alt/text gambar

Jumat, 22 September 2023

Topik Pilihan: , ,

MEMAHAMI SEJARAH NDP HMI


Oleh: NANI EFENDI

 

Pada awal berdirinya HMI, NDP (Nilai-Nilai Dasar Perjuangan) seperti yang dikenal saat ini oleh kader-kader HMI, tidaklah pernah ada. NDP baru ada setelah dirumuskan oleh Nurcholish Madjid dan kawan-kawan pada penghujung tahun 1960-an. NDP, oleh Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid), pada awalnya ingin diberi nama NDI (Nilai-Nilai Dasar Islam). Tapi, karena Cak Nur menganggap klaimnya terlalu besar, seolah-olah inilah nilai-nilai dasar Islam, maka disesuaikanlah dengan konteks organisasi HMI, sebagai organisasi perjuangan. Maka dibuatlah namanya menjadi NDP. Draft NDP yang ingin diberi nama NDI itu dibawa Cak Nur pada Kongres IX di Malang pada Mei 1969. Kongres lalu menghasilkan rekomendasi bahwa draft NDI ini diperlukan penyempurnaan.

Diserahkanlah kepada Cak Nur beserta  Endang Saefudin Ansari dan Sakib Mahmud untuk dilakukan penyempurnaan teks. Pada Kongres X di Palembang tahun 1971 teks tersebut kemudian disahkan dengan nama NDP, dan disosialisasikan ke cabang-cabang.[1] NDP tersebut terdiri atas delapan bab: 1. Dasar-dasar kepercayaan; 2. Pengertian-pengertian dasar tentang kemanusiaan; 3.Keharusan universal (takdir) dan kebebasan berusaha (ikhtiar); 4. Ketuhanan yang maha esa dan perikemanusiaan; 5. Individu dan masyarakat; 6. Keadilan sosial dan ekonomi; 7.Kemanusiaan dan ilmu pengetahuan; dan 8. Kesimpulan dan penutup.

Jadi, NDP itu baru ada secara resmi dalam organisasi HMI dimulai pada tahun 1971. Itu yang perlu dipahami oleh kader-kader HMI. Jadi, ia bukanlah sesuatu yang sakral di HMI. Ia hanya sebagai “literatur” yang berfungsi dalam memberikan pemahaman keislaman bagi kader HMI dalam perjuangan mewujudkan tujuan HMI. NDP pernah berganti nama menjadi Nilai-Nilai Identitas Kader (NIK). Perubahan nama itu merupakan dampak dari kebijakan negara, yakni berlakunya UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Berdasarkan UU tersebut, semua organisasi kemasyarakatan wajib berazaskan Pancasila. HMI yang pada waktu itu berazaskan Islam pun terpaksa menyesuaikan. Tapi tidak semua mematuhi. Ada kelompok di HMI yang tetap ingin berazaskan Islam. Itulah HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi).[2]

Tapi, sebenarnya, perubahan nama itu―menurut Muhammad Wahyuni Nafis dalam bukunya yang berjudul Cak Nur: Sang Guru Bangsa, sebagaimana dikutip oleh Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP) (Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007, hlm. 6-7)―karena ada keberatan dari Jenderal L.B. Moerdani yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima ABRI (Menhankam/Pangab). 

L.B. Moerdani, yang akrab dipanggil Benny Moerdani itu, keberatan dengan kata “perjuangan”. Oleh karena itu, dalam pertemuan empat mata antara Cak Nur dengan Jenderal Benny Moerdani, diusulkan agar kata “perjuangan” tidak digunakan karena khawatir menjadikan HMI tidak pro program pembangunan (ideologi Pembangunanisme; Developmentalism) yang tengah digalakkan oleh pemerintahan Orde Baru saat itu. Kemudian, dicarikanlah istilah yang lebih lunak (soft). Maka diubahlah nama NDP menjadi NIK. Tapi isinya tetap.

