alt/text gambar

Kamis, 16 Mei 2024

MEMAHAMI GUS DUR

Oleh: Arief Budiman


Acara diskusi yang digelar Jakarta Post pada 25 April lalu berjudul “Memahami Gus Dur”. Ketika dilangsungkan acara tanya-jawab, seorang peserta menyatakan, “Mengapa kita saja yang harus berusaha memahami Gus Dur? Mengapa Gus Dur tidak berusaha memahami kita?” Pertanyaan ini segera mendapatkan sambutan yang gegap gempita. 

Ketika Gus Dur berhasil menduduki kursi kepresidenan, memang banyak orang yang merasa lega dan menaruh harapan besar kepadanya. Betapa tidak? Gus Dur adalah kombinasi tiga faktor yang dalam sejarah jarang bertemu. Dia adalah oang yang cerdas dan maju pemikirannya, dia adalah seorang pemimpin Islam yang disegani, dan dia berhasil menjadi presiden. 

Sebagai orang yang punya pandangan yang maju, Gus Dur punya komitmen yang tinggi terhadap demokrasi dan pluralisme. Sebagai seorang demokrat, dia percaya bahwa orang berhak punya pendapat yang berlainan. Inilah yang menyebabkan dia tetap mau mencabut Ketetapan MPRS XXV/1966, yang melarang ajaran Marxisme-Leninisme. Bagi Gus Dur pelarangan ini tidak demokratis. Sedangkan sebagai seorang pluralis, dia percaya benar bahwa minoritas punya hak hidup. Gus Dur melindungi minoritas Kristen dan Cina dari tekanan mayoritas Islam dan pribumi. 

Sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama, Gus Dur diharapkan bisa memimpin umatnya untuk membawa bangsa ini menuju ke sebuah masyararakat yang lebih baik. Dipilihnya Megawai menjadi wakil presiden untuk memperkuat pemerintahan Gus Dur juga merupakan pencapaian politik yang besar karena massa kaum nasionalis pun bisa dibawa ke arah tujuan ini. maka, diharapakan pemerintah Gus Dur-Mega ini bisa membawa Indonesia melakukan transisi ke demokrasi dengan tenang dan damai. Dan sebagai presiden, dia bisa menggunakan birokrasi negara untuk mencapai tujuan ini. 

Calon pemimpin lain saya kira tidak punya kualitas seperti ini. Inilah yang membuat orang sukar melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan. Banyak orang berpikiri, meskipun Gus Dur amburadul, orang-orang yang mungkin menggantikannya lebih amburadul. 

Namun, akhir-akhir ini tingkah laku Gus Dur sungguh-sungguh mengecewakan. Pemecatan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla tanpa alasan yang jelas, dan digantikannya mereka dengan orang-orang yang kualitasnya dianggap tidak sama baiknya, membuat banyak orang merasa kecewa. Ini karena (terutama) Laksamana Sukardi dikenal sebagai profesional yang jujur dan bersih. Perlu dicatat, orang-orang yang kecewa ini bukanlah “komplotan” yang punya ambisi pribadi mau menyingkirkan Gus Dur. Mereka adalah orang yang berusaha mendukung Gus Dur karena pandangan-pandangan Gus Dur yang maju. 

Kemudian, sikap Gus Dur dalam menghadapi peristiwa Banser yang menduduki kantor Jawa Pos juga sangat mengecewakan . Bukannya secara keras menyesali tindakan anak buahnya yang membahayakan kehiduan pers yang bebas ini, dia malah menuduh Jawa Pos terlibat dalam komplotan yang mau menjatuhkannya. Ini hanya karena Jawa Pos memberitakan bahwa adiknya, Hasjim Wahid, terlibat praktek KKN, dan kemudian salah mengutip nama Hasjim Wahid menjadi Hasjim Muzadi, sang ketua NU. 

Saya kira Gus Dur memang benar bahwa ada komplotan yang mau menjatuhkan dia. Tapi apakah ini sebuah masalah?Ini kan sesuatu yang wajar-wajar saja? Gus Dur tidak usah sesumbar mengenai hal ini sepanjang orang-orang yang mau mengganti Gus Dur itu tidak menggunakan kekerasan atau cara=cara lain yang melanggar hukum. Kalau Gus Dur selalu mengaitkan setiap orang yang melakukan kritik terhadap dirinya sebagai “komplotan yang mau menggulingkannya” dan kemudian Banser datang menyerbu, wah, kita benar-benar sedang memasuki era Orde Baru edisi kedua

Saya masih ingat bahwa “Panglima Besar Revolusi Mandataris MPRS/Presiden Seumur Hidup Soekarno” menuduh orang-orang yang mengkritiknya sebagai “kontrarevolusi, antek imperialisme Amerika Serikat dan Inggris, alat Nekolim dan Oldefos, yang mau menggulingkan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno”. Pada zaman Soeharto, istilah tuduhan ini berganti menjadi “unsur-unsur subversi komunisme yang mamu menggagalkan negara Pancasila dan mengganti Soeharto sebagi presiden.” Sekarang Gus Dur tampaknya mau mengganti istilah ini dengan “komplotan yang mau mengganti Gus Dur.” Lalu, apa bedanya? 

Memang harus dipahami juga bahwa dalam hal adanya keluarga atau orang-orang yang dekat dengan Gus Dur tiba-tiba menduduki posisi penting, baik di lembaga negara maupun dalam perusahaan swasta, itu tidak berarti Gus Dur langsung terlibat dalam praktek KKN. Adalah kenyataan ada banyak orang, dalam rangka memperkuat posisinya atau untuk mendapatkan fasilitas bisnis, berusaha mendekati keluarga atau orang-orang yang dekat dengan Gus Dur dan memberi mereka posisi. Orang-orang yang didekati ini bisa keluarga Gus Dur, petinggi di pesantren-pesantren, fungsionaris NU, atau teman dekat Gus Dur lainnya. Semua ini “wajar” saja di dunia yang serba bersaing dan orang mencari berbagai kesempatan. Orang yang beada di pusat kekuasaan dan keluarganya memang menghadapi banyak godaan. 

Tapi wajar juga kalau ada harapan dari orang-orang yang bersimpati kepada Gus Dur supaya Gus Dur mencegah semua ini. Paling sedikit sebuah pernyataan yang keras, yang menunjukkan bahwa dia marah dan tidak senang dengan praktek semacam ini, harus disuarakan oleh Gus Dur. Bukan dengan menuduh adanya “kelompok” yang mau menjatuhkan dirinya. Kelompok ni memang ada dan justru karena itulah Gus Dur harus menunjukkan bahwa dia tidak senang dengan segala macam praktek yang berbau KKN ini. 

Harus diingat, dalam sebuah rezim otoriter, masalah politik adalah masalah tekanan dan kekerasan, sementara dalam sebuah sistem politik yang demokratis, masalah politik menjadi masalah komunikasi dan persepsi. Gus Dur harus memperbaiki komunikasinya dengan masyarakat untuk memperbaiki persepsi masyarakat terhadapnya. Sejak pemecatan Laksaamana dan Jusuf Kalla, tampak jelas bahwa komunikasi antara pemerintah dan masyarakat menjadi macet dan persepsi masyarakat terhadap pemerintahan Gus Dur menurun secara cepat. Dengan selalu bicara “hak prerogatif” dan “adanya komplotan yang mau menyingkirkan dia”, apalagi ditambah dengan intimidasi Banser, tanpa terasa Gus Dur sedang tergelincir masuk ke dalam sebuah pemerintahan yang otoriter. 

