alt/text gambar

Jumat, 22 September 2023

Topik Pilihan: , , , ,

NDP HMI: Mengurai Bab II tentang Pengertian-Pengertian Dasar tentang Kemanusiaan

 


Oleh: Nani Efendi

 

Dalam Bab II NDP HMI disebutkan bahwa manusia adalah puncak ciptaan, mahluk yang tertinggi dan wakil[1] Tuhan di bumi. Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia dalam keadaan fitrah, sebagai konsekuensi perjanjian primordial seperti dijelaskan dalam al Qur’an. Cak Nur menyebutnya dengan perjanjian primordial (primordial covenant) berdasarkan firman Allah:

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ”Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: ”Betul (Engkau Tuhan kami). Kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.  (Q.,s. al-A’raaf/ 7:172).

Fitrah inilah yang membuat manusia berkeinginan suci dan selalu cenderung kepada kebenaran (hanif). Fitrah pada diri manusia itu, semenjak Nabi Adam hingga akhir zaman, tidak akan berubah. Artinya, fitrah dalam diri setiap manusia itu tetap sama: sama-sama cenderung pada kebenaran dan kebaikan. Terlepas apapun ras, suku, bangsa, agama, jenis kelamin, waktu, tempat, dan lain sebagainya. Fitrah pada setiap manusia itu tidak akan berubah sepanjang masa. Firman Allah:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.,s. Ar-Ruum/ 30:30).

Jadi, manusia, semenjak Nabi Adam hingga kini, diciptakan dalam kesucian asal yang disebut fitrah. Fitrah membuat manusia berkecenderungan suci (cenderung pada kebenaran dan kebaikan), yang disebut hanif. Tempat bersemayamnya kesucian asal itu ialah pusat kedirian manusia yang disebut “nurani” (bersifat nur/cahaya; bersifat terang).[2]

Hati nurani (dlamier) inilah yang selalu mencahayai manusia sehingga manusia mampu mengetahui  apa yang baik, apa yang suci dan benar. Manusia akan selalu dalam fitrahnya jika ia hidup mengikuti nuraninya yang suci.

Temuan ilmiah tentang fitrah dapat dibaca dalam Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan Al-Qur’an (Bandung: Mizan 2003), hlm 27. Para ahli otak, menurut Taufiq, menemukan bahwa kecerdasan spiritual itu berakar kuat dalam otak manusia. Setidaknya, menurut Taufiq, ada empat bukti penelitian yang memperkuat dugaan adanya potensi spiritual dalam otak manusia: 1) Osilasi  40 Hz yang ditemukan oleh Denis Pare dan Rudolpho Llinas, yang kemudian dikembangkan menjadi spiritual intelligence oleh Danah Zohar dan Ian Marshal; 2) Alam bawah sadar kognitif yang ditemukan oleh Joseph deLoux dan kemudian dikembangkan menjadi emotional intelligence oleh Daniel Goleman serta Robert Cooper  dengan konsep suara hati; 3) God Spot  pada daerah temporal yang ditemukan oleh Michael Persinger dan Vilyanur Ramachandran; 4) Somatic Marker oleh Antonio Damasio. Keempat bukti itu memberikan informasi tentang adanya hati nurani atau intuisi dalam otak manusia. Penelitian itu juga, menurut Taufiq, berhasil membuktikan bahwa hati nurani (fitrah) itu mengawal manusia setua evolusi biologi umat manusia. Dengan kata lain, penelitian itu memperkuat keyakinan bahwa manusia tidak mungkin lari dari Tuhan.

Fitrah bawaan harus dibantu dengan fitrah yang diturunkan

Tapi, walaupun manusia pada dasarnya adalah hanif, manusia juga diciptakan sebagai makhluk yang lemah (Qs. 4:28)[3]. Salah satu kelemahannya ialah bersifat tergesa-gesa (Qs. 21:37[4] dan Qs. 17:11). Karena kelemahannya itu, maka manusia cenderung berpandangan pendek, mementingkan hal-hal segera, dan mengabaikan hal-hal jangka panjang (Qs. 75:20 dan 76:27). Itu semua membuat manusia rawan terhadap kesalahan dan kekeliruan.

Karena manusia juga memiliki kelemahan seperti disebutkan di atas, manusia tidak selalu dapat mendengar hati nuraninya. Atau karena hati sudah kehilangan cahayanya, sehingga tak lagi bersifat terang atau bersifat cahaya (nurani). Yang membuat hati kehilangan cahaya adalah dosa dan kejahatan yang dilakukan. Karena itu, dosa—dalam al Qur’an—disebut zhulm yang berarti “gelap”, dan orang yang berbuat dosa disebut “zhalim” (orang yang melakukan kegelapan).[5]

Nah, agar manusia tetap dalam fitrahnya, maka manusia diberi petunjuk dan perintah oleh Allah melalui wahyu yang disampaikan kepada para nabi. Nurani yang ada dalam diri kita jika tidak terkontaminasi oleh lingkungan ia akan tetap suci dan tetap dalam keadaan fitrah. Tetapi, adalah tidak mungkin kita bisa hidup tanpa berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, nurani tidak bisa dibiarkan sendirian mencari kebaikan, kesucian dan kebenaran. Ia harus dibantu dengan fitrah yang diturunkan atau diwahyukan dari Tuhan. Ibnu taymiyyah menyebut agama sebagai fitrah yang diturunkan.