Perubahan nama ini kemudian disahkan pada kongres ke-16 di Padang 1986 sebagai implikasi dari perubahan azas dari Islam menjadi Pancasila dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) HMI.

Pada 1998, terjadi reformasi di Indonesia. Presiden Soeharto lengser. Rezim Orde Baru pun tumbang. Kran demokrasi terbuka lebar. Organisasi-organisasi yang sebelumnya mengalami pengekangan akhirnya dapat bernafas lega. Partai-partai politik pun bermunculan. Ormas maupun parpol pasca reformasi ’98 tidak lagi dilarang mencantumkan azas Islam. Dan HMI, yang semula memang berazaskan Islam, akhirnya juga bisa menghirup angin kebebasan demokrasi sebagi hasil dari reformasi ‘98. Maka pada Kongres ke-22 di Jambi tahun 2000, NIK kembali menjadi nama NDP.

Kajian keislaman di HMI sebelum NDP

Walaupun NDP baru ada semenjak 1971, bukan berarti sebelumnya tidak ada kajian atau diskusi tentang pemikiran atau pemahaman keislaman di HMI. Tradisi intelektual itu sudah ada sejak awal kelahiran HMI. Hal itu bisa dibaca dalam buku Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Sebelum NDP, ada “Tafsir Azas”, “Kepribadian HMI”, dan “GPP (Garis-Garis Pokok Perjuangan) HMI”. Dalam “Kepribadian HMI”, misalnya, telah dirumuskan unsur-unsur pokok seperti tauhid, dasar keseimbangan, kreatif, dinamis, revolusioner, dan pemersatu.[3]

Namun, sebelum ada NDP, kajian di HMI lebih banyak diberikan seputar keorganisasian dan politik. Soal keislaman agaknya kurang mendapat tempat yang memadai.[4] Ada satu materi keislaman yang sering diberikan oleh Mar’ie Muhammad[5] dalam training-tarining HMI. Mar’ie Muhammad yang pernah menjabat sebagai Sekjen PB HMI mendasarkan ceramah-ceramahnya pada buku H.O.S. Tjokroaminoto yang berjudul Islam dan Sosialisme terbitan tahun 1930.[6]

Jadi, memang sangat minim literatur kajian dan pemikiran keislaman yang dimiliki HMI sebelum adanya NDP. Cak Nur berjasa besar dalam mengisi kekurangan literatur tentang pemahaman dan pemikiran keislaman di HMI hingga kini. Mengapa Cak Nur mampu? Karena, salah satu alasannya menurut saya, dialah salah satu tokoh HMI yang benar-benar santri tulen yang berwawasan luas. Tidak hanya tentang keislaman, wawasannya juga meliputi banyak hal, seperti persoalan sosial, politik, budaya, pemikiran, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan rasanya, saya menempatkan Cak Nur sebagai generasi kedua dalam sejarah organisasi HMI.

Asal-usul nama NDP

Dari mana Cak Nur mandapatkan nama NDP? Dalam buku HMI Menjawab Tantangan Zaman, Cak menjelaskan, pertama terinspirasi dari buku Willy Eichler, seorang ideolog Partai Sosial Demokrat Jerman. Buku yang berisi tentang nilai-nilai dasar dan tuntutan-tuntutan dasar sosialisme democrat itu berjudul The Fundamental Values and Basic Demand of Democratic Socialism. Di situ ada kata “the fundamental values” atau “nilai-nilai dasar”. Nah, dari judul buku itulah Cak Nur mengambil istilah “nilai-nilai dasar”. Lantas, kata “perjuangan” ia dapat dari mana? Kata “perjuangan” ia tiru dari judul bukunya Sjahrir Perjuangan Kita. Tapi, kata Cak Nur, Sjahrir pun juga tidak orisinil. Sjahrir, kata Cak Nur, menirunya dari judul buku Adolf Hitler Mein Kampf (Perjuanganku). Nah, dari kedua judul buku karya tokoh besar itulah nama NDP diambil.

