Yang membedakan secara mencolok kepemimpinan militer dengan kepemimpinan lain ialah ciri-ciri yang khas, yaitu otoritas dengan tradisi komando, esprit de corps dengan kerja sama yang sangat kompak, dan disiplin tinggi dengan kepatuhan total. Dengan sifat-sifat tersebut di atas, kaum militer sangat mengutamakan prinsip efisiensi dan efektivitas.
Intervensi dan asistensi militer di seluruh sektor kehidupan itu merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kondisi negara-negara yang baru berkembang yang tengah membangun dan mengadakan modernisasi di segala bidang, terutama modernisasi politik. Khususnya bila di tengah masyarakat terjadi banyak disorganisasi, disfungsi dan kekacauan. Pada saat kritis sedemikian ada kecenderungan kuat dari orang-orang militer untuk melibatkan diri dalam politik dan pemerintahan. Asistensi sedemikian itu memberikan kesempatan lebih banyak kepada kaum militer untuk memberikan pengaruh dan kekuatan ekstra. Khususnya dalam berkonfrontasi menghadapi orang-orang sipil yang dianggap kurang mampu, nonefisien, dan korup dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Di negara-negara yang baru merdeka dan tengah berkembang itu pada umumnya institusi politiknya belum sehat dan belum efektif, sehingga kekuatan-kekuatan sosial yang ada di tengah masyarakat jadi terpecah-pecah. Dan integrasi nasional belum berlangsung dengan baik. Sedang di pihak lain terjadi politisasi dari kekuatan-kekuatan sosial di tengah masyarakat, dan semakin tingginya kesadaran politik rakyat dan meningkatnya tuntutan-tuntutan mereka.
Selanjutnya mereka menuntut partisipasi politik yang lebih besar. Kaum inteligensia, mahasiswa, orang-orang kaya baru di dunia bisnis dan dagang, kelompok-kelompok sosial dan militer semuanya ikut mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan politik, dengan menggunakan cara-cara pencapaian tujuan masing-masing yang berbeda. Sehingga terjadi proses politisasi dari kekuatan-kekuatan sosial dan kelompok militer, dengan interest masing-masing dan tipe kepemimpinan yang berbeda-beda pula.
KEPEMIMPINAN MILITER DAN SIFAT-SIFATNYA
Peranan militer di masa revolusi dalam bentuk konfrontasi fisik melawan tentara Belanda, tidak diragukan lagi, yaitu sejak 1945 sampai tercapai kemerdekaan penuh di tahun 1950 sebagai negara kesatuan Republik Indonesia. Juga peranan militer/ABRI sebagai bhayangkara negara hingga 1958 dalam menjamin keamanan dan kestabilan negara.
Di saat itu dirasakan oleh kaum militer adanya kehidupan politik yang tidak sehat dan sangat kacau, disebabkan oleh sistem multipartai, sehingga terasa urgensinya kelompok militer untuk ikut memperbaiki perlembagaan politik dan pelurusan jalannya usaha-usaha pembangunan. Tokoh-tokoh militer mulai banyak ditempatkan di lembaga-lembaga politik (partai, eksekutif, legislatif, yudikatif, organisasi massa, dan usaha-usaha korporatif atau badan-badan hukum negara). Dan mulailah secara formal dwi fungsi ABRI, yaitu di bidang hankam dan tugas-tugas sosial-politik.
Keterlibatan politik dari militer ini pada intinya bukan disebabkan oleh penonjolan fungsi kemiliterannya, akan tetapi lebih banyak didorong oleh:
1. Keinginan untuk mengadakan reformasi sosial dan modernisasi politik yang lebih sehat,
2. Etik memberikan pelayanan umum yang lebih baik, yang sangat didukung oleh kemampuan teknis, administratif, dan manajerial yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan orang-orang sipil (berkat sistem persenjataan modern yang menuntut adanya manajemen modern),
3 Fungsi kebhayangkarian dalam wujud pengabdian yang heroik dan kekesatriaan, untuk menegakkan keamanan dan ketenteraman umum,
4. Adanya esprit de corps dengan kohesi internal yang sangat kuat.
Oleh karena itu, peranan militer dan kepemimpinannya itu pada hakikatnya bukan merupakan penonjolan karakteristik sosial-militer, akan tetapi merupakan respon (reaksi) dari struklur politik dan struktur institusional masyarakat yang belum mapan benar, yang masih lemah, berantakan, kisruh, dan kacau.