Untuk itulah, agar kita selalu berada dalam fitrah, maka kita harus selalu mendengarkan suara hati nurani (fitrah) yang sudah ada dalam diri kita. Namun, itu belum cukup. Kita juga harus berpedoman kepada wahyu Allah yang disampaikan kepada para nabi, terutama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang berupa al-Qur’an, sehingga kita tetap berada dalam fitrah atau di jalan  yang lurus (siratul mustaqim). Karena itulah di dalam hymne HMI disebutkan: ”...turut Qur’an dan hadits, jalan keselamatan.”

Begitulah sikap bertauhid kepada Allah. Bertauhid berarti percaya hanya ada satu Tuhan saja dengan cara tunduk, patuh dan berserah diri (islam) kepada Tuhan YME itu. Tuhan YME dalam bahasa Arab disebut Allah—berasal dari Al-Ilah yang berarti Tuhan yang sebenarnya. Sikap tunduk, patuh dan berserah diri (islam) pada Allah itulah inti ajaran para nabi mulai dari Nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa al-Masih (Jesús Christ/Yesus Kristus) sampai Nabi Muhammad s.a.w.[6]

Beberapa hal penting dalam Bab II NDP HMI

Agar lebih mudah memahami NDP karya Cak Nur, ada baiknya saya pilah-pilah hal-hal pokok dan penting sebagai berikut. Beberapa teks dari NDP di bawah ini ada yang sengaja tidak saya ubah kalimatnya agar memberikan pemahaman yang sesuai dengan maksud NDP itu sendiri.  Pertama, nilai hidup manusia, jelas Cak Nur, tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan (16:97, 4:111).

Kedua, manusia itu, kata Cak Nur, haruslah selalu semangat mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (4:125). Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan (39:18). Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom, hikmah) (2:269). Dia berpengalaman luas, berpikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya (6:125). Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf (3:134). Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik daripada pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.

Ketiga, seorang manusia sejati (insan kamil), terang Cak Nur di Bab II, ialah yang kegiatan mental dan fisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat. Hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia.

Keempat, manusia sejati, menurut Cak Nur, tidak mengenal pembagian (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rohani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akhirat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam rangka mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (98:5).

Kelima, papar Cak Nur, ikhlas. Seluruh amal perbuatan manusia yang fitrah semestinya benar-benar berasal dari dirinya sendiri yang merupakan pancaran langsung dari kecenderungannya yang suci (2:207, 76:89). Ia melakukan pekerjaan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih) (2:264). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberinya kebahagiaan (35:10). Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia. Tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan.

Hidup fitrah, kata Cak Nur, ialah bekerja secara ikhlas yang memancar dari hati nurani yang hanief atau suci.

NANI EFENDI, Alumnus Latihan Kader III (Advance Training) Badko HMI Sumbagsel

 

Daftar Bacaan

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (ed). Pasing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Yayasan wakaf Paramadina, 1998.

Nurcholish Madjid dkk. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI. Jakarta, tt

Nurcholish Madjid. Dialog Ramadlan bersama Cak Nur. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000

Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Paramadina, 1995.

Pasiak, Taufiq. Revolusi IQ/EQ/SQ; Antara Naurosains dan Al-Qur’an (Bandung: Mizan 2003).

Tarigan, Azhari Akmal. Islam Mazhab HMI; Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP). (Jakarta: Kultura. GP Press Group, 2007)

 



[1] Ada dua hakikat penciptaan manusia: sebagai hamba yang berkewajiban beribadah kepada Allah (Az Zariyat ayat 56), dan sebagai khalifah Allah yang bertanggungj jawab memakmurkan bumi (Al Baqarah/2:30).

[2] Kata hanief  ini selalu kita ucapkan dalam  do’a iftitah di waktu shalat. (inni wajjahtu wajhia lilladzii fatharas-samaawaati wal ardla hanifaw wa maa ana minal musyrikin). Artinya: Sesungguhnya aku menghadapkan mukaku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan hanif (selalu cenderung kepada kebenaran), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Kata hanif ini terdapat dalam  Al Qur’an surat Al An’am/6:79.  yang menceritakan tentang kisah Nabi Ibrahim mencari Tuhan dengan pertama kali melihat bintang dan menganggap itu sebagai tuhan, kemudian bulan, dan matahari. Tetapi kemudian ia menyadari bahwa benda-benda itu bukanlah tuhan yang sebenarnya tetapi itu adalah ciptaan Tuhan. Hasil dari usaha pencarian Tuhan itulah Ibrahim menyatakan hanif (cenderung kepada kebenaran) bertuhan kepada Yang Menciptakan Semua itu.

