alt/text gambar

Minggu, 15 Juni 2025

,

BUKAN BUNDA SALAH MENGANDUNG

Kota Solok di masa lalu


Oleh: Nani Efendi


"Bukan Bunda Salah Mengandung" adalah subjudul dalam novel Salah Asuhan, karya Abdoel Moeis (1928). Novel ini mengisahkan tentang seorang anak Pribumi yang diasuh dan dibesarkan dalam keluarga Belanda dan bersekolah di HBS—sebuah lembaga pendidikan paling bergengsi zaman kolonial Belanda: sekolah menengah atas yang hampir eksklusif buat anak-anak Eropa dan inlander kelas atas.

Anak itu adalah pemuda Solok, Sumatera Barat, bernama Hanafi. Pengasuhan dalam keluarga Belanda itulah yang membentuk kepribadian Hanafi. Ia jadi merasa rendah diri sebagai Pribumi dan ingin sekali lepas dari status ke-"pribumi"-annya itu. Ia sangat mengagumi bangsa Eropa dan memandang rendah bangsanya sendiri. Satu-satunya orang Pribumi yang dicintainya hanyalah ibu kandungnya sendiri. 

Membaca kembali novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, kata Goenawan Mohamad, adalah mengikuti kembali sebuah cerita pedih. 

Dalam Catatan Pinggir berjudul "Han", GM mengomentari novel ini dengan cukup menarik: prosa pengarang masa tahun 1920-an ini sekarang akan terasa kaku, alurnya alot, dan themanya tak terasa segar; tapi ia merekam sebuah suasana yang menyesakkan.

"Hanafi," kata GM, "mirip seorang pemuda Minang lain, Samsulbahri dalam novel Sitti Nurbaya: Belajar di sekolah Belanda, dengan penampilan seperti bukan orang Minang (“Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka anak muda itu seorang anak Belanda...”), pemuda itu tak canggung berdansa dan minum anggur dan kelak ia jadi bagian tentara kolonial."

Hanafi sedikit lain: ia jadi pegawai administrasi di Departemen BB—(Binnenlands Bestuur ("pemerintahan dalam negeri", disingkat "BB"), atau disebut juga Gewestelijk Bestuur ("pemerintahan daerah"), salah satu bentuk birokrasi pemerintahan pada masa Hindia Belanda yang terdiri atas orang-orang Eropa.

Menceraikan isterinya, Rapiah, gadis Solok juga, dan melalui proses 'gelijkstelling', Hanafi berhasil dianggap setaraf dengan orang Belanda. Ia memakai nama 'Han Christiaan'. 

"Jadi engkau sekarang sudah menjadi orang Eropa! 'Christiaan', sungguh manis bunyinya...," kata Corrie (hlm. 141). 

Hanafi jatuh cinta pada gadis Indo dengan ayah Prancis, bernama Corrie du Busse. 

Karena ingin menikahi Corrie, Hanafi rela melepas status ke-“pribumi”-annya. Dan akhirnya berhasil dipersamakan statusnya setaraf orang Eropa dengan memakai nama “Christiaan". Proses itu, kata GM, dianggap seakan-akan hasil evolusi manusia.

Novel dari tahun 1928 ini, kata GM, mengingatkan: pernah pada suatu masa dalam sejarah Indonesia, ada kolonialisme—kekuasaan yang bukan cuma mengisap, tapi juga menampik manusia. 

Dua tokoh utamanya, Hanafi dan Corrie, gagal dalam perkawinan dan akhirnya mati, karena tersekat oleh perbedaan bangsa atau ras. Dalam novel itu diceritakan: tak pantaslah seorang wanita bangsa Eropa menikah dengan kaum pribumi yang mereka nilai "rendah". Eropa menganggap ras mereka superior dibanding ras Melayu atau Pribumi. 

Tapi, 'sistem gelijkstelling' membuka kemungkinan perpindahan status 'pribumi' ke status 'Eropa', tapi sebenarnya juga pengukuhan politik identitas masa itu, tulis GM. 

Tulis GM:

"Apa boleh buat. Kolonialisme Hindia Belanda: sebuah politik identitas yang dilembagakan secara brutal, yang menampik manusia sebagai manusia, sebagai proses.  

Seakan identitas dianggap 'jati diri'—rumusan tentang diri yang 'sejati'. Seakan-akan kita bisa mengetahui hakikat yang 100% pas dan tak berubah dalam diri kita. 

Kolonialisme berbasis pada desain itu. Politik identitas: pembekuan manusia. Orang dibekukan agar mudah didaftar dan dikuasai.

Ketika Hanafi mencoba jadi orang Eropa tak berarti ia menafikan pembekuan itu. Ia justru mengukuhkannya. Proses perubahan dalam 'gelijkstelling' bukannya penyetaraan; identitas baru itu, 'Eropa', diraih sebagai penegasan rendahnya derajat identitas lama, 'bumiputra'.  

Dalam dunia yang dibelah identitas itulah Hanafi dan Corrie tersekat. Corrie meninggal, Hanafi gagal. Pemuda ini, si Malin Kundang, kembali ke Solok. Ketika ia juga mati, ia nyaris tak dimakamkan di kampung, karena ia sudah 'masuk Belanda'. Politik identitas merundungnya sampai kubur." 

***

Novel Salah Asuhan benar-benar memperkaya jiwa dan memberi pencerahan luar biasa bagi saya. Tak dapat disangkal, ia merupakan—menurut saya—karya sastra yang wajib dibaca oleh anak bangsa untuk memperkaya pengetahuan sejarah dan bangsanya sendiri. Ia bukan sebatas kisah percintaan yang gagal antara dua anak manusia. (Nani Efendi


Sabtu, 14 Juni 2025

Salah Asuhan

Salah Asuhan, karya Abdoel Moeis

Oleh: Nani Efendi


Membaca kembali novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, kata Goenawan Mohamad, adalah mengikuti kembali sebuah cerita pedih. 

Dalam Catatan Pinggir berjudul "Han", GM mengomentari novel ini dengan cukup menarik: prosa pengarang masa tahun 1920-an ini sekarang akan terasa kaku, alurnya alot, dan themanya tak terasa segar; tapi ia merekam sebuah suasana yang menyesakkan.