Di negara-negara berkembang banyak terdapat usaha politisasi dari kekuatan-kekuatan sosial dan lembaga-lembaga sosial Namun dalam kenyataannya mereka itu belum terasosiasi (belum bisa resmi masuk ke dalam) oleh lembaga-lembaga politik yang formal. Hal ini merupakan indikasi dari tidak adanya institusi politik yang efektif, sehingga kekuatan-kekuatan di tengah masyarakat menjadi terpecah-belah dan beroperasi sendiri-sendiri.
Partai politik dan institusi politik tidak memiliki otonomi (selalu dikuasai kekuatan dari luar, dan mudah disuap), dan tidak memiliki koherensi/keterpaduan. Akibatnya, negara dipenuhi kelompok-kelompok agama yang berpolitik, militer yang aktif main politik, kaum inteligensi dan mahasiswa yang berkiprah politik, kaum konglomerat dan serikat-serikat buruh yang gigih berkonfrontasi secara politis, masing-masing dengan strategi dan taktiknya sendiri, demi interest sendiri. Orang-orang kaya menyogok, pelajar dan mahasiswa melancarkan huruhara, rakyat berdemonstrasi, dan orang-orang kuat mencoba melakukan coup. Para kolonel dan jenderal, mahasiswa dengan mahagurunya, ulama dan pendeta, serta rakyat yang bergabung dalam asosiasi-asosiasi, semuanya terlibat dalam aksi-aksi politik, sehingga meningkatkan ketidakstabilan politik. Muncullah banyak tokoh-tokoh pemimpin baru yang saling bersaing dan curiga-mencurigai serta berbaku hantam di arena politik.
Namun satu keunggulan militer dibanding dengan organisasi sosial dan lembaga kemasyarakatan lainnya ialah militer dapat menjalankan pemerintahan juga mampu mengontrol dan menggunakan kekuatan-kekerasan (dengan senjata dan pasukan) untuk memerintah negara dan menguasai rakyat.
Dalam kenyataan, di masa sekarang ini ada lebih banyak jumlah pemerintahan/kepemimpinan militer daripada pemerintahan sipil. Terlebih lagi di masa Perang Dunia II dan periode pasca-Perang Dunia II, kaum militer bekerja sama secara akrab dengan kekuatan-kekuatan business dan korporasi (badan hukum, usaha dagang, dan perusahaan-perusahaan) dalam menjamin interest masing-masing. Kerjasama tersebut menumbuhkan "military-industrial complex", dengan semakin berkembangnya interdependensi kesalingtergantungan antara korporasi-korporasi usaha & dagang dengan kekuatan-kekuatan militer, yang memiliki interest-interest yang sama. Jika di negara-negara Barat kekuatan sosial-politik banyak bergeser pada tokoh-tokoh militer yang aktif di bidang korporasi, maka di Indonesia kekuatan sosial-politik lebih banyak bergeser pada pemimpin korporasi-korporasi dari business (konglomerat) di masa sekarang.
Selanjutnya, kepemimpinan militer itu sangat efisien dan dinamis, sedangkan dalam keadaan kritis serta masa perang, kaum militer cenderung menjadi semakin otoriter dan semakin keras. Sifat-sifat kepemimpinan militer yang sangat menonjol antara lain ialah:
1 otoriter lewat komando dan asas efisiensi;
2. ada disiplin tinggi dan esprit de corps yang kuat, serta pengabdian penuh pada tugas-tugas;
3) interaksi yang searah, disertai kepatuhan total terhadap komando dengan penentuan tugas-tugas yang jelas, dan rasa tanggung jawab yang besar;
4) memiliki stamina (daya-tahan) fisik dan mental yang tinggi/ kuat berkat latihan-latihan rutin setiap hari: dengan daya reaksi yang cepat, hati-hati, cermat-teliti;
5) memiliki loyalitas dan integritas tinggi, yang dilambari sifat kejujuran;
6) bersikap selalu terbuka terhadap perubahan, progres/kemajuan, ide-ide baru, inovasi dan modernisasi;
7) efisien secara teknis dan taktis: di samping kompeten dalam pendidikan dan pertempuran atau perang;
8) kompetensi tersebut mengarah pada profesionalisasi, dengan kemampuan manajerial serta kemampuan tempur yang semakin tinggi.
