Oleh: Nani Efendi
Dalam Bab II
NDP HMI disebutkan bahwa manusia adalah puncak ciptaan, mahluk yang tertinggi
dan wakil[1]
Tuhan di bumi. Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia dalam keadaan fitrah,
sebagai konsekuensi perjanjian primordial seperti dijelaskan dalam al Qur’an. Cak Nur menyebutnya dengan
perjanjian primordial (primordial
covenant) berdasarkan firman Allah:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): ”Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: ”Betul (Engkau Tuhan
kami). Kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: ”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (Q.,s.
al-A’raaf/ 7:172).
Fitrah inilah yang membuat
manusia berkeinginan suci dan selalu cenderung kepada kebenaran (hanif). Fitrah
pada diri manusia itu, semenjak Nabi Adam hingga akhir zaman, tidak akan
berubah. Artinya, fitrah dalam diri setiap manusia itu tetap sama: sama-sama
cenderung pada kebenaran dan kebaikan. Terlepas apapun ras, suku, bangsa,
agama, jenis kelamin, waktu, tempat, dan lain sebagainya. Fitrah pada setiap
manusia itu tidak akan berubah sepanjang masa. Firman Allah:
Jadi, manusia, semenjak Nabi Adam hingga kini,
diciptakan dalam kesucian asal yang disebut fitrah. Fitrah membuat manusia
berkecenderungan suci (cenderung pada kebenaran dan kebaikan), yang disebut hanif.
Tempat bersemayamnya kesucian asal itu ialah pusat kedirian manusia yang
disebut “nurani” (bersifat nur/cahaya; bersifat terang).[2]
Hati nurani (dlamier) inilah
yang selalu mencahayai manusia sehingga manusia mampu mengetahui apa yang baik, apa yang suci dan benar. Manusia
akan selalu dalam fitrahnya jika ia hidup mengikuti nuraninya yang suci.
Temuan ilmiah tentang fitrah dapat dibaca dalam Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan
Al-Qur’an (Bandung: Mizan 2003), hlm 27. Para ahli otak, menurut Taufiq,
menemukan bahwa kecerdasan spiritual itu berakar kuat dalam otak manusia.
Setidaknya, menurut Taufiq, ada empat bukti penelitian yang memperkuat dugaan
adanya potensi spiritual dalam otak manusia: 1) Osilasi 40 Hz yang ditemukan oleh Denis Pare dan Rudolpho Llinas, yang
kemudian dikembangkan menjadi spiritual
intelligence oleh Danah Zohar dan Ian Marshal; 2) Alam bawah sadar kognitif
yang ditemukan oleh Joseph deLoux dan kemudian dikembangkan menjadi emotional intelligence oleh Daniel
Goleman serta Robert Cooper dengan
konsep suara hati; 3) God Spot pada daerah temporal yang ditemukan oleh
Michael Persinger dan Vilyanur Ramachandran; 4) Somatic Marker oleh Antonio Damasio. Keempat bukti itu memberikan
informasi tentang adanya hati nurani
atau intuisi dalam otak manusia.
Penelitian itu juga, menurut Taufiq, berhasil membuktikan bahwa hati nurani (fitrah) itu mengawal manusia setua
evolusi biologi umat manusia. Dengan kata lain, penelitian itu memperkuat keyakinan bahwa manusia tidak
mungkin lari dari Tuhan.
Fitrah bawaan harus
dibantu dengan fitrah yang diturunkan
Tapi, walaupun manusia pada dasarnya adalah
hanif, manusia juga diciptakan sebagai makhluk yang lemah (Qs. 4:28)[3].
Salah satu kelemahannya ialah bersifat tergesa-gesa (Qs. 21:37[4]
dan Qs. 17:11). Karena kelemahannya itu, maka manusia cenderung berpandangan
pendek, mementingkan hal-hal segera, dan mengabaikan hal-hal jangka panjang
(Qs. 75:20 dan 76:27). Itu semua membuat manusia rawan terhadap kesalahan dan
kekeliruan.
Karena manusia juga memiliki kelemahan seperti
disebutkan di atas, manusia tidak selalu dapat mendengar hati nuraninya. Atau
karena hati sudah kehilangan cahayanya, sehingga tak lagi bersifat terang atau
bersifat cahaya (nurani). Yang membuat hati kehilangan cahaya adalah dosa dan
kejahatan yang dilakukan. Karena itu, dosa—dalam al Qur’an—disebut zhulm
yang berarti “gelap”, dan orang yang berbuat dosa disebut “zhalim”
(orang yang melakukan kegelapan).[5]
Nah, agar manusia tetap dalam fitrahnya, maka
manusia diberi petunjuk dan perintah oleh Allah melalui wahyu yang disampaikan
kepada para nabi. Nurani yang ada dalam diri kita jika tidak terkontaminasi
oleh lingkungan ia akan tetap suci dan tetap dalam keadaan fitrah. Tetapi,
adalah tidak mungkin kita bisa hidup tanpa berinteraksi dengan lingkungan. Oleh
karena itu, nurani tidak bisa dibiarkan sendirian mencari kebaikan, kesucian
dan kebenaran. Ia harus dibantu dengan fitrah yang diturunkan atau diwahyukan dari Tuhan.