Tokoh utama novel ini adalah pemuda Solok, Sumatera Barat, bernama Hanafi. Hanafi dibesarkan dan diasuh oleh keluarga Belanda dan bersekolah di HBS—sebuah lembaga pendidikan paling bergengsi zaman kolonial Belanda: sekolah menengah atas yang hampir eksklusif buat anak-anak Eropa dan inlander kelas atas.

Pengasuhan dalam keluarga Belanda itulah yang membentuk kepribadian Hanafi. Ia jadi merasa rendah diri sebagai Pribumi dan ingin sekali lepas dari status ke-"pribumi"-annya itu. Ia sangat mengagumi bangsa Eropa dan memandang rendah kaum Pribumi, bangsanya sendiri. Satu-satunya orang Pribumi yang dicintainya hanyalah ibu kandungnya sendiri. 

"Hanafi," kata GM, "mirip seorang pemuda Minang lain, Samsulbahri dalam novel Sitti Nurbaya: Belajar di sekolah Belanda, dengan penampilan seperti bukan orang Minang (“Jika dipandang dari jauh, tentulah akan disangka anak muda itu seorang anak Belanda...”), pemuda itu tak canggung berdansa dan minum anggur dan kelak ia jadi bagian tentara kolonial."

Hanafi sedikit lain: ia jadi pegawai administrasi di Departemen BB—(Binnenlands Bestuur ("pemerintahan dalam negeri", disingkat "BB"), atau disebut juga Gewestelijk Bestuur ("pemerintahan daerah"), salah satu bentuk birokrasi pemerintahan pada masa Hindia Belanda yang terdiri atas orang-orang Eropa.

Menceraikan isterinya, Rapiah, gadis Solok juga, dan melalui proses 'gelijkstelling', Hanafi berhasil dianggap setaraf dengan orang Belanda. Ia memakai nama 'Han Christiaan'." 

"Jadi engkau sekarang sudah menjadi orang Eropa! 'Christiaan', sungguh manis bunyinya...," kata Corrie (hlm. 141). 

Hanafi jatuh cinta pada gadis Indo dengan ayah Prancis, bernama Corrie du Busse. 

Karena ingin menikahi Corrie, Hanafi rela melepas status ke-“pribumi”-annya. Dan akhirnya berhasil dipersamakan statusnya setaraf orang Eropa dengan memakai nama “Christiaan". Proses itu, kata GM, dianggap seakan-akan hasil evolusi manusia.

Novel dari tahun 1928 ini, kata GM, mengingatkan: pernah pada suatu masa dalam sejarah Indonesia, ada kolonialisme—kekuasaan yang bukan cuma mengisap, tapi juga menampik manusia. 

Dua tokoh utamanya, Hanafi dan Corrie, gagal dalam perkawinan dan akhirnya mati, karena tersekat oleh perbedaan bangsa atau ras. Dalam novel itu diceritakan: tak pantaslah seorang wanita bangsa Eropa menikah dengan kaum pribumi yang mereka nilai "rendah". Eropa menganggap ras mereka superior dibanding ras Melayu atau Pribumi. 

Tapi, 'sistem gelijkstelling' membuka kemungkinan perpindahan status 'pribumi' ke status 'Eropa', tapi sebenarnya juga pengukuhan politik identitas masa itu, tulis GM. 

Tulis GM:

"Apa boleh buat. Kolonialisme Hindia Belanda: sebuah politik identitas yang dilembagakan secara brutal, yang menampik manusia sebagai manusia, sebagai proses.  

Seakan identitas dianggap 'jati diri'—rumusan tentang diri yang 'sejati'. Seakan-akan kita bisa mengetahui hakikat yang 100% pas dan tak berubah dalam diri kita. 

Kolonialisme berbasis pada desain itu. Politik identitas: pembekuan manusia. Orang dibekukan agar mudah didaftar dan dikuasai.

Ketika Hanafi mencoba jadi orang Eropa tak berarti ia menafikan pembekuan itu. Ia justru mengukuhkannya. Proses perubahan dalam 'gelijkstelling' bukannya penyetaraan; identitas baru itu, 'Eropa', diraih sebagai penegasan rendahnya derajat identitas lama, 'bumiputra'.  

Dalam dunia yang dibelah identitas itulah Hanafi dan Corrie tersekat. Corrie meninggal, Hanafi gagal. Pemuda ini, si Malin Kundang, kembali ke Solok. Ketika ia juga mati, ia nyaris tak dimakamkan di kampung, karena ia sudah 'masuk Belanda'. Politik identitas merundungnya sampai kubur." 

***

Novel Salah Asuhan benar-benar memperkaya jiwa dan memberi pencerahan luar biasa bagi saya. Tak dapat disangkal, ia merupakan—menurut saya—karya sastra yang wajib dibaca oleh anak bangsa untuk memperkaya pengetahuan sejarah dan bangsanya sendiri. Ia bukan sebatas kisah percintaan yang gagal antara dua anak manusia. (Nani Efendi


Selasa, 10 Juni 2025

BARZANJI

 

Menurut Gus Dur, kitab al-Barzanji—yang sering dibaca oleh masyarakat kita dalam acara-acara tertentu—merupakan produk sastra Arab di masa kegelapan. 

Masa kegelapan yang dimaksud Gus Dur dalam konteks ini ialah masa hilangnya spontanitas kreatif masyarakat Arab akibat pengaruh unsur-unsur Yunani ke dalam kebudayaan IsIam pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, yang menundukkan kebudayaan Arab ke dalam kerangka berpikir rasionalitas-formal, suatu hal yang, kata Gus Dur, berlawanan dengan pembawaannya sendiri, yang lebih bersandar pada pengungkapan perasaan yang dalam secara spontan daripada kepada perumusan pikiran-pikiran yang abstrak. 

Bahasa Arab yang begitu plastis dalam ungkapannya, begitu kaya dengan alegori dan begitu halus dalam perumpamaannya, kata Gus Dur, akhirnya harus digunakan hanya dalam rangka kaidah-kaidah bahasa yang kaku, dibebani oleh sistem retorika yang bersifat klise rutin yang tidak mampu mengungkapkan kekayaan bahasa dan kedalaman perasaan mereka. 