Selanjutnya, sifat-sifat umum dari kepemimpinan militer yang universal adalah sama dengan kepemimpinan sipil pada umumnya.
KEPEMIMPINAN MILITER DI TENGAH MASYARAKAT
Di masa perjuangan fisik merebut kemerdekaan negara kita, tentara rakyat memainkan peranan besar sekali. Tentara pada masa itu terdiri dari pemuda-pemuda golongan kelas menengah dan bawah yaitu pelajar, mahasiswa, pegawai-pegawai muda, pemuda-pemuda kampung dan desa (terutama para santri dari desa-desa dan kota-kota kecil), serta sukarelawan-sukarelawan lainnya.
Motivasi menjadi tentara ialah loyalitas pada bangsa dan tanah air, dengan status sukarelawan yang tidak dibayar. Sebagian besar dari tentara ini tidak pernah dilatih atau dipersiapkan menjadi militer, karena mereka dengan spontan merasa terpanggil untuk memanggul senjata guna merebut kemerdekaan dari tangan pemerintah kolonial Belanda, dengan semboyan "hidup atau mati".
Pada awal perjuangan fisik tersebut cara perangnya secara frontal, seperti pertempuran-pertempuran di kota Surabaya, Semarang, Ambarawa, Malang, Kerawang, Bekasi, dan lain-lain. Dengan semakin menyempitnya daerah Republik Indonesia, perlawanan dilanjutkan dengan taktik gerilya di hampir semua daerah pedalaman/hinterland yang ada di dekat kota-kota (1945 sampai akhir 1949).
Para pemimpin militer itu pada awal perjuangan tidak diangkat oleh pemerintah, akan tetapi muncul secara alami atas kemauan sendiri.
Baru kemudian berkat jasa dan keberaniannya, mereka diakui sebagai pemimpin atau "komandan" oleh kawan-kawan seangkatan. Pada umumnya mereka adalah pemuda-pemuda yang inteligen, paling berani, sehat-kuat badan serta mentalnya, nekad, dan paling bersemangat. Sehubungan dengan ciri karakteristik tersebut di atas, maka kepemimpinan militer pada saat itu predikatnya ialah:
- patriotik, pelopor nasionalisme,
- berani, dan jujur,
- paternalistik, penuh emosi kebapakan,
- bersemangat, dengan esprit de corps yang tinggi tanpa interest-interest pribadi,
- Penganjur perubahan dan kemajuan.
Pada masa perjuangan fisik itu "status" pemimpin dan anak buah atau bawahan hampir sama dengan rakyat, yaitu sama-sama "miskinnya", sama-sama tidak memiliki apa-apa. Juga sama kondisinya dalam suka dan duka. Makanan dan tempat berteduh diberi oleh rakyat. Bahkan perlindungan pun sering diberikan oleh rakyat apabila ada patroli dan penggropyokan oleh tentara Belanda. Jadi, kondisi tentara di masa itu betul-betul seperti ikan di dalam air", yang mana ikannya adalah tentara, sedang airnya ialah rakyat.
Pada awal kemerdekaan itu"tentara rakyat" merupakan kelompok-kelompok orang muda terpelajar, berasal dari kelas menengah dan kelas bawah, berideologi, dan memiliki pengetahuan tentang ideologi-ideologi modern/Barat, antara lain kemerdekaan bangsa, bebas dari penindasan, kebebasan individual, demokrasi, emansipasi, persamaan, (egality atau persamaan derajat, equality atau persamaan hak), fraternity atau persaudaraan, dan lain-lain.
