleh tuhan-tuhan palsu yang ia ciptakan sendiri.

Meminjam istilah Bang Imaduddin Abdurrahim dalam bukunya Kuliah Tawhid sebagai tuhan triple Ta (harta, tahta, dan wanita).[7] Tuhan tripel Ta adalah merupakan bentuk tuhan yang diciptakan oleh hawa nafsu. Untuk itulah, kalimat tauhid menyadarkan manusia untuk hanya bertuhan kepada Tuhan yang Maha Esa dengan hidup sesuai fitrah (hanif). Orang yang hanif selalu mengikuti nuraninya yang bersih dan tidak diperbudak atau dibelenggu oleh tuhan-tuhan palsu (keinginan hawa nafsunya sendiri) yang mengakibatkan kenistaan dalam hidupnya. Mempertuhankan nafsu berarti hidup menyimpang dari fitrah manusia itu sendiri.

Kalimat laa ilaaha illa-Allah  adalah bentuk pernyataan negasi atau pengingkaran dan juga afirmasi atau penegasan. La ilaah artinya tidak ada tuhan. Tuhan dalam pengertian pertama ini adalah segala bentuk hal-hal yang dipertuhankan oleh manusia selain Allah, yang membelenggu kebebasan dan memperbudak manusia itu sendiri. Tuhan yang harus diingkari (dinegasi) adalah tuhan-tuhan palsu[8] (tuhan-tuhan lokal[9]) bikinan-bikinan manusia itu sendiri.

Setelah kalimat pengingkaran akan segala bentuk tuhan yang tidak benar itu baru diikuti dengan kalimat afirmasi atau penegasan: ”kecuali Allah” (atau Tuhan yang Sebenarnya). Artinya menegaskan bahwa hanya ada satu Tuhan di alam semesta ini (Tuhan yang universal). Mengakui dan menyatakan Allah adalah satu-satunya Tuhan semesta alam ialah dengan cara tunduk dan patuh serta berserah diri kepada-Nya (ber-islam).

Dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa antara lain: surat Al-Ikhlas. Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin (Q.,s. al-Hadiid/57:3) dan "kemana pun manusia menghadap di sanalah wajah Tuhan" (Q.,s. al-Baqarah/2:115). Dan "Dia bersama kamu kemana pun kamu berada" (Q.,s. al-Hadiid/57:4). Jadi Tuhan tidak terikat dengan ruang dan waktu.

Karena Allah adalah "yang pertama dan yang penghabisan", maka Allah adalah asal sekaligus tujuan segala yang ada (inna lillahi wainna ilaihi rojiun). Mengorientasikan diri kepada Allah adalah melakukan sesuatu dengan ikhlas (lillahita’ala) semata-mata untuk mencari ridha Allah. Keikhlasan ialah melakukan sesuatu bukan oleh sesuatu yang lain, tetapi dikarenakan keinginannya sendiri sebagai pancaran dari nurani yang suci. Keikhlasan inilah yang menimbulkan kebahagiaan.

Dengan kita mengingkari ”tuhan-tuhan” (dengan t kecil) selain Allah, maka kita telah memutlakkan hanya satu Kebenaran saja, yakni Allah SWT. Konsekuensi lebih lanjut, kita akan terbebas dari segala hal yang membelenggu kebebasan kita. Terbebas dari segala hal memperbudak kita.[10] Terbebas dari segala hal yang menakuti kita. Kita terbebas dari segala kekhawatiran karena kita berpegang dan yakin pada Allah semata. Dengan kata lain: tidak ada yang kita harapkan dalam hidup ini kecuali ridha Allah, tidak ada yang kita takuti kecuali Allah, karena kita yakin bahwa tidak ada kekuatan lain dalam semesta ini kecuali kekuatan Allah saja.[11]

Iman dan ilmu

Manusia, terang Cak Nur dalam NDP, harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu (Qs. Al Israa'/17:72). Oleh karena itu kehidupan yang baik, lanjutnya, adalah kehidupan yang disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu (Q.,s. al-Mujaadilah/58:11). “Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah),” terang Cak Nur.

Di akhir Bab I NDP, Cak Nur menjelaskan, “Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat". Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin, karena di situ tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggungjawaban individu yang bersifat mutlak di hadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu di dalam sejarah ((Q.,s. al-Baqarah/2:48). Dengan demikian, kata Cak Nur, tugas hidup manusia itu sangatlah sederhana, yakni beriman, berilmu, dan beramal—sebuah segi tiga yang saling terkait. Iman (kepercayaan) harus benar terlebih dahulu. Kemudian iman mesti diterangi dengan ilmu pengetahuan (berpikir kritis, logis, sistematis, dan rasional). Setelah itu, manusia mesti mengamalkan imannya yang benar itu dalam kehidupan. Begitu seterusnya.

NANI EFENDI, Alumnus Latihan Kader III (Advance Training) Badko HMI Sumbagsel

  

Daftar Bacaan

Dr. Ir. Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim. Kuliah Tauhid. Jakarta: Gema Insani, 2002

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (ed). Pasing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan wakaf Paramadina, 1998.

Nurcholish Madjid dkk. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI. Jakarta, tt

Nurcholish Madjid. Dialog Ramadlan bersama Cak Nur. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000

Nurcholis Madjid. Islam, Doktrin dan Peradaban. Paramadina, 1995.

Pasiak, Taufiq. Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan 2003).

Tarigan, Azhari Akmal. Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP). (Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007)

 

 

 

________________________________________

[1] Percaya pada sains secara membabi buta, misalnya, akan melahirkan kehidupan masyarakat manusia yang mengagung sains semata tanpa sikap kritis. Contoh lain, misalnya, kepercayaan dalam dinamisme masyarakat primitif akan melahirkan masyarakat yang irasional. Dan kita masih bisa mencari contoh-contoh lain dari hubungan kepercayaan terhadap lahirkan tata nilai dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya. Kepercayaan pada sistem sosial tertentu, misalnya—komunisme, kapitalisme, sosialisme, fasisme, dan lain-lain—juga akan melahirkan tata nilai dan budaya tertentu.

