Oleh: NANI EFENDI
Pada awal berdirinya HMI, NDP (Nilai-Nilai Dasar Perjuangan) seperti yang dikenal saat ini oleh kader-kader HMI, tidaklah pernah ada. NDP baru ada setelah dirumuskan oleh Nurcholish Madjid dan kawan-kawan pada penghujung tahun 1960-an. NDP, oleh Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid), pada awalnya ingin diberi nama NDI (Nilai-Nilai Dasar
Islam). Tapi, karena Cak Nur menganggap klaimnya terlalu besar, seolah-olah
inilah nilai-nilai dasar Islam, maka disesuaikanlah dengan konteks organisasi
HMI, sebagai organisasi perjuangan. Maka dibuatlah namanya menjadi NDP. Draft
NDP yang ingin diberi nama NDI itu dibawa Cak Nur pada Kongres IX di Malang
pada Mei 1969. Kongres lalu menghasilkan rekomendasi bahwa draft NDI ini
diperlukan penyempurnaan.
Diserahkanlah kepada Cak Nur
beserta Endang Saefudin Ansari dan Sakib
Mahmud untuk dilakukan penyempurnaan teks. Pada Kongres X di Palembang tahun
1971 teks tersebut kemudian disahkan dengan nama NDP, dan disosialisasikan ke
cabang-cabang.[1] NDP
tersebut terdiri atas delapan bab: 1. Dasar-dasar kepercayaan; 2. Pengertian-pengertian
dasar tentang kemanusiaan; 3.Keharusan universal (takdir) dan kebebasan
berusaha (ikhtiar); 4. Ketuhanan yang maha esa dan perikemanusiaan; 5. Individu
dan masyarakat; 6. Keadilan sosial dan ekonomi; 7.Kemanusiaan dan ilmu
pengetahuan; dan 8. Kesimpulan dan penutup.
Jadi, NDP itu baru ada secara
resmi dalam organisasi HMI dimulai pada tahun 1971. Itu yang perlu dipahami
oleh kader-kader HMI. Jadi, ia bukanlah sesuatu yang sakral di HMI. Ia hanya
sebagai “literatur” yang berfungsi dalam memberikan pemahaman keislaman bagi
kader HMI dalam perjuangan mewujudkan tujuan HMI. NDP pernah berganti nama
menjadi Nilai-Nilai Identitas Kader (NIK). Perubahan nama itu merupakan dampak
dari kebijakan negara, yakni berlakunya UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan. Berdasarkan UU tersebut, semua organisasi kemasyarakatan wajib
berazaskan Pancasila. HMI yang pada waktu itu berazaskan Islam pun terpaksa
menyesuaikan. Tapi tidak semua mematuhi. Ada kelompok di HMI yang tetap ingin
berazaskan Islam. Itulah HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi).[2]
Tapi, sebenarnya, perubahan nama itu―menurut Muhammad Wahyuni Nafis dalam bukunya yang berjudul Cak Nur: Sang Guru Bangsa, sebagaimana dikutip oleh Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP) (Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007, hlm. 6-7)―karena ada keberatan dari Jenderal L.B. Moerdani yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima ABRI (Menhankam/Pangab).
L.B. Moerdani, yang akrab dipanggil Benny Moerdani itu, keberatan dengan kata “perjuangan”. Oleh karena itu, dalam pertemuan empat mata antara Cak Nur dengan Jenderal Benny Moerdani, diusulkan agar kata “perjuangan” tidak digunakan karena khawatir menjadikan HMI tidak pro program pembangunan (ideologi Pembangunanisme; Developmentalism) yang tengah digalakkan oleh pemerintahan Orde Baru saat itu. Kemudian, dicarikanlah istilah yang lebih lunak (soft). Maka diubahlah nama NDP menjadi NIK. Tapi isinya tetap.
Perubahan nama ini kemudian
disahkan pada kongres ke-16 di Padang 1986 sebagai implikasi dari perubahan
azas dari Islam menjadi Pancasila dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) HMI.
Pada 1998, terjadi reformasi di
Indonesia. Presiden Soeharto lengser. Rezim Orde Baru pun tumbang. Kran
demokrasi terbuka lebar. Organisasi-organisasi yang sebelumnya mengalami
pengekangan akhirnya dapat bernafas lega. Partai-partai politik pun
bermunculan. Ormas maupun parpol pasca reformasi ’98 tidak lagi dilarang
mencantumkan azas Islam. Dan HMI, yang semula memang berazaskan Islam, akhirnya
juga bisa menghirup angin kebebasan demokrasi sebagi hasil dari reformasi ‘98.