Pada masa itu muncul pula sekelompok kecil pemimpin elite yang modern dan intelek, dengan latar belakang pendidikan dalam negeri maupun luar negeri—dari Nederland dan Eropa Barat—yang harus menghadapi satu massa besar rakyat yang tradisional, immobil (mobilitas vertikal dan horisontal hampir-hampir tidak ada), yang tengah dilindas kemiskinan dan ketertinggalan. Para pemimpin pemerintahan, yaitu orang-orang sipil, masih berperan cukup besar dari tahun 1945-1948. Akan tetapi, sejak ditangkapnya Bung Karno dan Bung Hatta, yaitu presiden dan wakil presiden Republik Indonesia pada ujung-akhir tahun 1948, kepemimpinan negara lebih banyak dipegang oleh tokoh-tokoh militer, antara lain Jenderal Sudirman, A.H Nasution, Gatot Subroto, Urip Sumoharjo, Sungkono, Jatikusumo, Purbonegoro, Soeharto, dan lain-lain. Tokoh-tokoh pemimpin militer ini dengan segenap anak buahnya secara konsekuen terus berjuang sampai penghujung 1949, berkat bantuan rakyat, yaitu sampai diakuinya secara resmi negara kesatuan Republik Indonesia oleh Belanda dan dunia internasional.
Sejak tahun 1950 terjadilah penyaringan secara alami di kalangan pemimpin-pemimpin militer dan kaum inteligensia militer yang tergabung dalam ikatan CM/Korps Mahasiswa, Tentara Pelajar—misalnya TRIP/Tentara Republik Indonesia Pelajar Jawa Timur, TP/Tentara Pelajar Jawa Tengah, TPS/Tentara Pelajar Siliwangi, TGP/Tentara Genie Pelajar, dan lain-lain. Sebagian melanjutkan karier sebagai militer, dan sebagian besar melanjutkan sekolah dan studinya di perguruan tinggi. Sedang tentara yang nonpelajar, sebagian melanjutkan cita-citanya menjadi tentara profesional dan sebagian lagi menjadi pegawai negeri sipil/negeri dan wiraswastawan.
Dari tahun 1950-1959, kaum militer pada umumnya bersikap sangat reserved disertai low profile: berfungsi sebagai bhayangkari negara, berdiri "diam-diam" di belakang pemerintah, walaupun, mereka berjasa dalam menindas gerakan-gerakan separatis dan pemberontak PRRI, RMS, PERMESTA, dan Darul Islam. Dengan adanya sistem multipartai pada tahun 1950-1959, keadaan politik di Indonesia menjadi semakin runyam dan kacau, sampai diumumkan dekrit 5 Juli 1959 oleh presiden Soekarno.
Ketidakstabilan politik (1945-1959) tersebut menyebabkan tidak kurang dari 17 kabinet jatuh bangun. Hampir setiap tahun ada pergantian dewan menteri, sebagai akibat dari dominasi kekuasaan legislatif. Organisasi-organisasi sosial yang tersosialisasi secara politik dan partai-partai politik merupakan kekuatan-kekuatan yang terpecah belah, dengan bentuk dan ideologi yang beraneka ragam. Masing-masing memakai sarana yang berbeda-beda untuk mencapai tujuan politik sendiri. Kepentingan individual dan kelompok sendiri lebih menonjol daripada kepentingan umum (kepentingan bangsa dan negara). Maka banyak politikus yang "berhasil" pada masa itu adalah pribadi-pribadi yang dengan mudahnya mentransferkan identitas dan loyalitasnya dari satu kelompok ke kelompok lain, meloncat dari tokoh pemimpin politik yang satu ke figur politik lainnya yang tengah "naik panggung " (taktik bajing loncat).
Keadaan politik sangat tidak stabil. Muncullah pribadi-pribadi ambisius ingin cepat-cepat naik di tangga politik dan birokrasi. Banyak pribadi mendirikan partai, kliek, kelompok-penekan dan lembaga politik (menjadi machtsformer, pembentuk-kekuatan), yang mendahulukan kepentingan sendiri daripada pelayanan umum dan kesejahteraan rakyat. Akibatnya, muncul banyak konflik sosial. Individu langsung berhadapan dengan pribadi lain, kliek melawan kliek musuhnya, partai berhantaman dengan partai lain, lalu terjadilah kekacauan sosial dan politik.