Semua ini harus secepatnya dicegah. Saya memang akan senang sekali kalau Gus Dur mau mengubah sikapnya. Tapi, ketimbang mengharapkan Gus Dur berubah, mungkin lebih baik kita memperkuat unsur-unsur masyarakat supaya bisa selalu mengontrol pemerintah. Demokrasi pada akhirnya kembali kepada bangkitnya kekuatan masyarakat untuk mengimbangi kekuatan negara. Demokrasi tidak bisa diandalkan kepada sang pemimpin karena demokrasi yang tidak berdasarkan kekuatan rakyat merupakan demokrasi yang rapuh. 

Bagi saya, kemenangan Gerakan Reformasi 1998 bukanlah karena kita bisa mendudukkan Gus Dur dan Mega sebagai pemimpin negara ini. Tapi reformasi telah berhasil membangkitkan kekuatan rakyat atau people’s power kembali. Inilah yang harus dipertahankan. Siapa pun yang menjadi pemimpin nanti akan dikontrol oleh kekuatan rakyat ini. Hanya dengan begini, saya kira, bangsa ini bisa menghasilkan pemerintah yang selalu melayani kepentingan rakyatnya. 

Apa yang harus kita lakukan terhadap Gus Dur? Kalau kita mau tetap percaya kepada Gus Dur untuk memimpin bangsa ini, orang-orang yang dekat dan dihormati oleh Gus Dur, seperti para kiai senior dari kalangan pesantren NU atau tokoh seperti Nurcholish Madjid, harus melakukan inisiatif untuk menyadarkan Gus Dur dari tindakan-tindakannya yang salah. Sedangkan orang-orang yang berada di kalangan luarnya harus senantiasa melakukan kritik terhadap segala tindakan yang salah ini, misalnya dalam hal pemecatan kedua menteri, permasalahan pengangkatan sang adik, Hasyim Wahid, serta sikap Gus Dur dalam persoalan Banser-Jawa Pos. Citra Gus Dur sangat dirugikan oleh peristiwa-peristiwa ini. Kalau Gus Dur gagal menyadari hal ini, dan karena itu “tidak mau repot” untuk berbuat sesuatu, mungkin ini merupakan tanda-tanda dari proses kejatuhannya.

Ya, memang benar, pada akhirnya kita harus berhenti mencoba memahami Gus Dur. Kini giliran Gus Durlah yang memahami kita, rakyat Indonesia, kalau dia mau terus mendapatkan kehormatan untuk memimpin bangsa ini. 

Gus Dur sebelum menjadi presiden, saya kenal sebagai seorang intelektual yang cerdas dan tajam. Apakah benar yang dikatakan Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup? Semakin besar kekuasaan seseoarng, semakin besar pula dia mengorup pribadi sang pemimpin?


Arief Budiman, Pengajar Politik di Universitas Melbourne


Sumber: TEMPO, NO. 11/XXIX/ 15-21 MEI 2000

Sabtu, 11 Mei 2024

ARIEF BUDIMAN, AKTIVISME DAN DISKURSUS PUBLIK

Tulisan Ignas Kleden ini bisa dibaca juga dalam buku "Mempertimbangkan Warisan Arief Budiman" (2021) yang dieditori Hamid Basyaib dan Dodi Ambh: Ignas Kleden, Sosiolog

(Kompas, 12 Mei 2020)


Arief Budiman adalah pribadi yang cukup sering menimbulkan kebingungan dan bahkan kontroversi, tidak saja selama hidupnya, tetapi bahkan setelah akhir hayatnya pada 23 April 2020.


Apak kiranya yang membuat sikap dan pemikirannya selalu jadi perhatian dan perdebatan publik? Sebelum ke Amerika Serikat dan meneruskan studinya, dia banyak terlibat kegiatan seni dan khususnya sastra. Dia banyak berkenalan dengan pelukis dan bahkan turut berlatih melukis meskipun tak pernah membuat pameran lukisannya. Dengan kata lain, Arief tak punya kontribusi karya dalam seni lukis meski dia dikenal dan populer di kalangan pelukis seperti Zaini dan Nashar. 


Dalam sastra, nama dia tak bisa dilewatkan karena dia bergiat menulis cukup banyak esai di majalah Star Weekly tempat PK Ojong bekerja sebagai wartawan sebelum mendirikan Kompas. Dia menjadi seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan dengan konsep yang disusun Wiratmo Soekito dan diumumkan pada 17 Agustus 1963. 


Manifes itu ditandatangani sejumlah seniman, tokoh sastra dan kebudayaan, beberapa pelukis, dan seorang musikus. Arief Budiman turut menandatangani masih dengan nama aslinya, Soe Hok Djin, di samping nama-nama yang dikenal umum seperti HB Jassin, Wiratmo Soekito, Trisno Sumardjo, Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, Boen Sri Oemarjati, pelukis Nashar dan Zaini, muikus Binsar Sitompul, serta sejumalh seniman lain. 


Manifes itu mendapat serangan gencar dari seniman-seniman kiri dalam Lekra dan kemudian dilarang oleh Presiden Soekarno. Pelarangan itu menyebabkan beberapa orang yang bekerja di kantor-kantor pemerintah kehilangan pekerjaan, seperti HB Jassin, Wiratmo Soekito, atau Boen Sri Oemarjati. 


Ssesudah lewat peristiwa G30S, dan suasana sastra dan budaya menjadi tenang dan bebas dari intimidasi seniman kiri akibat dibubarkannya PKI, Arirf Budiman bersama penyair Taufiq Ismail dan cerpenis Ras Siregar menemui Mochtar Lubis membicarakan ide menerbitkan sebuah majalah kebudayaan. Mochtar Lubis ditemui di penjara di Jalan Keagungan pada tahun kesembilan penahanannya, bersama tahanan politik lainnya seperti M Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Yunan Nasution, dan beberapa tokoh lain. Ketiga orang muda itu meminta Mochtar Lubis (yang beberapa hari lagi akan bebas) agar mau menjadi pemimpin redaksi dan penanggun jawab majalah kebudayaan yang direncanakan. 


Meskipun belum jelas pendanaannya dari mana atau dari siapa, Mochtar Lubis menyetujui permintaan itu. Majalah itu akhirnya diberi nama Horison dengan nomor pertama terbit pada 1 Juli 1966. Yayasan pendiri majalah Horison beranggotakan Mochtar Lubis, PK Ojong, Zaini, Arief Budiman, dan Taufiq Ismail. Redaksi pertama terdiri dari Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksi dan penanggung jawab, dengan anggota redaksi HB Jassin, Zaini, Taufiq Ismail, DS Moeljanto, dan Arief Budiman. 


Tahun 2016, Horison genap berusia setengah abad dan menjadi majalah sastra paling tua di Indonesia dan sebuah majalah sastra yang terhitung tua di dunia. Muncul pemikiran untuk mengalihkan majalah ini dari versi cetak menjadi majalah online, terhitung sejak 1 Agustus 2016. Karena tiga pendiri (Mochtar Lubis, PK Ojong, dan Zaini) telah meninggal dunia sebelumnya, tinggal dua pendiri, yaitu Arief Budiman dan Taufiq Ismail, yang memutuskan dilakukannya perubahan besar bentuk dan wujud majalah itu. 


Patut dicatat Arief Budiman bukanlah sastrawan dalam arti sempit, karena dia tak menulis sajak, novel, atau cerita pendek yang diterbitkan, meskipun dia banyak menulis esai yang tidak selalu langsung berhubungan dengan sastra, tetapi mengajukan pemikiran yang memengaruhi tanggapan terhadap sastra. Perhatiannnya terhadap kritik sastra dan teori sastra cukup terlihat ketika dia bersama Goenawan Mohamad mengumumkan suatu bentuk kritik berdasarkan Gestaltpsychologie Jerman, yang dirumuskan sebagai kritik Ganzheit. 