[2] “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.,s. Ar-Ruum/ 30:30).

[3] Nurcholish Madjid, ”Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Pasing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan wakaf Paramadina, 1998. hlm. 13

[4]Nurcholish Madjid, ”Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed) Passing Over; Melintasi Batas Agama, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina. 1998), hlm. 12.

[5] Kebaikan yang diakui oleh nurani manusia yang hanif itulah yang disebut sebagai kebajikan universal, kearifan abadi (al hikmat al khalidah; sophia perennis).

[6] Taufiq Pasiak.  Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 2003.

[7] Dr. Ir. Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim. Kuliah Tauhid. Jakarta: Gema Insani, 2002.

[8] Istilah Cak Nur.

[9] Istilah yang digunakan Azhari Akmal Tarigan. Lihat  Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP), (Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007)

[10] Saya pernah membaca tulisan dari Amien Rais yang kira-kira begini: sekali manusia merasa dirinya lebih tinggi atau lebih rendah dari orang lain, maka ia telah jatuh ke dalam syirik.

[11] “Laa hawla wala quwwata illa billaah” (tak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah semata); la tataharraku dzarratun illa bi idznillah” (tidak bergerak satu zarrah pun melainkan dengan izin Allah). Tentang tauhid, baca juga Syekh Muhammad Nafis bin Idris Al Banjarie. Ilmu Ketuhanan: Permata yang Indah (Ad-Durrun Nafis. (Alih Bahasa: DR. K.H. Haderani HN). Surabaya: Nur Ilmu, tt. Dalam buku Permata yang indah, dijelaskan tentang konsep tauhid (tauhidul af’al, tauhidul asma, tauhidussifat dan tauhidudzat).

 

NDP HMI: Mengurai Bab II tentang Pengertian-Pengertian Dasar tentang Kemanusiaan

 

Oleh: Nani Efendi

 

Dalam Bab II NDP HMI disebutkan bahwa manusia adalah puncak ciptaan, mahluk yang tertinggi dan wakil[1] Tuhan di bumi. Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia dalam keadaan fitrah, sebagai konsekuensi perjanjian primordial seperti dijelaskan dalam al Qur’an. Cak Nur menyebutnya dengan perjanjian primordial (primordial covenant) berdasarkan firman Allah:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ”Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: ”Betul (Engkau Tuhan kami). Kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.  (Q.,s. al-A’raaf/ 7:172).

Fitrah inilah yang membuat manusia berkeinginan suci dan selalu cenderung kepada kebenaran (hanif). Fitrah pada diri manusia itu, semenjak Nabi Adam hingga akhir zaman, tidak akan berubah. Artinya, fitrah dalam diri setiap manusia itu tetap sama: sama-sama cenderung pada kebenaran dan kebaikan. Terlepas apapun ras, suku, bangsa, agama, jenis kelamin, waktu, tempat, dan lain sebagainya. Fitrah pada setiap manusia itu tidak akan berubah sepanjang masa. Firman Allah:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.,s. Ar-Ruum/ 30:30).

Jadi, manusia, semenjak Nabi Adam hingga kini, diciptakan dalam kesucian asal yang disebut fitrah. Fitrah membuat manusia berkecenderungan suci (cenderung pada kebenaran dan kebaikan), yang disebut hanif. Tempat bersemayamnya kesucian asal itu ialah pusat kedirian manusia yang disebut “nurani” (bersifat nur/cahaya; bersifat terang).[2]

Hati nurani (dlamier) inilah yang selalu mencahayai manusia sehingga manusia mampu mengetahui  apa yang baik, apa yang suci dan benar. Manusia akan selalu dalam fitrahnya jika ia hidup mengikuti nuraninya yang suci.

Temuan ilmiah tentang fitrah dapat dibaca dalam Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan Al-Qur’an (Bandung: Mizan 2003), hlm 27. Para ahli otak, menurut Taufiq, menemukan bahwa kecerdasan spiritual itu berakar kuat dalam otak manusia. Setidaknya, menurut Taufiq, ada empat bukti penelitian yang memperkuat dugaan adanya potensi spiritual dalam otak manusia: 1) Osilasi  40 Hz yang ditemukan oleh Denis Pare dan Rudolpho Llinas, yang kemudian dikembangkan menjadi spiritual intelligence oleh Danah Zohar dan Ian Marshal; 2) Alam bawah sadar kognitif yang ditemukan oleh Joseph deLoux dan kemudian dikembangkan menjadi emotional intelligence oleh Daniel Goleman serta Robert Cooper  dengan konsep suara hati; 3) God Spot  pada daerah temporal yang ditemukan oleh Michael Persinger dan Vilyanur Ramachandran; 4) Somatic Marker oleh Antonio Damasio. Keempat bukti itu memberikan informasi tentang adanya hati nurani atau intuisi dalam otak manusia. Penelitian itu juga, menurut Taufiq, berhasil membuktikan bahwa hati nurani (fitrah) itu mengawal manusia setua evolusi biologi umat manusia. Dengan kata lain, penelitian itu memperkuat keyakinan bahwa manusia tidak mungkin lari dari Tuhan.

Fitrah bawaan harus dibantu dengan fitrah yang diturunkan

Tapi, walaupun manusia pada dasarnya adalah hanif, manusia juga diciptakan sebagai makhluk yang lemah. (Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah. Q.,s. al-Nisaa'/4:28)[3]. Salah satu kelemahannya ialah bersifat tergesa-gesa (Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera. Q.,s. al Anbiyaa'/21:37)[4] dan Q.,s. al Israa'/17:11, berbunyi: Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa). Karena kelemahannya itu, maka manusia cenderung berpandangan pendek, mementingkan hal-hal segera, dan mengabaikan hal-hal jangka panjang (Qs. al Qiyaamah/75:20, berebunyi: sebenarnya kamu mencintai kehidupan dunia, dan Q.,s. al-Insaan/76:27 berbunyi: Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan hari yang berat [hari akhirat]. Itu semua membuat manusia rawan terhadap kesalahan dan kekeliruan.