Sampai sebelum Dekrit Presiden tahun 1959, pendulum kekuasaan politik ada di Dewan Legislatif/DPR kita. Badan ini maha kuasa, bagaikan dewan dewa-dewa kayangan yang dengan mudahnya menjatuhkan kabinet lewat mosi tidak percaya, dan mengusulkan serta "mengangkat" lewat pintu-pintu belakang orang-orang yang disukai untuk menduduki jabatanjabatan dan kursi-kursi kepemimpinan tinggi, atau menyingkirkan orang-orang yang tidak disenangi dari jabatan-jabatannya. Semuanya berdasarkan prinsip suka-tidak suka. Pada periode itu dewan legislatif benar-benar sangat berkuasa, sedang dewan eksekutif sangat lemah.
Maka untuk mengimbangi ketidakstabilan sosial dan politik ini, presiden Sukarno lebih bayak menempatkan figur-figur militer di badan-badan eksekutif, yudikatif dan legislatif serta di bidang politik sebagai intervening agents, yang ikut mencampurtangani masalah-masalah politik, guna meredakan dan mengimbangkan situasi politik pada saat itu. Sebab intervensi militer dengan tipe kepemimpinan dan way of thinking-nya itu menjadi balans dalam kehidupan politik, serta menjadi bagian crucial (penting sekali, kritis) dari gerakan pembaruan dan modernisasi.
Intervensi militer itu merupakan satu Notwendigkeit (hal yang sangat perlu dalam keadaan kritis), yang menunjukkan tidak adanya atau lemahnya institusi politik, yang rapuh dan sangat tidak efektif di tengah masyarakat. Juga adanya lembaga
lembaga eksekutif dan birokrasi yang sangat lemah, dengan pemimpin-pemimpin eksekutif yang tidak berwibawa. Jadi, intervensi tokoh-tokoh militer untuk menjalankan fungsi kepemimpinan di bidang lembaga politik, sipil, dan legislatif itu pada saatnya dibutuhkan untuk mengisi kevakuman yang disebabkan oleh ketidakmampuan orang-orang sipil menjalankan tugas-tugasnya.
Bagi pihak militer sendiri, asistensinya di lembaga eksekutif, legislatif, dan politik itu mendorong kuat mereka untuk memerankan kedwifungsiannya, yaitu di sektor pertahanan-keamanan dan di bidang sosial-politik. Hal ini terutama didukung oleh faktor-faktor yang menguntungkan, yaitu:
- adanya kohesi dan esprit de corps yang kuat di kalangan tentara,
- mereka memiliki kemahiran teknis dan manajerial yang tinggi berkat pendidikan di dalam dan di luar negeri, ditambah pengalaman di lapangan dengan tugas teritorial dan tugas bertempur,
- memiliki semangat 1945, keheroikan (berkat pengalaman perjuangan fisik), dan etos pemberian pelayanan umum kepada rakyat dengan kesadaran sosial tinggi,
- dan berasal dari kelas sosial (latar belakang keluarga) menengah, yang pernah "diasuh" oleh rakyat di masa perjuangan fisik dan masa gerilya, yang mengetahui benar kondisi keterbelakangan rakyat kecil pada umumnya.
Dukungan penting para pemimpin militer dalam proses modernisasi di negara berkembang antara lain berupa:
1) Memurnikan dan memperkokoh birokrasi negara, dengan menuntut prestasi pejabat-pejabatnya dalam pemberian pelayanan umum, dan peningkatan loyalitas pada pemerintah.
2) Mengembangkan sektor ekonomi, finansial, dan komersial. Bahkan ada kecenderungan etatisme ekonomi (campur tangan pemerintah di banyak bidang ekonomi). Ada penggiatan peranan modal-modal pribumi dan modal kelompok-kelompok minoritas etnis, mendorong kemunculan orang-orang kaya baru/OKB. Promosi dari kesejahteraan materiil, dan lain-lain.
3) Memberikan support politik dengan jalan memodernisasi lembaga-lembaga politik yang memiliki predikat unggul, yaitu otonomi, adaptabilitas, koherensi atau keterpaduan, dan perluasan lembaga-lembaga politik menjadi unit kompleksitas yang lebih tinggi.