Gus Dur menulis:

“'Kenakalan' beberapa sastrawan untuk mengungkapkan perasaan dengan ungkapan bahasa yang kasar, seperti yang dilakukan oleh Abu Nuwas dan Abu Ala al-Maary, secara cepat “ditertibkan” dengan perantaraan kaidah-kaidah bahasa dan sastra yang disusun menurut ukuran-ukuran estetika non-Arab, sehingga hilanglah spontanitas kreatif dari kebudayaan Arab secara berangsur-angsur. Padahal, justru spontanitas itulah jiwa dari kreativitas kebudayaan itu di masa-masa sebelumnya. Demikianlah yang dialami oleh semua bidang kebudayaan di luar kesusastraan waktu itu.

Ketiadaan saluran bagi spontanitas kreatif inilah yang akhirnya mendorong terjadinya letupan perasaan mereka dalam sub-kultur golongan tasawuf. Bagaikan angin segar yang menyirami kekeringan jiwa kebudayaan Arab waktu itu, ekspresi spontan dari kedambaan para mistikus Islam akan pendekatan maksimal dengan Tuhan, sekali lagi menemukan bentuknya pada pengungkapan kembali kekayaan kebudayaan pra-Islam, baik dalam produk tasawuf yang berbahasa Arab maupun Persia. 

Para penyair sufi menyanyikan lagu cinta kepada Sang Pencipta secara profan, sebagaimana dahulu para penyair Jahiliyah mendendangkan tema percintaan mereka. Demikian pula seni lukis dan seni musik memperoleh kembali tempat mereka semula, seperti dalam ritual grup-grup sufi (halaqah) Abu 'Aly al-Farrash dan Abu Yazid al-Bistam. 

Tapi kebangunan kebudayaan lama yang ditimbulkan oleh gerakan tasawuf ini tidak sampai menciptakan kembali kegemilangan kebudayaan Arab, karena gerakan itu sendiri dalam waktu tidak lama juga mengalami “penertiban” dari pihak golongan pemegang hukum agama (golongan ahli hukum syara, yang biasanya dipertentangkan dengan para sufi yang dinamai ahli makrifat atau ahli hakikat).

Sekali lagi kebudayaan Arab kehilangan kesempatan untuk menunjukkan kekayaan dirinya, dan jatuh ke dalam pengulangan ekspresi hidup kejiwaan yang menggunakan gaya klise rutin belaka, berpuncak pada sistem ritual-liturgis (wirid) yang telah dilegalisir oleh agama, baik dalam rangka gerakan tasawuf yang telah ditertibkan (tariqah mu'tabarah) maupun di luarnya. Salah satu puncak dari produk jenis ini adalah ode-ode yang panjang yang ditujukan kepada Rasulullah s.a.w., seperti karya-karya al-Barzanji, al-Dzaiba'y dan Ode al-Burdah karya al-Busairy, yang dianggap sebagai puncak produk sastra Arab di masa kegelapan tersebut.

***

Barzanji merupakan salah satu kitab yang menjelaskan kisah-kisah Nabi Muhammad s.a.w, mulai dari kelahirannya dan perjalanan dakwahnya. Di samping Barzanji, ada banyak kitab yang menjelaskan kisah-kisah Nabi Muhammad. 

Nama lengkap pengarang kitab Barzanji adalah Sayyid Zainal ‘Abidin Ja’far bin Hasan bin ‘Abdul Karim al-Husaini asy-Syahzuri al-Barzanji. Beliau kelahiran Madinah al-Munawwarah pada 1128 Hijriah atau 1716 Masehi.


Referensi:

1. Abdurrahman Wahid, "Kebudayaan Arab dan Islam", dalam Hairus Salim (Peny.), Insya Allah, Saya Serius: NU, Muhammadiyyah, dan Budaya Arab, Yogyakarta: Penerbit Gading, 2024, h. 7-19.

2. "Mengenal Kitab Maulid Al-Barzanji: Penyusun, Keutamaan, dan Cara Bacanya", dalam nu.or.id

Rocky Gerung: Merawat Republik, Mengaktifkan Akal Sehat

Naskah Pidato Kebudayaan

Dewan Kesenian Jakarta
10 November 2010


Memelihara Republik, Mengaktifkan Akal Sehat

Rocky Gerung

I


Indonesia hari-hari ini…

Ada konvoi pemuda beringas berkeliling kota menebar moral. Ada anak muda memetik dawai mengelilingi dunia mengukir prestasi.
Ada fatwa penyair tua sepanjang hari membenci tubuh. Ada pelajar menggondol medali biologi di pentas dunia berkali-kali.
Ada lumpur pebisnis dibersihkan negara dengan pajak rakyat. Ada perempuan desa menembus bukit menyalurkan air bersih dengan tangannya sendiri.
Ada koruptor diusung partai jadi pahlawan. Ada relawan bergegas ke medan bencana tanpa menyewa wartawan.

Kita seperti hidup dalam dua Republik: Republic of Fear dan Republic of Hope. Akal sehat kita tentu menghendaki perwujudan Republic of Hope itu, secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Tetapi nampaknya, penguasa politik lebih memilih memelihara Republic of Fear, karena di situlah statistik Pemilu dipertaruhkan. Kemajemukan hanya diucapkan di dalam pidato, selebihnya adalah tukar-tambah kepentingan yang diatur para broker. Hak Asasi Manusia dipromosikan ke mancanegara, tetapi kejahatan kemanusiaan di dalam negeri, diputihkan untuk modal Pemilu. Toleransi dihimbaukan ke seluruh rakyat, tetapi ketegasan tidak hendak dilaksanakan. Mengapung diatas bara sosial itu, sambil membayangkan siasat politik suksesi, adalah agenda harian elit politik hari-hari ini.

