alt/text gambar

Minggu, 28 September 2025

Topik Pilihan: , ,

SEKALI LAGI, SAYA TETAP PEGANG RUPIAH

Drs. Kwik Kian Gie


Oleh: Kwik Kian Gie


Tulisan saya pada Kompas hari Senin, 15-12-1997, dengan judul “Mengapa Saya tidak Memburu Dolar?”, mendapat cukup banyak tanggapan. Banyak yang setuju dengan sikap saya, terapi tidak sedikit yang mencelanya.

Beda pendapat sangat wajar, apalagi tentang sikap mau atau tidak ikut-ikutan memborong dolar AS, yang jelas dilandasi faktor-faktor emosional ketimbang pertimbangan rasional objektif. Namun demikian, saya sedih mendengar percakapan di radio, adanya diskusan yang mengatakan hitung-hitungan saya tentang pendapatan bunga adalah vulgar. 

Saya terkejut, karena hitung-hitungannya memang sangat sederhana, tetapi rasanya tidak vulgar. Menurut kamus Webster, vulgar berarti lacking cultivation or refinement, offensive to good taste or refined feelings, atau obscene. Pendeknya, tak berbudaya, tidak mempunyai selera dan perasaan yang sopan, bahkan jorok. 

Mungkin yang diartikan adalah terlampau simplistik, atau terlampau menggampangkan masalah. Masalahnya memang gampang sekali, mengapa harus dibuat ruwet? 

Supaya tak perlu mencari tulisan saya pekan Jalu, saya berikan problematik beserta perhitungannya sekali lagi Problematiknya adalah kalau saya mempunyai uang Rp 500 juta, dan harga dolar AS adalah Rp 5.000 per dolar A$ apakah lebih baik saya belikan dolar AS ataukah saya tahan memegang rupiah? 

Kalau saya belikan dolar, saya mendapat 100.000 dolar AS. Bunga deposito yang saya peroleh lima persen setahun, Kalau dihitung per bulan, pendapatan bunga saya 417 do. lar AS. 

Kalau saya pegang rupiah, bunga deposito saya 30 per. sen per tahun dikurangi pajak 15 persen. Kalau dihitung, pendapatan bunga bersih setiap bulannya Rp 10.625.000. Pendapatan bunga ini jika didolarkan dengan membaginya dengan Rp 5.000 (kurs dolar AS terhadap rupiah) adalah 2.125 dolar AS. 

Jadi hasil bunga yang sama-sama dihitung dalam dolar, kalau disimpan dalam rupiah hasilnya lima kali lipat daripada kalau disimpan dalam dolar. Aras pertimbangan ini saya tidak ikut-ikutan membeli dolar. 

Ada yang mengarakan di internet bahwa hitung-hirungan saya sama sekali melenceng dari permasalahan sebenarnya. Anak kecil juga bisa membuat hitung-hitungan demikian. Yang menjadi masalah, bahwa orang yakin harga dolar akan meningkat terus sampai Rp 6.000, Rp 7.000 dan Rp 10.000 per dolar AS. Nah, sekarang hitunglah betapa jebolnya nilai rupiah saya dinyatakan dalam dolar. 

Saya mengerti ini semuanya. Hanya yang saya sama sekali tidak percaya adalah bahwa nilai rupiah akan merosot terus sampai menjadi Rp 10.000 per dolar AS. Sebaliknya, rupiah akan menguat terus. Apa dasarnya? Bacalah tulisan saya sebelum ini sekali lagi tentang kebutuhan akan dan persediaan dari dolar. Tentang utang swasta, dengan atau tanpa road show, de facto bank-bank kreditur asing akan melakukan roll over

Mereka tidak mempunyai pilihan lain. Para pengusaha tidak bisa membayar, lantas bank-bank kreditur asing mau apa? Paling-paling jengkel, marah, kecewa, mendongkol, sehingga modal asing tidak akan masuk lagi. Tetapi sudah diantisipasi. Maka penyediaan dana oleh IMF dan negara-negara sahabat sampai jumlah sekitar 40 milyar dolar AS. 

Taruhlah rupiah akan merosot terus. Merosotnya tidak melalui garis lurus, tetapi berfluktuasi naik turun. Kalau sedang memegang dolar, setiap kali dolar naik gembira, dan setiap kali rupiah menguat stres. Hati-hati dengan jantung Anda! 