4) Meningkatkan partisipasi politik kelas-kelas sosial baru dan massa rakyat yang mulai terdidik dan sadar politik, khususnya menitikberatkan fungsinya untuk mengadakan kontrol sosial, redistribusi dari kekuasaan dan kekayaan negara dan keturutsertaan mereka menentukan kebijakan-kebijakan yang penting bagi pemerataan kesejahteraan.
5) Menstimulasi dilaksanakannya upaya demokratisasi di segala bidang kehidupan, dan tercapainya nasionalisme kerakyatan (berorientasi pada rakyat).
6) merangsang pribadi-pribadi dan pemerintah-pemerintah asing (luar negeri) untuk mengambil bagian dalam usaha-usaha pembangunan, dengan menanamkan modal dan memberikan grand serta pinjaman untuk usaha-usaha pembangunan (yang dimulai pada periode Orde Baru) di Indonesia.
7) Mengadakan reformasi-reformasi agraris di daerah pedesaan, dan mulai mempolitisasikan massa rakyat, khususnya para penghuni daerah rural.
Pendeknya, langkah-langkah kaum militer di bidang sosial, pemerintahan dan politik pada masa-awal pembangunan itu sifatnya puriten/murni, penuh dedikasi.
Pemimpin-pemimpin militer tersebut sangat membenci korupsi, kepasifan, inkompetensi/ ketidakmampuan pegawai-pegawai negeri, dan lemahnya birokrasi. Di kalangan militer sendiri mereka mengembangkan program-program untuk mengadakan reformasi sosial dan ekonomi, serta pengembangan nasional. Oleh karena itu, para perwira (pemimpin militer) dianggap sebagai kelompok yang paling modern dan paling progresif dari masyarakat Indonesia. Mereka adalah typis merupakan kekuatan yang paling maju, dan kelompok yang paling kohesif atau terpadu di tengah masyarakat.
Pada fase awal dari usaha pembangunan dan modernisasi politik—yang berkaitan dengan negara, pemerintahan, dan nasib rakyat, pemimpin militer memainkan peranan memodernisir, dan sangat progresif. Mereka mempromosikan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, mengutamakan integritas nasional. Juga mencoba ikut memperluas partisipasi politik rakyat dan pertumbuhan partai-partai politik yang lebih sehat. Korupsi, kelambanan pelayanan sosial, kemiskinan kebodohan-ketertinggalan rakyat, semuanya dicoba untuk dihilangkan. Pendeknya, mereka mencerminkan ide-ide dan etos tinggi dari kelas menengah, sangat jujur, juga loyalitas mereka pada bangsa dan negara tidak diragukan lagi. Peran-peran mereka yang korektif, inovatif dan kreatif (berdasarkan puritanisme) itu sangat dihargai oleh rakyat, karena mereka dianggap sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan rakyat.
Profesionalisasi dari korps perwira militer menstimulasi tanggung jawab dan kepedulian yang lebih besar terhadap usaha modernisasi, perluasan lembaga-lembaga politik, dan pembangunan nasional.
Selanjutnya, partisipasi mereka di bidang sosial dan politik itu bisa bersifat individual, sampai yang bersifat kebersamaan berupa junta-junta kolektif (junta, berasal dari ( juncta atau junctus: dewan, majelis, kliek, kombinasi politik dari pribadi-pribadi). Maka keterlibatan pemimpin-pemimpin militer (para perwira) dalam politik itu biasanya merupakan reaksi dari dua situasi yaitu:
1) meningkatnya konflik-konflik di antara partai-partai politik dan kelompok-kelompok sosial,
2) menurunnya atau lemahnya efektivitas dan legitimitas institusi-institusi politik, karena tidak mampu menjalankan fungsi-fungsinya (tidak otonom, serta tidak berwibawa).
Maka dwitugas dari pemimpin militer pada awal masa moderenisasi itu ialah:
- membangun pasukan tentara/army yang tersentralisasi dan rasional, serta loyal pada bangsa dan negara;
- membangun sistem birokrasi pemerintahan yang bersih dan efektif. |
Pada masa awal modernisasi tadi, peranan kebhayangkarian/guardian selaku pengawal pemerintah/negara dari kepemimpinan militer tersebut cukup rasional. Sebab itu intervensi militer dalam politik pada umumnya bersifat intermittent atau sebentar/sementara, dan dengan tujuan-tujuan terbatas.