Langsung atau tidak langsung kritik Ganzheit menjadi alternatif terhadap kritik akademis yang dikembangkan oleh kubu Rawamangun pada waktu itu, yang pada dasarnya bertolak dari analisis karya sastra, oleh pengajar sastra Indonesia. Dalil Ganzheit adalah suatu karya sastra harus ditanggapi sebagai suatu keseluruhan karena hanya dalam keseluruhan karya itu memperlihatkan suatu makna yang hidup. 


Sebaliknya, dengan analisis, suatu karya seakan dibedah menjadi bagian-bagian yang terpisah dan membuat karya itu menjadi sesuatu yang mati dan kehilangan maknanya. 


Dilihat dari masa sekarang, Ganzheit dan analisis bukanlah dua metode yang perlu dan dapat dipertentangkan secara anatagonistis. 


Kontekstualisasi, dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi

Seorang filsuf Jerman, Georg Gadamer, dengan memakai teori hermeneutik, menunjukkan tiga tahap pemahaman yang akan selalu ditemukan dalam persepsi setiap orang terhadap suatu obyek. Pada tahap pertama, setiap obyek ditanggapi sebagai suatu Gestalt atau Ganzheit yang bermakna. Gadamer menggunakan istilah bahasa Latin dan menyebutnya subtilitas intelligendi. Orang hanya menangkap dalam persepsi yang dipahaminya, dan sebaliknya, sesuatu yang tidak dipahami akan luput dari persepsi. 


Tahap kedua, dinamakannya subtilitas explicandi, yaitu mengeksplisitkan bagian-bagian dari suatu keseluruhan, untuk mempelajari bagaimana bagian-bagian itu membangun suatu keseluruhan. Inilah tahapan yang biasa dikenal dalam kritik sastra sebagai analisis. Dalam teknik otomotif, inilah tahapan meninjau onderdil sebuah mobil atau sepeda motor, misalnya. 


Akan tetapi, tahapan analisis itu bermanfaat sebagai persiapan bagi tahapan ketiga yang dinamakannya subtilitas applicandi, berupa kemungkinan untuk menyusun bagian-bagian itu secara lain sehingga menjadi suatu keseluruhan baru. Ibaratnya orang menguraikan berbagai bagian mobil untuk melihat kemungkinan merekonstruksinya menjadi sebuah tank dalam perang. Mobil adalah suatu keseluruhan lama, tetapi melalui uraian bagian-bagiannya dapat dilihat kemungkinan menyusunnya secara lain, sehingga muncul suatu obyek lain yang juga bermakna, tetapi mempunyai makna baru dan maksud baru.


Peran Arief dalam sastra pada dasarnya adalah peran seorang aktivis, yang menggerakkan kehidupan sastra, dengan gagasan yang mengganggu atau mengguncang perasaan puas diri di kalangan sastrawan atau para kritikus sastra. Dalam kegiatan itu, dia tidak selalu melihat secara komprehensif ide yang diusulkannnya, baik dalam aspek-aspek lain yang mungkin penting dalam persoalan itu maupun dalam relasi-relasi yang ada dengan gagasan-gagasan lain tentang masalah yang sama. 


Kekhasan Arief adalah memberi fokus pada suatu tema dan memberinya tekanan kuat tanpa banyak sofistikasi sehingga mudah dipahami dan diterima oleh orang lain. Kekhasan lain ialah hal itu dikemukakan dengan suatu kesungguhan, kejujuran, dan kecintaan, yang menyebabkan banyak aspek yang tidak dilihatnya, dengan mudah dimaafkan. 


Dalam tulisannya bejudul “Esai tentang Esai”, dia mengutip Ensiklopedi Britanika, yang mendefinisikan esai sebagai “prosa yang mempersoalkan suatu persoalan secara mudah dan sepintas lalu—tepatnya mempersoalkan suatu persoalan sejauh persoalan tersebut merangsang hati penulis”. Saya merasa, Arief menerapkan pengertian esai seperti itu dalam berbagai aktivisme yang dilakukannya, dengan modalitas yang sama, yaitu mudah dan sejauh merangsang hati sang aktivis. 


Hal ini berulang kembali dalam diskusi sastra setelah dia kembali dari studinya di Amerika Serikat. Dia memperkenalkan apa yang dinamakan sastra konstekstual, yaitu sastra yang ditulis berdasarkan pengalaman hidup seorang sastrawan dalam konteks hidup yang dialami dan dikenalnya dari dekat. Menurut dia, seorang sastrawan Indonesia lebih meyakinkan menulis tentang kehidupan di desa atau kehidupan urban yang dikenalnya sebagai migran daripada berkhayal tentang salju musim dingin atau pohon-pohon yang seakan meranggas di musim gugur dan kembang yang bermunculan secara serentak pada musim bunga di negara dingin. 


Tentu saja ini suatu usul tentang realisme yang dilaksanakan, misalnya, oleh pengarang Rusia, Maxim Gorky (dicalonkan lima kali untuk Hadiah Nobel untuk sastra, tanpa hasil), yang membuat banyak perjalanan ke berbagai tempat di Rusia sebelum menulis novel-novelnya. Kekhasan usul Arief ialah bahwa realisme itu sebaiknya kontekstual, bertolak dari konteks hidup yang dihayati, dan mendalaminya di dalam cerita yang dikembangkan. 


Teori tentang konteks dalam sastra diuraikan oleh filsuf post-strukturalis Perancis, Paul Ricoeur. Menurut Ricoeur, konteks tidak pernah bersifat statis, karena sebuah konteks selalu dapat di-dekontekstualisasi-kan dan selanjutnya dapat di-rekontekstualisasi-kan kembali. Ini berlaku dalam sastra, dalam filsafat, dalam politik, dan bahkan dalam ekonomi. Konteks drama Macbeth karya Shakespeare adalah Kerajaan Skotlandia pada abad ke-16. Seorang jenderal kerajaan iru dikenal sukses dan gagah berani dalam tiap pertempuran. 


Namanya Macbeth. Suatu ketika tiga tukang sihir meramalkan bahwa sekali waktu dia kan menjadi raja Skotlandia. Terdorong oleh ambisinya sendiri dan setelah dipanas-panasi oleh istrinya, Macbeth akhirnya membunuh Duncan, yang menjadi raja Skotlandia masa itu. Macbeth mengambil alih takhta kerajaan. Tetapi, dia tak dapat menghindari perasaan bersalah dan paranoia yang selalu memburunya. Untuk mengamankan diri dan kekuasaannya, dia membunuh semakin banyak orang dan memerintah sebagai seorang tiran. Muncul kemudian kekacauan dan perang saudara yang membuat Macbeth dan Lady Macbeth gila dan akhirnya meninggal. 


Ketika Parfi (Persatuan Artis film Indonesia) mementaskannya di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, pada beberapa hari bulan Maret 1980, dapat dilihat dekontekstualisasi yang berani. Suasana kerajaan Skotlandia telah dipindahkan ke Tanah Batak. Kita tak tahu apakah pemindahan konteks itu dilakukan oleh Rendra yang menyadur cerita Macbeth menjadi Makbet, atau dilakukan sutradara pementasan di TIM saat itu. Akan tetapi, jelas konteks itu mengalami dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi dalam pementasan. 


