Bab I: Dasar-Dasar Kepercayaan
Oleh: Nani Efendi
Dalam Bab I NDP HMI yang membahas tentang dasar-dasar kepercayaan, Cak Nur menjelaskan bahwa manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan akan melahirkan tata nilai dalam kehidupan manusia (sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain).[1] Oleh karena itu, manusia harus percaya pada “yang benar” dan dengan “cara yang benar” pula. Dan Kebenaran mutlak hanyalah Allah.
Tentang kepercayaan ini, saya
berikan satu contoh. Ketika kita naik pesawat terbang, misalnya. Mengapa kita
berani terbang ke suatu tempat dengan menggunakan pesawat terbang? Salah satu
jawabannya: karena kita percaya bahwa kita akan sampai pada tujuan dengan cepat
dan selamat. Dengan dasar percaya, kita tidak perlu lagi mengecek kelaikan
pesawat (BBM-nya, olinya, jam terbang pilot, dan lain sebagainya). Kita
bermodal percaya saja. Tanpa ada kepercayaan seperti itu, kemungkinan kita
tidak akan berani naik pesawat. Nah, dalam hal percaya itu, pertanyaannya,
apakah kita percaya pada teknologi (sains) pesawat terbang, atau kepada
kemampuan pilot, atau kepada Allah sendiri Yang Maha Menjaga? Di situ
persoalannya. Para pengagum sains yang bersifat positivistik, mereka hanya
percaya pada hukum alam dengan berbagai penjelasan logika ilmiah semata. Tapi,
bagi yang percaya Allah, ia hanya meyakini peran Allah saja. Allah-lah yang
akan menjaga. Sains dan lain sebagainya itu hanyalah “perantara” saja. Dari
sisi cara dan arah percaya itulah yang membedakan manusia beriman atau tidak.
Bagi yang tak beriman pada Allah, mereka semata-mata hanya meyakini sains atau
kekuatan lain selain Allah.
Perjanjian primordial
Oleh beberapa kader HMI, Bab I
ini dianggap sebagai inti dari keseluruhan bab dalam NDP. Karena di bab I ini dibahas tentang
tauhid—inti dari ajaran semua nabi.
Jadi, menurut saya—sebagaimana
yang saya baca dari banyak tulisan Cak Nur—dalam NDP Bab I ini, Cak Nur ingin
menjelaskan juga bahwa manusia itu cenderung untuk memiliki kepercayaan dan
memiliki naluri untuk menyembah. Mengapa itu terjadi? Menurut Cak Nur—bisa kita
baca dari berbagai tulisan-tulisannya—itu karena setiap manusia pada dasarnya
sudah bertauhid semenjak lahir.
Sebelum manusia dilahirkan ke
dunia manusia sudah menyatakan dirinya bertuhan kepada Allah (Tuhan Yang Maha
Esa). Cak Nur menyebutnya dengan ”perjanjian primordial” (primordial covenant)
berdasarkan firman Allah:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ”Bukankah aku ini Tuhanmu?”
Mereka menjawab: ”Betul (Engkau Tuhan kami). Kami menjadi saksi”. (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ”Sesungguhnya
kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan)”. (Q.,s. al-A’raaf/ 7:172).
Dengan adanya perjanjian
primordial ini, maka manusia memiliki fitrah (kesucian/hati nurani). Fitrah itu
pada hakikatnya suci dan cenderung pada kebenaran (hanif). Fitrah itu tidak
akan berubah sepanjang masa.[2] Ia disebut lokus kearifan abadi (sophia
perrenis/al-hikmat al-khalidah)[3]. Dengan adanya fitrah itu pula manusia
mempunyai naluri untuk menyembah dan mencari sasaran-saran penyembahan. Hal ini
dapat dilihat dalam kehidupan manusia. Berbagai bentuk praktek dan aktivitas
manusia dilakukan sebagai ”bentuk penyaluran” naluri menyembah dan mengabdi
dalam diri manusia. Manusia secara terus-menerus rindu dan mencari Tuhan yang
telah dikenalnya sewaktu bersaksi sebelum ruh ditiupkan oleh Tuhan.
Dikarenakan naluri menyembah
sebagai konsekwensi dari perjanjian primordial itulah maka problem yang banyak dihadapi oleh manusia adalah
politeisme (menyembah banyak Tuhan/syirik atau menserikatkan Tuhan) bukan
ateisme. Fenomena yang banyak terjadi dalam kehidupan manusia bukan tidak
percaya Tuhan, tapi mempercayai banyak Tuhan (politeisme). Oleh karena itu,
dalam Al Qur’an, yang banyak disebut bukanlah ateisme (orang yang tak percaya
Tuhan), tapi politeisme atau syirik (mempercayai banyak Tuhan). Hanya sedikit
ayat yang berbicara tentang ateisme. Kata Cak Nur, ”Tantangan manusia ialah
bagaimana menyalurkan naluri dan hasrat alamiahnya untuk berbakti dan memuja
itu ke arah sasaran pemujaan yang benar dan dengan cara yang benar, sehingga
memiliki konsekuensi yang benar pula”.[4]
Fungsi kalimat syahadat ”la ilaha
illa Allah”
Fungsi kalimat Tauhid laa ilaaha
illa-Allah sebenarnya adalah meluruskan kembali arah serta cara penyembahan
dari naluri menyembah yang ada dalam diri manusia dan menunjuki, membantu,
serta membersihkan kembali nurani atau fitrah manusia supaya tetap berada dalam
kesucian, dan cenderung kepada kebenaran (hanif) sebagai mana awal diciptakannya fitrah itu oleh
Allah s.w.t. semenjak manusia dilahirkan. Dengan kata lain, supaya manusia
tetap berada dalam fitrahnya (yang senantiasa cenderung kepada kesucian,
kebenaran, kebaikan dan kesempurnaan atau yang disebut hanif).[5]
Jadi, jika penyaluran naluri
menyembah dalam diri manusia yang bersumber dari fitrah (nurani) itu tidak
terbimbing atau ditunjuki ke jalan yang benar, maka naluri alamiah itu bisa
terperosok ke lembah kesesatan dan keburukan. Di sinilah fungsi kalimat
syahadat ”la ilaha illa Allah”. Dengan kata lain, fitrah (nurani) manusia yang
hanif (cenderung kepada kebenaran) itu
harus dibantu oleh Allah sendiri melalui wahyu yang disampaikan melalui para
nabi dan rasul.
Jadi, hasrat untuk percaya
(bertuhan) adalah bawaan azali manusia. Oleh karena itu, kata Cak Nur dalam
NDP, yang dipercayai atau yang dituhankan haruslah sesuatu benar terlebih
dahulu. Dan Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah saja. Lebih lanjut dalam
teks NDP dijelaskan: perumusan kalimat persaksian (syahadat) Islam yang kesatu:
tiada tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian.
Perkataan "Tidak ada tuhan" (dengan t kecil) meniadakan segala bentuk
kepercayaan, sedangkan perkataan "selain Allah" memperkecualikan satu
kepercayaan kepada Kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan, kata Cak Nur,
agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada
dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia
hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai,
itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Tunduk dan pasrah pada
Tuhan YME itu yang disebut islam atau ber-islam.
Agar kepercayaan kepada Tuhan itu
sempurna, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan.
Diperlukan "wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung
dari Tuhan sendiri kepada manusia yang disampaikan melalui para rasul. Jadi,
jelas Cak Nur, untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya,
manusia harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai
kerasulan Muhammad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua ialah percaya bahwa
Muhammad adalah Rasul Allah.
Konsekuensi Pemahaman Kalimat
Syahadat dalam Diri Seseorang
Abdullah Ibnu Sinan sebagaimana
dikutip oleh Taufiq Pasiak dalam bukunya Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains
dan Al-Qur’an, menafsirkan fitrah sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an
surat Ar Ruum ayat 30 adalah al-islam[6]. Naluri menyembah yang ada pada diri
manusia bersentuhan dengan lingkungannya yang bersifat materil telah membuat
naluri itu menyembah berbagai bentuk benda dan kecenderungan sebagai tuhan
selain Allah. Dulu manusia menyembah berbagai bentuk benda-benda seperti
berhala, batu, pohon-pohon besar yang dianggap keramat, bintang, bulan,
matahari, dan lain sebagainya. Di zaman kontemporer, manusia yang tidak
bertauhid secara benar menyalurkan naluri menyembahnya kepada berbagai bentuk
benda dan kecenderungan termasuk hawa nafsunya sendiri. Mempertuhankan hawa
nafsu ialah memperturutkan keinginan nafsu, sehingga ia diperbudak oleh
nafsunya sendiri, dengan kata lain ia dibelenggu oleh tuhan-tuhan palsu yang ia
ciptakan sendiri.