Karena manusia juga memiliki kelemahan seperti disebutkan di atas, manusia tidak selalu dapat mendengar hati nuraninya. Atau karena hati sudah kehilangan cahayanya, sehingga tak lagi bersifat terang atau bersifat cahaya (nurani). Yang membuat hati kehilangan cahaya adalah dosa dan kejahatan yang dilakukan. Karena itu, dosa—dalam al Qur’an—disebut zhulm yang berarti “gelap”, dan orang yang berbuat dosa disebut “zhalim” (orang yang melakukan kegelapan).[5]

Nah, agar manusia tetap dalam fitrahnya, maka manusia diberi petunjuk dan perintah oleh Allah melalui wahyu yang disampaikan kepada para nabi. Nurani yang ada dalam diri kita jika tidak terkontaminasi oleh lingkungan ia akan tetap suci dan tetap dalam keadaan fitrah. Tetapi, adalah tidak mungkin kita bisa hidup tanpa berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, nurani tidak bisa dibiarkan sendirian mencari kebaikan, kesucian dan kebenaran. Ia harus dibantu dengan fitrah yang diturunkan atau diwahyukan dari Tuhan. Ibnu taymiyyah menyebut agama sebagai fitrah yang diturunkan.

Untuk itulah, agar kita selalu berada dalam fitrah, maka kita harus selalu mendengarkan suara hati nurani (fitrah) yang sudah ada dalam diri kita. Namun, itu belum cukup. Kita juga harus berpedoman kepada wahyu Allah yang disampaikan kepada para nabi, terutama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang berupa al-Qur’an, sehingga kita tetap berada dalam fitrah atau di jalan  yang lurus (siratul mustaqim). Karena itulah di dalam hymne HMI disebutkan: ”...turut Qur’an dan hadits, jalan keselamatan.”

Begitulah sikap bertauhid kepada Allah. Bertauhid berarti percaya hanya ada satu Tuhan saja dengan cara tunduk, patuh dan berserah diri (islam) kepada Tuhan YME itu. Tuhan YME dalam bahasa Arab disebut Allah—berasal dari Al-Ilah yang berarti Tuhan yang sebenarnya. Sikap tunduk, patuh dan berserah diri (islam) pada Allah itulah inti ajaran para nabi mulai dari Nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa al-Masih (Jesús Christ/Yesus Kristus) sampai Nabi Muhammad s.a.w.[6]

Beberapa hal penting dalam Bab II NDP HMI

Agar lebih mudah memahami NDP karya Cak Nur, ada baiknya saya pilah-pilah hal-hal pokok dan penting sebagai berikut. Beberapa teks dari NDP di bawah ini ada yang sengaja tidak saya ubah kalimatnya agar memberikan pemahaman yang sesuai dengan maksud NDP itu sendiri.  Pertama, nilai hidup manusia, jelas Cak Nur, tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan (Qs.,s. an Nahl/16:97, an Nisaa'/4:111).

Kedua, manusia itu, kata Cak Nur, haruslah selalu semangat mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (Qs. an Nisaa'/4:125). Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan (Qs. az-Zumar/39:18). Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom, hikmah) (Qs. al Baqarah/2:269). Dia berpengalaman luas, berpikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya (Qs. al-An'aam/6:125). Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf (Qs. Ali Imran/3:134). Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik daripada pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.

Ketiga, seorang manusia sejati (insan kamil), terang Cak Nur di Bab II, ialah yang kegiatan mental dan fisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat. Hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia.

Keempat, manusia sejati, menurut Cak Nur, tidak mengenal pembagian (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akhirat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam rangka mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (Qs. al Bayyinah/98:5).

Kelima, papar Cak Nur, ikhlas. Seluruh amal perbuatan manusia yang fitrah semestinya benar-benar berasal dari dirinya sendiri yang merupakan pancaran langsung dari kecenderungannya yang suci (Qs. al Baqarah/2:207, Qs. al Insaan/76:89). Ia melakukan pekerjaan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih) (Qs. al Baqarah/2:264). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberinya kebahagiaan (Qs. Faathir/35:10). Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia. Tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan.

Hidup fitrah, kata Cak Nur, ialah bekerja secara ikhlas yang memancar dari hati nurani yang hanief atau suci.

NANI EFENDI, Alumnus Latihan Kader III (Advance Training) Badko HMI Sumbagsel

 

Daftar Bacaan

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (ed). Pasing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan wakaf Paramadina, 1998.

Nurcholish Madjid dkk. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI. Jakarta, tt

Nurcholish Madjid. Dialog Ramadlan bersama Cak Nur. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000

Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Paramadina, 1995.

Pasiak, Taufiq. Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan Al-Qur’an (Bandung: Mizan 2003).

Tarigan, Azhari Akmal. Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP). (Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007)

 

 

 

________________________________________

[1] Ada dua hakikat penciptaan manusia: sebagai hamba yang berkewajiban beribadah kepada Allah (Az Zariyat ayat 56), dan sebagai khalifah Allah yang bertanggungj jawab memakmurkan bumi (Al Baqarah/2:30).

[2] Kata hanief  ini selalu kita ucapkan dalam  do’a iftitah di waktu shalat. (inni wajjahtu wajhia lilladzii fatharas-samaawaati wal ardla hanifaw wa maa ana minal musyrikin). Artinya: Sesungguhnya aku menghadapkan mukaku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan hanif (selalu cenderung kepada kebenaran), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Kata hanif ini terdapat dalam  Al Qur’an surat Al An’am/6:79.  yang menceritakan tentang kisah Nabi Ibrahim mencari Tuhan dengan pertama kali melihat bintang dan menganggap itu sebagai tuhan, kemudian bulan, dan matahari. Tetapi kemudian ia menyadari bahwa benda-benda itu bukanlah tuhan yang sebenarnya tetapi itu adalah ciptaan Tuhan. Hasil dari usaha pencarian Tuhan itulah Ibrahim menyatakan hanif (cenderung kepada kebenaran) bertuhan kepada Yang Menciptakan Semua itu.