Ibnu taymiyyah menyebut agama sebagai fitrah yang diturunkan.
Untuk itulah, agar kita selalu berada dalam
fitrah, maka kita harus selalu mendengarkan suara hati nurani (fitrah) yang sudah
ada dalam diri kita. Namun, itu belum cukup. Kita juga harus berpedoman kepada
wahyu Allah yang disampaikan kepada para nabi, terutama yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad s.a.w. yang berupa al-Qur’an, sehingga kita tetap berada dalam
fitrah atau di jalan yang lurus (siratul mustaqim). Karena itulah di
dalam hymne HMI disebutkan: ”...turut Qur’an dan hadits, jalan keselamatan.”
Begitulah sikap bertauhid kepada Allah. Bertauhid
berarti percaya hanya ada satu Tuhan saja dengan cara
tunduk, patuh dan berserah diri (islam) kepada Tuhan YME itu. Tuhan
YME dalam bahasa Arab disebut Allah—berasal dari Al-Ilah yang berarti Tuhan
yang sebenarnya. Sikap tunduk, patuh dan berserah diri (islam) pada
Allah itulah inti ajaran para nabi mulai dari Nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa
al-Masih (Jesús Christ/Yesus Kristus)
sampai Nabi Muhammad s.a.w.[6]
Beberapa hal penting dalam Bab II NDP HMI
Agar lebih mudah memahami NDP karya Cak Nur, ada
baiknya saya pilah-pilah hal-hal pokok dan penting sebagai berikut. Beberapa
teks dari NDP di bawah ini ada yang sengaja tidak saya ubah kalimatnya agar
memberikan pemahaman yang sesuai dengan maksud NDP itu sendiri. Pertama, nilai hidup manusia,
jelas Cak Nur, tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan
yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia
mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang
tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan (16:97, 4:111).
Kedua, manusia itu, kata
Cak Nur, haruslah selalu semangat mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran
(4:125). Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan
perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan
berkebudayaan (39:18). Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom,
hikmah) (2:269). Dia berpengalaman luas, berpikir bebas, berpandangan lapang
dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya (6:125). Dia
adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf
(3:134). Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik daripada
pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang
lebih baik.
Ketiga, seorang manusia
sejati (insan kamil), terang Cak Nur di Bab II, ialah yang kegiatan mental dan fisiknya
merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua
kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan
kesenangan, kerja baginya adalah kesenangan dan kesenangan ada dalam dan
melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka. Dia tidak mengenal perbedaan antara
kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan
dan sebagai anggota masyarakat. Hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk
dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia.
Keempat, manusia sejati,
menurut Cak Nur, tidak mengenal pembagian (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan
rohani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akhirat.
Kesemuanya dimanifestasikan dalam rangka mencari kebaikan, keindahan dan
kebenaran (98:5).
Kelima, papar Cak Nur, ikhlas.
Seluruh amal perbuatan manusia yang fitrah semestinya benar-benar berasal dari
dirinya sendiri yang merupakan pancaran langsung dari kecenderungannya yang
suci (2:207, 76:89). Ia melakukan pekerjaan karena keyakinan akan nilai
pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak
memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih) (2:264). Kerja yang
ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberinya kebahagiaan
(35:10). Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia. Tidak ada
kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan
kebahagiaan.
Hidup fitrah, kata Cak Nur, ialah
bekerja secara ikhlas yang memancar dari hati nurani yang hanief atau suci.
NANI EFENDI, Alumnus
Latihan Kader III (Advance Training) Badko HMI Sumbagsel
Daftar Bacaan
Hidayat,
Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (ed). Pasing Over: Melintasi Batas Agama.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan wakaf Paramadina,
1998.
Nurcholish
Madjid dkk. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI. Jakarta, tt
Nurcholish
Madjid. Dialog Ramadlan bersama Cak Nur. Jakarta: Penerbit Paramadina,
2000
Nurcholis
Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Paramadina, 1995.
Pasiak, Taufiq. Revolusi IQ/EQ/SQ;
Antara Naurosains dan Al-Qur’an (Bandung: Mizan 2003).
Tarigan, Azhari Akmal. Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai
Dasar Perjuangan (NDP). (Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007)
[1] Ada dua hakikat penciptaan manusia: sebagai
hamba yang berkewajiban beribadah kepada Allah (Az Zariyat ayat 56), dan
sebagai khalifah Allah yang bertanggungj jawab memakmurkan bumi (Al Baqarah/2:30).
[2] Kata
hanief ini selalu kita ucapkan dalam do’a iftitah di waktu shalat. (inni wajjahtu wajhia lilladzii
fatharas-samaawaati wal ardla hanifaw wa maa ana minal musyrikin). Artinya: Sesungguhnya aku menghadapkan
mukaku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan hanif
(selalu cenderung kepada
kebenaran), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan. Kata
hanif ini terdapat dalam Al Qur’an surat
Al An’am/6:79. yang menceritakan tentang kisah Nabi Ibrahim mencari
Tuhan dengan pertama kali melihat bintang dan menganggap itu sebagai tuhan,
kemudian bulan, dan matahari. Tetapi kemudian ia menyadari bahwa benda-benda
itu bukanlah tuhan yang sebenarnya tetapi itu adalah ciptaan Tuhan. Hasil dari
usaha pencarian Tuhan itulah Ibrahim menyatakan hanif (cenderung kepada
kebenaran) bertuhan kepada Yang Menciptakan Semua itu.