Meminjam istilah Bang Imaduddin
Abdurrahim dalam bukunya Kuliah Tawhid sebagai tuhan triple Ta (harta, tahta,
dan wanita).[7] Tuhan tripel Ta adalah merupakan bentuk tuhan yang diciptakan
oleh hawa nafsu. Untuk itulah, kalimat tauhid menyadarkan manusia untuk hanya
bertuhan kepada Tuhan yang Maha Esa dengan hidup sesuai fitrah (hanif). Orang
yang hanif selalu mengikuti nuraninya yang bersih dan tidak diperbudak atau
dibelenggu oleh tuhan-tuhan palsu (keinginan hawa nafsunya sendiri) yang
mengakibatkan kenistaan dalam hidupnya. Mempertuhankan nafsu berarti hidup
menyimpang dari fitrah manusia itu sendiri.
Kalimat laa ilaaha illa-Allah adalah bentuk pernyataan negasi atau
pengingkaran dan juga afirmasi atau penegasan. La ilaah artinya tidak ada
tuhan. Tuhan dalam pengertian pertama ini adalah segala bentuk hal-hal yang
dipertuhankan oleh manusia selain Allah, yang membelenggu kebebasan dan
memperbudak manusia itu sendiri. Tuhan yang harus diingkari (dinegasi) adalah
tuhan-tuhan palsu[8] (tuhan-tuhan lokal[9]) bikinan-bikinan manusia itu
sendiri.
Setelah kalimat pengingkaran akan
segala bentuk tuhan yang tidak benar itu baru diikuti dengan kalimat afirmasi
atau penegasan: ”kecuali Allah” (atau Tuhan yang Sebenarnya). Artinya
menegaskan bahwa hanya ada satu Tuhan di alam semesta ini (Tuhan yang
universal). Mengakui dan menyatakan Allah adalah satu-satunya Tuhan semesta
alam ialah dengan cara tunduk dan patuh serta berserah diri kepada-Nya
(ber-islam).
Dalam Al-Quran didapat keterangan
lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa antara lain: surat Al-Ikhlas. Juga
diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan
Yang Bathin (Q.,s. al-Hadiid/57:3) dan "kemana pun manusia menghadap di
sanalah wajah Tuhan" (Q.,s. al-Baqarah/2:115). Dan "Dia bersama kamu
kemana pun kamu berada" (Q.,s. al-Hadiid/57:4). Jadi Tuhan tidak terikat
dengan ruang dan waktu.
Karena Allah adalah "yang
pertama dan yang penghabisan", maka Allah adalah asal sekaligus tujuan
segala yang ada (inna lillahi wainna ilaihi rojiun). Mengorientasikan diri
kepada Allah adalah melakukan sesuatu dengan ikhlas (lillahita’ala) semata-mata
untuk mencari ridha Allah. Keikhlasan ialah melakukan sesuatu bukan oleh
sesuatu yang lain, tetapi dikarenakan keinginannya sendiri sebagai pancaran
dari nurani yang suci. Keikhlasan inilah yang menimbulkan kebahagiaan.
Dengan kita mengingkari
”tuhan-tuhan” (dengan t kecil) selain Allah, maka kita telah memutlakkan hanya
satu Kebenaran saja, yakni Allah SWT. Konsekuensi lebih lanjut, kita akan
terbebas dari segala hal yang membelenggu kebebasan kita. Terbebas dari segala
hal memperbudak kita.[10] Terbebas dari segala hal yang menakuti kita. Kita
terbebas dari segala kekhawatiran karena kita berpegang dan yakin pada Allah
semata. Dengan kata lain: tidak ada yang kita harapkan dalam hidup ini kecuali
ridha Allah, tidak ada yang kita takuti kecuali Allah, karena kita yakin bahwa
tidak ada kekuatan lain dalam semesta ini kecuali kekuatan Allah saja.[11]
Iman dan ilmu
Manusia, terang Cak Nur dalam
NDP, harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui
jalan menuju kebenaran itu (Qs. Al Israa'/17:72). Oleh karena itu kehidupan
yang baik, lanjutnya, adalah kehidupan yang disemangati oleh iman dan diterangi
oleh ilmu (Q.,s. al-Mujaadilah/58:11). “Bidang iman dan pencabangannya menjadi
wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk
mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi
tentang alam dan tentang manusia (sejarah),” terang Cak Nur.
Di akhir Bab I NDP, Cak Nur
menjelaskan, “Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah "hari
kiamat". Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin,
karena di situ tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha
dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggungjawaban individu yang
bersifat mutlak di hadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu di dalam
sejarah ((Q.,s. al-Baqarah/2:48). Dengan demikian, kata Cak Nur, tugas hidup
manusia itu sangatlah sederhana, yakni beriman, berilmu, dan beramal—sebuah
segi tiga yang saling terkait. Iman (kepercayaan) harus benar terlebih dahulu.
Kemudian iman mesti diterangi dengan ilmu pengetahuan (berpikir kritis, logis,
sistematis, dan rasional). Setelah itu, manusia mesti mengamalkan imannya yang
benar itu dalam kehidupan. Begitu seterusnya.
NANI EFENDI, Alumnus Latihan
Kader III (Advance Training) Badko HMI Sumbagsel
Daftar Bacaan
Dr. Ir. Muhammad ‘Imaduddin
‘Abdulrahim. Kuliah Tauhid. Jakarta: Gema Insani, 2002
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad
Gaus AF (ed). Pasing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama bekerjasama dengan Yayasan wakaf Paramadina, 1998.
Nurcholish Madjid dkk.
Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI. Jakarta, tt
Nurcholish Madjid. Dialog
Ramadlan bersama Cak Nur. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000
Nurcholis Madjid. Islam, Doktrin
dan Peradaban. Paramadina, 1995.
Pasiak, Taufiq. Revolusi
IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan 2003).
Tarigan, Azhari Akmal. Islam
Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP). (Jakarta: Kultura.
GP Press Group, 2007)
________________________________________
[1] Percaya pada sains secara
membabi buta, misalnya, akan melahirkan kehidupan masyarakat manusia yang
mengagung sains semata tanpa sikap kritis. Contoh lain, misalnya, kepercayaan
dalam dinamisme masyarakat primitif akan melahirkan masyarakat yang irasional.
Dan kita masih bisa mencari contoh-contoh lain dari hubungan kepercayaan
terhadap lahirkan tata nilai dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya.
Kepercayaan pada sistem sosial tertentu, misalnya—komunisme, kapitalisme,
sosialisme, fasisme, dan lain-lain—juga akan melahirkan tata nilai dan budaya
tertentu.
[2] “Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.,s.
Ar-Ruum/ 30:30).
[3] Nurcholish Madjid, ”Dialog
Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam” dalam Komaruddin Hidayat
dan Ahmad Gaus AF (ed), Pasing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan wakaf Paramadina, 1998. hlm.
13
[4]Nurcholish Madjid, ”Dialog
Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-Islam” dalam Komaruddin Hidayat
dan Ahmad Gaus AF (ed) Passing Over; Melintasi Batas Agama, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina. 1998), hlm.
12.
[5] Kebaikan yang diakui oleh
nurani manusia yang hanif itulah yang disebut sebagai kebajikan universal,
kearifan abadi (al hikmat al khalidah; sophia perennis).
[6] Taufiq Pasiak. Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan
Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 2003.
[7] Dr. Ir. Muhammad ‘Imaduddin
‘Abdulrahim. Kuliah Tauhid. Jakarta: Gema Insani, 2002.
[8] Istilah Cak Nur.
[9] Istilah yang digunakan Azhari
Akmal Tarigan. Lihat Azhari Akmal
Tarigan, Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP),
(Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007)
[10] Saya pernah membaca tulisan
dari Amien Rais yang kira-kira begini: sekali manusia merasa dirinya lebih
tinggi atau lebih rendah dari orang lain, maka ia telah jatuh ke dalam syirik.