[3] “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.”

[4] “Manusia diciptakan (bersifat) tergesa-gesa.”

[5] Lihat Nurcholish Madjid, Dialog Ramadlan bersama Cak Nur, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000

[6] Lebih lanjut Taufik Pasiak menjelaskan: “Titik temu pada proses ber-Tuhan adalah keyakinan semua manusia, dari bangsa mana pun juga, bahwa ada sesuatu yang jauh lebih tinggi dari manusia. Dari tinjauan historisnya, naluri manusia untuk ber-Tuhan dapat kita lihat pada suku-suku terasing yang tidak pernah menerima ajaran agama (organized religion) mencari dan mengenal Tuhan dengan cara mereka sendiri. Orang-orang Mesir Kuno mendapati Tuhannya sebagai Dewa Ra dan Re. Dinasti Thebes kemudian mempermaklumkan dewa itu secara utuh sebagai Amon dan Amon Re. Tidak puas hanya dengan satu dewa yang “mewakili” Tuhan yang hendak disembah dan dipuja, orang Mesir Kuno menciptakan Osiris untuk melengkapi Ammon Re. Walaupun pengungkapan berbeda-beda, tampak sekali adanya perkembangan dalam kepercayaan manusia terhadap sesuatu yang kini disebut  “Tuhan”. Ada suku yang beralih ketika fajar-fajar pencerahan telah datang, tetapi ada juga yang masih bertahan. Penghayatan terhadap Tuhan, sebagaimana dipraktekkan oleh suku-suku primitif, merupakan bukti adanya kecerdasan jenis ini (inilah yang disebut sebagai keenderungan atau naluri menyembah). Kebutuhan ber-Tuhan, atau memiliki spiritualitas, merupakan kebutuhan tak terelakkan pada manusia. Ada kaitan langsung dan tegas antara kebutuhan itu dan tersedianya potensi ketuhanan (semacam hardware bagi program ketuhanan) dalam otak manusia. Para peneliti otak, antara lain dari Universitas California San Diego, menemukan daerah temporal sebagai lokasi yang berperanan penting dalam perasaan-perasaan mistis dan spiritual.

Ramachandran Vilayanur—seorang dokter Amerika keturunan India—menemukan bagian otak yang bertanggungjawab terhadap respon-respon mistis dan spiritual manusia. Mereka menyebutnya God Spot (Noktah Tuhan) dan bertempat dibagian dahi yang disebut lobus temporal. Sebagaimana pendapat Erich Fromm, aktivitas lobus temporal itu menjadi bukti bahwa beragama, atau lebih tepatnya, religiusitas, memang sudah menyatukan dengan diri (setiap) manusia. Manusia tidak bisa menghilangkan sifat religiusitasnya. Walaupun, mungkin saja, ia tidak menganut agama formal (agama institusional). Adanya lobus temporal itu mengingatkan sinyal al-Qur’an perihal Nabi Ibrahim yang hanif  (ber-islam), yang tidak menganut agama formal.

Jadi, salah satu titik temu kemanusiaan adalah religiusitas itu, yang ada pada (setiap) manusia yang sudah hardwired (terpatri) dalam otak setiap manusia. Penemuan itu sangat kuat menyokong penjelasan al-Qur’an tentang fitrah ketuhanan manusia (yang tidak pernah berubah sepanjang waktu sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ruum ayat 30). Untuk mengenal Tuhan, manusia tidak hanya diberikan software berupa ajaran-ajaran agama (fitrah yang diturunkan atau wahyu), tetapi juga hardware, (fitrah yang dibawa semenjak lahir atau yang sering disebut nurani), dalam hal ini lobus temporal otak. Perangkat keras ketuhanan itu akan berfungsi lebih baik jika perangkat lunaknya juga dihidupkan (dengan kata lain nurani tidak bisa dibiarkan sendirian mencari kebenaran, tetapi harus dibantu dengan wahyu yang disampaikan kepada para nabi). Fitrah itulah salah satu sumber kebajikan universal [disamping fitrah yang diturunkan atau wahyu]. Kebajikan universal [al khair] adalah kebajikan yang diakui dan diingini oleh semua manusia seperti misalnya jika ditanya manusia manapun di muka bumi ini apakah senang benar atau salah, pasti senang benar. Lawan dari kebajikan universal (al-Khair) adalah al-Munkar (yang diingkari oleh hati nurani setiap manusia). Kebajikan-kebajikan universal (al-khair) itu juga yang merupakan titik temu (kalimat sawa,/melting point) daripada agama-agama.

 

 

NDP HMI: Mengurai Bab III tentang Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir)

 

Oleh: Nani Efendi

(Alumnus LK III Badko HMI Sumbagsel, Palembang, 2008)

 

Cak Nur, dalam Bab III NDP HMI, menyebutkan bahwa keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan yang dimaksud adalah kebebasan dalam memilih berdasarkan hati nurani. Semua perbuatan manusia di dunia (baik dan buruk) akan berkonsekuensi langsung pada kehidupan di akhirat.[1]

Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup di tengah alam dan masyarakat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.[2] Amal perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di akhirat secara individu-individu (Qs. al Anfaal/8:25).[3] Di akhirat tak ada pertanggungjawaban bersama. Yang ada, semata-mata pertanggungjawaban individu secara mutlak (Qs. al Baqarah/2:48, berbunyi: "Takutlah kamu pada suatu hari (kiamat) yang seseorang tidak dapat membela orang lain sedikit pun, syafaat dan tebusan apa pun darinya tidak diterima, dan mereka tidak akan ditolong."; Qs. Luqman/31:33 berbunyi: "Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah akan hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat membela anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) membela bapaknya sedikit pun!").[4]

Karena individu adalah penanggung jawab terakhir dan mutlak terhadap perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi adalah haknya yang pertama dan asasi. Namun, kata Cak Nur, sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia selalu dan di mana saja merdeka. Terdapat batas-batas kemerdekaan manusia sebagai suatu kenyataan.

Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap yang menguasai alam—hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri—yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya "keharusan universal" atau "kepastian umum" dan “takdir” (Qs. al Hadiid/57:22, berbunyi: "Tidak ada bencana [apa pun] yang menimpa di bumi dan tidak [juga yang menimpa] dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah.").[5]

Namun, walaupun terdapat keharusan universal (takdir) yang tidak dapat ditaklukkan oleh manusia, bukan berarti manusia harus pasrah. Pasrah berarti meniadakan kemerdekaan manusia.[6] Padahal, manusia itu merdeka dalam berikhtiar. Hanya saja, maksudnya, kemerdekaan manusia itu terbatas.

Jadi, pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir, kata Cak Nur, hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan manusia. Manusia tetap diberikan kebebasan yang dinamakan "ikhtiar" (pilih merdeka).

Ikhtiar adalah kegiatan di mana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, manusia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban secara pribadi terhadap perbuatannya.

Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan nasibnya sendiri (Qs. ar Ra'd/13:11 berbunyi: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka."). Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau takdir manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.

Kita harus percaya adanya takdir. Namun, manusia, jelas Cak Nur dalam NDP, tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Apa hikmah kita mempercayai takdir? Percaya pada takdir akan membawa keseimbangan jiwa dan ketenangan hidup.

Percaya pada takdir adalah salah satu dari rukun iman yang harus kita yakini.[7] Percaya pada takdir, lanjut Cak Nur, membuat kita tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu membanggakan diri karena suatu kemujuran, keberuntungan, atau keberhasilan.[8] “Sebab, segala sesuatu tidak hanya tergantung pada manusia sendiri, melainkan juga kepada keharusan yang universal itu[9],” jelas Cak Nur.

 

Catatan kaki:

 

________________________________________

[1] Rasulullah mengatakan, bahwa dunia ini adalah sawah ladangnya akhirat. Dalam artian, apa yang kita tanam di dunia, itulah yang kita petik di akhirat. Jadi, keliru kalau ada orang yang memisahkan antara urusan dunia dengan urusan akhirat. Karena apa saja yang kita lakukan di dunia sudah secara otomatis berkonsekuensi langsung di akhirat. Oleh karena itu, apa pun yang kita lakukan di dunia bisa bernilai ibadah jika kita berorientasi kepada Allah atau dalam rangka mencari ridha Allah. Seorang pedagang yang bekerja dengan jujur, misalnya, sudah berkonsekuensi langsung saat itu juga dalam bentuk pahala di akhirat. Seorang pegawai negeri, misalnya, yang bekerja dengan jujur untuk mencari nafkah anak dan istrinya, itu juga sudah bernilai pahala (ibadah). Jadi, ibadah itu adalah segala bentuk amal perbuatan manusia dalam rangka mencari ridha Allah. Jangan di anggap urusan kantor itu urusan dunia, sementara shalat adalah urusan akhirat. Semua yang kita lakukan di dunia berkonsekuensi langsung di akhirat. Ibadah dibagi dua: yang utama seperti shalat, puasa, haji, zakat, dsb; sedangkan urusan dunia lainnya juga bernilai ibadah jika itu dalam rangka mencari ridha Allah. Untuk lebih jelas tentang hubungan dunia-akhirat, bisa didengar ceramah Buya Hamka.

[2] Bandingkan dengan kata-kata Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bukan Pasarmalam. Bahwa hidup ini, kata Pram, tak seperti pasarmalam di mana orang datang secara bersama-sama dan pulang pun secara bersama-sama pula. Dalam kehidupan dunia, orang datang secara sendiri-sendiri dan menghadap Sang Pencipta pun secara sendiri-sendiri pula. Bertanggung jawab di hadapan Allah pun juga sendiri-sendiri.

[3] “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (Qs. Al-Anfal/8:25).

[4] “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu teperdaya oleh penipu dalam (menaati) Allah.” (Qs. Luqman/31:33)

[5] “Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hadid/57:22). Salah satu contoh keharusan universal yang tidak tunduk pada kemauan manusia, misalnya, manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan di negara mana, dari suku apa, dari Rahim siapa, dan lain sebagainya. Contoh lain, manusia dalam detik yang sama tidak bisa berada pada dua tempat yang berbeda. Dan masih banyak contoh lain.

[6] Bandingkan dengan pemahaman tentang Allah dan manusia dalam aliran Jabariah. Tentang ini, silahkan baca literatur-literatur Ilmu Kalam, terutama tentang aliran-aliran dalam Islam, seperti Jabariah, Qadariah, Asy’ariyah, dll. Dan perlu dipahami, perdebatan tentang kebebasan manusia dan takdir bukan baru muncul saat ini. Persoalan itu sudah diperdebatkan dari berabad-abad yang lalu.

[7] Lihat 6 rukun iman.

[8] Bandingkan dengan Qarun yang sombong dan merasa mendapat kekayaan karena kehebatannya sendiri bukan karena karunia Allah. Lihat cerita Qarun dalam Al Qur’an.

[9] “Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Qs. Al -Hadid/57:23).

 

NDP HMI: Mengurai Bab IV tentang Ketuhanan yang Maha Esa dan Perikemanusiaan

Oleh: Nani Efendi

 

Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.

Jadi, kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.

Dalam perbendaharaan kata dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian sesuai dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah (Qs. Luqman/31:30). Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran (Qs. Ali Imran/3:60). Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME.

Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho" daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan (Qs. al Lail/92:19-21 berbunyi: "...dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya,tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.").

Kata "iman" berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan YME (Qs. Ali Imran/3:19 berbunyi: "Sesungguhnya agama [yang diridai] di sisi Allah ialah Islam."). Pelakunya disebut "Muslim". Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan YME (Qs. al Ahzab/33:39 berbunyi: "...(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, dan takut kepada-Nya serta tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah."). Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.

Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.

Pembagian kemanusiaan yang tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrawi antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri: jadi berlawanan dengan kemanusiaan.