Politik tidak diselenggarakan di ruang publik, tetapi ditransaksikan secara personal. Tukar tambah kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis, tetapi semata-mata karena oportunisme individual. Di layar nasional, politik elit tampil dalam bentuknya yang paling dangkal: jual-beli di tempat! Tidak ada sedikitpun upaya “sofistikasi” untuk sekedar memperlihatkan sifat “elitis” dari percaloan politik itu. Dengan wajah standar, para koruptor menatap kamera, karena yakin bahwa putusan hakim dapat dibatalkan oleh kekuasaan, bila menolak ditukar saham. Dan sang hakim (juga jaksa dan polisi) memang mengkondisikan sebuah keputusan yang transaksional. Kepentingan bertemu kepentingan, keinginan bersua kebutuhan.

Di layar lokal, politik bahkan sudah diresmikan sebagai urusan “uang tunai”. Seorang calon kepala daerah sudah mengijonkan proyek-proyek APBD kepada para pemodal, bahkan sebelum ia mencalonkan diri dalam Pilkada. Struktur APBD daerah umumnya condong membengkak pada sisi pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada sisi pengeluaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Maka sangat mudah memahami bahwa “human development index” kita tetap rendah karena biaya renovasi kamar mandi bupati lebih didahulukan ketimbang membangun puskesmas. Bahkan antisipasi terhadap kemungkinan sang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, juga sudah dipikirkan. Maka berbondong-bondonglah para kepala daerah bermasalah itu hijrah dari partai asalnya, masuk ke partai penguasa. Tentu itu bukan transfer politik gratisan. Tadah-menadah politik sudah menjadi subkultur politik nasional. Sekali lagi: kepentingan bertemu kepentingan, kemauan bersua kebutuhan.

Dalam perjanjian konstitusional negara dengan warganegara, keadilan dan keamanan dijadikan agunan untuk menetapkan kewajiban timbal balik. Karena itu, bila saudara membayar pajak, maka saudara berhak memperoleh sistem politik yang memungkinkan keadilan itu diwujudkan. Bila saya patuh pada hukum, maka saya berhak menerima rasa aman dari negara. Tetapi urusan inilah yang kini amat jauh dari harapan publik. Para perusak hukum justeru dilindungi negara. Para pengemplang pajak, justeru dirangkul negara. Dan dalam urusan sistem politik, kita berhadapan dengan persekongkolan politik kartel yang memonopoli distribusi sumber daya politik dan ekonomi. Bahkan oligarki kekuasaan yang sesungguhnya, hanya melibatkan dua-tiga tokoh kunci yang saling menyogok, saling tergantung, dan saling mengintai. Politik menjadi kegiatan personal dari segelintir elit yang terjebak dalam skenario yang saling mengunci, karena masing-masing terlibat dalam persekutuan pasar gelap kekuasaan pada waktu Pemilu.

Ketergantungan politik pada uang-lah yang menerangkan persekongkolan itu. Pertaruhan ini tidak ada hubungannya dengan politik ideologi, karena relasi personal telah menyelesaikan persaingan ideologi. Relasi itu tumbuh karena pelembagaan politik tidak berlangsung. Artinya, sistem kepartaian modern dan sistem parlemen kita tidak tumbuh di dalam kebutuhan untuk membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena kepentingan elitis individual. Pemahaman tentang dalil-dalil bernegara tidak diajarkan di dalam partai politik. Etika publik bukan merupakan prinsip politik parlemen. Bahwa seolah-olah ada kesibukan mengurus rakyat, itu hanya tampil dalam upaya mempertahankan kursi politik individual, dan bukan karena kesadaran untuk memberi pendidikan politik pada rakyat. Parlemen adalah kebun bunga rakyat, tetapi rakyat lebih melihatnya sebagai sarang ular. Tanpa gagasan, minim pengetahuan, parlemen terus menjadi sasaran olok-olok publik. Tetapi tanpa peduli, minim etika, parlemen terus menjalankan dua pekerjaan utamanya: korupsi dan arogansi.

Defisit akal di parlemen adalah sebab dari defisit etika. Arogansi kepejabatan digunakan untuk menutupi defisit akal. Maka berlangsunglah fenomena ini: sang politisi yang sebelumnya menjadi pengemis suara rakyat pada waktu Pemilu, kini menyatakan diri sebagai pemilik kedaulatan. Seperti anjing yang menggonggongi tuannya, politisi memutus hubungan historisnya dengan rakyat, dan mulai berpikir menjadi pengemis baru. Kali ini, bukan pada rakyat, tetapi pada kekuasaan eksekutif. Faktor inilah yang menerangkan mengapa oposisi tidak dapat bekerja dalam sistem politik kita. Tukar tambah kepentingan antara eksekutif dan legislatif bahkan berlangsung sampai urusan “titik dan koma” suatu rancangan undang-undang. Transaksi itu sering tidak ada kaitannya dengan soal-soal ideologis, karena memang motif koruptiflah yang bekerja di bawah meja-meja sidang.

Asal-usul politik koruptif ini terkait dengan tidak adanya kurikulum “kewarganegaraan” dalam semua jenjang pendidikan nasional. Sistem pendidikan kita tidak mengorientasikan murid pada kehidupan publik. Konsep “masyarakat” di dalam kurikulum sekolah tidak diajarkan sebagai “tanggung jawab merawat hidup bersama”, tetapi lebih sebagai kumpulan ajaran moral komunal yang pertanggungjawabannya diberikan nanti di akhirat. Konsep “etika publik” tidak diajarkan sebagai keutamaan kehidupan “bermasyarakat”.

Memang, amandemen konstitusi tentang tujuan pendidikan nasional bahkan lebih mengutamakan pendidikan “akhlak” ketimbang “akal”. Konsekwensinya terhadap kehidupan Republik sangatlah berbahaya, karena warganegara tidak dibiasakan sejak dini untuk secara terbuka berargumen. Sangatlah bertentangan misi pendidikan itu dengan imperatif konstitusi kita yang mewajibkan kita “melihat dunia” melalui “kecerdasan” dan “perdamaian”. Sesungguhnya filsafat publik kita semakin merosot menjadi pandangan sempit dan picik, karena pertarungan kecerdasan di parlemen di dalam membela ide masyarakat bebas tidak dapat berlangsung. Pengetahuan dan pemahaman konseptual tentang ide Republik lebih banyak diucapkan dalam retorika “nasionalisme”, dan karena itu kedudukan primer konsep “warganegara” tidak cukup dipahami.