Pemimpin-pemimpin militer tidak menganggap dirinya sebagai pencipta orde politik baru dan pencipta modernitas; akan tetapi meyakini fungsi mereka sebagai bhayangkari negara, sebagai agen-pemurni dari orde yang ada, dan sebagai stimulator dalam pembangunan.
Tugas-tugas pokoknya ialah:
(1) melindungi, menjaga keamanan,
(2) perwalian (berfungsi sebagai wali),
(3) memberantas anarki dan macam-macam disfungsi sosial,
(4) menangkal subversi,
(5) menegakkan-meluruskan sistem politik yang ada.
Segala tugas dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Maka intervensi pemimpin-pemimpin militer ke dalam sektor politik itu berlangsung pada saat-saat kritis penuh kontroversi, konflik dan penyimpangan-penyimpangan sosial, dengan mengemban tugas mencegah, menangkal dan memberantas semua kondisi sosial-politik-ekonomi yang ricuh tadi.
Maka, sejauh mana institusi militer, baik yang bersifat perorangan maupun berupa kolektivitis berperan di bidang politik (mengalami proses politisasi), pada kenyataannya mencerminkan adanya: kelemahan organisasi-organisasi politik dan kelemahan orang-orang sipil yang jelas-jelas tidak mampu menangani masalah-masalah kebijakan/policy yang prinsipiil, dan harus dihadapi oleh negara.
Selanjutnya, dengan berlalunya masa, dan berkat proses edukasi, demokrasi, sekularisasi, urbanisasi, industrialisasi, dan modernisasi, terjadilah banyak perubahan di tengah masyarakat, yaitu di lembaga-lembaga pemerintah, bidang swasta, dan di tengah masyarakat luas. Perubahan-perubahan ini juga terjadi pada fungsi-fungsi kepemimpinan militer. Pada masa perjuangan menentang kolonialisme dan merebut kemerdekaan, predikat tamtama-bintara-perwira ialah sangat radikal, patriotik, dan penuh kepahlawanan. Pengorbanan jiwa dan raga tidak pernah dijadikan persoalan, karena perilakunya dilandasi kebaikan, ketulusan dan kesediaan berkorban. Ringkasnya, mereka menjunjung tinggi patriotisme, heroisme, dan nasionalisme.
Di masa awal pembangunan tadi pemimpin militer lebih berfungsi sebagai pengawal/bhayangkari, arbiter atau wasit juru pemisah, dan partisipan politik. Bahkan tidak jarang mereka menjadi pelopor dalam usaha memodernisasi lembaga-lembaga politik. Sifat kepemimpinannya korektif, progresif, futuristik, (terbuka dan mau mengantisipasi hal-hal yang akan terjadi), renovatif untuk mengadakan pembaruan, kreatif dan inovatif untuk menciptakan hal-hal baru.
Namun kemudian, pada masa pembangunan-lanjut, dengan adanya kestabilan politik dan kemajuan sektor ekonomi—antara lain berwujud investasi modal asing, pinjaman luar negeri, kerja sama yang lebih akrab dengan dunia perbankan dan niaga, kolaborasi dengan konglomerat dan industrialis-industrialis asing yang super-kaya maka meningkatlah tuntutan partisipasi yang lebih besar dari massa rakyat untuk melontarkan kritik konstruktif dan melakukan kontrol sosial; serta ikut menentukan kebijakan-kebijakan yang penting. Dalam kondisi sedemikian, maka pemimpin-pemimpin militer itu condong menjadi penjaga gawang yang konservatif dari orde politik yang ada.
Semakin tradisional dan terbelakang suatu masyarakat, maka semakin menjadi progresif peranan pemimpin dan kepemimpinan militer. Dia cenderung mendorong pengadaan reformasi di tengah masyarakat, dan menstimulasi modernisasi di lembaga-lembaga politik dan birokrasi pemerintahan. Akan tetapi semakin maju masyarakatnya dan semakin modern lembaga-lembaga politiknya, juga semakin cepat meningkat proses industrialisasi dan sektor ekonomi lainnya, maka biasanya menjadi semakin konservatif dan reaktif peranan kaum militer. Fungsinya kemudian lebih ditekankan pada agen-penstabil (stabilisator) untuk menjamin keseimbangan/balans di tengah masyarakat.