Oleh karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata (Qs. Asy Syu'araa'/26:226 berbunyi: "...dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan[-nya]?). Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia "amal saleh" (harfiah: pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman (lihat Qur’an: aamanu wa’amilushshaalihaat, tdk kurang dari 50 x pengulangan kombinasi kata). Jadi, Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati (Qs. An Nuur/24:39 berbunyi: "Orang-orang yang kufur, amal perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar. Orang-orang yang dahaga menyangkanya air, hingga apabila ia mendatanginya, ia tidak menjumpai apa pun."). Oleh karena itu, semangat Ketuhanan YME dan semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban (Qs. At Taubah/9:109).

"Syirik" merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan (Qs. Luqman/31:13). Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik (Qs. al An'aam/6:82). Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya (Hadist, “sesunggunya sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik kecil, yaitu riya - pamrih”. Rawahu Ahmad, hadist hasan). Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.

"Musyrik" adalah pelaku daripada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan (Qs. Ali 'Imran/3:64). Demikian pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan (Qs. Al Qashash/28:4). Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain.

Maka sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik (ikhsan). Maka ketuhanan menimbulkan sikap yang adil kepada sesama manusia (Qs. An Nahl/16:90).

 

NDP HMI: Mengurai Bab V tentang Individu dan Masyarakat

Oleh: Nani Efendi

 

Pusat kemanusiaan, kata Cak Nur, adalah di masing-masing pribadi. Karena itu, kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tak ada sesuatu yang lebih berharga daripada kemerdekaan itu. Tapi manusia tak bisa hidup sendiri. Ia tetaplah sebagai mahkluk sosial, yang tak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa hubungan sosial dengan masyarakat dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.

Kemerdekaan asasi diaplikasikan dalam masyarakat. Dengan adanya kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan lainnya (Qs. az Zukhruf/43:32, berbunyi: "Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."). Artinya, perbedaan-perbedaan pada manusia itu adalah untuk kebaikan manusia sendiri: sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial, dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda (Qs. al Maa-idah/5:48 berbunyi: Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Allah hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu. Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan.").

Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya saja (Qs. Al Lail/92:4, berbunyi: "Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda."). Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya (Qs. 17:84; Qs. 39:39). Manusia tak dapat mengoptimalkan potensi dirinya tanpa diberikan kebebebasan dan kemerdekaan melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya.

Tapi ada kontradiksi pada manusia: dia adalah mahkluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas dari hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu (Qs. 12:53, Qs. 30:29).

Tapi, agar tercipta ketertiban dalam masyarakat, maka kemerdekaan mesti ditata sebaik mungkin. Karena kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Meski persamaan hak antara sesama manusia harus ditegakkan. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada haknya untuk mengembangkan kepribadiannya.

Referensi: NDP HMI versi Cak Nur

 

NDP HMI: Mengurai Bab VI tentang Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi

 

Oleh: Nani Efendi

 

Dalam banyak Latihan Kader di HMI, boleh dikatakan cukup jarang dibahas Bab VI NDP, karena penjelasannya panjang dan penulisannya juga agak rumit. Padahal, Bab VI ini sangat penting untuk memberikan wawasan sosial politik dan ekonomi bagi kader-kader HMI. Karena bab ini saya anggap sangat penting, maka saya berupaya untuk menyederhanakan tata bahasanya agar mudah dipahami. Berikut ini saya coba sempurnakan penulisannya. Saya buatkan juga sub-sub judul agar penjelasannya lebih sistematis.

Berikut hasil penyempurnaan penulisan dari saya:

Dalam Bab V telah dijelaskan tentang hubungan antara individu dengan masyarakat di mana kemerdekaan dan pembatasan kemerdekaan saling berhubungan. Perbaikan kondisi masyarakat tergantung pada pengaturan manusia sendiri dan upaya-upaya bersama. Jika kemerdekaan setiap pribadi tak diatur (dibatasi) sedemikian rupa, artinya diberikan secara absolut, maka keinginan setiap pribadi yang bermacam-macam itu akan menciptakan kekacauan atau anarkhi (Qs. Al Lail/92:8-10).

Ia akan menghancurkan masyarakat dan meniadakan kemanusiaan. Oleh karena itu, perlu ditata sebaik mungkin agar keadilan dalam masyarakat dapat tercipta (Qs. Al Maidah/5:8). Agar tidak terjadi apa yang diistilah oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris, “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain). Istilah itu untuk menggambarkan situasi masyarakat yang diwarnai oleh persaingan dan peperangan. Semua orang bisa menjadi musuh antar mereka. Manusia yang satu bisa menghancurkan manusia lain demi mencapai tujuan. “Bellum omnium contra omnes” (perang semua melawan semua). Yang kuat akan menang atas yang lemah.

Kondisi seperti itu tentu tak boleh dibiarkan. Kehidupan sosial perlu ditata secara baik agar tercipta ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Nah, siapa yang harus menegakkan keadilan dalam masyarakat? Sudah barang pasti ialah masyarakat sendiri.

Tapi dalam prakteknya diperlukan adanya satu kelompok dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan. Bahasa agamanya “amar ma’ruf nahi munkar”. (Qs. Ali Imran/3:104, berbunyi: “Waltakum mingkum ummatuy yad'ụna ilal-khairi wa ya`murụna bil-ma'rụfi wa yan-hauna 'anil-mungkar, wa ulā`ika humul-mufliḥụn; Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”).

Kualitas yang harus dipunyai oleh orang-orang itu ialah rasa kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran kecintaan yang tak terbatas pada Tuhan. Di samping itu, diperlukan kecakapan yang cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat; atau setidak-tidaknya mereka adalah orang-orang yang seharusnya memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.

Negara adalah bentuk organisasi masyarakat yang utama. Dalam negara ada pemerintah yang diberikan kekuasaan oleh masyarakat melalui mekanisme demokrasi. Pemerintahlah yang pertama berkewajiban menegakkan kadilan.

