Kebudayaan, yang semestinya merupakan totalitas aktivitas manusia, dalam masyarakat modern kapitalistik dikecilkan menjadi bagian kecil dan sekunder dari totalitas aktivitas manusia yang didominasi oleh aktivitas produksi ekonomis.
Di saat seperti itulah terjadi keterasingan budaya (alienasi budaya), atau oleh R. Haryono—dalam tulisannya "Louis Dupre: Alienasi Kultural dalam Pemikiran Karl Marx" dalam Tim Redaksi Driyarkara, Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (Jakarta: Gramedia, 1993)— diistilahkan dengan "alienasi kultural". "Akibatnya, semua yang bukan aktivitas produksi ekonomis dikesampingkan dari kehidupan masyarakat. Aktivitas produksi ekonomis itulah yang menjadi bidang primer manusia," kata R. Haryono Imam.
Kebudayaan, dalam masyarakat kapitalis, direduksi menjadi seni dan sastra saja—menjadi bagian kehidupan yang sekunder, atau bagian kecil dari kehidupan. Jika disebut kata "budaya", yang terbayang adalah tari-tarian, lukisan, karya sastra, dan aktivitas seni lainnya.
Seni, yang seharusnya menjadi ekspresi dan realisasi potensi manusia, menjadi terdominansi oleh aktivitas produksi ekonomis. Bahkan, seni juga sudah dijadikan "barang komoditi" seperti barang-barang komoditi industri lainnya.
Seni dipandang sebagai hiburan belaka. Ia telah direduksi untuk menjadi sekedar mendapatkan keuntungan ekonomis. Padahal, seni, dan juga sastra, merupakan realisasi potensi estetika manusia dan kritik kesadaran manusia. Seni lebih luas dari sekedar hiburan. Seni mampu menjadi sarana kritik sosial.
Tapi, dalam masyarakat kapitalis, seni menjadi "objek" yang dijadikan barang dagangan. Artinya, seniman mencipta bukan lagi murni sebagai ungkapan ekspresi seni yang tinggi, bukan lagi karena bakat estetis, tapi hanya karena keterpaksaan untuk mencari keuntungan materil agar dapat bertahan hidup, dan mungkin menjadi juga menjadi kaya. Dengan kata lain: bukan lagi murni panggilan jiwa, tapi menyesuaikan dengan tuntutan pasar. (Nani Efendi).
0 komentar:
Posting Komentar