Ataukah Anda merasa diri Anda begitu jeniusnya? Anda tahu persis kapan harus membeli dolar, dan kapan harus menjual lagi, sehingga setiap transaksinya untung. Misalnya sekarang Rp 5.000, dan Anda yakin tiga hari lagi akan menjadi Rp 6.000. Kita beli dengan harga Rp 5.000 dan menjual dengan harga Rp 6.000. Setelah itu turun lagi menjadi Rp 5.200. Kita tahu persis bahwa pasti akan meningkat lagi. Kita beli dengan harga Rp 5.200, dan memang naik betul sampai Rp 5.600. Ketika itu kita tahu persis akan turun lagi. Maka kita jual dengan harga Rp 5.600 dan ternyata turun betul sampai Rp 4.900. Kita beli dengan harga Rp 4.900, karena tahu persis akan naik lagi sampai Rp 6.000. Ternyata benar-benar terjadi. Maka menjadi kayalah kita. 

Adakah orang yang bisa meramalkan fluktuasi kurs dolar/rupiah dengan pasti dan terus-menerus tepat? Coba tanyakan kepada kawan-kawan dekat Anda, berapa yang sebenarnya sudah merugi besar karena ramalan atau prakiraannya lebih banyak meleset ketimbang tepatnya.

Lagi pula, yang paling krusial adalah dengan berbuat demikian, Anda terpaksa harus terus-menerus memonitor gerakan kurs, yang kalau mau canggih, perlu berlangganan Reuters

Secara fisik, Anda harus nongkrong terus di depan layar komputer. Ini berarti kita sudah harus beralih profesi menjadi spekulan valas. Bisa dan sah-sah saja. Tapi Anda lalu menjadi spekulan amatiran yang sangat berbahaya. Uang Anda bisa ludes. 

Spekulan yang berpengalaman, seperti Nick Leesson membangkrutkan banknya, yang karena itu sekarang sedang mendekam di penjara di Singapura. Karena berspekulasi dengan uang sendiri, tidak akan masuk penjara, tetapi Anda bisa bangkrut. 

Ada lagi yang bilang, bukan begitu caranya. Kita alihkan rupiah once and for all menjadi dolar. Jadi kurs dolar/rupiah akan bergejolak seperti apa pun, kita tetap memegang dolar. Nilai rupiah pasti akan merosot sampai Rp 10.000 per dolar AS.

Bukankah para bankir dari Singapura dan para account officers bank-bank swasta di Indonesia, setiap harinya menghembuskan rumor bahwa rupiah pasti akan menjadi Rp 7.500 sampai Rp 10.000? Ya terserah percaya pada mereka atau tidak. Buat saya, omongan mereka tidak waras. Kalau mendengarkan ocehan mereka, sama sekali ngawur. Jelas sekali motifnya hanya ingin mencari untung dari komisi dan spread. 

Sekarang kita sudah mulai tidak simplistik lagi. Pertimbangan saya ternyata bukan hanya hitung-hitungan yang tingkatnya SD, tetapi membuat pilihan mau beralih profesi menjadi spekulan valas atau tidak. 

Kalau ya, menjadi spekulan amatir yang part time, atau menjadi spekulan yang full time seperti George Soros? Saya tidak mau, tidak mampu, dan tidak berani menjadi spekulan. Kalau Anda mau, terutama ibu-ibu, ya silakan. Kalau saya jadi ibu, saya memilih berarisan di restoran mahal dengan hasil bunga deposito rupiah yang tinggi. Harga makanan di restoran yang mewah memang naik, tetapi tidak banyak. Kalau arisannya disertai undian barang-barang durable consumers goods yang mewah dan canggih, harganya praktis belum naik. Harga mobil sedan naiknya hanya 5 persen. Mesin fax yang canggih hanya Rp 1.400.000 atau dengan kurs Rp 5.000 — 280 dolar AS. Komputer dengan konfigurasi yang 233 Mhz, memory 32 MB, storage 3,2 GB, bisa berfungsi sebagai DVD dan videophone, dan masih banyak features yang hebat-hebat lainnya, harganya masih Rp 8.950.000 atau dengan kurs Rp 5.000 per dolar AS hanya 1.790 dolar AS. 