[11] “Laa hawla wala quwwata illa
billaah” (tak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah semata); la
tataharraku dzarratun illa bi idznillah” (tidak bergerak satu zarrah pun
melainkan dengan izin Allah). Tentang tauhid, baca juga Syekh Muhammad Nafis
bin Idris Al Banjarie. Ilmu Ketuhanan: Permata yang Indah (Ad-Durrun Nafis.
(Alih Bahasa: DR. K.H. Haderani HN). Surabaya: Nur Ilmu, tt. Dalam buku Permata
yang indah, dijelaskan tentang konsep tauhid (tauhidul af’al, tauhidul asma,
tauhidussifat dan tauhidudzat).
NDP HMI: Mengurai
Bab II tentang Pengertian-Pengertian Dasar tentang Kemanusiaan
Oleh: Nani Efendi
Dalam Bab II NDP HMI disebutkan
bahwa manusia adalah puncak ciptaan, mahluk yang tertinggi dan wakil[1] Tuhan
di bumi. Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia dalam keadaan fitrah, sebagai
konsekuensi perjanjian primordial seperti dijelaskan dalam al Qur’an. Cak Nur
menyebutnya dengan perjanjian primordial (primordial covenant) berdasarkan
firman Allah:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ”Bukankah aku ini Tuhanmu?”
Mereka menjawab: ”Betul (Engkau Tuhan kami). Kami menjadi saksi”. (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ”Sesungguhnya
kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan)”. (Q.,s. al-A’raaf/ 7:172).
Fitrah inilah yang membuat
manusia berkeinginan suci dan selalu cenderung kepada kebenaran (hanif). Fitrah
pada diri manusia itu, semenjak Nabi Adam hingga akhir zaman, tidak akan
berubah. Artinya, fitrah dalam diri setiap manusia itu tetap sama: sama-sama
cenderung pada kebenaran dan kebaikan. Terlepas apapun ras, suku, bangsa,
agama, jenis kelamin, waktu, tempat, dan lain sebagainya. Fitrah pada setiap
manusia itu tidak akan berubah sepanjang masa. Firman Allah:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.,s. Ar-Ruum/
30:30).
Jadi, manusia, semenjak Nabi Adam
hingga kini, diciptakan dalam kesucian asal yang disebut fitrah. Fitrah membuat
manusia berkecenderungan suci (cenderung pada kebenaran dan kebaikan), yang
disebut hanif. Tempat bersemayamnya kesucian asal itu ialah pusat kedirian
manusia yang disebut “nurani” (bersifat nur/cahaya; bersifat terang).[2]
Hati nurani (dlamier) inilah yang
selalu mencahayai manusia sehingga manusia mampu mengetahui apa yang baik, apa yang suci dan benar.
Manusia akan selalu dalam fitrahnya jika ia hidup mengikuti nuraninya yang
suci.
Temuan ilmiah tentang fitrah
dapat dibaca dalam Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan
Al-Qur’an (Bandung: Mizan 2003), hlm 27. Para ahli otak, menurut Taufiq,
menemukan bahwa kecerdasan spiritual itu berakar kuat dalam otak manusia. Setidaknya,
menurut Taufiq, ada empat bukti penelitian yang memperkuat dugaan adanya
potensi spiritual dalam otak manusia: 1) Osilasi 40 Hz yang ditemukan oleh Denis Pare dan
Rudolpho Llinas, yang kemudian dikembangkan menjadi spiritual intelligence oleh
Danah Zohar dan Ian Marshal; 2) Alam bawah sadar kognitif yang ditemukan oleh
Joseph deLoux dan kemudian dikembangkan menjadi emotional intelligence oleh
Daniel Goleman serta Robert Cooper
dengan konsep suara hati; 3) God Spot
pada daerah temporal yang ditemukan oleh Michael Persinger dan Vilyanur
Ramachandran; 4) Somatic Marker oleh Antonio Damasio. Keempat bukti itu
memberikan informasi tentang adanya hati nurani atau intuisi dalam otak
manusia. Penelitian itu juga, menurut Taufiq, berhasil membuktikan bahwa hati
nurani (fitrah) itu mengawal manusia setua evolusi biologi umat manusia. Dengan
kata lain, penelitian itu memperkuat keyakinan bahwa manusia tidak mungkin lari
dari Tuhan.
Fitrah bawaan harus dibantu
dengan fitrah yang diturunkan
Tapi, walaupun manusia pada
dasarnya adalah hanif, manusia juga diciptakan sebagai makhluk yang lemah.
(Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat
lemah. Q.,s. al-Nisaa'/4:28)[3]. Salah satu kelemahannya ialah bersifat
tergesa-gesa (Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku
perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku
mendatangkannya dengan segera. Q.,s. al Anbiyaa'/21:37)[4] dan Q.,s. al
Israa'/17:11, berbunyi: Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia
mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa). Karena
kelemahannya itu, maka manusia cenderung berpandangan pendek, mementingkan
hal-hal segera, dan mengabaikan hal-hal jangka panjang (Qs. al Qiyaamah/75:20,
berebunyi: sebenarnya kamu mencintai kehidupan dunia, dan Q.,s. al-Insaan/76:27
berbunyi: Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka
tidak memperdulikan hari yang berat [hari akhirat]. Itu semua membuat manusia
rawan terhadap kesalahan dan kekeliruan.
Karena manusia juga memiliki
kelemahan seperti disebutkan di atas, manusia tidak selalu dapat mendengar hati
nuraninya. Atau karena hati sudah kehilangan cahayanya, sehingga tak lagi
bersifat terang atau bersifat cahaya (nurani). Yang membuat hati kehilangan
cahaya adalah dosa dan kejahatan yang dilakukan. Karena itu, dosa—dalam al
Qur’an—disebut zhulm yang berarti “gelap”, dan orang yang berbuat dosa disebut
“zhalim” (orang yang melakukan kegelapan).[5]
Nah, agar manusia tetap dalam
fitrahnya, maka manusia diberi petunjuk dan perintah oleh Allah melalui wahyu
yang disampaikan kepada para nabi. Nurani yang ada dalam diri kita jika tidak
terkontaminasi oleh lingkungan ia akan tetap suci dan tetap dalam keadaan
fitrah. Tetapi, adalah tidak mungkin kita bisa hidup tanpa berinteraksi dengan
lingkungan. Oleh karena itu, nurani tidak bisa dibiarkan sendirian mencari
kebaikan, kesucian dan kebenaran. Ia harus dibantu dengan fitrah yang
diturunkan atau diwahyukan dari Tuhan. Ibnu taymiyyah menyebut agama sebagai
fitrah yang diturunkan.
Untuk itulah, agar kita selalu
berada dalam fitrah, maka kita harus selalu mendengarkan suara hati nurani
(fitrah) yang sudah ada dalam diri kita. Namun, itu belum cukup. Kita juga
harus berpedoman kepada wahyu Allah yang disampaikan kepada para nabi, terutama
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang berupa al-Qur’an, sehingga
kita tetap berada dalam fitrah atau di jalan
yang lurus (siratul mustaqim). Karena itulah di dalam hymne HMI
disebutkan: ”...turut Qur’an dan hadits, jalan keselamatan.”
Begitulah sikap bertauhid kepada
Allah. Bertauhid berarti percaya hanya ada satu Tuhan saja dengan cara tunduk,
patuh dan berserah diri (islam) kepada Tuhan YME itu. Tuhan YME dalam bahasa
Arab disebut Allah—berasal dari Al-Ilah yang berarti Tuhan yang sebenarnya.
Sikap tunduk, patuh dan berserah diri (islam) pada Allah itulah inti ajaran
para nabi mulai dari Nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa al-Masih (Jesús Christ/Yesus
Kristus) sampai Nabi Muhammad s.a.w.[6]
Beberapa hal penting dalam Bab II
NDP HMI
Agar lebih mudah memahami NDP
karya Cak Nur, ada baiknya saya pilah-pilah hal-hal pokok dan penting sebagai
berikut. Beberapa teks dari NDP di bawah ini ada yang sengaja tidak saya ubah
kalimatnya agar memberikan pemahaman yang sesuai dengan maksud NDP itu
sendiri. Pertama, nilai hidup manusia,
jelas Cak Nur, tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal
perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani)
manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal
perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan (Qs.,s.
an Nahl/16:97, an Nisaa'/4:111).