[3] “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.”

[4] “Manusia diciptakan (bersifat) tergesa-gesa.”

[5] Lihat Nurcholish Madjid, Dialog Ramadlan bersama Cak Nur, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000

[6] Lebih lanjut Taufik Pasiak menjelaskan: “Titik temu pada proses ber-Tuhan adalah keyakinan semua manusia, dari bangsa mana pun juga, bahwa ada sesuatu yang jauh lebih tinggi dari manusia. Dari tinjauan historisnya, naluri manusia untuk ber-Tuhan dapat kita lihat pada suku-suku terasing yang tidak pernah menerima ajaran agama (organized religion) mencari dan mengenal Tuhan dengan cara mereka sendiri. Orang-orang Mesir Kuno mendapati Tuhannya sebagai Dewa Ra dan Re. Dinasti Thebes kemudian mempermaklumkan dewa itu secara utuh sebagai Amon dan Amon Re. Tidak puas hanya dengan satu dewa yang “mewakili” Tuhan yang hendak disembah dan dipuja, orang Mesir Kuno menciptakan Osiris untuk melengkapi Ammon Re. Walaupun pengungkapan berbeda-beda, tampak sekali adanya perkembangan dalam kepercayaan manusia terhadap sesuatu yang kini disebut  “Tuhan”. Ada suku yang beralih ketika fajar-fajar pencerahan telah datang, tetapi ada juga yang masih bertahan. Penghayatan terhadap Tuhan, sebagaimana dipraktekkan oleh suku-suku primitif, merupakan bukti adanya kecerdasan jenis ini (inilah yang disebut sebagai keenderungan atau naluri menyembah). Kebutuhan ber-Tuhan, atau memiliki spiritualitas, merupakan kebutuhan tak terelakkan pada manusia. Ada kaitan langsung dan tegas antara kebutuhan itu dan tersedianya potensi ketuhanan (semacam hardware bagi program ketuhanan) dalam otak manusia. Para peneliti otak, antara lain dari Universitas California San Diego, menemukan daerah temporal sebagai lokasi yang berperanan penting dalam perasaan-perasaan mistis dan spiritual.

Ramachandran Vilayanur—seorang dokter Amerika keturunan India—menemukan bagian otak yang bertanggungjawab terhadap respon-respon mistis dan spiritual manusia. Mereka menyebutnya God Spot (Noktah Tuhan) dan bertempat dibagian dahi yang disebut lobus temporal. Sebagaimana pendapat Erich Fromm, aktivitas lobus temporal itu menjadi bukti bahwa beragama, atau lebih tepatnya, religiusitas, memang sudah menyatukan dengan diri (setiap) manusia. Manusia tidak bisa menghilangkan sifat religiusitasnya. Walaupun, mungkin saja, ia tidak menganut agama formal (agama institusional). Adanya lobus temporal itu mengingatkan sinyal al-Qur’an perihal Nabi Ibrahim yang hanif  (ber-islam), yang tidak menganut agama formal.

Jadi, salah satu titik temu kemanusiaan adalah religiusitas itu, yang ada pada (setiap) manusia yang sudah hardwired (terpatri) dalam otak setiap manusia. Penemuan itu sangat kuat menyokong penjelasan al-Qur’an tentang fitrah ketuhanan manusia (yang tidak pernah berubah sepanjang waktu sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ruum ayat 30). Untuk mengenal Tuhan, manusia tidak hanya diberikan software berupa ajaran-ajaran agama (fitrah yang diturunkan atau wahyu), tetapi juga hardware, (fitrah yang dibawa semenjak lahir atau yang sering disebut nurani), dalam hal ini lobus temporal otak. Perangkat keras ketuhanan itu akan berfungsi lebih baik jika perangkat lunaknya juga dihidupkan (dengan kata lain nurani tidak bisa dibiarkan sendirian mencari kebenaran, tetapi harus dibantu dengan wahyu yang disampaikan kepada para nabi). Fitrah itulah salah satu sumber kebajikan universal [disamping fitrah yang diturunkan atau wahyu]. Kebajikan universal [al khair] adalah kebajikan yang diakui dan diingini oleh semua manusia seperti misalnya jika ditanya manusia manapun di muka bumi ini apakah senang benar atau salah, pasti senang benar. Lawan dari kebajikan universal (al-Khair) adalah al-Munkar (yang diingkari oleh hati nurani setiap manusia). Kebajikan-kebajikan universal (al-khair) itu juga yang merupakan titik temu (kalimat sawa,/melting point) daripada agama-agama.

 

0 komentar:

Posting Komentar