Hal yang sama beraku dalam filsafat. Apa gunanya mempelajari teori negara pada Plato yang hidup di Athena antara abad VI dan abad V sebelum Masehi untuk keperluan sebuah negara modern sekarang di abad XXI Masehi? Hal ini mungkin dilakukan hanya apabila konteks Plato dan filsafatnya didekontekstualisasikan dan direkontekstualisasikan untuk keperluan tata negara dan politik suatu negara masa sekarang.


Aktivisme tanpa pamrih

Setelah kembali dari Universitas Harvard, aktivisme Arief beralih dari bidang sastra ke bidang sosial politik dan sosial ekonomi. Peralihan ini sangat logis karena peranan aktivis tetap dilaksanakan, hanya berpindah ke sektor lainnya. Namun, yang tetap sama adalah kebiasaan atau bakatnya sebagai seorang aktivis. Dia mampu menerangkan suatu gejala dengan jelas dan sederhana. Sahabatnya, Goenawan Mohamad menulis bahwa hal ini dimungkinkan karena Arief berpikir berdasarkan idealisasi. 


Secara lebih teknis, saya kira maksud Goenawan adalah berpikir berdasarkan suatu ideal type, sebagaimana diajarkan oleh Max Weber. Suatu ideal type adalah suatu konstruksi dalam teori yang dibangun sebagai suatu kesempurnaan logis, yang maksudnya adalah menjadi referensi pembanding, tatkala seorang melakukan penelitian empiris. Akan dilihat sejauh mana keadaan empiris mendekati atau malah sangat jauh dari ideal type yang dibangun. 


Dengan cara itu, Arief dengan relatif mudah dan sederhana mengatakan kemiskinan di Indonesia tidak akan hilang apabila ekonominya tetap mengikuti jalan kapitalis. Hanya dalam sosialisme kemiskinan dapat diatasi. Pernyataan ini adalah suatu ideal type bukan suat proposisi empiris. 


Menurut ideal type ini kapitalisme menghasilkan akumulasi modal karena selalu ada nilai lebih yang diambilnya dari upah tenaga pekerja, yang dibayar kurang dari upah yang seharusnya. Dengan cara ini, kaum pekerja tidak akan meningkat taraf hidup dan kesejahteraannya dan semakin merana. 


Meski demikian, dalam sejarah industri di Barat, ternyata taraf hidup pekerja juga diperbaiki dan dapat meningkat, karena hal ini disengaja oleh kaum kapitalis, yang sadar bahwa kaum pekerja harus dicegah dari kejatuhannya ke dalam kemelaratan total, yang dapat membawa mereka kepada semangat revolusioner untuk menghancurkan kapitalisme. Apa yang oleh Karl Marx diramalkan sebagai Verelendung atau immiseration atau kemelaratan kaum pekerja dalam industri tidak terjadi. Yang terjadi adalah perbaikan taraf hidup dan kesejahteraan kaum pekerja. 


Sebalinya, di negara sosialis seperti Uni Soviet, kemiskinan dapat terjadi secara parah. Sejak 1928, Stalin memerintahkan dilaksanakan dorong besar (big push) dalam industri di Uni Soviet setelah Stalin mendapat kekuasaan penuh tahun 1927. Dorongan besar itu dilakukan melalui realokasi sumber daya dan tenaga kerja dari pertanian ke industri. Pertumbuhan ekonomi Rusia mencapi 6 persen setahun, yang belum pernah terjadi sebelumnya di Rusia. Akan tetapi, produktivitas terpusat di industri berat, sedangkan pertanian mengalami kolektivitasi yang menghilangkan hak milik para petani, dan itu menghilangkan insentif ekonomi dalam bidang pertanian. 


Pada akhirnya, realokasi sumber daya dari pertanian tak mampu dilanjutkan karena sumber daya dalam pertanian sudah terpakai habis. Pertumbuhan ekonomi terhenti, ekonomi macet, kemiskinan menerpa kaum petani, dan enam juta penduduk mati kelaparan. Ini artinya dalam suatu negara sosialis dapat terjadi Verelendung atau immiseration, dan bukan dalam sistem kapitalisme. Namun, kecenderungan Arief sebagai aktivis ialah mengabaikan perkembangan historis dan empiris ini, dan tetap menjelaskan sosialisme berdasarkan suatu ideal type yang sempurna secara logis dan teoritis, tetapi tidak historis dan tidak empiris. 


Apa yang menyelamatkan Arief adalah integritas pribadinya sebagai aktivis. Dia tidak berusaha mencari popularitas, apalagi dia tidak berbakat menjadi burung merak seperti Rendra, misalnya. Dia juga tidak mencoba mencari kesempatan untuk memperoleh suatu keuntungan material atau keuntungan politik dari aktivismenya, dan dia adalah seorang yang jujur dalam tindakan dan dalam ucapan-ucapannya. Aktivisme dalam bidang sastra dan dalam bidang sosial politik dan sosial ekonomi telah membangun suatu pengaruh publik melalui pendapat-pendapat dan aksi-aksinya. 


Arief bukanlah tokoh yang penting dalam sastra, karena dia tidak mempunyai karya sastra yang dapat kita baca, tetapi sastra menjadi penting karena aktivisme Arief, yang membuat sastra menjadi medan yang hidup dan dinamis. Arief juga bukanlah orang yang mempunyai prestasi menonjol dalam ilmu-ilmu sosial, tetapi teori-teori ilmu sosial menjadi hidup karena aktivisme Arief, yang mahir menerapkannya demi suatu perubahan sosial yang dikehendaki, atas cara yang sederhana, mudah dipahami, dan selalu menarik. Idealisme moral pada Arief menjelma menjadi ideal type dalam sosiologinya. Pada akhirnya, Arief Budiman menjadi tokoh yang dikenang, dihormati, bahkan dicintai, karena dia hidup untuk suatu aktivisme yang tanpa pamrih, yang sanggup menggerakkan diskursus publik, mungkin tanpa dia sendiri sepenuhnya sadar akan peran tersebut. 


Sumber: Kompas, 12 Mei 2020

Kamis, 09 Mei 2024

POLITISI ITU ADALAH MEMIMPIN

 

Selama Jepang berkuasa di Indonesia, menurut sosiolog Ignas Kleden, para pemuda kita hanya dilatih baris-berbaris dan berkelahi. Mereka tak dilatih memimpin. Dan itu ternyata berpengaruh pada kehidupan politik di Indonesia hingga kini: kebanyakan pemuda kita yang ikut berpolitik—seperti dalam pilkada, misalnya—hanya tahu serang-menyerang antar simpatisan: mereka hanya siap berkelahi dan "baris-berbaris" mendengar komando dari sang kandidat. Karenanya, ketika diberi kekuasaan, mereka jadi penindas, bukan pemimpin. Padahal, berpolitik itu bertujuan memimpin, bukan menindas. Menjadi politisi itu, idealnya, adalah menjadi pemimpin. 

SUTAN SJAHRIR, ETOS POLITIK DAN JIWA KLASIK (Bagian Pertama)

Oleh: Ignas Kleden


Dalam dua pucuk suratnya yang ditulis dari penjara Cipinang dan dari tempat pembuangan di Bovel Digoel, Sjahrir mengutip sepenggal sajak penyair Jerman, Friedrich Schiller. Dalam teks aslinya, kutipan itu berbunyi: und setzt ihr nicht das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonen sein—yang maknanya: hidup yang tak dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan. 

Menurut pengakuannya, kalimat-kalimat yang indah itu dikutipnya dari luar kepala. Jadi kita dapat meduga petikan tersebut sangat disukainya dan besar artinya buat hidupnya. 