Kedua, manusia itu, kata Cak Nur,
haruslah selalu semangat mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (Qs. an Nisaa'/4:125).
Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan
kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan (Qs.
az-Zumar/39:18). Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom,
hikmah) (Qs. al Baqarah/2:269). Dia berpengalaman luas, berpikir bebas,
berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun
datangnya (Qs. al-An'aam/6:125). Dia adalah manusia toleran dalam arti kata
yang benar, penahan amarah dan pemaaf (Qs. Ali Imran/3:134). Keutamaan itu
merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik daripada pribadi-pribadi yang
senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.
Ketiga, seorang manusia sejati
(insan kamil), terang Cak Nur di Bab II, ialah yang kegiatan mental dan
fisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah
dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja
dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenangan dan kesenangan ada dalam dan melalui
kerja. Dia berkepribadian, merdeka. Dia tidak mengenal perbedaan antara
kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan
dan sebagai anggota masyarakat. Hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk
dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia.
Keempat, manusia sejati, menurut
Cak Nur, tidak mengenal pembagian (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani
dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akhirat.
Kesemuanya dimanifestasikan dalam rangka mencari kebaikan, keindahan dan
kebenaran (Qs. al Bayyinah/98:5).
Kelima, papar Cak Nur, ikhlas.
Seluruh amal perbuatan manusia yang fitrah semestinya benar-benar berasal dari
dirinya sendiri yang merupakan pancaran langsung dari kecenderungannya yang
suci (Qs. al Baqarah/2:207, Qs. al Insaan/76:89). Ia melakukan pekerjaan karena
keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan
karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih) (Qs.
al Baqarah/2:264). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan
memberinya kebahagiaan (Qs. Faathir/35:10). Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan
hidup manusia. Tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan
selalu menimbulkan kebahagiaan.
Hidup fitrah, kata Cak Nur, ialah
bekerja secara ikhlas yang memancar dari hati nurani yang hanief atau suci.
NANI EFENDI, Alumnus Latihan
Kader III (Advance Training) Badko HMI Sumbagsel
Daftar Bacaan
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad
Gaus AF (ed). Pasing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama bekerjasama dengan Yayasan wakaf Paramadina, 1998.
Nurcholish Madjid dkk.
Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI. Jakarta, tt
Nurcholish Madjid. Dialog
Ramadlan bersama Cak Nur. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin
dan Peradaban, Paramadina, 1995.
Pasiak, Taufiq. Revolusi
IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan Al-Qur’an (Bandung: Mizan 2003).
Tarigan, Azhari Akmal. Islam
Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP). (Jakarta: Kultura.
GP Press Group, 2007)
________________________________________
[1] Ada dua hakikat penciptaan
manusia: sebagai hamba yang berkewajiban beribadah kepada Allah (Az Zariyat
ayat 56), dan sebagai khalifah Allah yang bertanggungj jawab memakmurkan bumi
(Al Baqarah/2:30).
[2] Kata hanief ini selalu kita ucapkan dalam do’a iftitah di waktu shalat. (inni wajjahtu
wajhia lilladzii fatharas-samaawaati wal ardla hanifaw wa maa ana minal
musyrikin). Artinya: Sesungguhnya aku menghadapkan mukaku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi dengan hanif (selalu cenderung kepada kebenaran),
dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Kata hanif
ini terdapat dalam Al Qur’an surat Al An’am/6:79. yang menceritakan tentang kisah Nabi Ibrahim
mencari Tuhan dengan pertama kali melihat bintang dan menganggap itu sebagai
tuhan, kemudian bulan, dan matahari. Tetapi kemudian ia menyadari bahwa
benda-benda itu bukanlah tuhan yang sebenarnya tetapi itu adalah ciptaan Tuhan.
Hasil dari usaha pencarian Tuhan itulah Ibrahim menyatakan hanif (cenderung
kepada kebenaran) bertuhan kepada Yang Menciptakan Semua itu.
[3] “Allah hendak memberikan
keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.”
[4] “Manusia diciptakan
(bersifat) tergesa-gesa.”
[5] Lihat Nurcholish Madjid,
Dialog Ramadlan bersama Cak Nur, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000
[6] Lebih lanjut Taufik Pasiak
menjelaskan: “Titik temu pada proses ber-Tuhan adalah keyakinan semua manusia,
dari bangsa mana pun juga, bahwa ada sesuatu yang jauh lebih tinggi dari
manusia. Dari tinjauan historisnya, naluri manusia untuk ber-Tuhan dapat kita
lihat pada suku-suku terasing yang tidak pernah menerima ajaran agama
(organized religion) mencari dan mengenal Tuhan dengan cara mereka sendiri.
Orang-orang Mesir Kuno mendapati Tuhannya sebagai Dewa Ra dan Re. Dinasti
Thebes kemudian mempermaklumkan dewa itu secara utuh sebagai Amon dan Amon Re.
Tidak puas hanya dengan satu dewa yang “mewakili” Tuhan yang hendak disembah
dan dipuja, orang Mesir Kuno menciptakan Osiris untuk melengkapi Ammon Re.
Walaupun pengungkapan berbeda-beda, tampak sekali adanya perkembangan dalam
kepercayaan manusia terhadap sesuatu yang kini disebut “Tuhan”. Ada suku yang beralih ketika
fajar-fajar pencerahan telah datang, tetapi ada juga yang masih bertahan.
Penghayatan terhadap Tuhan, sebagaimana dipraktekkan oleh suku-suku primitif,
merupakan bukti adanya kecerdasan jenis ini (inilah yang disebut sebagai
keenderungan atau naluri menyembah). Kebutuhan ber-Tuhan, atau memiliki
spiritualitas, merupakan kebutuhan tak terelakkan pada manusia. Ada kaitan
langsung dan tegas antara kebutuhan itu dan tersedianya potensi ketuhanan
(semacam hardware bagi program ketuhanan) dalam otak manusia. Para peneliti
otak, antara lain dari Universitas California San Diego, menemukan daerah
temporal sebagai lokasi yang berperanan penting dalam perasaan-perasaan mistis
dan spiritual.
Ramachandran Vilayanur—seorang
dokter Amerika keturunan India—menemukan bagian otak yang bertanggungjawab
terhadap respon-respon mistis dan spiritual manusia. Mereka menyebutnya God
Spot (Noktah Tuhan) dan bertempat dibagian dahi yang disebut lobus temporal.
Sebagaimana pendapat Erich Fromm, aktivitas lobus temporal itu menjadi bukti
bahwa beragama, atau lebih tepatnya, religiusitas, memang sudah menyatukan
dengan diri (setiap) manusia. Manusia tidak bisa menghilangkan sifat religiusitasnya.
Walaupun, mungkin saja, ia tidak menganut agama formal (agama institusional).
Adanya lobus temporal itu mengingatkan sinyal al-Qur’an perihal Nabi Ibrahim
yang hanif (ber-islam), yang tidak
menganut agama formal.
Jadi, salah satu titik temu
kemanusiaan adalah religiusitas itu, yang ada pada (setiap) manusia yang sudah
hardwired (terpatri) dalam otak setiap manusia. Penemuan itu sangat kuat
menyokong penjelasan al-Qur’an tentang fitrah ketuhanan manusia (yang tidak
pernah berubah sepanjang waktu sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ruum
ayat 30). Untuk mengenal Tuhan, manusia tidak hanya diberikan software berupa
ajaran-ajaran agama (fitrah yang diturunkan atau wahyu), tetapi juga hardware,
(fitrah yang dibawa semenjak lahir atau yang sering disebut nurani), dalam hal
ini lobus temporal otak. Perangkat keras ketuhanan itu akan berfungsi lebih
baik jika perangkat lunaknya juga dihidupkan (dengan kata lain nurani tidak
bisa dibiarkan sendirian mencari kebenaran, tetapi harus dibantu dengan wahyu
yang disampaikan kepada para nabi). Fitrah itulah salah satu sumber kebajikan
universal [disamping fitrah yang diturunkan atau wahyu]. Kebajikan universal
[al khair] adalah kebajikan yang diakui dan diingini oleh semua manusia seperti
misalnya jika ditanya manusia manapun di muka bumi ini apakah senang benar atau
salah, pasti senang benar. Lawan dari kebajikan universal (al-Khair) adalah
al-Munkar (yang diingkari oleh hati nurani setiap manusia). Kebajikan-kebajikan
universal (al-khair) itu juga yang merupakan titik temu (kalimat sawa,/melting
point) daripada agama-agama.