[3] “Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.”
[4] “Manusia diciptakan (bersifat)
tergesa-gesa.”
[5] Lihat
Nurcholish Madjid, Dialog Ramadlan bersama Cak Nur, Jakarta: Penerbit
Paramadina, 2000
[6] Lebih lanjut Taufik Pasiak
menjelaskan: “Titik temu pada proses ber-Tuhan adalah keyakinan semua manusia,
dari bangsa mana pun juga, bahwa ada sesuatu yang jauh lebih tinggi dari
manusia. Dari tinjauan historisnya, naluri manusia untuk ber-Tuhan dapat kita
lihat pada suku-suku terasing yang tidak pernah menerima ajaran agama (organized religion) mencari dan mengenal
Tuhan dengan cara mereka sendiri. Orang-orang Mesir Kuno mendapati Tuhannya sebagai Dewa Ra
dan Re. Dinasti Thebes kemudian mempermaklumkan dewa itu secara utuh sebagai
Amon dan Amon Re. Tidak puas hanya dengan satu dewa yang “mewakili” Tuhan yang
hendak disembah dan dipuja, orang Mesir Kuno menciptakan Osiris untuk
melengkapi Ammon Re. Walaupun pengungkapan berbeda-beda, tampak sekali adanya
perkembangan dalam kepercayaan manusia terhadap sesuatu yang kini disebut “Tuhan”. Ada suku yang beralih ketika fajar-fajar
pencerahan telah datang, tetapi ada juga yang masih bertahan. Penghayatan
terhadap Tuhan, sebagaimana dipraktekkan oleh suku-suku primitif, merupakan
bukti adanya kecerdasan jenis ini (inilah yang disebut sebagai keenderungan
atau naluri menyembah). Kebutuhan ber-Tuhan, atau memiliki spiritualitas, merupakan kebutuhan tak
terelakkan pada manusia. Ada kaitan langsung dan tegas antara kebutuhan itu dan
tersedianya potensi ketuhanan (semacam hardware
bagi program ketuhanan) dalam otak manusia. Para peneliti otak, antara lain
dari Universitas California San Diego, menemukan daerah temporal sebagai lokasi yang berperanan penting dalam
perasaan-perasaan mistis dan spiritual.
Ramachandran Vilayanur—seorang
dokter Amerika keturunan India—menemukan bagian otak yang bertanggungjawab
terhadap respon-respon mistis dan spiritual manusia. Mereka menyebutnya God Spot (Noktah Tuhan) dan bertempat
dibagian dahi yang disebut lobus temporal.
Sebagaimana pendapat Erich Fromm, aktivitas lobus temporal itu menjadi bukti
bahwa beragama, atau lebih tepatnya, religiusitas, memang sudah menyatukan
dengan diri (setiap) manusia. Manusia tidak bisa menghilangkan sifat
religiusitasnya. Walaupun, mungkin saja, ia tidak menganut agama formal (agama
institusional). Adanya lobus temporal itu
mengingatkan sinyal al-Qur’an perihal Nabi Ibrahim yang hanif (ber-islam), yang tidak menganut agama formal.
Jadi, salah satu titik
temu kemanusiaan adalah religiusitas itu, yang ada pada (setiap) manusia yang
sudah hardwired (terpatri) dalam otak
setiap manusia. Penemuan itu sangat kuat menyokong penjelasan al-Qur’an tentang
fitrah ketuhanan manusia (yang tidak
pernah berubah sepanjang waktu sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ruum
ayat 30). Untuk mengenal Tuhan, manusia tidak hanya diberikan software berupa ajaran-ajaran agama
(fitrah yang diturunkan atau wahyu), tetapi juga hardware, (fitrah yang dibawa semenjak lahir atau yang sering
disebut nurani), dalam hal ini lobus
temporal otak. Perangkat keras ketuhanan itu akan berfungsi lebih baik jika
perangkat lunaknya juga dihidupkan (dengan kata lain nurani tidak bisa
dibiarkan sendirian mencari kebenaran, tetapi harus dibantu dengan wahyu yang
disampaikan kepada para nabi). Fitrah itulah salah satu sumber kebajikan
universal [disamping fitrah yang diturunkan atau wahyu]. Kebajikan universal [al khair] adalah kebajikan yang diakui dan diingini oleh semua
manusia seperti misalnya jika ditanya manusia manapun di muka bumi ini apakah
senang benar atau salah, pasti senang benar. Lawan dari kebajikan universal (al-Khair) adalah al-Munkar (yang diingkari oleh hati nurani setiap manusia).
Kebajikan-kebajikan universal (al-khair) itu juga yang merupakan titik
temu (kalimat sawa,/melting point)
daripada agama-agama.
0 komentar:
Posting Komentar