Membaca tulisan-tulisan Sutan Sjahrir muncul kesan yang sangat kuat dalam diri saya bahwa bagi dia politik bukanlah perkara yang sangat digandrunginya, tetapi lebih merupakan perkara yang tak terelakkan dalam hidupnya. Demikian pula politik untuk dia tidak terutama berarti merebut kekuasaan dan memanfaatkan kekuasaan itu, bukan machtsvorming & machtsaanwending menurut formula Bung Karno.

Politik juga bukan persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana diyakini oleh pelaksana money politics dewasa ini di Tanah Air kita. Bahkan, politik juga tidak sekadar mempertaruhkan kemungkinan untuk merebut kemungkinan yang lebih besar, sebagaimana yang kita pelajari dari Otto van Bismarck dari Prusia. 

Bagi Sjahrir, politik rupanya bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas instrumental atau Zweekrationalitaet yang diajarkan Max Weber. Bagi Sjahrir, politik lebih dari pragmatisme simplistis, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai atau Wertrationaliaet

Karena itulah, politik lebih dari sekadar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral. 

Kalau politik dalam pengertian Sjahrir bukan semua yang disebut di atas, apa gerangan politik menurut pandangan dia? Menurut tafsiran saya, kutipan dari Fredrich Schiller di atas adalah jawabannya. Kalau penggal sajak Schiller itu boleh kita parafrasekan, maka politik bagi Sjahrir adalah Leben einsetzen und dadurch das Leben gewinne—politik adalah mempertaruhkan hidup dan dengan itu memenangkan hidup itu sendiri. 

Konsepsi politik seperti itu kedengarannya terlalu halus kalau diperhadapkan dengan Realpolitik, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat internasional. Namun, di balik kehalusan itu tegak sebuah keberanian yang kukuh karena tanpa komplikasi, suatu kesahajaan yang menakutkan karena tanpa pretensi. 

Khusus untuk para politisi muda, konsepsi seperti itu membantu mengingatkan bahwa dalam politik ada keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat, ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Wajar belaka bahwa gagasan seperti itu tidak selalu mudah dipahami oleh banyak orang karena mengandaikan pengertian tentang beberapa asumsi yang filosofis sifatnya.

Mempertaruhkan hidup adalah suatu sikap dan perbuatan yang bisa juga dilakukan oleh orang-orang yang serba nekat. Namun, Sjahrir memperingatkan bahwa dalam politik, hidup dipertaruhkan untuk dimenangkan, bukan untuk disia-siakan atau dihilangkan dengan cara yang gampangan. Pada titik inilah dapat kita pahami kecemasannya tentang orang-orang muda di Indonesia pada masa selepas Perang Dunia II dan pada awal kemerdekaan. Mereka penuh tenaga dan determinasi, tetapi ketiadaan pegangan tentang bagaimana hidup mereka harus dimenangkan. 

Selepas Jepang menyerah kalah, Sjahrir mencatat dengan prihatin bahwa para pemuda terjebak di antara sikap nekat di satu pihak dan keragu-raguan di pihak lainnya. Semboyan “Merdeka atau Mati” ternyata dapat menjadi perangkap kejiwaan, karena selagi menyaksikan kemerdekaan belum sepenuhnya terwujud sedangkan kesempatan untuk mati belum juga tiba, maka para pemuda itu terombang-ambing dalam kebimbangan yang tak menentu. Ini semua terjadi karena, menurut Sjahrir, selama Jepang berkuasa di Indonesia, para pemuda kita hanya dilatih berbaris dan berkelahi, tetapi tak dilatih memimpin. 

Mengatakan bahwa Sjahrir melihat politik sebagai sikap mempertaruhkan hidup untuk memenangkan hidup, dapat memberi kesan bahwa dia mirip seorang politikus romantis yang tidak memahami bekerjanya mesin kekuasaan atau mechanics of power dalam politik praktis. Anggapan itu tidak sesuai dengan kenyataan hidup Sjahrir, baik kalau kita melihat sepak terjanganya dalam dunia politik maupun kalau kita membaca tulisan-tulisannya atau tulisan para pengamat dan kesaksian para sahabatnya. 

Feodalisme 

Di dasar hatinya, Sjahrir mendambakan kebebasan untuk setiap orang, yaitu individu-individu yang dapat menggunakan akal-pikirannya untuk bertanggung jawab terhadap cita-cita dan tindak perbuatannya masing-masing. Impian itu mempunyai beberapa konsekuensi yang amat nyata. 

Pertama, di dalam negeri, Sjahrir sangat cemas akan hidupnya kembali feodalisme lama dalam politik Indonesia yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik menjadi raja-raja versi baru yang tetap membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan. Karena itu, selain revolusi nasional dibutuhkan juga suatu revolusi sosial yang dinamakannya revolusi kerakyatan. 

Revolusi nasional harus didahulukan karena hanya dalam alam kemerdekaan, perjuangan menentang feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme dapat dilaksanakan. Kolonialisme Belanda, menurut Sjahrir, telah mengawinkan rasio modern dari Barat dengan feodalisme lokal dengan sangat cerdik, dan hasilnya adalah semacam fasisme terselubung yang menyiapkan lahan subur bagi fasisme Jepang. 

Seterusnya, partai-partai politik sebaiknya berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul tanggung jawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin. 

Sementara itu, dalam politik nasional, dia bersama Bung Hatta mendorong berkembangnya sistem multipartai agar kehidupan politik terhindar dari konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan saja. 

Kedua, secara internasional dia juga cemas melihat menguatnya fasisme yang ketika itu melebarkan sayapnya dari Spanyol, Italia, Jerman hingga ke Jepang. Dalam pandangannya, feodalisme lokal mudah sekali digabungkan dengan setiap kecenderunga totaliter karena massa rakyat yang tidak mempunyai pengertian dan keyakinan politik akan mudah saja dimobilisasi oleh seorang pemimpin politik melalui slogan, demagogi, dan sedikit pengetahuan tentang psikologi massa. Baik totalitarianisme maupun feodalisme mempunyai kesamaan watak dalam membunuh kebebasan perorangan yang pada akhirnya membuat manusia tak lebih dari budak kekuasaan. 

Kecemasannya terhadap totalitarianisme kanan, yakni fasisme, tidak lebih besar atau lebih kecil dari sikap awasnya terhadap totalitarianisme kiri, yakni komunisme. Entah dari kanan atau dari kiri, totalitarianisme selalu menindas kebebasan perorangan yang dianggap sepele dan tak berarti dalam berhadapan dengan suatu totalitas besar, entah itu bernama negara atau proletariat. 

Dalam politik internasional, keyakinan itu direalisasikannya dengan menolak berpihak pada dua totalitas besar pada waktu itu, yaitu blok politik dan blok keamanan yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris berhadapan dengan blok kiri yang dipimpin oleh Uni Soviet. 

Pembentukan Inter-Asian Relations Conference di New Delhi pada April 1947 mendapat dukungan penuh dari Sjahrir dalam kedudukannya sebagai perdana menteri Indonesia ketika itu. Seperti kita ketahui, konferensi itu menjadi embrio suatu politik luar negeri yang bebas dan aktif, yaitu politik yang turut bertanggung jawab terhadap perkembangan kejadian-kejadian dunia tanpa membangun afiliasi dengan salah satu dari blok-blok yang sedang bersaing. 

Dengan semangat seperti itu tidaklah mengherankan kalau Sjahrir berpendapat bahwa revolusi nasional harus segera disusul revolusi sosial yang dapat membebaskan rakyat dari kungkungan feodalisme lama dan dari jebakan-jebakan ke arah fasisme yang muncul bersama kapitalisme yang tak terkendali. Seterusnya, kemerdekaan nasional bukanlah tujuan akhir dari perjuangan politik, tetapi menjadi jalan bagi rakyat untuk merealisasikan diri dan bakat-bakatnya dalam kebebasan tanpa halangan dan hambatan. 