NDP HMI: Mengurai
Bab III tentang Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir)
Oleh: Nani Efendi
(Alumnus LK III Badko
HMI Sumbagsel, Palembang, 2008)
Cak Nur, dalam Bab III NDP HMI,
menyebutkan bahwa keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa
kemerdekaan. Kemerdekaan yang dimaksud adalah kebebasan dalam memilih
berdasarkan hati nurani. Semua perbuatan manusia di dunia (baik dan buruk) akan
berkonsekuensi langsung pada kehidupan di akhirat.[1]
Manusia dilahirkan sebagai
individu, hidup di tengah alam dan masyarakat sesamanya, kemudian menjadi
individu kembali.[2] Amal perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di
akhirat secara individu-individu (Qs. al Anfaal/8:25).[3] Di akhirat tak ada
pertanggungjawaban bersama. Yang ada, semata-mata pertanggungjawaban individu
secara mutlak (Qs. al Baqarah/2:48, berbunyi: "Takutlah kamu pada suatu
hari (kiamat) yang seseorang tidak dapat membela orang lain sedikit pun, syafaat
dan tebusan apa pun darinya tidak diterima, dan mereka tidak akan
ditolong."; Qs. Luqman/31:33 berbunyi: "Wahai manusia, bertakwalah
kepada Tuhanmu dan takutlah akan hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak
dapat membela anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) membela bapaknya
sedikit pun!").[4]
Karena individu adalah penanggung
jawab terakhir dan mutlak terhadap perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi
adalah haknya yang pertama dan asasi. Namun, kata Cak Nur, sekalipun
kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia
selalu dan di mana saja merdeka. Terdapat batas-batas kemerdekaan manusia
sebagai suatu kenyataan.
Batas-batas tertentu itu
dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap yang menguasai alam—hukum
yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri—yang tidak tunduk
dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan
adanya "keharusan universal" atau "kepastian umum" dan
“takdir” (Qs. al Hadiid/57:22, berbunyi: "Tidak ada bencana [apa pun] yang
menimpa di bumi dan tidak [juga yang menimpa] dirimu, kecuali telah tertulis
dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu
mudah bagi Allah.").[5]
Namun, walaupun terdapat
keharusan universal (takdir) yang tidak dapat ditaklukkan oleh manusia, bukan
berarti manusia harus pasrah. Pasrah berarti meniadakan kemerdekaan manusia.[6]
Padahal, manusia itu merdeka dalam berikhtiar. Hanya saja, maksudnya,
kemerdekaan manusia itu terbatas.
Jadi, pengakuan akan adanya
kepastian umum atau takdir, kata Cak Nur, hanyalah pengakuan akan adanya
batas-batas kemerdekaan manusia. Manusia tetap diberikan kebebasan yang
dinamakan "ikhtiar" (pilih merdeka).
Ikhtiar adalah kegiatan di mana
manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri
dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau
berikhtiar, manusia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban secara pribadi
terhadap perbuatannya.
Kegiatan merdeka berarti
perbuatan manusia yang merubah dunia dan nasibnya sendiri (Qs. ar Ra'd/13:11
berbunyi: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga
mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka."). Jadi sekalipun terdapat
keharusan universal atau takdir manusia dengan haknya untuk berikhtiar
mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.
Kita harus percaya adanya takdir.
Namun, manusia, jelas Cak Nur dalam NDP, tidak dapat berbicara mengenai takdir
suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Apa hikmah kita
mempercayai takdir? Percaya pada takdir akan membawa keseimbangan jiwa dan
ketenangan hidup.
Percaya pada takdir adalah salah
satu dari rukun iman yang harus kita yakini.[7] Percaya pada takdir, lanjut Cak
Nur, membuat kita tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak
perlu membanggakan diri karena suatu kemujuran, keberuntungan, atau
keberhasilan.[8] “Sebab, segala sesuatu tidak hanya tergantung pada manusia
sendiri, melainkan juga kepada keharusan yang universal itu[9],” jelas Cak Nur.
Catatan kaki:
________________________________________
[1] Rasulullah mengatakan, bahwa
dunia ini adalah sawah ladangnya akhirat. Dalam artian, apa yang kita tanam di
dunia, itulah yang kita petik di akhirat. Jadi, keliru kalau ada orang yang
memisahkan antara urusan dunia dengan urusan akhirat. Karena apa saja yang kita
lakukan di dunia sudah secara otomatis berkonsekuensi langsung di akhirat. Oleh
karena itu, apa pun yang kita lakukan di dunia bisa bernilai ibadah jika kita
berorientasi kepada Allah atau dalam rangka mencari ridha Allah. Seorang
pedagang yang bekerja dengan jujur, misalnya, sudah berkonsekuensi langsung
saat itu juga dalam bentuk pahala di akhirat. Seorang pegawai negeri, misalnya,
yang bekerja dengan jujur untuk mencari nafkah anak dan istrinya, itu juga
sudah bernilai pahala (ibadah). Jadi, ibadah itu adalah segala bentuk amal
perbuatan manusia dalam rangka mencari ridha Allah. Jangan di anggap urusan
kantor itu urusan dunia, sementara shalat adalah urusan akhirat. Semua yang
kita lakukan di dunia berkonsekuensi langsung di akhirat. Ibadah dibagi dua:
yang utama seperti shalat, puasa, haji, zakat, dsb; sedangkan urusan dunia
lainnya juga bernilai ibadah jika itu dalam rangka mencari ridha Allah. Untuk
lebih jelas tentang hubungan dunia-akhirat, bisa didengar ceramah Buya Hamka.
[2] Bandingkan dengan kata-kata
Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Bukan Pasarmalam. Bahwa hidup ini, kata
Pram, tak seperti pasarmalam di mana orang datang secara bersama-sama dan
pulang pun secara bersama-sama pula. Dalam kehidupan dunia, orang datang secara
sendiri-sendiri dan menghadap Sang Pencipta pun secara sendiri-sendiri pula.
Bertanggung jawab di hadapan Allah pun juga sendiri-sendiri.
[3] “Dan peliharalah dirimu dari
siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu.
Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (Qs. Al-Anfal/8:25).
[4] “Wahai manusia! Bertakwalah
kepada Tuhanmu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak
dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya
sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu
teperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu teperdaya oleh penipu
dalam (menaati) Allah.” (Qs. Luqman/31:33)
[5] “Setiap bencana yang menimpa
di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab
(Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah
bagi Allah.” (Qs. Al-Hadid/57:22). Salah satu contoh keharusan universal yang
tidak tunduk pada kemauan manusia, misalnya, manusia tidak bisa memilih untuk
dilahirkan di negara mana, dari suku apa, dari Rahim siapa, dan lain
sebagainya. Contoh lain, manusia dalam detik yang sama tidak bisa berada pada
dua tempat yang berbeda. Dan masih banyak contoh lain.
[6] Bandingkan dengan pemahaman
tentang Allah dan manusia dalam aliran Jabariah. Tentang ini, silahkan baca
literatur-literatur Ilmu Kalam, terutama tentang aliran-aliran dalam Islam,
seperti Jabariah, Qadariah, Asy’ariyah, dll. Dan perlu dipahami, perdebatan
tentang kebebasan manusia dan takdir bukan baru muncul saat ini. Persoalan itu
sudah diperdebatkan dari berabad-abad yang lalu.
[7] Lihat 6 rukun iman.
[8] Bandingkan dengan Qarun yang
sombong dan merasa mendapat kekayaan karena kehebatannya sendiri bukan karena
karunia Allah. Lihat cerita Qarun dalam Al Qur’an.
[9] “Agar kamu tidak bersedih
hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong dan membanggakan diri.” (Qs. Al -Hadid/57:23).