NDP Sulit Dipahami?

Mengapa NDP sulit dipahami? Dari sisi materi, kalau saya cermati, tak ada yang begitu berat dalam NDP. Problemnya, menurut saya, terdapat pada gaya penulisan yang kurang runut. Bahkan ada yang kalimatnya terbalik-balik.[7] Tapi harus saya akui substansi per babnya sangat bagus. 

Mengapa penulisan NDP tak begitu sempurna? Harus dipahami, bahwa yang menulis NDP itu bukanlah "Profesor Nurcholish Madjid", tapi "Drs. Nurcholish Madjid". Artinya, Cak Nur ketika menulis NDP, Cak Nur masih sangat belia sekali. Karena itu, harus kita maklumi jika gaya penulisannya belum begitu sempurna. Bandingkan dengan tulisan-tulisan beliau setelah beliau menjadi doktor. Sangat berbeda dari sisi kesempurnaan penulisan.

Maka, setelah banyak membaca buku-buku Cak Nur maupun tulisan-tulisan beliau di banyak tempat, terutama karya-karya kontemporer beliau, saya lebih mudah memahami maksud Cak Nur, terutama tentang esensi “islam” (“i” dengan huruf kecil). Untuk, itu, agar dapat memahami NDP dengan baik, harus banyak membaca tulisan-tulisan Cak Nur, terutama setelah beliau menyelesaikan studi doktornya dalam bidang filsafat dari University of Chicago, Amerika Serikat tahun 1984 dengan judul disertasi Ibn Taymiyya on Kalam and Falasifa. 

Namun, saya perhatikan, Cak Nur konsisten dalam pemahaman tentang keislaman. Misalnya, tentang pengertian “islam”, tentang fitrah manusia, tentang demokrasi, keadilan, pertanggungjawaban individu di akhirat, dan lain-lain.

Untuk lebih mudah memahami NDP HMI, maka saya tulis kembali bab per bab dengan gaya penulisan saya sendiri tanpa menghilangkan substansi materinya. Saya buat kalimatnya lebih runut dan sederhana. Saya masukkan inti-inti materinya dan saya buang kalimat-kalimat yang berisi penjelasan yang tidak perlu, yang mubazir, yang berlebihan, yang dapat menyebabkan kesulitan dalam pemahaman. Dengan penyederhanaan penulisan yang saya lakukan, saya jadi lebih mudah memahami NDP, ketimbang membaca teks aslinya. Jadi problemnya, terletak pada gaya penulisan, bukan pada materinya yang—oleh banyak kader HMI—dianggap berat.

Catatan penutup

Dalam upaya memahami NDP, perlu dipahami penjelasan berikut. Komaruddin Hidayat, dalam bukunya, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996, h.175-177), menyebutkan, "Man is an interpreter being" (manusia adalah makhluk penafsir). Didorong oleh rasa kagum dan ketidaktahuan terhadap objek-objek di sekitarnya, jelas Komaruddin, manusia mengamati dan menafsirkan jagad raya ini. Secara ontologis, sesungguhnya tak ada yang baru di jagad raya ini. "Nothing new under the sky". Yang baru adalah pengalaman dan pengetahuan manusia mengenai diri dan lingkungannya. Sesuatu yang baru, muncul sebagai produk berpikir dan berkarya secara sintetis yang dilakukan oleh manusia. Artinya, dalam proses dialektika yang tak berkesudahan.

Berpikir sintetis, menurut Komaruddin, berarti menggabungkan, memodifikasi, dan mencipta dari bahan  yang telah ada. Mencipta berarti memodifikasi dan mengembangkan dari hal-hal yang simpel menjadi lebih beragam dan kompleks. Dengan kata lain, orang yang kreatif dan produktif adalah orang yang pandai memahami, menafsirkan, dan merekonstruksi sebuah pemikiran yang ada untuk dikembangkan lebih jauh lagi.