Maksud semula dan fundamental daripada didirikannya negara dan pemerintah ialah untuk melindungi manusia yang menjadi warga negara daripada kemungkinan perusakkan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia. Untuk menghindari apa yang diistilah oleh Thomas Hobbes di atas, yakni “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain).

Tapi, sebagaimana dijelaskan di atas, di samping peran negara (pemerintah), setiap individu—dalam fungsinya sebagai khalifah fil ard—memikul tanggung jawab menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang baik melalui mekanisme demokrasi. Sebagaimana Rasulullah mengatakan: “kullukum raain wakullukum mas uulun ‘an raiyyatih.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pemerintah haruslah lahir dari masyarakat sendiri yang diberikan wewenang melalui mekanisme demokrasi. Kekuatan yang sebenarnya di dalam negara ada ditangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat. Pemerintah harus menjalankan kebijakan atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah (Qs. As-Syura 42:38, berbunyi: “…dan [bagi] orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan dan menegakkan shalat, sedang urusan mereka [diputuskan] dengan jalan musyawarah antara mereka.”).

Menegakkan keadilan salah satunya ialah membatasi kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu). Menegakkan keadilan adalah amanat rakyat kepada pemerintah yang musti dilaksanakan (Qs. An Nisaa’/4:58, berbunyi: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil.”).

Ketaatan rakyat kepada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang wajib dilaksanakan. Didasari oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kapada pemerintah termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak) dan Rasulnya (pengajar tentang Kebenaran) (Qs. An Nisaa/4:59, berbunyi: Athi’ullah…dst). Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan YME (Qs. Al Maidah/5:45).

Menegakkan keadilan ekonomi

Penegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau pembagian kekayaan di antara anggota masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau rezeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan perjuangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi di satu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa di lain pihak (Qs. Al Hasyr/59:7, berbunyi: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”). Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya—bila sudah mencapai batas maksimal—pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya (Qs. Al Israa’/17:16).

Adalah sebuah keniscayaan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan antara manusia dalam hal kemampuan fisik maupun mental. Tapi dalam masyarakat yang tidak adil, kekayaan dan kemiskinan  terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak wajar. Ketidakadilan ekonomi merupakan bentuk kezaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku daripada kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya.

Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kezaliman, orang-orang miskin berada di pihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman dan yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menang terhadap kebhatilan, maka pertentangan itu disudahi dengan kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam masyarakat (Qs. An Nisaa'/4:160-161; Qs. Asy Syu'araa'/26:182-183; Qs. Al Baqarah/2:279; Qs. al Qashash/28:5).

Dalam masyarakat yang adil mungkin masih terdapat golongan kaya dan miskin, tapi hal itu terjadi dalam batas-batas kewajaran dan kemanusian dengan perbedaan kekayaan dan kemiskinan yang tidak terlalu besar disparitasnya. Hal itu sejalan dengan Islam: dibenarkannya pemilikan pribadi (private ownership) atas harta kekayaan dan adanya perbedaan-perbedaan tak terhindar dari pada kemampuan-kemampuan pribadi, fisik, maupun mental (Qs. Ar Ruum/30:37). Walaupun demikian usaha-usaha ke arah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap harus diupayakan oleh masyarakat.

Kapitalisme

Kejahatan di bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, dengan mudah seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka.

Oleh karena itu, menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat (Qs. Al Baqarah/2:278-279). Sesudah syirik, kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan beserta penggunaanya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan (Qs. al Humazah/104:1-3).

Maka menegakkan keadilan inilah membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (amar ma'ruf) dan menentang terus menerus segala bentuk penindasan kepada manusia kepada kebenaran asasinya dan rasa kemanusiaan (nahi munkar).

Dengan perkataan lain, harus diadakan restriksi-restriksi dalam cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan kamanusiaan diperbolehkan (yang ma'ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang munkar diharamkan) (Qs. Ali 'Imran/3:110).

Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan prisip Ketuhanan YME. Mengaku berketuhanan YME tapi tak melaksanakan keadilan ekonomi, sama saja nilainya dengan tidak berketuhanan. Sebab nilai-nilai dikatakan hidup jika dinyatakan dalam amal perbuatan (Qs. Ash Shaff/61:2-3).

Dalam suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk dan menyerahkan diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaanya, tetapi justru dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan dan kapital itu selanjutnya lebih memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada majikan bukan ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya. Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti keserakahan, ketamakan dan kebengisan.

Shalat sebagai pendidikan progresif

Oleh karena itu, menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana dijelaskan di atas, tapi juga melalui pendidikan yang intensif kepada pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan adanya Tuhan. Shalat merupakan suatu bentuk edukasi, suatu pendidikan yang kontinyu, yang dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan munkar. (Qs. al Ankabuut/29:45).

Jadi, shalat merupakan penopang hidup yang benar. “Shalat adalah tiang agama. Siapa mengerjakannya berarti menegakkan agama. Siapa meninggalkannya berarti merobohkan agama.” (HR-Baihaqi). Shalat menyelesaikan masalah-masalah kehidupan, termasuk pemenuhan kebutuhan yang ada secara instrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu kebutuhan sepiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak (Qs. Luqman/31:30).

Pengabdian yang tidak tersalurkan secara benar kepada tuhan YME tentu tersalurkan ke arah sesuatu yang lain. Dan membahayakan kemanusiaan. Dalam hubungan itu, di bab-bab awal NDP terdapat penjelasan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental terhadap kemanusiaan.

Zakat: solusi bagi kesenjangan ekonomi

Zakat merupakan solusi terakhir masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dipungut dari orang-orang kaya dalam jumlah presentase tertentu untuk dibagikan kepada orang miskin (Qs. at Taubah/9:60). Zakat dikenakan hanya atas harta yang diperoleh secara benar, sah, dan halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh pemerintah.

Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibangun suatu masyarakat yang adil berdasarkan ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat yang tidak lagi memperoleh kekayaan secara haram, atau memperoleh dengan cara penindasan atas manusia oleh manusia (Qs. al Baqarah/2:188).