NDP HMI: Mengurai
Bab IV tentang Ketuhanan yang Maha Esa dan Perikemanusiaan
Oleh: Nani Efendi
Telah jelas bahwa hubungan yang
benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan
penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan
kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala
kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada
sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti
tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah
berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi, kebenaran-kebenaran menjadi
tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka
tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak
sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan
mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu ada.
Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran
itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam perbendaharaan kata dan
kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian sesuai
dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah
(Qs. Luqman/31:30). Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala
kebenaran (Qs. Ali Imran/3:60). Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran
yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME.
Oleh sebab itu seseorang manusia
merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah
kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran
mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho" daripada-Nya.
Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada
karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk
kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung
didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya
pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal memberikan rewarding bagi
kemanusiaan (Qs. al Lail/92:19-21 berbunyi: "...dan tidak ada seorang pun
memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya,tetapi (dia memberikan
itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.").
Kata "iman" berarti
percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan
tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada
Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada
Tuhan YME (Qs. Ali Imran/3:19 berbunyi: "Sesungguhnya agama [yang diridai]
di sisi Allah ialah Islam."). Pelakunya disebut "Muslim". Tidak
lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia
sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan
menyembahkan diri kepada Tuhan YME (Qs. al Ahzab/33:39 berbunyi: "...(yaitu)
orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, dan takut kepada-Nya serta
tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah."). Semangat
tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan
tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid
tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah
manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal
batas.
Dia adalah pribadi manusia yang
sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan
peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian
sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban
kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan yang tidak
selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain
ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan
duniawi dan ukhrawi antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula
sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela
kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia
sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian
kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri: jadi
berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakikat hidup adalah
amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum
menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata (Qs. Asy
Syu'araa'/26:226 berbunyi: "...dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka
sendiri tidak mengerjakan[-nya]?). Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan,
keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan
sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang
nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran
bagi sesama manusia "amal saleh" (harfiah: pekerjaan yang selaras
dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman (lihat Qur’an:
aamanu wa’amilushshaalihaat, tdk kurang dari 50 x pengulangan kombinasi kata).
Jadi, Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena
kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada
perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah
tidak sejati (Qs. An Nuur/24:39 berbunyi: "Orang-orang yang kufur, amal
perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar. Orang-orang yang
dahaga menyangkanya air, hingga apabila ia mendatanginya, ia tidak menjumpai
apa pun."). Oleh karena itu, semangat Ketuhanan YME dan semangat mencari
ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain
itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban (Qs. At
Taubah/9:109).
"Syirik" merupakan
kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal
ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada
sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena
sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar
kepada kemanusiaan (Qs. Luqman/31:13). Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan
dilakukan orang karena syirik (Qs. al An'aam/6:82). Sebab dalam melakukan
kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya
kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian
pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya
(Hadist, “sesunggunya sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian
adalah syirik kecil, yaitu riya - pamrih”. Rawahu Ahmad, hadist hasan). Dia
bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan
kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang
lain.
"Musyrik" adalah pelaku
daripada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan
baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain
Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan (Qs. Ali 'Imran/3:64). Demikian pula
seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah
musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan (Qs. Al
Qashash/28:4). Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap kemanusiaan,
baik bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain.
Maka sikap berperikemanusiaan
adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang
wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak
melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad
baik dan lebih baik (ikhsan). Maka ketuhanan menimbulkan sikap yang adil kepada
sesama manusia (Qs. An Nahl/16:90).
NDP HMI: Mengurai
Bab V tentang Individu dan Masyarakat
Oleh: Nani Efendi
Pusat kemanusiaan, kata Cak Nur,
adalah di masing-masing pribadi. Karena itu, kemerdekaan pribadi adalah hak
asasinya yang pertama. Tak ada sesuatu yang lebih berharga daripada kemerdekaan
itu. Tapi manusia tak bisa hidup sendiri. Ia tetaplah sebagai mahkluk sosial,
yang tak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa hubungan sosial dengan
masyarakat dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Kemerdekaan asasi diaplikasikan
dalam masyarakat. Dengan adanya kemerdekaan pribadi itu maka timbul
perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan lainnya (Qs. az Zukhruf/43:32,
berbunyi: "Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang
menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan
sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka
dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan."). Artinya, perbedaan-perbedaan pada manusia itu adalah
untuk kebaikan manusia sendiri: sebab kenyataan yang penting dan prinsipil,
ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial, dan kultural menghendaki pembagian kerja
yang berbeda-beda (Qs. al Maa-idah/5:48 berbunyi: Seandainya Allah menghendaki,
niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi, Allah hendak mengujimu
tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu. Maka, berlomba-lombalah
dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu Dia
memberitahukan kepadamu apa yang selama ini kamu perselisihkan.").
Pemenuhan suatu bidang kegiatan
guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh
sebagian anggotanya saja (Qs. Al Lail/92:4, berbunyi: "Sesungguhnya usaha
kamu memang berbeda-beda."). Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan
kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi
kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari
satu lingkungan ke lingkungan lainnya (Qs. 17:84; Qs. 39:39). Manusia tak dapat
mengoptimalkan potensi dirinya tanpa diberikan kebebebasan dan kemerdekaan
melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya.
Tapi ada kontradiksi pada
manusia: dia adalah mahkluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya
dapat berbuat baik kepada sesamanya, tapi pada waktu yang sama ia merasakan
adanya pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas dari hawa nafsu.
Hawa nafsu cenderung kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan
dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu (Qs. 12:53, Qs. 30:29).
Tapi, agar tercipta ketertiban
dalam masyarakat, maka kemerdekaan mesti ditata sebaik mungkin. Karena
kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Meski persamaan hak
antara sesama manusia harus ditegakkan. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas
hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas yang lemah
(perbudakan dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan
prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling
menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada haknya untuk mengembangkan
kepribadiannya.
Referensi: NDP HMI versi Cak Nur
NDP HMI: Mengurai
Bab VI tentang Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
Oleh: Nani Efendi
Dalam banyak Latihan Kader di
HMI, boleh dikatakan cukup jarang dibahas Bab VI NDP, karena penjelasannya
panjang dan penulisannya juga agak rumit. Padahal, Bab VI ini sangat penting
untuk memberikan wawasan sosial politik dan ekonomi bagi kader-kader HMI.
Karena bab ini saya anggap sangat penting, maka saya berupaya untuk
menyederhanakan tata bahasanya agar mudah dipahami. Berikut ini saya coba
sempurnakan penulisannya. Saya buatkan juga sub-sub judul agar penjelasannya
lebih sistematis.
Berikut hasil penyempurnaan
penulisan dari saya:
Dalam Bab V telah dijelaskan
tentang hubungan antara individu dengan masyarakat di mana kemerdekaan dan
pembatasan kemerdekaan saling berhubungan. Perbaikan kondisi masyarakat
tergantung pada pengaturan manusia sendiri dan upaya-upaya bersama. Jika
kemerdekaan setiap pribadi tak diatur (dibatasi) sedemikian rupa, artinya
diberikan secara absolut, maka keinginan setiap pribadi yang bermacam-macam itu
akan menciptakan kekacauan atau anarkhi (Qs. Al Lail/92:8-10).
Ia akan menghancurkan masyarakat
dan meniadakan kemanusiaan. Oleh karena itu, perlu ditata sebaik mungkin agar
keadilan dalam masyarakat dapat tercipta (Qs. Al Maidah/5:8). Agar tidak
terjadi apa yang diistilah oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris, “homo
homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain). Istilah itu untuk
menggambarkan situasi masyarakat yang diwarnai oleh persaingan dan peperangan.
Semua orang bisa menjadi musuh antar mereka. Manusia yang satu bisa
menghancurkan manusia lain demi mencapai tujuan. “Bellum omnium contra omnes”
(perang semua melawan semua). Yang kuat akan menang atas yang lemah.
Kondisi seperti itu tentu tak
boleh dibiarkan. Kehidupan sosial perlu ditata secara baik agar tercipta
ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Nah, siapa yang harus menegakkan
keadilan dalam masyarakat? Sudah barang pasti ialah masyarakat sendiri.