Karena itulah, nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi, dan bukan sebaliknya, karena tanpa demokrasi maka nasionalisme dapat bersekutu kembali dengan feodalisme lama yang hanya memerlukan beberapa langkah berikut untuk tiba pada fasisme. Dalam penilaian Sjahrir, inilah yang terjadi pada politik dan kepemimpinan Franco di Spanyol, Mussolini di Italia, Hitler di Jerman, dan Chiang Kai Sek di Tiongkok. 

Humanisme 

Kalau dalam negeri nasionalisme harus tunduk pada tuntutan demokrasi, maka dalam hubungan internasional, nasionalisme harus tunduk pada tuntutan humanisme karena kalau tidak, maka nasionalime itu dapat menjadi sumber ketegangan dan perseteruan di antara bangsa yang satu dan bangsa lainnya. Fasisme dalam negeri hanyalah wajah lain dari chauvinisme dalam pergaulan antarbangsa. Pada titik ini kelihatan bahwa bagi Sjahrir, politik adalah usaha dan upaya mewujudkan nilai-nilai martabat dan kesejahteraan manusia. 

Akan tetapi, nilai-nilai tersebut tak mungkin terwujud hanya dengan cara menghilangkan feodalisme dan menolak setiap politik yang totaliter. Taruhlah, tindakan-tindakan tersebut merupakan persiapan dan langkah-langkah secara negatif, maka kita dapat bertanya apa gerangan yang diusulkan Sjahrir sebagai langkah yang positif. Jawaban Sjahrir adalah edukasi, yaitu pendidikan dalam arti seluas-luasnya yang mungkin dikandung dalam pengertian itu.

Penekanannya pada edukasi inilah yang membuat Sjahrir demikian terlibat dan bahkan terpesona oleh beberapa urusan yang tidak begitu langsung berkaitan dengan politik. Di tempat pembuangannya di Banda Neira, teman-temannya yang paling akrab adalah anak-anak kecil yang hampir setiap hari bermain ke rumahnya, yang baju-baju mereka dia jahit sendiri dengan mesin jahit, yang diajaknya berenang dan bermain di pantai sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Mereka menjadi murid-murid pelajaran privat yang diberikannya, di mana mereka diajar membaca, menulis, berbahasa dengan benar, dan berani bertanya, dan dengan cara itu membuka pintu bagi mereka ke dunia ilmu pengetahuan. Kembali dari pembuangan, Sjahrir aktif lagi dalam pergerakan dan memberi perhatian khusus kepada para pemuda yang demikian penuh semangat, tetapi tidak diajarkan kepandaian memimpin, dengan akibat bahwa mereka selalu siap mati tanpa mengetahui mengapa mereka harus mati dan bukannya harus hidup dan menikmati hidup mereka.

Gabungan minat

Aneh tapi nyata bahwa di tengah kesibukan sebagai orang pergerakan, Sjahrir tetap memberi perhatian besar kepada perkembangan dunia ilmu pengetahuan, menulis pandangan tentang manfaat nuklir, mengikuti apa yang terjadi dalam seni dan sastra, melakukan studi-studi ilmu sosial, dan memberikan komentar tentang pemikiran-pemikiran filsafat pada masanya.

Gabungan minat dan kegiatan seperti ini hanya mungkin ada pada seorang pendidik, yaitu seseorang yang merasa bertugas melakukan transfer sejumlah pengetahuan kepada orang-orang yang dididiknya dan kemudian membantu transformasi pengetahuan tersebut menjadi seperangkat nilai agar nilai-nilai itu dapat diejawantahkan dalam sikap dan perbuatan.

Dalam kaitan ini, politik bagi Sjahrir pertama-tama berarti mendidik suatu bangsa dan rakyatnya untuk mandiri dan bebas. Kemandirian adalah lawan dari ketidakmatangan dan kebebasan adalah lawan dari ketergantungan. Karena itulah, dia selalu menekankan pentingnya dimensi-dalam atau aspek interioritas dari kebudayaan, politik, dan ilmu pengetahuan.

Dalam pandangannya, banyak kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu baru menjadi pemegang titel dan belum menjadi kaum intelektual. Mereka masih memperlakukan ilmu pengetahuan sebagai perkara yang bersifat lahiriah belaka dan sebagai barang mati dan ”bukan suatu hakikat yang hidup... yang senantiasa harus dipupuk dan dipelihara”.

Demikian pun tentang kebudayaan dan politik, Sjahrir menulis: Inilah inti persoalan: kita pada akhirnya adalah anak-anak zaman kita, dan kita mempunyai hati nurani. Sebutlah itu rasa respek terhadap diri sendiri, sebutlah itu kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan, sebutlah itu dengan nama apa saja—hati nurani itu berarti menguji diri sendiri pada pegangan batin kita, pada nilai-nilai, prinsip-prinsip, prasangka-prasangka, perasaan-perasaan dan naluri-naluri. Kita semua dalam diri kita mempunyai sedikit dari imperatif kategoris seperti yang dimaksud oleh Kant. 

Pada titik itu kita tahu Sjahrir lebih dari seorang Realpolitiker. Karena dalam politik tidak berlaku apa yang oleh Kant dinamakan imperatif kategoris, tetapi yang lebih dominan adalah imperatif hipotetis, yakni suatu perintah bersyarat, dan di sini syaratnya adalah akibat atau hasil yang bakal diberikan oleh pelaksanaan perintah tersebut.

Pokok pertimbangan adalah apakah dengan melakukan suatu perintah, seseorang akan memperoleh akibat yang dibayangkannya. Kalau seorang politikus Indonesia memperjuangkan nasib para petani dan nelayan dengan perhitungan bahwa dia akan memperoleh dukungan suara yang cukup dalam pemilu, maka politikus ini bertindak berdasarkan imperatif hipotetis. Tindakannya ini mungkin baik dan perlu, tetapi tak bisa dijadikan prinsip umum bagi tindakan orang-orang lain yang kebetulan tidak mempunyai minat untuk posisi politik.

Namun, kadangkala kita bertemu juga dengan orang-orang yang berjuang mati-matian untuk kelompok petani dan nelayan, meskipun tidak ada target politik padanya, semata-mata karena merasa bahwa kelompok ini layak dibela karena mereka juga mempunyai martabat dan hak-hak seperti orang-orang dari kelompok lain yang lebih beruntung. Di sini kita berjumpa dengan orang-orang yang bertindak berdasarkan imperatif kategoris karena prinsip tindakan mereka dapat digeneralisasikan menjadi prinsip tindakan semua orang lain, dan bahkan dapat dijadikan prinsip dalam pembuatan undang-undang.

Tidaklah mengherankan bahwa dalam suratnya dari penjara Cipinang tertanggal 22 Juli 1934, Sjahrir menulis: ”Hal meletakkan suatu dasar moral bagi politik dan kebudayaan lalu bisa dianggap sebagai politik dalam pengertian yang lebih luas”. 

Tak perlu diuraikan panjang-lebar bahwa dalam usaha melakukan pendidikan yang menghasilkan manusia yang bebas dan mandiri, Sjahrir melihat peranan besar yang dapat disumbangkan oleh ilmu pengetahuan. Dengan cukup intensif, dia memanfaatkan waktunya dalam tahanan, dalam pelayaran ke tempat pembuangan, dan dalam keterasingan di Digul dan Banda Neira untuk mengikuti perkembangan politik Indonesia dan politik dunia melalui koran-koran yang sampai ke tangannya, dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan melalui buku-buku yang kebetulan ada padanya.

