alt/text gambar

Senin, 25 Agustus 2025

Topik Pilihan:

DIPELAJARI BOLEH, DISEBARKAN JANGAN


Marxisme

DIPELAJARI BOLEH, DISEBARKAN JANGAN


(TEMPO, No. 26, Tahun XIX, 26 Agustus 1989)


Komunisme boleh dipelajari setelah Pancasila mantap, sekadar untuk perbandingan dan mengetahui keburukannya. 

Inilah pertama kalinya pernyataan Presiden Soeharto mengenai komunisme boleh dipelajari – setelah 24 tahun usia Orde Baru. Minggu pekan lalu Presiden mengatakan kepada 114 kader KNPI peserta penataran P-4 yang meninjau peternakan Tapos di Bogor: pemuda boleh mempelajari ideologi lain, termasuk komunisme. 

Setelah mempelajari liberalisme, komunisme, sosialisme, atau ideologi lani yang berdasarkan agama, di satu pihak kita akan mengetahui kekurangan-kekurangannya. Di pihak lain kita akan benar-benar mengetahui kelebihan Pancasila. “Ideologi lain itu dipelajari sebagai bahan perbandingan,” ujar Pak Harto. 

Setelah keyakinan akan kebenaran Pancasila lebih besar dan diikuti penghayatan dan pengamalannya, kata Presiden, Pancasila tetap dipertahankan sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan pandangan hidup rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Tahun 1966 MPRS melarang penyebaran atau pengembangan paham komunisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Dan setelah 23 tahun berlalu, menurut Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, boleh dipelajari, tapi bukan disebarluaskan. Dan itu setelah ketahanan ideologis mantap, berkat adanya penataran P-4. 

“Aneh, kalau kita harus waspada terhadap bahasa komunis, tapi tak tahu persis komunisme, lantas apa yang kita waspadai?” kata Moerdiono. Dengan mempelajari komunisme, orang tahu komunisme tidak cocok dengan Pancasila. “Setelah membentengi diri dengan ideologi Pancasila, berkat adanya penataran, kita percaya akan kebenaran Pancasila,” katanya. 

Selama ini, tak ada satu pun lembaga ilmiah yang dibenarkan menyelenggarakan pengkajian komunisme, atau Marxisme dan Leninisme. Sementara itu, dalam TAP MPRS No. XXV/MPRS/966, pasal 3, komunisme itu boleh dipalajari secara ilmiah di universitas dalam rangka mengamankan Pancasila. Dan itu secara terpimpin, dengan ketentuan, “Pemerintah dan DPR harus mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan.” 

Sedangkan menurut Moerdiono, pernyataan Presiden itu bersifat umum. Untuk pelaksanaan, ada tata caranya. RUU mengenai itu sedang disusun, dan bisa cepat selesai. Selama undang-undangnya belum ada, ideologi dilarang diajarkan di universitas. 

Tapi beberapa universitas ada yang memberikan kuliah Marxisme. Misalnya, Universitas Indonesia. “Sejauh itu sebagai ilmu, tak ada masalah untuk dipelajari. Kami mempercayakan ini di jurusan filsafat menyusun mata kuliah itu, termasuk pemikiran Marxis” kata Dr Tadjuddin M.K., Pembantu Rektor I UI. 

Selama ini yang boleh menyelenggarakan pengkajian Marxisme itu hanya Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Dalam kursus kewaspadaan nasional yang diikuti kalangan militer, pengkajian ini sangat intensif. Dan kursus untuk peserta dari luar hanya diberikan dasar-dasarnya, 6 unit, masing-masing 2,5 jam. 

Kajian Marxisme di Lemhanas dilihat dari sudut Pancasila. “Kita sorot keburukannya, bukan kebaikannya ditonjolkan,” kata Mayor Jenderal Soebijakto, Gubernur Lemhanas. Sedangkan pernyataan Presiden itu dilihatnya sebagai peringatan: saatnya komunisme dipelajari untuk mengetahui persisnya musuh-musuh Pancasila.

Apalagi ada kelompok yang meniru cara kaum komunis. Misalnya GPK Warsidi di Lampung yang membangun basis yang sulit dicapai pemerintah. Juga sebuah kelompok di Bima, Sumbawa. “Tipe strateginya seperti gerilya PKI di Blitar selatan tempo hari. Rupanya, mereka mempelajari strategi Mao Zedong,” ujarnya. 

Di Lemhanas ada perpustakaan khusus yang mengoleksi buku-buku komunisme. Ada karya Mao Zedong, ada juga karangan Lenin. “Buku-buku itu ndak boleh dibaca kecuali atas izin saya. Saya juga harus lihat dulu siapa orangnya,” kata Soebijakto. 

BSH, Linda Djalil, dan Priyono B. Sumbogo


Sumber: TEMPO, No. 26, Tahun XIX, 26 Agustus 1989

0 komentar:

Posting Komentar