Tapi dalam prakteknya diperlukan
adanya satu kelompok dalam masyarakat yang karena kualitas-kualitas yang
dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan
jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah
terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan. Bahasa agamanya “amar
ma’ruf nahi munkar”. (Qs. Ali Imran/3:104, berbunyi: “Waltakum mingkum ummatuy
yad'ụna ilal-khairi wa ya`murụna bil-ma'rụfi wa yan-hauna 'anil-mungkar, wa
ulā`ika humul-mufliḥụn; Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”).
Kualitas yang harus dipunyai oleh
orang-orang itu ialah rasa kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran kecintaan
yang tak terbatas pada Tuhan. Di samping itu, diperlukan kecakapan yang cukup.
Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat; atau setidak-tidaknya
mereka adalah orang-orang yang seharusnya memimpin masyarakat. Memimpin adalah
menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan
dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat
kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.
Negara adalah bentuk organisasi
masyarakat yang utama. Dalam negara ada pemerintah yang diberikan kekuasaan
oleh masyarakat melalui mekanisme demokrasi. Pemerintahlah yang pertama
berkewajiban menegakkan kadilan.
Maksud semula dan fundamental
daripada didirikannya negara dan pemerintah ialah untuk melindungi manusia yang
menjadi warga negara daripada kemungkinan perusakkan terhadap kemerdekaan dan
harga diri sebagai manusia. Untuk menghindari apa yang diistilah oleh Thomas
Hobbes di atas, yakni “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia
lain).
Tapi, sebagaimana dijelaskan di
atas, di samping peran negara (pemerintah), setiap individu—dalam fungsinya
sebagai khalifah fil ard—memikul tanggung jawab menciptakan tatanan kehidupan
masyarakat yang baik melalui mekanisme demokrasi. Sebagaimana Rasulullah
mengatakan: “kullukum raain wakullukum mas uulun ‘an raiyyatih.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Pemerintah haruslah lahir dari
masyarakat sendiri yang diberikan wewenang melalui mekanisme demokrasi.
Kekuatan yang sebenarnya di dalam negara ada ditangan rakyat, dan pemerintah
harus bertanggung jawab pada rakyat. Pemerintah harus menjalankan kebijakan
atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah (Qs. As-Syura 42:38, berbunyi:
“…dan [bagi] orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan dan menegakkan shalat,
sedang urusan mereka [diputuskan] dengan jalan musyawarah antara mereka.”).
Menegakkan keadilan salah satunya
ialah membatasi kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa
nafsu). Menegakkan keadilan adalah amanat rakyat kepada pemerintah yang musti
dilaksanakan (Qs. An Nisaa’/4:58, berbunyi: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia,
hendaklah kamu tetapkan secara adil.”).
Ketaatan rakyat kepada pemerintah
yang adil merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang wajib dilaksanakan.
Didasari oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kapada pemerintah termasuk dalam
lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak) dan Rasulnya (pengajar
tentang Kebenaran) (Qs. An Nisaa/4:59, berbunyi: Athi’ullah…dst). Pemerintah
yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan
akhirnya kepada Tuhan YME (Qs. Al Maidah/5:45).
Menegakkan keadilan ekonomi
Penegakkan keadilan yang
terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau
pembagian kekayaan di antara anggota masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap
orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau rezeki. Dalam masyarakat yang
tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan perjuangan dialektis
yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang
didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi di satu
pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak
istimewa di lain pihak (Qs. Al Hasyr/59:7, berbunyi: “Supaya harta itu jangan
hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”). Karena
kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara
kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya—bila sudah
mencapai batas maksimal—pertentangan golongan itu akan menghancurkan
sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya (Qs.
Al Israa’/17:16).
Adalah sebuah keniscayaan bahwa
terdapat perbedaan-perbedaan antara manusia dalam hal kemampuan fisik maupun
mental. Tapi dalam masyarakat yang tidak adil, kekayaan dan kemiskinan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang
tidak wajar. Ketidakadilan ekonomi merupakan bentuk kezaliman. Orang-orang kaya
menjadi pelaku daripada kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan
sasaran atau korbannya.
Oleh karena itu sebagai yang
menjadi sasaran kezaliman, orang-orang miskin berada di pihak yang benar.
Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang
menjalankan kezaliman dan yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menang
terhadap kebhatilan, maka pertentangan itu disudahi dengan kemenangan tak
terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam
masyarakat (Qs. An Nisaa'/4:160-161; Qs. Asy Syu'araa'/26:182-183; Qs. Al
Baqarah/2:279; Qs. al Qashash/28:5).
Dalam masyarakat yang adil
mungkin masih terdapat golongan kaya dan miskin, tapi hal itu terjadi dalam
batas-batas kewajaran dan kemanusian dengan perbedaan kekayaan dan kemiskinan
yang tidak terlalu besar disparitasnya. Hal itu sejalan dengan Islam:
dibenarkannya pemilikan pribadi (private ownership) atas harta kekayaan dan
adanya perbedaan-perbedaan tak terhindar dari pada kemampuan-kemampuan pribadi,
fisik, maupun mental (Qs. Ar Ruum/30:37). Walaupun demikian usaha-usaha ke arah
perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap harus diupayakan
oleh masyarakat.
Kapitalisme
Kejahatan di bidang ekonomi yang
menyeluruh adalah penindasan oleh sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme,
dengan mudah seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan
hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah,
berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada
mereka.
Oleh karena itu, menegakkan
keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi
kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat (Qs. Al Baqarah/2:278-279). Sesudah
syirik, kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan
beserta penggunaanya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak
mengikuti jalan Tuhan (Qs. al Humazah/104:1-3).
Maka menegakkan keadilan inilah
membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan
kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas
dan terhormat (amar ma'ruf) dan menentang terus menerus segala bentuk
penindasan kepada manusia kepada kebenaran asasinya dan rasa kemanusiaan (nahi
munkar).
Dengan perkataan lain, harus
diadakan restriksi-restriksi dalam cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan
menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan kamanusiaan
diperbolehkan (yang ma'ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan
kemanusiaan dilarang (yang munkar diharamkan) (Qs. Ali 'Imran/3:110).
Pembagian ekonomi secara tidak
benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan prisip
Ketuhanan YME. Mengaku berketuhanan YME tapi tak melaksanakan keadilan ekonomi,
sama saja nilainya dengan tidak berketuhanan. Sebab nilai-nilai dikatakan hidup
jika dinyatakan dalam amal perbuatan (Qs. Ash Shaff/61:2-3).
Dalam suatu masyarakat yang tidak
menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk dan menyerahkan diri,
manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang
pekerja menguasai hasil pekerjaanya, tetapi justru dikuasai oleh hasil
pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan dan kapital
itu selanjutnya lebih memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada majikan
bukan ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya. Kapital
atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti
keserakahan, ketamakan dan kebengisan.
Shalat sebagai pendidikan
progresif
Oleh karena itu, menegakkan
keadilan bukan saja dengan amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana dijelaskan di
atas, tapi juga melalui pendidikan yang intensif kepada pribadi-pribadi agar
tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan adanya Tuhan.
Shalat merupakan suatu bentuk edukasi, suatu pendidikan yang kontinyu, yang
dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan munkar. (Qs. al Ankabuut/29:45).
Jadi, shalat merupakan penopang
hidup yang benar. “Shalat adalah tiang agama. Siapa mengerjakannya berarti
menegakkan agama. Siapa meninggalkannya berarti merobohkan agama.”
(HR-Baihaqi). Shalat menyelesaikan masalah-masalah kehidupan, termasuk
pemenuhan kebutuhan yang ada secara instrinsik pada rohani manusia yang
mendalam, yaitu kebutuhan sepiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak
(Qs. Luqman/31:30).
Pengabdian yang tidak tersalurkan
secara benar kepada tuhan YME tentu tersalurkan ke arah sesuatu yang lain. Dan
membahayakan kemanusiaan. Dalam hubungan itu, di bab-bab awal NDP terdapat
penjelasan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental terhadap
kemanusiaan.
Zakat: solusi bagi kesenjangan
ekonomi
Zakat merupakan solusi terakhir
masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dipungut dari orang-orang kaya
dalam jumlah presentase tertentu untuk dibagikan kepada orang miskin (Qs. at
Taubah/9:60). Zakat dikenakan hanya atas harta yang diperoleh secara benar,
sah, dan halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak dikenakan zakat tetapi
harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh
pemerintah.