Menurut filsuf Jerman, Gadamer, cara yang tepat dalam menafsirkan teks atau objek sosio-kultural adalah keterbukaan terhadap masa kini dan masa depan, maka tugas penafsiran tak kunjung selesai, dan bersifat kreatif (F. Budi Hardiman, 2003:64). Mirip Gadamer, kata Komaruddin Hidayat (1996:195), Fazlur Rahman menggunakan metode double movements dalam mengkaji sejarah, yaitu melakukan perjalanan intelektual ke masa lalu untuk menelusuri dan memasuki bilik-bilik peristiwa historis dan kemudian kembali ke masa kini dengan fakta dan pemaknaan yang mengacu ke masa depan. Dulu dan esok dipertemukan oleh pemaknaan hari ini oleh subyek pelaku dan penafsir sejarah itu sendiri. 

Secara hermeneutik, cara Gadamer bisa diterapkan oleh anak-anak HMI dalam mengkaji NDP. Artinya, menafsir bukan bertujuan reproduktif, tapi kreatif. Dalam hermeneutik, dikenal nama-nama filsuf di antaranya Schleiermacher, Dilthey, dan Gadamer. Schleiermacher dan Dilthey, dalam hermeneutik romantisnya, sebagaimana dijelaskan oleh F. Budi Hardiman, mengenalkan cara menafsirkan teks secara reproduktif, yakni menghadirkan kembali seluruh perasaan, pikiran, kehendak pengarang seasli mungkin lewat empati dan rekonstruksi. Sementara Gadamer menganggap pandangan itu tak tepat. Gadamer melihat, menafsirkan teks sebagai tugas produktif atau tugas kreatif: kita justru membiarkan diri kita mengalami benturan cakrawala, antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang. Dengan cara itu, pemahaman kita diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga (F. Budi Hardiman, 2003:48).

Dalam bahasa sederhana, teori Gadamer itu, bisa kita artikan: memahami teks masa lalu, melalui perspektif hari ini, untuk kepentingan kedepan. Jadi, proses memahami (menafsir) seperti itu bersifat kreatif dan tak pernah selesai. Di samping itu, dari sudut pandang hermeneutik, latar belakang pendidikan pengarang NDP, lingkungan kerja, konteks historis, sosiologis, dan psikologis penulis harus juga mesti dipahami dengan baik. Maka, perlu dipahami pesan tiga guru pencuriga dalam tradisi hermeneutik. Tiga guru pencuriga itu ialah: Marx, Nietzsche, dan Freud. Tentang guru pencuriga, bisa dibaca tulisan saya di https://catatannaniefendi.blogspot.com/2023/11/tiga-guru-pencuriga-dalam-tradisi.html?m=1Jadi, pendekatan hermeneutik dalam memahami sejarah, perlu dipertimbangkan oleh kader-kader HMI dalam memahami sejarah NDP. 

NANI EFENDI, Alumnus LK III Badko HMI Sumbagsel, Palembang 2008


RUJUKAN

1. Komaruddin, Ade  & Muchriji Fauzi (ed). HMI Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta: PT. Gunung Kulabu, 1992

2. Tarigan, Azhari Akmal. Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP), Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007.

3. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI. 

4. Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

5. Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996.