“Kewarganegaraan” adalah ide tentang tanggung jawab warganegara lintas politik, lintas komunal. Realisasinya memerlukan pemahaman fundamental tentang etika parlementarian, yaitu bahwa “kedaulatan rakyat” tidak pernah diberikan pada “wakil rakyat”. Yang diberikan hanyalah kepentingan rakyat tentang satu isu yang secara spesifik didelegasikan pada “si wakil”, dan karena itu dapat ditarik kembali setiap lima tahun. Juga dalam tema ini kita pahami bahwa “kedaulatan rakyat” tidak sama dengan “mayoritarianisme”. Kedaulatan rakyat justeru difungsikan untuk mencegah demokrasi menjadi permainan politik golongan mayoritas. Itulah sebabnya kedaulatan rakyat tidak boleh dikuantifikasi dalam statistik atau dalam hasil Pemilu.

Defisit politik warganegara juga adalah akibat dari surplus politik feodal. Hari-hari ini hegemoni kultur politik feodal itu masuk dalam politik publik melalui langgam perpolitikan istana, ketika “kesantunan” menyisihkan “kritisisme”. Dan kultur itu terpancar penuh dari bahasa tubuh Presiden. Prinsip yang berlaku adalah: kritik politik tidak boleh membuat kuping Presiden menjadi merah.


Feodalisme adalah sistem kekuasaan. Kita tentu tidak menemukannya lagi dalam masyarakat modern. Tetapi seorang penguasa dapat terus mengimajinasikan dirinya sebagai “raja”, “tuan”, “pembesar” dan sejenisnya, dan dengan kekuasaan itu ia menyelenggarakan pemerintahan. Kita justeru merasakan itu dalam kepemimpinan politik hari-hari ini, dalam diskursus bahasa tubuh, dalam idiom-idiom tatakrama, dalam simbol-simbol mistik, bahkan dalam politik angka keramat.

Di dalam kultur feodalistik, percakapan politik tidak mungkin berlangsung demokratis. Bukan saja karena ada hirarki kebenaran di dalam diskursus, tetapi bahkan diskursus itu sendiri harus menyesuaikan diri dengan “aturan politik feodal”, aturan yang tak terlihat namun berkekuasaan. Sangatlah aneh bila kita berupaya menyelenggarakan sebuah birokrasi yang rasional dan impersonal, tetapi mental politik yang mengalir dalam instalasi birokrasi kita masih mental feodal.

Konsolidasi demokrasi memang sudah tertinggal oleh akumulasi kekuasaan. Enersi yang pernah kita himpun untuk menghentikan otoritarianisme, tidak lagi cukup untuk menggerakkan perubahan. Sebagian disebabkan oleh sifat politik reformasi yang amat “toleran”, sehingga memungkinkan seorang jenderal pelanggar HAM duduk berdebat semeja dengan seorang aktivis HAM, mengevaluasi kondisi demokrasi. Juga tidak aneh menyaksikan seorang tokoh terpidana korupsi menjadi narasumber sebuah talkshow yang membahas arah pembangunan nasional. Transisi yang amat toleran itu telah meloloskan juga obsesi-obsesi politik komunalistik yang hendak mengatur ruang politik publik dengan hukum-hukum teokrasi. Di dalam keserbabolehan itulah kekuasaan politik hari-hari ini menarik keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi berdiri di atas politik uang dan politik ayat, kekuasaan itu kini tampak mulai kehilangan keseimbangan. Antara tergelicir ke dalam lumpur, atau tersesat di gurun pasir, kekuasaan itu tampak kelelahan untuk bertahan.

II
Tetapi Republik harus tetap berdiri…

Republik adalah ide minimal untuk menyelenggarakan keadilan, kesetaraan dan kemajemukan. Normativitas ini menuntut pekerjaan politik, pada dua lapis. Pertama, suatu imajinasi intelektual untuk merawat konsep “publik” pada kondisi sekulernya. Kedua, suatu perlawanan politik terhadap teokratisasi institusi-institusi publik. Artinya, ide republik hanya dapat terselenggara di dalam suatu usaha intelektual yang berkelanjutan, yaitu usaha mempertahankan kondisi perdebatan politik pada dataran duniawi, sosiologis dan historis. Usaha ini bukan dimaksudkan untuk meyakinkan kaum absolutis, melainkan untuk membantu mereka yang ragu-ragu karena kekurangan alat kalkulasi logis. Mereka yang “ragu-ragu” inilah sesungguhnya yang dapat “membiarkan” demokrasi dikuasai dan dikendalikan oleh politik absolutis. Golongan “ragu-ragu” ini bukan saja mengalami kecemasan di dalam membayangkan suatu masyarakat sekuler, tetapi juga tergoda membayangkan suatu “keuntungan moral” di dalam suatu politik teokratis. Gangguan akal sehat semacam inilah yang secara cepat dimanfaatkan oleh politik fundamentalisme untuk menebar hegemoni moral mayoritas.

Menerangkan politik sebagai urusan warganegara, sekaligus berarti mempertahankan argumen masyarakat sekuler. Di dalam Republik, status primer seseorang adalah sebagai warganegara (citizen). Ia tentu memiliki sejumlah status privat: agama, etnis, dll. Tetapi status privat tidak mungkin diajukan untuk mendukung argumentasi publik. Republik hanya berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan agama warganegara misalnya, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin hak berkeyakinan itu, sebagai hak warganegara. Dan sebagai hak, setiap orang bebas mendeskripsikan preferensi religiusnya, sekaligus bebas untuk tidak menggunakannya. Kandungan moral agama bukan urusan negara. Tetapi bila kandungan itu melahirkan kriminalitas, maka negara menghukum atas dasar hukum publik, dan bukan melarang isi keyakinan itu. Batas itu harus dipegang secara teguh sebagai prinsip pendidikan politik publik. Dan prinsip itu harus diterangkan sejak dini pada murid sekolah, dipastikan dipahami oleh anggota partai politik, dan dijadikan diktum pejabat publik. Dengan cara itu kita tidak perlu lagi mendengar pejabat publik mengucapkan kebodohan karena memaksakan pandangan moral pribadinya terhadap soal publik. Di sini sekaligus perlu kita ingatkan bahwa para menteri adalah pembantu Presiden, dan bukan asisten Tuhan.

