Oleh: NANI EFENDI
Orang boleh saja tak suka dengan
filsafat, kata Fahruddin Faiz, tapi, tak mungkin orang tak suka berpikir yang
benar. Padahal, hakikatnya filsafat itu ialah "berpikir yang benar".
Ada pepatah dalam bahasa Arab: "Al-insanu hayawanun nathiq; manusia
itu ialah hewan yang berpikir." Jadi, berpikir adalah ciri utamanya
manusia. Ketika manusia tak suka berpikir, ia sejatinya telah kehilangan
kualifikasi sebagai manusia. Dan ia tinggal sebagai hewan saja yang kerjanya
hanya makan, minum, sex, atau―meminjam istilah Bung Pram―"berternak diri"
atau berkembang biak saja.
Apakah kebanyakan manusia
malas berpikir?
Kebanyakan manusia memang
malas berpikir. Kata Thomas Alva Edison, "Hanya 5 persen orang yang
berpikir. Sepuluh persen orang berpikir bahwa mereka berpikir. Dan 85 persen
lainnya lebih baik mati daripada berpikir." Jadi, bagaimana melihat
contoh sederhana bahwa kebanyakan manusia malas berpikir? Buatlah status FB yang lucu-lucu, yang menarik, yang ecek-ecek, yang tak membutuhkan berpikir
berat untuk memahaminya, biasanya disukai (di-like) oleh banyak orang. Tapi
cobalah posting yang berat-berat, yang bersifat pemikiran, paling hanya
disukai sedikit orang saja. Bahkan terkadang tak di-like.
Memang seperti itulah kebanyakan
manusia. Tapi tak apa-apa. Nabi Nuh saja, yang berdakwah sembilan ratus tahun,
hanya punya pengikut kurang dari seratus orang. Nabi Isa memiliki pengikut 12
orang yang dikenal dengan Hawariyyun. Bahkan, ada nabi yang tak punya
pengikut sama sekali, yakni Nabi Sam'un AS yang diceritakan dalam Kitab Muqasyafatul
Qulub karya Imam al-Ghazali.
Lihat pula para penceramah. Jika
pintar melucu, pintar buat orang tertawa terbahak-bahak, pasti dibilang
penceramah yang bagus dan disukai banyak orang. Tapi yang ceramah dengan konten
berat, serius, mendalam, paling disukai oleh beberapa orang saja. Oleh karena
itu, kita tak perlu merisaukan banyak orang suka atau tidak. Yang penting
teruslah berusaha menyebarkan kebaikan, kebenaran, dan memberikan pencerahan.
Rasulullah saja juga hanya sebatas menyampaikan, tak berkewajiban menjadikan
orang mendapat petunjuk.
Terkait dengan tak ada atau
sedikitnya "like" pada posting-an tentang sesuatu yang
baik di FB kita, misalnya, saya jadi teringat dengan kata-kata R. Ng. Ronggowarsito
tentang zaman edan. Katanya, “Di zaman edan, siapa yang tidak edan tidak
kebagian. Orang waras dianggap tidak waras, tetapi penjahat negara dianggap
pahlawan. Walaupun begitu, sebaik-baik orang di zaman edan adalah mereka yang
eling lan waspada (ingat dan waspada).” Senada dengan itu, Baharuddin Lopa
(Jaksa Agung RI 2001) yang sangat lurus hatinya, mengatakan, "Banyak
yang salah jalan, tapi merasa tenang karena banyak teman yang sama-sama salah.
Beranilah menjadi benar meskipun sendirian."
Berpikir, tahannuts, dan
pencerahan
Berpikir identik juga dengan tahannuts: mengambil jarak sementara dari hiruk-pikuk duniawi. Ia merupakan upaya manusia memperoleh pencerahan tentang kebenaran. Buya Syakur, dalam ceramahnya yang berjudul "Mengapa Nabi Muhammad Menerima Wahyu di Gua, bukan di Masjid?", mengatakan, menurut salah satu teori psikologi massa, orang betapapun cerdasnya kalau berada di tengah-tengah masyarakat, di lapangan, di pasar, atau di tengah kerumunan, kecerdasannya akan menurun. Ia akan tenggelam bersama dengan yang lain di sekitarnya. Tetapi ketika sendirian, kecerdasan aslinya akan muncul. Seorang profesor dapat ikut marah dan melempar botol air mineral karena tersulut emosi massa. Artinya, akal sehat bisa hilang ketika sedang hura-hura dalam kerumunan. Tapi, kesadaran dan akal sehat akan muncul di saat orang sendirian atau menyepi.
Cerita Buya Syakur, sering beliau lagi ceramah, katanya, ditinggalkan satu persatu oleh jemaah. Jamaah minta ceramah harus ada lucu-lucunya. Tapi beliau tak mau mengalah. Sampai tinggal cuma empat orang pun yang mau mendengarkan ceramah beliau, beliau tetap lanjut. Kalau sudah pulang semuanya, tinggal kursi saja, baru beliau mau turun dari mimbar. Kata beliau, "Saya tidak mau ikut larut dalam kebodohan masyarakat. Kalau saya ikut selera masyarakat, maka kecerdasan saya pun menurun."
Maka perlunya uzlah itu ialah untuk meningkatkan kecerdasaan individual. Dalam uzlah, orang berdialog dengan diri sendiri. Berpikir pada dasarnya adalah juga berdialog dengan diri sendiri. Menyepi dikenal juga dengan istilah uzlah, tahannuts, khalwat, bertapa, nyepi, tetirah, dan istilah lainnya. Orang berfilsafat bisa juga digolongkan sebagai orang yang tengah "menyepi" dari kerumunan. Contohnya Friedrich Nietzsche ketika berpikir dan melahirkan karya-karyanya.