Maka pada Kongres ke-22 di Jambi tahun 2000, NIK kembali menjadi nama NDP.
Kajian keislaman di HMI
sebelum NDP
Walaupun NDP baru ada semenjak
1971, bukan berarti sebelumnya tidak ada kajian atau diskusi tentang pemikiran
atau pemahaman keislaman di HMI. Tradisi intelektual itu sudah ada sejak awal
kelahiran HMI. Hal itu bisa dibaca dalam buku Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar Nilai
Dasar Perjuangan (NDP). Sebelum NDP,
ada “Tafsir Azas”, “Kepribadian HMI”, dan “GPP (Garis-Garis Pokok Perjuangan)
HMI”. Dalam “Kepribadian HMI”, misalnya, telah dirumuskan unsur-unsur pokok
seperti tauhid, dasar keseimbangan, kreatif, dinamis, revolusioner, dan
pemersatu.[3]
Namun, sebelum ada NDP, kajian di
HMI lebih banyak diberikan seputar keorganisasian dan politik. Soal keislaman
agaknya kurang mendapat tempat yang memadai.[4]
Ada satu materi keislaman yang sering diberikan oleh Mar’ie Muhammad[5]
dalam training-tarining HMI. Mar’ie Muhammad yang pernah menjabat sebagai
Sekjen PB HMI mendasarkan ceramah-ceramahnya pada buku H.O.S. Tjokroaminoto
yang berjudul Islam dan Sosialisme terbitan tahun 1930.[6]
Jadi, memang sangat minim
literatur kajian dan pemikiran keislaman yang dimiliki HMI sebelum adanya NDP.
Cak Nur berjasa besar dalam mengisi kekurangan literatur tentang pemahaman dan
pemikiran keislaman di HMI hingga kini. Mengapa Cak Nur mampu? Karena, salah
satu alasannya menurut saya, dialah salah satu tokoh HMI yang benar-benar
santri tulen yang berwawasan luas. Tidak hanya tentang keislaman, wawasannya
juga meliputi banyak hal, seperti persoalan sosial, politik, budaya, pemikiran,
dan lain sebagainya. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan rasanya, saya
menempatkan Cak Nur sebagai generasi kedua dalam sejarah organisasi HMI.
Asal-usul nama NDP
Dari mana Cak Nur mandapatkan
nama NDP? Dalam buku HMI Menjawab Tantangan Zaman, Cak
menjelaskan, pertama terinspirasi dari buku Willy Eichler, seorang ideolog
Partai Sosial Demokrat Jerman. Buku yang berisi tentang nilai-nilai dasar dan
tuntutan-tuntutan dasar sosialisme democrat itu berjudul The Fundamental
Values and Basic Demand of Democratic Socialism. Di situ ada kata “the
fundamental values” atau “nilai-nilai dasar”. Nah, dari judul buku itulah
Cak Nur mengambil istilah “nilai-nilai dasar”. Lantas, kata “perjuangan” ia
dapat dari mana? Kata “perjuangan” ia tiru dari judul bukunya Sjahrir Perjuangan
Kita. Tapi, kata Cak Nur, Sjahrir pun juga tidak orisinil. Sjahrir, kata
Cak Nur, menirunya dari judul buku Adolf Hitler Mein Kampf
(Perjuanganku). Nah, dari kedua judul buku karya tokoh besar itulah nama NDP diambil.
NDP Sulit Dipahami?
Mengapa NDP sulit dipahami? Dari sisi materi, kalau saya cermati, tak ada yang begitu berat dalam NDP. Problemnya, menurut saya, terdapat pada gaya penulisan yang kurang runut. Bahkan ada yang kalimatnya terbalik-balik.[7] Tapi harus saya akui substansi per babnya sangat bagus.
Mengapa penulisan NDP tak begitu sempurna? Harus dipahami, bahwa yang menulis NDP itu bukanlah "Profesor Nurcholish Madjid", tapi "Drs. Nurcholish Madjid". Artinya, Cak Nur
ketika menulis NDP, Cak Nur masih sangat belia sekali. Karena itu, harus kita
maklumi jika gaya penulisannya belum begitu sempurna. Bandingkan dengan
tulisan-tulisan beliau setelah beliau menjadi doktor. Sangat berbeda dari sisi
kesempurnaan penulisan.