Keragu-raguan untuk menerima dan menjalankan konsekwensi politik dari ide Republik, terutama disebabkan oleh kepentingan politisasi kekuasaan terhadap kondisi antropologis bangsa ini. Bagaimanapun, simbol-simbol primordial tidak mungkin punah hanya oleh gerak ekonomi global, modernisasi dan kosmopolitanisme. Politik identitas telah menjadi reaksi logis dari kosmopolitanisme, tetapi pemanfaatan politiknyalah yang menjadi isu utama di negeri ini. Artinya, kondisi atropologis kita yang masih kuat berbasis pada paham-paham komunal, juteru dieksploitasi oleh kekuasaan untuk diperjualbelikan di dalam pasar politik. Maka sangatlah ironis ketika kita mengucapkan demokrasi sebagai pilihan sistem politik, pada saat yang sama kita sudah berencana memenangkan pemilu dengan peralatan-peralatan primordial, terutama agama.

Di dalam Republik, kita menyelenggarakan pluralisme. Artinya, kita bukan sekedar mengakui perbedaan pandangan hidup, tapi kita sendiri juga dapat berobah pandangan hidup. Dalam pluralisme, kita tidak menyebut kebenaran itu “relatif”, melainkan “tentatif”. Karena itu selalu terbuka kesempatan untuk berselisih pendapat, agar kita bisa bercakap-cakap.

Kewarganegaraan adalah percakapan diantara mereka yang tidak fanatik. Republik adalah lokasi politik yang menampung semua proposal sekuler. Di sini kita harus pahami ide Republik bukan semata-mata sebagai instalasi politik teknis, tetapi sebagai struktur percakapan etis. Di dalam Republik, “suasana” percakapan publiklah yang lebih utama ketimbang fasilitas-fasilitas politiknya (partai, pengadilan, birokrasi). Di dalam Republik-lah manusia menyelenggarakan dirinya sebagai “zoon politicon”, merundingkan kepentingan bersama, memutuskan keadilan dan mendistribusikan kebutuhan dasar. Proses ini mengandaikan kebebasan dan kesetaraan. Itulah sifat publik dari politik. Dengan kata lain, intervensi nilai-nilai personal ke dalam ruang publik tidak boleh terjadi. Nilai personal, pandangan moral komunal, harus dikonversi ke dalam tata bahasa politik publik bila ingin diajukan sebagai proposal publik. Artinya, keterbukaan dan kesetaraan di dalam Republik hanya mengandalkan diskursus rasio publik. Dan sifat diskursus itu adalah falibilis, bukan absolutis. 


Kemajemukan dan “suasana Republik”, sesungguhnya telah kita miliki jauh sebelum Proklamasi diucapkan. Sumpah Pemuda adalah sumber enersi kemajemukan yang sesungguhnya. Pikiran politik di tahun 1928 itu menyadari sepenuhnya kondisi ideologis bangsa ini, kondisi yang potensial bagi konflik horisontal, dan karena itu para pemuda hanya bersepakat untuk tiga hal: satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Sumpah Pemuda tidak bersepakat demi soal-soal akhirat, tetapi demi urusan antar manusia di bumi, manusia yang beragam. Mereka bersumpah untuk sesuatu “yang sosiologis” (tanah, bangsa dan bahasa), karena paham bahwa “yang teologis” tidak mungkin dijadikan tali pengikat politik. Politik 1928, tidak terobsesi pada “sumpah keempat”: beragama satu. Kecerdasan itulah yang sesungguhnya hilang dari percakapan politik kita hari-hari ini. Sumpah Pemuda kini hanya diingat dalam tema “kebangsaan” yang bahkan disempitkan menjadi “keberagaman dan keberagamaan” (dan karena itu perayaannya cuma diisi oleh petuah dan pesan-pesan agamis). Padahal moral dan filsafat politiknya telah mendahului menyelesaikan pertikaian politik agama dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945.

Argumen ini harus kita ajukan untuk memastikan bahwa sumber kebudayaan modern dari ide republikanisme, sudah disediakan 17 tahun sebelum republik diproklamasikan. Artinya, ide republikanisme sudah dipelihara oleh “masyarakat sipil”, jauh sebelum diformalkan oleh “masyarakat politik” melalui konstitusi 1945. Bahkan obsesi untuk memberi warna “agamis” pada penyelenggaraan negara (melalui debat panjang di Konstituante), juga dibatalkan oleh kecerdasan kebangsaan modern, yaitu bahwa di dalam Republik, rakyatlah yang berdaulat, bukan Tuhan atau Raja. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan itu: “Negara berdasarkan Kedaulatan Rakyat” .

Ide Kedaulatan Rakyat ini memberi kita batas yang tegas tentang wilayah politik. Yaitu bahwa politik adalah transaksi sekuler dengan ukuran-ukuran rasional, empiris, dan historis. Bahwa bahasa politik adalah bahasa yang dapat diperlihatkan konsekwensinya “di sini dan sekarang”, bukan “nanti dan di sana”. Bahwa ukuran-ukuran moral harus tumbuh dari pertarungan gagasan-gagasan historis, bukan dari doktrin-doktrin metafisis. Bahwa warga negara hanya terikat pada ayat-ayat konstitusi, dan bukan pada ayat-ayat suci. Bahwa fakta adanya golongan mayoritas (dalam agama misalnya), hanyalah petunjuk demografis, yaitu untuk keperluan administrasi kependudukan dan bukan untuk keunggulan kedudukan suatu kelompok terhadap yang lain. Di dalam demokrasi, identitas individu (agama, kelamin, pekerjaan), hanya dicatat sebagai data statistik, dan bukan alasan pembedaan warganegara.

