Dalam filsafat Marxisme, dikenal konsep keterasingan (alienasi) dalam pekerjaan. Apa itu? Manusia itu, idealnya, bekerja untuk merealisasikan potensi dirinya: agar ia (merasa) berharga di dalam kehidupan karena bisa menunjukkan potensi besar dirinya. Semakin hasil kerja manusia itu bermanfaat dan dihargai oleh umat manusia, semakin berbahagialah manusia itu.
Tapi, dalam sistem kapitalisme—yang wujud pekerjaan itu dalam bentuk kerja upahan—manusia tak bekerja demi merealisasikan potensi dirinya yang besar, tapi semata-mata karena keterpaksaan untuk menyambung hidupnya. Bekerja bukan didasari bakat-minat dalam rangka merealisasikan potensi diri yang sejati itulah yang disebut "keterasingan atau alienasi dalam pekerjaan".
R. Haryono Imam dalam tulisannya "Louis Dupre: Alienasi Kultural dalam Pemikiran Karl Marx"—dalam Tim Redaksi Driyarkara, Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (Jakarta: Gramedia, 1993)—menyebutkan, ada empat ciri kerja upahan.
Pertama, pekerjaan tersebut dilakukan tanpa kesempatan memilih secara bebas karena kondisi sosial yang ada didominasi oleh para pemilik modal dan pemilik sarana produksi.
Kedua, yang dicari dalam kerja upahan adalah upah dalam bentuk uang. Orang menjual tenaga kepada pemilik modal, dan setelah itu, pemilik modal-lah yang berkuasa atas penggunaan tenaga kerja itu. Sang pekerja tak kuasa dan bebas lagi atas dirinya sendiri.
Ketiga, pekerjaan itu dilakukan semata-mata karena seseorang, mau tak mau, harus bertahan hidup. Dengan demikian, pekerjaan upahan tidak lagi murni merupakan aktivitas realisasi potensi diri manusia, tapi sekedar usaha terpaksa untuk menyambung hidup. Manusia dipaksa oleh sistem untuk memperbudak dirinya sendiri.
Keempat, pekerjaan upahan mengakibatkan manusia mengalami keterasingan dari hasil kerjanya (karyanya) sendiri, yang setelah dikerjakan lalu dijual. Sehingga ia tak melihat lagi karya-karya kemanusiaannya atau hasil pekerjaannya. Juga keterasingan dari kegiatan pekerjaannya sendiri, karena ia tidak bebas memilih pekerjaan. Karena itu, ia tak mungkin dapat merealisasikan dirinya dengan bekerja. Dengan kata lain, ia dipaksa oleh kondisi sosial untuk mengasingkan dirinya sendiri. Tak ubah seperti binatang: bekerja semata-mata untuk bertahan hidup. Ia melihat alam dan lingkungannya dalam perspektif manfaat untuk mendapatkan uang. Karena itu, ia mengasingkan hakikat kemanusiaannya yang bebas. (Nani Efendi)
0 komentar:
Posting Komentar