Para nabi maupun orang-orang
besar menerima wahyu (ilham; inspirasi; divine inspiration), wangsit, pencerahan, atau apapun istilah yang
sejenis, adalah di saat mereka sedang sendiri. Tak mungkin, kata Buya Syakur,
orang mendapat wahyu atau semacamnya ketika sedang joget-joget di panggung
sandiwara. Mana ada orang besar keluarnya dari diskotik. Rata-rata orang besar keluar
dari tempat "pertapaan" atau istilah sejenisnya. Orang Arab
mengistilahkan dengan tahannuts, Imam Ghazali menyebutnya uzlah, di
Indonesia sering juga diistilahkan dengan titirah, semedi, atau juga nyepi.
Intinya sama. Bertapa itu sebenarnya bukanlah untuk cari kekayaan sebagaimana
yang sering disalahartikan oleh masyarakat awam, tapi untuk mencari pencerahan
pikiran (akal budi) dan hati.
Dalam sejarahnya, orang-orang
besar seperti Kong Hu Cu, Siddhartha Gautama Buddha, Nabi Musa, Nabi Khidir,
Nabi Ibrahim, Napoleon Bonaparte, Alexander the Great, dan orang-orang besar
lainnya di dunia, menerima wahyu atau pencerahan atau apapun namanya adalah di saat
mereka sedang sendiri, bukan ketika mereka keluar dari diskotik, atau sedang
berada di tengah kerumunan orang di pasar.
Nabi Muhammad menerima wahyu
ketika sedang sendiri di Gua Hira. Nabi Ibrahim ketika sedang di padang
pasir yang tandus dan sepi. Siddhartha Gautama Buddha mendapat pencerahan (enlightenment)
ketika bersemedi di hutan di bawah pohon Bodhi. Nabi Musa mendapat wahyu di
saat sendirian di Bukit Thursina.
Bahkan, Bung Karno mendapat
inspirasi tentang Pancasila juga ketika saat sendiri dalam pengasingan di Pulau Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Dalam
pengasingan selama empat tahun, Bung Karno mengisi waktu dengan berkebun dan
banyak membaca. Dalam buku Bung Karno dan Pancasila: Ilham dari Flores untuk
Nusantara, Bung Karno disebut mempelajari lebih jauh tentang Islam hingga
pluralisme. Dalam pengasingan di daerah terpencil itu, Bung Karno menjadi lebih
banyak berpikir dan merenung.
Bung Karno sering merenung sendirian di bawah pohon sukun yang berjarak 700 meter dari kediamannya di Pulau Ende. Di situlah Bung Karno mengaku mendapatkan pemikiran tentang Pancasila. Itu bisa dibaca dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams. Bung Hatta juga banyak mendapat pencerahan ketika dalam pengasingan dengan membaca banyak buku.
Hamka melahirkan tafsir Al
Azhar saat ia sendiri dalam penjara Orde Lama. Pramoedya Ananta Toer
menulis tetralogi Pulau Buru yang sangat berpengaruh itu ialah di saat ia dalam
pembuangan di Pulau Buru. Antonio Gramsci seorang pemikir Marxis Italia menulis
buku yang cukup fenomenal Prison Notebooks di saat sendirian dalam
penjara rezim fasis Mussolini.
Artinya, di saat-saat orang
sedang jauh dari kerumunan itulah biasanya orang mendapatkan wahyu (divine inspiration) wangsit, pencerahan, atau apapun istilah sejenis lainnya. Jadi, oleh karena
itulah, filsuf Jerman Friedrich Nietzsche sangat membenci moralitas kawanan.
Karena moralitas kawanan membuat orang tidak berani menjadi diri sendiri: moralitas
kawanan menjadikan orang hidup sesuai dengan orang-orang lain. Nietzsche ingin
orang tak perlu ikut-ikutan orang lain. “Jauhi kerumunan. Jadilah otentik,” kata
F. Budi Hardiman.
Analogi hidup berkerumun itu adalah kawanan bebek, atau kawanan domba. Seekor bebek tak berani ambil keputusan sendiri: selalu "membebek" mengikuti kawanannya, larut bersama kawanannya. Menurut Fitzerald Kennedy Sitorus, Grup-grup WA, FB, bisa digolongkan sebagai kerumunan. Oleh karena itu, orang harus berani keluar dari grup-grup WA yang tak jelas. Pesan Friedrich Nietzsche: jadilah orang penting, jangan jadi bagian dari kerumunan yang tak dihitung orang.
Jadi, jangan merasa kecil di saat
sendiri. Apalagi hanya sekedar status FB tak gubris atau tak di-like
oleh banyak orang. Ingat, orang banyak itu belum tentu waras. Orang yang sedang
menyendiri—sedang jauh dari manusia yang lagi berjibaku dan berebut tempat atau
kedudukan duniawi—bisa jadi lebih waras, lebih berakal sehat (meminjam istilah
Rocky Gerung) sebagaimana kata Ng. Ronggowarsito juga di atas.
Pernah juga saya mendengar
ungkapan, "Semua orang sudah gila semua. Kita sendiri yang tidak gila.
Akhirnya, kita yang tidak gila-lah yang dianggap gila." Jadi, tak usah risau
jika ada orang yang, karena prinsip kebenaran yang kita pegang, mengucilkan
kita. Menyisihkan kita. Tak menyukai kita. Kita tetaplah waras dengan terus
berpikir sehat. Tetaplah dalam kebenaran dan selalu mencintai kebenaran. Dengan
berpikir yang benar (berfilsafat), kita menjadi manusia yang waras. Dan
berpikir jugalah yang membedakan manusia dengan binatang.
NANI EFENDI, Alumnus HMI,
Pemikir, Penulis, dan Kritikus Sosial
0 komentar:
Posting Komentar