Bandingkan harga lemari es, mesin cuci, rumah, apartemen, dan masih banyak barang lain lagi, dan nyatakan dalam dolar AS dengan kurs Rp 5.000 per dolar AS. Mana mungkin harga-harga yang demikian rendahnya berlaku di AS? 

Pertimbangan yang menurut saya sendiri tidak simplistik adalah bahwa dengan merosotnya nilai rupiah, daya beli rupiah di Indonesia membesar dibandingkan dengan daya beli dolar di AS. Jadi dengan Rp 5.000 per dolar AS, saya bisa membeli lebih banyak barang di Indonesia ketimbang 1 dolar AS di AS. Apalagi kalau merosot menjadi Rp 6.000. 

Jadi, kalau saya tidak mempunyai kebutuhan membeli barang di AS, apa motif saya membeli dolar AS kecuali spekulasi? 

Anda bisa berpikir kalau uang Anda dalam dolar AS semuanya, walaupun bunganya rendah, tetapi kalau kursnya naik terus, Anda dapat sedikit demi sedikit mentransfer dolar AS dengan kurs yang tinggi menjadi rupiah, sehingga bisa bermewah-mewah di Indonesia. 

Meningkatnya harga dolar AS sampai tidak waras lagi, yang membuat daya beli rupiah di Indonesia meningkat dibandingkan dengan daya beli dolar di AS, tidak bisa berlangsung lama. Pabrik-pabrik yang kandungan impornya cukup tinggi, akan bangkrut, karena tidak mungkin menaikkan harganya dengan 100 persen atau lebih. Maka taruhan kita seluruhnya adalah harga dolar AS mesti turun, atau banyak pabrik tutup dengan segala kekalutan yang menyertainya. 

Dalam situasi yang demikian, kita dihadapkan pada pilihan masih mau hidup di Indonesia dalam kekalutan atau lebih baik hijrah menjadi penduduk atau warga negara di luar negeri? Apa gunanya mempunyai dolar AS yang meningkat terus nilainya, sehingga sedikit demi sedikit bisa dijadikan rupiah untuk berfoya-foya di sini, kalau suasananya kalut? 

Jadi, kalau saya mengatakan pegang rupiah, dan nikmati hasil bunga yang tinggi dengan daya beli yang tinggi di dalam negeri, juga bersifat sementara. Maka kalau Anda tidak mau beremigrasi, Anda harus membuat rupiah kembali nilainya pada tingkat yang wajar. 

Berapa itu? Paling banter Rp 3.700 per dolar AS. Apa dasar saya? Big Mac Index yang 1 dolar AS seharusnya sama dengan Rp 1.818, tetapi kita koreksi secara gila-gilaan sampai menjadi Rp 3.700. Kan sudah edan? Masa mau lebih edan lagi sampai menjadi kisaran antara Rp 5.000 sampai Rp 10.000? 

Jadi, sekarang saya lebih fundamental lagi, yaitu alur pikir saya membawa saya pada pertanyaan, apakah saya mau memberi andil terhadap ambrolnya perekonomian negara atau tidak? 

Jangan mengira saya sok nasionalis dan patriotik. Dalam mempertimbangkan masih mau hidup di negara ini atau tidak, dasarkanlah pada kepentingan Anda sendiri. 

Kalaupun Anda milyuner atau milyarder dalam dolar, memangnya secara budaya dan tata nilai lebih bahagia hidup di AS? Mengapa demikian banyaknya milyuner dalam dolar masih saja lebih memilih tinggal di Indonesia? Karena cinta Tanah Air? Omong kosong. Karena secara budaya dan tata nilai, Anda tidak kerasan di sana. 

Di sana, walaupun Anda milyuner dolar, Anda akan menjadi Mr. Nobody. Anda di sana tidak akan bisa masuk ke dalam the high society, karena Anda kurang intelek! Paling-paling Anda masuk ke dalam kelompok orang kaya baru (OKB) dengan segala penampilan yang norak. 

Kwik kian Gie, ekonom senior

Kompas, 22 Desember 1997

Sumber: 

Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998, h. 203-209.



0 komentar:

Posting Komentar