Maka, setelah banyak membaca buku-buku Cak Nur maupun tulisan-tulisan beliau di banyak tempat, terutama karya-karya kontemporer beliau, saya lebih mudah memahami maksud Cak Nur, terutama tentang esensi “islam” (“i” dengan huruf kecil). Untuk, itu, agar dapat memahami NDP dengan baik, harus banyak membaca tulisan-tulisan Cak Nur, terutama setelah beliau menyelesaikan studi doktornya dalam bidang filsafat dari University of Chicago, Amerika Serikat tahun 1984 dengan judul disertasi Ibn Taymiyya on Kalam and Falasifa.
Namun, saya perhatikan, Cak
Nur konsisten dalam pemahaman tentang keislaman. Misalnya, tentang pengertian “islam”,
tentang fitrah manusia, tentang demokrasi, keadilan, pertanggungjawaban
individu di akhirat, dan lain-lain.
Untuk lebih mudah memahami NDP
HMI, maka saya tulis kembali bab per bab dengan gaya penulisan saya sendiri
tanpa menghilangkan substansi materinya. Saya buat kalimatnya lebih runut dan
sederhana. Saya masukkan inti-inti materinya dan saya buang kalimat-kalimat
yang berisi penjelasan yang tidak perlu, yang mubazir, yang berlebihan, yang
dapat menyebabkan kesulitan dalam pemahaman. Dengan penyederhanaan penulisan
yang saya lakukan, saya jadi lebih mudah memahami NDP, ketimbang membaca teks
aslinya. Jadi problemnya, terletak pada gaya penulisan, bukan pada materinya
yang—oleh banyak kader HMI—dianggap berat.
Catatan penutup
NANI EFENDI, Alumnus LK III Badko HMI Sumbagsel, Palembang 2008
RUJUKAN
1. Komaruddin, Ade & Muchriji Fauzi (ed). HMI Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta: PT. Gunung Kulabu, 1992
2. Tarigan, Azhari Akmal. Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP), Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007.
3. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI.
4. Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.
5. Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.
6. https://insancita.wordpress.com/2017/07/21/sejarah-perjalanan-nilai-nilai-dasar-perjuangan-ndp-hmi/
8. https://catatannaniefendi.blogspot.com/2023/11/tiga-guru-pencuriga-dalam-tradisi.html?m=1
[1] lihat https://insancita.wordpress.com/2017/07/21/sejarah-perjalanan-nilai-nilai-dasar-perjuangan-ndp-hmi/
[2] HMI yang semula
berazaskan Islam terbelah menjadi dua kubu, yaitu antara kubu yang tetap
mempertahankan azas Islam dengan kubu yang berusaha mengikuti perintah Presiden
Soeharto mengubah azasnya menjadi Pancasila. Kubu yang tetap mempertahankan
azas Islam dalam HMI kemudian menamakan diri dengan Himpunan Mahasiswa
Islam-Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO). Sedangkan kubu yang mengikuti
perintah Presiden Soeharto sering disebut HMI-DIPO, dikarenakan Sekretariat
Pengurus Besarnya berada di Jalan Diponegoro, Jakarta. HMI-MPO lebih senang menamakan
diri sebagai HMI 1947, karena mengacu pada tahun pendirian Himpunan Mahasiswa
Islam yang sejak awal menetapkan Islam sebagai azas organisasinya. HMI MPO
merupakan nama sekelompok aktivis kritis HMI yang prihatin melihat HMI yang
begitu terkooptasi oleh rezim Orde Baru. Kelompok ini merasa perlu bergerak
untuk mengantisipasi intervensi penguasa pada HMI agar HMI mengubah azasnya
yang semula Islam menjadi Pancasila. Bagi aktivis MPO, perubahan azas ini
merupakan simbol kemenangan penguasa terhadap gerakan mahasiswa yang akan
berdampak pada terkekangnya kebebasan demokrasi di Indonesia. Lihat https://komsas-malang.hmi.or.id/read/1792/kader-berbagi/sekilas-tentang-sejarah-hmi-mpo-majelis-penyelamat-organisasi.html
[3] Lihat Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai
Dasar Perjuangan (NDP) (Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007), hlm. 8.
[4] Ibid. h.9
[5] Mar’ie Muhammad
adalah Menteri Keuangan di era Orde Baru. Ia diberi gelar “Mr. Clean” karena
perjuangannya memberantas korupsi pada era yang masih sarat dengan korupsi.
[6] Ibid.
[7] Lihatnya, misalnya, Bab III NDP HMI.
0 komentar:
Posting Komentar