Oleh: Lisa Riyanti
Apakah persoalan hubungan antara
Islam dan keindonesiaan—dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia—sudah
selesai? Bisa dijawab sudah, tapi bisa juga belum. Secara dasar negara, boleh
dikata perdebatan itu sudah selesai. Dalam artian, perdebatan itu diakhiri
dengan diterimanya—oleh semua pihak—Pancasila sebagai dasar negara kita, bukan
Islam. Bagi mayoritas kaum muslim Indonesia, Pancasila dianggap tak bertentangan
dengan Islam. Bahkan, nilai-nilai dalam Pancasila itu sudah terkandung
dalam Islam itu sendiri.
Persoalannya menjadi lain, ketika
Pancasila ditafsirkan secara monopolistik oleh rezim. Seakan-akan hanya tafsir pemerintah
saja yang benar. Padahal, Pancasila adalah “teks terbuka” yang bisa ditafsirkan
secara berbeda-beda sesuai konteks. Tak ada tafsir resmi.
Bagi kalangan Islam di Indonesia,
tafsir terhadap Pancasila bukan monopoli rezim. Umat Islam juga berhak
menafsirkan Pancasila dalam tujuan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial.
Oleh karena itu, Pancasila harus dijadikan pedoman umum dalam bernegara. Bukan ideologi
sempit yang hanya benar berdasarkan tafsir rezim yang berkuasa. Jika persoalan
tafsir terhadap Pancasila tak dimonopoli oleh kalangan tertentu, saya pikir tak
ada persoalan antara Islam dan keindonesiaan.
Keterbukaan dan toleransi dalam
Islam
Islam itu agama yang mencintai
kedamaian. Islam adalah agama yang terbuka dan toleran. Toleransi dalam Islam
telah diajarkan oleh Rasulullah dalam kehidupan masyarakat Madinah. Dari kata
Madinah itulah tercipta istilah “masyarakat madani”.
Tentang sikap toleransi dalam
Islam, Allah berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
(QS. Al Mumtahanah: 8-9)
Ayat ini mengajarkan prinsip
toleransi, yaitu, selama tidak ada sangkut pautnya dengan aqidah, hendaklah
setiap muslim berbuat baik pada sesama
manusia. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat
baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada
wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil
karena Allah menyukai orang yang berbuat adil.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7:
247). Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah mengatakan bahwa bentuk berbuat baik
dan adil di sini berlaku kepada setiap agama. Lihat Tafsir Ath Thobari, 14: 81.
Islam dan Hak Azasi Manusia
Sebelum isu “HAM” seperti yang kita kenal saat ini, Islam telah mengajarkan tentang perlindungan terhadap hak azasi manusia. Dalam khutbah terakhir Rasulullah—sebagaimana dijelaskan oleh KH Ahmad Chodri Romli melalui karyanya Ensiklopedia Haji & Umrah: Ensiklopedia Terlengkap Lintas-Mazhab Seputar Haji dan Umrah dari A sampai Z (2018)—beliau menyampaikan beberapa pesan penting.
Pesan penting Rasulullah
dalam Khutbah Haji Wada' itu antara lain: penegasan bahwa semua umat Islam
bersaudara; larangan bagi umat Islam mengambil harta dan hak orang mukmin
lainnya; wasiat Rasulullah agar umat Islam memegang teguh Al-Quran dan Sunnah
Nabi; perintah bagi umat Islam agar menunaikan amanah; penghapusan segala macam
amalan dan tradisi jahiliyah; pengampunan atas tuntutan "utang darah"
di zaman jahiliyah; penegasan tentang haramnya riba; perintah agar suami-istri
saling memenuhi hak masing-masing; dan lain-lain.
Dari pesan Rasulullah dalam Khutbah
Haji Wada’, jelas bahwa beliau memerintahkan umat Islam untuk melindungi hak azasi
manusia. Umat Islam diperintahkan untuk melindungi harta maupun nyawa setiap
manusia. Perintah Rasulullah itu merupakan “deklarasi” terhadap perlindungan
HAM bagi manusia di muka bumi.
Lisa Riyanti, Peserta LK III dari Badko Sumbar
0 komentar:
Posting Komentar