6. https://insancita.wordpress.com/2017/07/21/sejarah-perjalanan-nilai-nilai-dasar-perjuangan-ndp-hmi/

7.https://komsas-malang.hmi.or.id/read/1792/kader-berbagi/sekilas-tentang-sejarah-hmi-mpo-majelis-penyelamat-organisasi.html

8. https://catatannaniefendi.blogspot.com/2023/11/tiga-guru-pencuriga-dalam-tradisi.html?m=1

 

Catatan kaki:

[2] HMI yang semula berazaskan Islam terbelah menjadi dua kubu, yaitu antara kubu yang tetap mempertahankan azas Islam dengan kubu yang berusaha mengikuti perintah Presiden Soeharto mengubah azasnya menjadi Pancasila. Kubu yang tetap mempertahankan azas Islam dalam HMI kemudian menamakan diri dengan Himpunan Mahasiswa Islam-Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO). Sedangkan kubu yang mengikuti perintah Presiden Soeharto sering disebut HMI-DIPO, dikarenakan Sekretariat Pengurus Besarnya berada di Jalan Diponegoro, Jakarta. HMI-MPO lebih senang menamakan diri sebagai HMI 1947, karena mengacu pada tahun pendirian Himpunan Mahasiswa Islam yang sejak awal menetapkan Islam sebagai azas organisasinya. HMI MPO merupakan nama sekelompok aktivis kritis HMI yang prihatin melihat HMI yang begitu terkooptasi oleh rezim Orde Baru. Kelompok ini merasa perlu bergerak untuk mengantisipasi intervensi penguasa pada HMI agar HMI mengubah azasnya yang semula Islam menjadi Pancasila. Bagi aktivis MPO, perubahan azas ini merupakan simbol kemenangan penguasa terhadap gerakan mahasiswa yang akan berdampak pada terkekangnya kebebasan demokrasi di Indonesia. Lihat https://komsas-malang.hmi.or.id/read/1792/kader-berbagi/sekilas-tentang-sejarah-hmi-mpo-majelis-penyelamat-organisasi.html

[3]  Lihat Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP) (Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007), hlm. 8. Sekedar catatan untuk menambah wawasan terkait memahami NDP, bahwa Hans-Georg Gadamer seorang filsuf, jelas Komaruddin Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama (1996:195), Fazlur Rahman menggunakan metode double movements dalam mengkaji sejarah, yaitu melakukan perjalanan intelektual ke masa lalu untuk menelusuri dan memasuki bilik-bilik peristiwa historis dan kemudian kembali ke masa kini dengan fakta dan pemaknaan yang mengacu ke masa depan. Dulu dan esok dipertemukan oleh pemaknaan hari ini oleh subyek pelaku dan penafsir sejarah itu sendiri. Secara hermeneutik, cara Hans-Georg Gadamer bisa diterapkan juga oleh anak-anak HMI dalam mengkaji NDP. Artinya, dari sudut pandang hermeneutik, latar belakang pendidikan pengarang NDP, lingkungan kerja, konteks historis, sosiologis, dan psikologis penulis harus juga dipahami dengan kritis. Dan, dalam memahami NDP, harus diingat juga pesan tiga guru pencuriga dalam tradisi hermeneutik. Tiga guru pencuriga itu: Marx, Nietzsche, dan Freud. Tentang guru pencuriga bisa dibaca tulisan saya di: https://catatannaniefendi.blogspot.com/2023/11/tiga-guru-pencuriga-dalam-tradisi.html?m=1. Dan perlu juga diingat, bahwa Al Quran sendiri terbuka untuk ditafsirkan apalagi NDP. Yang penting penafsirannya adalah untuk kepentingan masa depan. Artinya, sebagaimana cara Gadamer, mempelajari masa lalu, dengan perspektif saat ini, untuk kepentingan masa depan. Dan Azhari Akmal Tarigan telah mencoba melakukan tafsir atas NDP. Dari perspektif teori "dekonstruksi"-nya Jacques Derrida, NDP tak dilarang untuk didekonstruksikan juga. 

[4] Ibid. h.9

[5] Mar’ie Muhammad adalah Menteri Keuangan di era Orde Baru. Ia diberi gelar “Mr. Clean” karena perjuangannya memberantas korupsi pada era yang masih sarat dengan korupsi.

[6] Ibid.

[7] Lihatnya, misalnya, Bab III NDP HMI.

0 komentar:

Posting Komentar