Jika lembaga-lembaga politik telah maju dan modern, maka kekuatan militer di bidang-bidang nonmiliter—yaitu di bidang politik, sosial, dan ekonomi—secara perlahan-lahan atau secara drastis mulai dikurangi, dan diberikan kepada kaum teknisi dan birokrat sipil.
Jelasnya, tokoh-tokoh pemimpin militer yang sudah dipolitisasikan itu kini dijadikan nonpolitik (ada proses depolitisasi). Mereka dikembalikan pada protesinya, yaitu:
(a) menjamin pertahanan dan keamanan negara,
(b) dijadikan spesialis-spesialis dengan kemahiran teknis militer yang tinggi dan profesional.
Di kala massa rakyat mulai sadar politik berkat perluasan edukasi dan urbanisasi yang mengajarkan paham demokrasi serta hak-hak warga negara, sehingga mereka lalu menuntut kesempatan partisipasi politik yang lebih banyak,—namun lembaga-lembaga politik formal menutup pintu bagi masuknya lebih banyak massa urban dan warga-desa dari kelas menengah serta kelas bawah—, maka kepemimpinan militer menjadi lebih konservatif.
Khususnya menjadi konservatif karena harus melindungi sistem politik dan orde yang tengah memerintah (dengan segala interest dan policy-nya) dari serbuan partisipasi politik massa rakyat yang berasal dari kelas-kelas sosial lebih rendah.
Mereka dijadikan "penjaga-pintu" untuk menghambat atau menghalang-halangi ekspansi dari partisipasi yang lebih besar dari golongan-golongan kelas menengah baru dan kelompok-kelompok sosial yang lebih progresif dan radikal.
Jadi, jika pada awalnya (awal dari proses modernisasi, dan awal pemerintahan RI sesudah mengalami masa penjajahan) itu pemimpin-pemimpin militer berpredikat cemerlang, modern, sekular, demokratis, pendukung reformasi-reformasi sosial dan politik, dan menjadi stimulator bagi pembaruan politik, maka biasanya pada masa lebih lanjut dari modernisasi politik serta demokratisasi di segala bidang, kepemimpinan militer menjadi ekor atau penjaga-belakang, untuk memblokir kelas-kelas sosial baru yang ingin naik ke pentas sosial-politik lebih tinggi. Juga cenderung memperlambat proses reformasi sosial-ekonomi dari rakyat yang berasal dari kelas-kelas lebih bawah.
Oleh karena itu, banyak sarjana menyatakan, bahwa semakin modern suatu negara, menjadi semakin konservatif peranan kepemimpinan militer.
Sarana, dan metode strategis serta taktis militer yang semakin canggih secara teknis itu menjadi kurang efektif dalam menanggapi perkembangan masyarakat yang sudah menjadi modern dan sangat kompleks sifatnya. Jikalau scope partisipasi politik dari massa rakyat menjadi semakin tinggi—disertai harapan, ambisi, dan aspirasi-aspirasi rakyat yang lebih tinggi, ditambah tuntutan-tuntutan yang lebih keras bagi pemerataan distribusi kekuasaan dan kesejahteraan yang lebih adil—maka sarana berupa coup d'etat (perebutan kekuasaan), represi/penindasan, dan jalan kekerasan yang digunakan oleh kaum militer sebagai teknik dari aksi-aksi politik, efektivitasnya menjadi menurun. Cara-cara sedemikian menjadi lebih sukar untuk diterapkan, dan jelas akan lebih banyak menumpahkan darah.
Sedang manusia di masa sekarang ini lebih banyak mendambakan iklim kerukunan, kedamaian, keadilan dan peningkatan kesejahteraan bagi semua individu di muka dunia, di bawah kepemimpinan negara (baik tokoh militer ataupun sipil) yang demokratis, dan bukan melalui kekerasan dan perang.
(Dr. Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 291-308).
0 komentar:
Posting Komentar