Oleh karena itu, sebelum
penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibangun suatu masyarakat yang
adil berdasarkan ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat yang tidak lagi
memperoleh kekayaan secara haram, atau memperoleh dengan cara penindasan atas
manusia oleh manusia (Qs. al Baqarah/2:188).
Tidak hanya mengatur bagaimana
harta kekayaan itu diperoleh, tapi juga diatur bagaimana harta kekayaan itu
digunakan. Pemilikan pribadi dibenarkan dalam batas yang tidak bertentangan
dengan kepentingan umum. Jika bertentangan dengan, pemerintah berhak mengajukan
konfiskasi.
Seorang dibenarkan mempergunakan
harta kekayaan dalam batas-batas tertentu, yaitu dalam batas tidak kurang tapi
juga tidak melebihi rata-rata penggunaan dalam masyarakat (Qs. al
Furqan/25:67). Penggunaan yang berlebihan (tabzier atau israf) bertentangan
dengan perikemanusiaan (Qs. al Israa'/17:26-27). Kemewahan selalu menjadi
provokasi terhadap pertentangan golongan dalam masyarakat yang dapat berakibat
destruktif (Qs. al Israa'/17:16).
Sebaliknya penggunaan kurang dari
rata-rata masyarakat (taqti) merusakkan diri sendiri dalam masyarakat
disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang dapat digunakan untuk
manfaat bersama (Qs. Muhammad/47:38).
Pada hakekatnya seluruh harta
kekayaan ini adalah milik Tuhan (Qs. Yunus/10:55). Manusia seluruhnya diberi
hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberikan bagian yang wajar
daripadanya (Qs. Al A'raaf/7:10).
Pemilikan oleh seseorang (secara
benar) hanya bersifat relatif sebagai mana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta
itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki tuhan, untuk kepentingan umum
(Qs. al Hadiid/57:7). Maka kalau terjadi kemiskinan, orang-orang miskin diberi
hak atas sebagian harta orang-orang kaya, terutama yang masih dekat dalam
hubungan keluarga (Qs. al Ma'aarij/70:24-25).
Negara dan masyarakat
berkewajiban untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan
dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana
yang diperlukan oleh pribadi-pribadi agar dia dan keluarganya dapat mengatur
hidupnya secara terhormat.
Pemerintah mesti berupaya
memperluas akses atau kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan,
kecakapan yang wajar, kemerdekaan beribadah, dan pembagian kekayaan bangsa yang
pantas.
Referensi:
NDP HMI versi Nurcholish Madjid
Qs. Al Lail/92:8-10
Qs. Al Maidah/5:8
Qs. Ali Imran/3:104, berbunyi:
“Waltakum mingkum ummatuy yad'ụna ilal-khairi wa ya`murụna bil-ma'rụfi wa
yan-hauna 'anil-mungkar, wa ulā`ika humul-mufliḥụn; Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Qs. As-Syura 42:38, berbunyi:
“…dan [bagi] orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan dan menegakkan shalat,
sedang urusan mereka [diputuskan] dengan jalan musyawarah antara mereka.”).
Qs. An Nisaa’/4:58, berbunyi:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya.
Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara
adil.”
NDP HMI: Mengurai
Bab VII tentang Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
Oleh: Nani Efendi
Dari seluruh uraian yang telah di
kemukakan Cak Nur, dari Bab I sampai VII, dapatlah disimpulkan: inti
kemanusiaan yang suci adalah iman dan amal saleh atau kerja kemanusiaan (Qs. At
Tiin/95:6).
Iman dalam pengertian kepercayaan
akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadikanya
satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak.
Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan
kebaikan. Sikap itu menghasilkan amal saleh, yakni amal yang bersesuaian dengan
dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna untuk
sesamanya. “Khairunnas anfa’uhum linnas; manusia yang baik itu yang banyak
manfaatnya bagi manusia lain.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).
Tapi bagaimana hal itu harus
dilakukan? Perjalanan sejarah ummat manusia adalah gerakan maju kedepan. Maka
semua nilai dalam kehidupan adalah relatif: ia berlaku untuk ruang dan waktu tertentu.
Segala sesuatu berubah, yaitu kebenaran mutlak (Tuhan) (Qs. Al Qashash/28:88,
berbunyi: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.”). Nilai yang benar
adalah yang bersumber dan dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Allah
(Qs. Al An’aam/6:57).
Manusia ikhtiar dan merdeka,
ialah yang bergerak (progresif). Dinamis, bukan statis. Dia bukan seorang
tradisionalis, apalagi reaksioner (Qs. Al Israa’/17:36). Dia menghendaki
perubahan terus menerus sejalan dengan menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa
mencari kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya.
Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah alat
manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya,
sekalipun relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang
mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. (Qs.
Fushshilat/41:53).
Jadi ilmu pengetahuan adalah alat
untuk beramal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat
berjalan di atas kebenaran-kebenaran, yang akan mengantarkannya pada ketundukan
tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa (Qs. Faathir/35:28). Dengan iman dan
ilmu pengetahuan-lah manusia dapat mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi
(Qs. Al Mujaadilah/58:11, berbunyi: “Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat.”).
Manusia harus menguasai alam dan
masyarakat guna dapat mengarahkannya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan
pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang
hukum-hukumnya. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan
intelektualitas atau rasio (Qs. Al Jaatsiyah/45:13).
Manusia harus memahami sejarah
dengan hukum-hukum yang tetap (Qs. Ali ‘Imran/3:137, berbunyi: “Sungguh, telah
berlalu sebelum kamu sunah-sunah [Allah]. Oleh karena itu, berjalanlah di
[segenap penjuru] bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan para pendusta
[rasul-rasul].”). Hukum sejarah yang tetap (sunatullah untuk sejarah) yaitu
garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada
kemanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang daripadanya dengan
menuruti hawa nafsu (Qs. Asy Syams/91:9-10).
NDP HMI: Mengurai
Bab VIII tentang Kesimpulan dan Penutup
Oleh: Nani Efendi
Dari seluruh uraian yang telah
lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sbb:
1. Hidup yang benar dimulai
dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan mendekat serta
kecintaan kepada-Nya, yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis
dan abstrak. Nilai-nilai itu memancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja
nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi
manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang
sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam peradaban dan
berbudaya.
2. Iman dan takwa dipelihara dan
diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan. Ibadah
mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang tuguh kepada
kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati nurani yang hanif. Segala sesuatu
yang menyangkut bentuk dan cara beribadah menjadi wewenang penuh dari agama tanpa adanya hak manusia untuk
mencampurinya. Ibadat yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan
kedudukannya di tengah alam dan masyarakat dan sesamanya. Ia tidak melebihkan
diri sehingga mengarah kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan orang lain, dan
tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai mahluk tertinggi dengan akibat
perbudakan diri kepada alam maupun orang lain. Dengan ibadah, manusia dididik
untuk memiliki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia
telah berbuat ikhlas, yaitu pemurniaan pengabdian kepada Kebenaran semata.
3. Kerja kemanusiaan atau amal saleh
mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yang sungguh-sungguh secara
essensial menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, tanpa terikat
ruang dan waktu. Yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap
orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti
usaha-usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat
kepada nilai-nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani. Usaha itu ialah
"amar ma'ruf nahi mungkar”. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang
lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada
umumnya serta upaya peningkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan
layak sebagai manusia.
4. Kesadaran dan rasa tanggung
jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan jihad, yaitu sikap berjuang.
Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong
royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan
kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan. Dan
dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh
sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang
merupakan bangunan yang kokoh kuat.
5. Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan
proses perkembangan yang permanen. Perjuang kemanusiaan berusaha mengarah
kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu, manusia harus mengetahui
arah yang benar dari perkembangan peradaban di segala bidang. Untuk itu,
diperlukan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja
kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa
rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan menghancurkan peradaban.
Mendalami ilmu pengetahun harus didasari oleh sikap terbuka.
Dengan demikian, tugas hidup
manusia menjadi sangat sederhana: beriman, berilmu dan beramal. Bahasa
sederhananya: iman, ilmu, amal.
0 komentar:
Posting Komentar