Catatan-catatan dalam pelayaran ke Digul menunjukkan perhatian dan pengamatannya yang cermat tentang keadaan dan cara hidup orang-orang di pulau-pulau sebelah timur, dan sangat mirip catatan etnografis seorang antropolog profesional, meskipun masih penuh dengan prasangka-prasangka Eurosentris.

Demikian pula catatannya tentang sesama orang buangan di Digul menunjukkan simpati besar kepada manusia yang menderita tekanan lahir batin dan kehilangan harapan, yang kesulitan-kesulitan kejiwaan mereka, dicoba dipahaminya berdasarkan pengetahuannya tentang psikologi atau psikoanalisa. Sedangkan tentang penduduk asli di Digul, dia dengan hati-hati menulis:

Barangkali aku akan menulis sketsa-sketsa atau studi-studi mengenai etnologi, meskipun di lain pihak aku tidak pula suka menulis secara diletantis, secara awam. Dan tulisan-tulisanku itu sudah pasti tak bisa lain daripada bersifat diletantis saja, karena buku-buku penuntun yang perlu untuk itu tidak tersedia, dan aku tidak bisa mempergunakan buku-bukuku sendiri yang masih ketinggalan di Jawa, dan yang belum juga bisa dikirimkan kemari, meskipun aku sudah berusaha untuk itu. Kawan-kawan yang harus menguruskannya tidak mempunyai uang untuk mengirimkannya. 

Ignas Kleden, Sosiolog


Sumber: 

Kompas, Rubrik “Bentara”, 6 Mei 2006, hlm 40.

Kamis, 25 April 2024

Pendidikan, Bukan Sekolahan

 

Ariel Heryanto bersama Pramoedya Ananta Toer

Oleh: Ariel Heryanto

 

Pada hakekatnya, semua orang yang hidup sebagai makhluk sosial adalah kaum terdidik. Termasuk mereka yang tak pernah pegang pensil, tak pernah bersepatu, apalagi masuk halaman sekolah. Pendidikan merupakan bagian dari anugerah Allah bagi kita secara gratis.

Jadi, mengapa pendidikan ternyata dijadikan masalah besar dan berkepanjangan? Mengapa hampir setiap tahun ada berita kaum terpelajar muda mengobrak-abrik gedung sekolah atau menghajar guru dan kepala sekolah?

Terjungkir balik

Konon, pendidikan menjadi persoalan besar gara-gara sekolah tampil dalam kehidupan sosial. Lalu mengambil-alih dan memonopoli wewenang pendidikan dalam masyarakat. Paling tidak, begitulah kata seorang cerdik-cendekia di seberang laut, yang menjadi salah satu tanah-leluhur persekolahan. Jika pendapat itu benar, kita perlu bersyukur. Sebab, di tanah air ini belum terlalu banyak sekolah. Yang perlu diprihatinkan, mungkin, malah banyaknya orang di sekitar kita yang tergila-gila pada sekolah.

Bising dan ruwetnya masalah biaya, tenaga pengajar, gedung, dan buku untuk belajar, atau birokrasi, administrasi, dan akreditasi pada haekatnya bukan masalah pendidikan. Itu khas masalah sekolahan, tetapi bisa menjadi penyakit bagi pendidikan ketika kegiatan sosial di bidang pendidikan disrobot oleh sekolahan.

Dalam bahasa orang sekolah, apa yang sebenarnya berupa masalah sekolahan kemudian dibilang sebagai masalah pendidikan. Terjadilah penjungkir-balikan sejarah dan penyungsangan nalar serta kesadaran besar-besaran.

Sampai-sampai mereka yang tidak tersekolah, tapi terdidik, ikut-ikutan berpikir dan berbicara dengan bahasa sungsang demikian.

Pengertian sekolah diputar-balikkan dengan pengertian pendidikan. Perhatikan bagaimana orang-orang sekolahan membicarakan diri mereka satu sama lain. Ketika berbicara tentang biaya pendidikan yang bakal mereka nikmati, sebenarnya mereka bicara tentang biaya persekolahan. Jenis sekolah dibilang jenis pendidikan. Tingkat sekolahan terakhir yang mereka tempuh disebut sebagai pendidikan terakhir. Seakan-akan pendidikan punya tanggal pendaftaran dan tanggal tamat belajar, seperti sekolahan.

Dan yang paling keji dari ucapan mereka adalah sebutan untuk sebagian besar warga desa atau warga bangsa yang jauh dari pulau Jawa sebagal kaum "tak-terdidik". Alasannya sederhana, dan sembrono: mereka tak tersekolah!

Buat apa, demi siapa?

Tidak semua atau bahkan tidak banyak kaum tersekolah yang berhati keji atau berniat jahat. Mungkin justru sebaliknya, banyak di antara mereka yang secara tulus bercita-cita mulia. Persoalannya, sejauh mana usaha mereka untuk mewujudkan niat mulia itu ditopang oleh melembaganya persekolahan dalam masyarakat?

Bahasa orang sekolahan yang secara lumrah memutar-balikkan pengertian sekolahan dan pendidikan memberikan tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Jangan-jangan ini merupakan bagian luar dan terkecil dari penyakit yang lebih gawat tapi terpendam atau tersamar. Sungguh gawat, jika dengan bahasa dan praktek sosial besar-besaran kita menilai tingkat pendidikan seseorang terutama berdasarkan tingkat sekolahnya.

Lebih gawat lagi, jika sebagian besar warga masyarakat yang tak tersekolah ikut-ikutan percaya pada kebijakan penilaian dan penghargaan semacam itu. Sampai-sampai meluasnya suatu ketahyulan bahwa seseorang perlu bersekolah untuk menjadi orang yang berpendidikan. Soalnya yang paling mendasar bukanlah karena kita tak punya banyak sekolah, biaya bersekolah yang semakin tahun semakin tinggi, sementara banyak orang kita yang miskin. Bukan soal-soal sesepele itu.

Soal yang paling mendasar ialah apa yang terjadi di sekolah dan berkaitan dengan itu kemana arahnya kejadian-kejadian di sekolah itu?

Di sekolah, anak-anak muda yang sehat diajar belajar dengan setumpuk biaya (sebagian dari keringat rakyat), sederet aturan dan kewajiban, dan yang terpenting lagi demi sederet tujuan. Biasanya tujuan-tujuan itu berbunyi merdu-merayu. Tetapi di berbagai negerl, hasil nyata persekolahan itu tidak tertuju sebagaimana pernah dirumuskan dengan merdu-merayu. Yang jelas, anak-anak muda yang bersekolah biasanya hampir-hampir tak punya peluang untuk ikut menentukan baik tujuan maupun cara dan bahan belajar mereka. Kebanyakan orang tua mereka pun tidak. Hal-hal itu ditetapkan bagi mereka. Dengan sanksi dan petuah-petuah pula bagi yang membangkang.

Banyak anak muda bersekolah yang membenci baik bahan pelajaran mau pun cara/aturan belajar yang diwajibkan kepada mereka. Pengajar pun biasanya tak lepas dari rangkaian kebencian itu. Anak-anak muda semacam ini bukan pemalas atau berandalan, tapi berotak sehat dan berjiwa segar. Mereka melihat kegiatan belajar di sekolah itu tak cocok dengan persoalan hidup sehari-hari mereka dan tak membantu mereka memecahkan persoalan hidup yang nyata di sekitarnya,

Mereka diajar belajar mencintai apa yang sesungguhnya mereka benci.