Tidak hanya mengatur bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, tapi juga diatur bagaimana harta kekayaan itu digunakan. Pemilikan pribadi dibenarkan dalam batas yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Jika bertentangan dengan, pemerintah berhak mengajukan konfiskasi.

Seorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas-batas tertentu, yaitu dalam batas tidak kurang tapi juga tidak melebihi rata-rata penggunaan dalam masyarakat (Qs. al Furqan/25:67). Penggunaan yang berlebihan (tabzier atau israf) bertentangan dengan perikemanusiaan (Qs. al Israa'/17:26-27). Kemewahan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dalam masyarakat yang dapat berakibat destruktif (Qs. al Israa'/17:16).

Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat (taqti) merusakkan diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang dapat digunakan untuk manfaat bersama (Qs. Muhammad/47:38).

Pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan (Qs. Yunus/10:55). Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberikan bagian yang wajar daripadanya (Qs. Al A'raaf/7:10).

Pemilikan oleh seseorang (secara benar) hanya bersifat relatif sebagai mana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki tuhan, untuk kepentingan umum (Qs. al Hadiid/57:7). Maka kalau terjadi kemiskinan, orang-orang miskin diberi hak atas sebagian harta orang-orang kaya, terutama yang masih dekat dalam hubungan keluarga (Qs. al Ma'aarij/70:24-25).

Negara dan masyarakat berkewajiban untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana yang diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya dapat mengatur hidupnya secara terhormat.

Pemerintah mesti berupaya memperluas akses atau kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan, kecakapan yang wajar, kemerdekaan beribadah, dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas. 

 

Referensi:

 

NDP HMI versi Nurcholish Madjid

Qs. Al Lail/92:8-10

Qs. Al Maidah/5:8

Qs. Ali Imran/3:104, berbunyi: “Waltakum mingkum ummatuy yad'ụna ilal-khairi wa ya`murụna bil-ma'rụfi wa yan-hauna 'anil-mungkar, wa ulā`ika humul-mufliḥụn; Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Qs. As-Syura 42:38, berbunyi: “…dan [bagi] orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan dan menegakkan shalat, sedang urusan mereka [diputuskan] dengan jalan musyawarah antara mereka.”).

Qs. An Nisaa’/4:58, berbunyi: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil.”

 

NDP HMI: Mengurai Bab VII tentang Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan

Oleh: Nani Efendi

 

Dari seluruh uraian yang telah di kemukakan Cak Nur, dari Bab I sampai VII, dapatlah disimpulkan: inti kemanusiaan yang suci adalah iman dan amal saleh atau kerja kemanusiaan (Qs. At Tiin/95:6).

Iman dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadikanya satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan kebaikan. Sikap itu menghasilkan amal saleh, yakni amal yang bersesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna untuk sesamanya. “Khairunnas anfa’uhum linnas; manusia yang baik itu yang banyak manfaatnya bagi manusia lain.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).

Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan? Perjalanan sejarah ummat manusia adalah gerakan maju kedepan. Maka semua nilai dalam kehidupan adalah relatif: ia berlaku untuk ruang dan waktu tertentu. Segala sesuatu berubah, yaitu kebenaran mutlak (Tuhan) (Qs. Al Qashash/28:88, berbunyi: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.”). Nilai yang benar adalah yang bersumber dan dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Allah (Qs. Al An’aam/6:57).

Manusia ikhtiar dan merdeka, ialah yang bergerak (progresif). Dinamis, bukan statis. Dia bukan seorang tradisionalis, apalagi reaksioner (Qs. Al Israa’/17:36). Dia menghendaki perubahan terus menerus sejalan dengan menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencari kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya.

Ilmu pengetahuan

Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya, sekalipun relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. (Qs. Fushshilat/41:53).

Jadi ilmu pengetahuan adalah alat untuk beramal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat berjalan di atas kebenaran-kebenaran, yang akan mengantarkannya pada ketundukan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa (Qs. Faathir/35:28). Dengan iman dan ilmu pengetahuan-lah manusia dapat mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (Qs. Al Mujaadilah/58:11, berbunyi: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”).

Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna dapat mengarahkannya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas atau rasio (Qs. Al Jaatsiyah/45:13).

Manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap (Qs. Ali ‘Imran/3:137, berbunyi: “Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunah-sunah [Allah]. Oleh karena itu, berjalanlah di [segenap penjuru] bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan para pendusta [rasul-rasul].”). Hukum sejarah yang tetap (sunatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang daripadanya dengan menuruti hawa nafsu (Qs. Asy Syams/91:9-10).

 

NDP HMI: Mengurai Bab VIII tentang Kesimpulan dan Penutup

Oleh: Nani Efendi

 

Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sbb:

1. Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya, yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu memancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam peradaban dan berbudaya.

2. Iman dan takwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan. Ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang tuguh kepada kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati nurani yang hanif. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara beribadah menjadi wewenang penuh dari  agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadat yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan kedudukannya di tengah alam dan masyarakat dan sesamanya. Ia tidak melebihkan diri sehingga mengarah kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai mahluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain. Dengan ibadah, manusia dididik untuk memiliki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah berbuat ikhlas, yaitu pemurniaan pengabdian kepada Kebenaran semata.

3. Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yang sungguh-sungguh secara essensial menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, tanpa terikat ruang dan waktu. Yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani. Usaha itu ialah "amar ma'ruf nahi mungkar”. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta upaya peningkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.

 

4. Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan jihad, yaitu sikap berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh kuat.

 5. Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuang kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu, manusia harus mengetahui arah yang benar dari perkembangan peradaban di segala bidang. Untuk itu, diperlukan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan menghancurkan peradaban. Mendalami ilmu pengetahun harus didasari oleh sikap terbuka.

Dengan demikian, tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana: beriman, berilmu dan beramal. Bahasa sederhananya: iman, ilmu, amal.

0 komentar:

Posting Komentar