Sangatlah berbahaya bila seseorang didefinisikan sebagai minoritas dalam agama atau preferensi seksual misalnya, karena sekaligus ia akan menjadi warganegara kelas dua. Diskriminasi inilah yang harus kita perangi, karena ia menyebabkan permusuhan sosial atas alasan-alasan irasional. Misalnya, apakah karena seseorang tidak beragama, maka ia akan dikucilkan dan dilecehkan, atau bahkan dianiaya? Di dalam demokrasi, agama adalah hak. Artinya, ia boleh dipakai, boleh tidak. Negara tidak berhak memaksakan kewajiban beragama, karena hal itu melanggar kebebasan hati nurani. Agama adalah wilayah hati nurani. Kesucian keyakinan dan kejujuran ketakwaan seseorang hanya menjadi rahasia antara dia dan Tuhannya. Kemuliaan itulah yang harus dipisahkan dari kehidupan politik sehari-hari, karena di dalam demokrasi kita tidak mungkin menghakimi seseorang berdasarkan ukuran moral orang lain. Sejauh preferensi moral dan religi seseorang tidak diterjemahkan menjadi tindakan kriminal, maka negara harus bertindak imparsial didalam melayani hak-hak sipil dan politiknya. Atas dasar itulah negara berkewajiban mengedarkan etika publik, yaitu pendidikan kewarganegaraan yang membiasakan warganegara hidup dalam politik kemajemukan.

Kedaulatan Rakyat berarti bahwa keputusan politik dipertengkarkan atas kebutuhan keadilan dan kesetaraan sosial warganegara, dan bukan atas ukuran-ukuran hirarki kesolehan dan kesucian sebuah umat. Asumsi kedaulatan rakyat adalah bahwa semua orang setara dalam kecerdasan dan kebebasan, dan karena itu keputusan politik harus diambil dalam ruang antisipasi kesalahan, dan bukan dalam ruang kebenaran doktrinal.

Di dalam republik, “kebenaran” disirkulasikan dengan pikiran, dan bukan dengan keyakinan. Itulah sebabnya “kebenaran” dapat dibatalkan dengan argumen, dan bukan dipertahankan dengan kekerasan. Spekulasi epistemologis bahwa “kebenaran” itu harus satu, dan karena itu politik harus menjadi absolut, pernah membawa politik kita ke dalam sistem otoriterisme. Dan bila sekarang “kebenaran” itu hendak dipaksakan kembali atas dasar spekulasi teologis, maka kita sungguh-sungguh sedang mengumpankan diri pada otoriterisme teokratis. Inilah cara pandang monolitik yang kini semakin meluas dalam kehidupan politik kita akhir-akhir ini, suatu paradoks di dalam sistem demokrasi yang kita pilih.

Cara pandang politik semacam itu sesungguhnya berakar di dalam antropologi komunalisme yang kian tumbuh justeru dalam kondisi globalisasi. Komunalisme adalah alam pikiran konservatif yang memandang individu sebagai subyek tanpa eksistensi, yang identitasnya tergantung pada identitas komunitas. Komunalisme hendak menetapkan bahwa di luar komunitas, tidak ada identitas. Tetapi hal yang paling konservatif dari alam pikiran ini adalah keyakinan bahwa keutuhan komunitas memerlukan pengaturan doktrinal. Konsekwensinya adalah: tidak boleh ada pikiran bebas individu. Pandangan kebudayaan inilah yang kini sedang diedarkan melalui bawah-sadar politik rakyat oleh partai-partai berbasis agama, yang mengeksklusifkan kehidupan publik mengikuti parameter-parameter komunal. Secara kongkrit, pandangan itu berwujud dalam perda-perda agama.

Secara gradual kita merasakan infiltrasi pikiran itu dalam berbagai aturan publik dengan memanfaatkan fasilitas demokrasi, yaitu kekuasaan parlemen membuat undang-undang. Politik adalah upaya menguasai ruang publik. Demokrasi memang toleran terhadap kontestasi pikiran. Tetapi politik komunalisme hendak menutup ruang publik itu dengan suatu diktum ontologi absolutis: hanya boleh ada satu Ada, dan karena itu, ada yang lain tidak boleh ada!

Dalam versi sekulernya, pandangan komunalisme ini pernah memayungi praktek penyelenggaraan konstitusi kita, yaitu melalui doktrin “negara integralistik”, suatu pandangan feodalistik yang dijalankan dengan dukungan militer di masa Orde Baru, dalam konspirasinya dengan kekuatan kapital. Praktek politik ini hanya mungkin berlangsung karena akar-akar budaya feodal itu memang ada di dalam masyarakat kita.

Tetapi bentuk komunalisme hari-hari ini adalah suatu sikap eksklusivisme religius yang memanfaatkan keterbukaan demokrasi, sambil mengeksploitasi simbol-simbol agama yang memang kuat tertanam dalam antropologi politik bangsa ini. Anda mungkin terkejut mendengar seorang murid SD menunjukkan jalan kepada sopir taksi, sambil mengingatkan: “itu rumah orang kafir lho!” Dalam kasus semacam ini, kita tahu ada problem serius tentang kewarganegaraan, kemajemukan, dan pikiran terbuka. Ada problem serius tentang kehidupan di sekolah-sekolah, di dalam kurikulum dan organisasi-organisasi masyarakat. Acuan konsep-konsep publik yang seharusnya menimbulkan toleransi horisontal, telah diajarkan justeru dengan doktrinasi diskriminatif pada generasi yang baru tumbuh.

Politik kita hari-hari ini sedang menjalankan “crypto-politics”. Elit menunggangi kebodohan dan kepatuhan komunal, untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan. Sekarang ini, memimpin atau sekedar menjadi bagian dari suatu komunitas religius merupakan kebutuhan politis elit untuk mencapai status-status publik. Kesolehan menjadi simbol kewarganegaraan. Tatakrama menjadi pembatas kritisisme. Diskursus demokrasi menjadi tempat nyaman untuk mengorganisir kekuasaan dengan memanfaatkan peralatan agama. Simbol-simbol privat kini merajai kehidupan publik. Mayoritarianisme mendikte paham kedaulatan rakyat. Bahkan Mahkamah Konstitusi bersikap sangat adaptif terhadap logika “mayoritarianisme” itu, dengan menerima argumen-argumen privat dalam memutuskan urusan publik.

Benar bahwa sistem demokrasi membuka ruang kebebasan bagi berbagai aspirasi. Tetapi apakah aspirasi kebencian, misoginis, intoleran dan bahkan kriminal harus dinilai sama dengan aspirasi keadilan, otonomi tubuh, dan kebebasan berpendapat?