Kadang-kadang dipaksa mencintai hal-hal yang ingin mereka hindari itu. Mereka bisa menjadi pemalas atau berandalan jika pemaksaan itu gagal.

Sekolah mungkin tak bergembira menyaksikan peristiwa-peristiwa tersebut. Tetapi tekanan terbesar bagi sekolah bukan untuk memecahkan soal-soal demikian. Perhatian utama sekolah ialah melancarkan ketertiban dan administrasi persekolahan: jumlah guru dan ruang kelas yang cukup, jam kosong sesedikit mungkin, jumlah lulusan semaksimal mungkin.

Keberadaan dan kelangsungan nasib sekolah sangat ditentukan oleh kelengkapan dan kelancaran soal-soal semacam itu.

Hasil nyata kelancaran dan ketertiban persekolahan biasanya ditujukan pada apa yang disebut lapangan kerja. Ini tidak dengan sendirinya terbatas pada usaha perdagangan, tapi berbagai macam. Jika sekolah mengabdikan jasanya pada lapangan kerja, maka sekolah juga berarti mengabdikan jasa pada mereka yang menguasai lapangan kerja dan mereka yang diuntungkan oleh sistem kerja yang berlaku dalam masyarakat itu.

Sekali lagi, kaum muda bekas tersekolah itu hampir-hampir tak punya pilihan mandiri tentang jenis, tujuan, dan cara bekerja mereka bagi kebahagiaan sendiri. Mereka cenderung melakukan tugas kerja, seperti sebelumnya dengan tugas sekolah, sebagai beban hidup yang mereka benci.

Angka ujian dan ijazah

Anak-anak muda berebut tempat belajar di sekolah, untuk kemudian diajar hal-hal yang tak mereka suka tetapi penting bagi tersedianya tenaga kerja yang dibutuhkan penguasa lapangan kerja. Tentu saja anak-anak muda itu tidak merasa sedang berebut menjadi calon tenaga keria yang bakal diperalat oleh dunia kerja. Justru sebaliknya, mereka merasa sedang memperebutkan alat untuk mencapai gengsi, pangkat, dan gaji tinggi.

Seperti juga banyak kaum penganggur muda tak bersekolah yang berlomba memperebutkan lowongan kerja sebagai buruh rendahan. Mereka tidak merasa berlomba menjadi pendukung sang juragan yang berusaha memperkokoh kekuatan dengan memeras tenaga buruhnya.

Bagi kaum muda yang bersekolah, alat untuk mendapatkan tujuan mereka adalah ijazah yang diperolehnya dengan cicilan angka ujian. Kaum muda yang bernalar dan realistis tidak mencari ilmu atau pendidikan di sekolah. Dongeng tentang ilmu dan pendidikan hanyalah hiasan pidato pengajar sewaktu ada upacara di sekolahan.

Itu sebabnya, kita mungkin tak mendengar berita dari wartawan tentang mengamuknya siswa atau mahasiswa yang dikecewakan oleh ilmu dan pendidikan yang disediakan sekolah. Kaum muda sering dikecewakan oleh mutu pengajaran di sekolah, tapi mereka tak mau dan memang tak perlu buang-buang waktu untuk mengamuk soal itu.

Mereka membayar sekolah, berpura-pura patuh aturan sekolah dan menghapal bahan pelajaran yang mereka maki-maki untuk mengejar angka ujian dan ijazah akhir.

Itu sebabnya, berita rutin yang kita dengar setiap akhir tahun ajaran ialah mengamuknya sebagian siswa dan mahasiswa gara-gara nilai ujian dan ijazah. Mendapatkan nilai tinggi dalam ujian, dan kemudian menggondol ijazah, adalah harapan terpenting bagi mereka. Bukannya ilmu dan pendidikan. Harapan kaum tersekolah itu tidak datang dari langit. Tapi justru persis datangnya dari sekolah yang melembaga dalam masyarakat, serta iming-iming penguasa lapangan kerja. Itulah soal terbesar yang membedakan sekolahan dari pendidikan!

“Jangan cari ilmu di sini", kata seorang mahaguru kepada seorang mahasiswa di kampusnya. "Di sini tempatnya cari ijazah. Carilah ilmu di luar sana. Tanpa pendaftaran. Tanpa bayar. Tanpa jadwal."

Ariel Heryanto, sosiolog

Sumber: Suara Merdeka, Selasa, 6 Mei 1986

Rabu, 24 April 2024

ASN, Kebebasan Politik, dan Pengembangan Demokrasi

Di zaman pemerintahan kolonial Belanda, aparatur sipil negara (ASN) dinamakan "Ambtenaar". Para ambtenaar ini merupakan abdi negara yang bekerja pada birokrasi pemerintahan kolonial. Mereka tak memiliki kemerdekaan dan kebebasan berpikir, kecuali mengabdikan diri, bekerja di birokrasi, secara penuh demi kepentingan pemerintah kolonial yang disebut dengan istilah "Gubermen".

Aparatur negara tak memiliki kebebasan dalam politik. Oleh karenanya, tak bisa diharapkan demokrasi akan berkembang dari golongan ini. Sikap dan mental para ambtenaar di zaman kolonial masih diwarisi oleh aparatur di zaman Orde Baru, bahkan hingga kini.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer, mengutip pernyataan Tirto Adhi Soerjo (Bapak Pers Indonesia), menulis, "Menjadi pegawai negeri kolonial menghilangkan kemerdekaan diri dan kebebasan berpikir." (lihat Prameodya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra, 1985, h.185). 

Dalam novelnya berjudul Jejak Langkah (h. 464-465), Pram menulis, "Siapa golongan terpelajar dan maju itu sesungguhnya? Bukan kaum priyayi. Di Hindia ini, begitu seorang terpelajar mendapat jabatan dalam dinas Gubermen, dia berhenti sebagai terpelajar. Kontan dia ditelan oleh mentalis umum priyayi: beku, rakus, gila hormat, dan korup. Yang harus dipersatukan memang bukan kaum priyayi, mungkin justru orang-orang yang samasekali tidak punya jabatan negeri."

"Mereka yang tidak punya jabatan negeri, boleh kita masukkan dalam golongan 'kaum bebas', bukan hamba Gubermen, pikiran dan kegiatannya tidak dipagari oleh pengabdian pada Gubermen," tulis Pram (Jejak Langkah, h. 465).

"Memang semakin jauh orang dari jabatan negeri," lanjut Pram, "semakin bebas jiwanya, semakin bebas sepak-terjangnya, karena pikirannya lebih lincah, bisa produktif dan bisa kreatif, mempunyai lebih banyak inisiatif, tidak dibatasi dan dibayangi-bayangi ketakutan akan dipecat dari jabatannya." (Pram, Jejak Langkah, h. 465)

Secara lebih ilmiah, Profesor Koentjaraningrat (1923-1999), seorang antropolog yang berperan besar dalam mendeskripsikan sejarah dan kebudayaan Indonesia, yang juga dijuluki sebagai Bapak Antropologi Indonesia, menulis, "Demokrasi agaknya hanya dapat dikembangkan oleh suatu golongan sosial yang bebas dalam arti bahwa sandaran kekuatan dan kekuasaannya tidak berada dalam sistem pemerintahan, tetapi dalam golongan swasta." (lihat Koentjaraningrat, dalam tulisannya "Mentalitas Pegawai, Feodalisme, dan Demokratisasi", dalam Tim Maula [ed], Jika Rakyat Berkuasa: Upaya Membangun Masyarakat Madani dalam Kultur Feodal, h.156). 

TERBARU

MAKALAH