Di dalam demokrasi, realitas selalu berarti “realitas sosial”. Yaitu kondisi kehidupan yang selalu memungkinkan kebenaran dikoreksi melalui bahasa manusia. Dan koreksi itu adalah pekerjaan duniawi yang harus terus diaktifkan, karena apa yang ada di akhirat tidak mungkin dikoreksi. Inilah realitas yang harus disimulasikan terus menerus, untuk menggantikan psikologi obsesif yang menghendaki pemenuhan kebenaran akhirat di Republik manusia.


Ide Republik memberi kita pelajaran moral yang sangat mendasar, yaitu etika publik harus menjadi satu-satunya ikatan kultural di antara warganegara. Etika publik adalah hasil negosiasi keadilan, didalam upaya memelihara kehidupan bersama berdasarkan apa yang bisa didistribusikan di dunia, dan bukan apa yang akan diperoleh di akhirat.

Misalnya, obsesi untuk menyempurnakan keadilan harus kita hasilkan melalui sistem pajak, karena melalui pajaklah relasi warga negara disetarakan. Karena itu, sangatlah janggal bila pajak saudara untuk keadilan sosial di bumi, digunakan negara mensubsidi mereka yang ingin masuk surga.

III
Dan kita adalah warganegara Dunia…

Soal yang juga terus menimbulkan kemenduaan mental politik kita hari-hari ini adalah masalah globalisasi. Ketakutan untuk masuk dalam percakapan politik global telah menghasilkan reaksi atavistik yang memalukan. Kita menyembunyikan kegagapan kebudayaan kita dengan cara menyulut api nasionalisme, seolah-olah asap tebalnya dapat menghalangi tatapan dunia terhadap praktek politik koruptif dan mental feodal bangsa ini. Nasionalisme menjadi semacam “mantra penangkal bala” setiap kali kita membaca laporan-laporan dunia tentang index korupsi kita yang masih tinggi. Nasionalisme kita pasang sebagai tameng setiap kali diperlukan evaluasi hak asasi manusia dan kebebasan pers oleh masyarakat internasional. Kita tidak memberi isi nasionalisme itu sebagai ide yang dinamis, “in-the-making”, tetapi kita menyimpannya sebagai benda mati dan memperlakukannya sebagai jimat politik.

Nasionalisme adalah identitas publik yang seharusnya kita olah dengan akal untuk ditampilkan sebagai modal diplomasi politik dan ekonomi. Nasionalisme masa kini ada pada keunggulan “national brand”, dan bukan ditampilkan sebagai psikosis pasca-kolonial.

Dan khusus menyangkut isu neoliberalisme, reaksi kita bahkan nyaris mistik. Kita memakai tameng-tameng tradisi untuk memusuhi suatu alam pikiran yang tidak pernah berwujud di belahan bumi manapun. Kita mengorganisir kemarahan publik untuk memusuhi sesuatu yang adanya hanya di buku-buku filsafat. Tetapi seandainya pun perlawanan itu harus diberikan, kita justeru menolak mengajukan marxisme sebagai lawan filosofi yang sepadan, dan malah menyiapkan ayat-ayat agama sebagai kontra moral baginya. Agaknya, hanya di negeri ini dua ideologi yang bermusuhan, kita musuhi sekaligus. Kita menolak dua-duanya dengan akibat kita tidak pernah paham logika sesungguhnya dari susunan-susunan pikiran itu. Karena itu, retorika dan hiruk-pikuk seputar isu “neolib” terasa lebih sebagai hasil refleks psikologi poskolonial yang dangkal ketimbang hasil refleksi intelektual yang dalam. Akibatnya, slogan neoliberal menjadi stempel politik baru bagi siapa saja yang dianggap mengedarkan kebebasan individu atau mengucapkan dalil-dalil ekonomi pasar. Kita tidak merasa perlu untuk mendalami filsafat itu karena kita lebih mengandalkan emosi yang panas ketimbang analisa yang dingin. Politik stigmatisasi semacam ini tidak mendidik rakyat untuk mengucapkan argumen, karena memang hanya dimaksudkan untuk meneriakkan sentimen.

Di sinilah kita perlu kembali pada akal sehat, yaitu memeriksa konsekwensi politik dari suatu debat palsu tentang ideologi ekonomi. Pada tingkat kebijakan, urgensi untuk memenuhi kebutuhan rakyat tidak lagi diukur berdasarkan sistem-sistem abstrak ideologi, melainkan oleh tuntutan keadilan di dalam politik distribusi. Pemerintah yang korup, di dalam sistem ideologi apapun, pasti menyengsarakan rakyat. Demikian juga, pasar yang efisien tidak dirancang dengan variabel nepotisme di dalamnya. Jadi, mendahului berbagai perselisihan ideologi, kita harus memastikan bahwa korupsi dan arogansi politik tidak boleh dipelihara dalam sistem politik kita. Dari sana, baru kita dapat menyusun kombinasi paling rasional antara peran pasar dan negara dalam melayani warganegara.

Obsesi kita tentang “ke-Indonesia-an” hari-hari ini, tidak cukup lagi merujuk pada dokumen-dokumen historis di masa lalu (Sumpah Pemuda, Proklamasi, dll), tetapi kita perlu memperluasnya pada kebutuhan politik masakini untuk mewadahi “kemajemukan baru”, yaitu kemajemukan yang timbul oleh percakapan kebudayaan dan teknologi global. Percakapan kebudayaan itu lebih sering berlangsung di dalam ruang maya, dan nampaknya demokratisasi pikiran dan ide lebih dihargai di dalam kondisi digitalnya, ketimbang dalam pergaulan sosial nyata.

Perkembangan “ruang politik digital” itu, menandai suatu transisi peradaban politik baru. Imajinasi misalnya, akan meloloskan diri dari sensor institusi-institusi formal negara, dan karena itu, ukuran-ukuran moral lama sesungguhnya sudah memasuki masa kadaluwarsa. Kini, sangat mungkin juga orang mendirikan rumah-rumah ibadah digital, bukan sekedar untuk menghindar dari lemparan batu kaum fundamentalis, tapi untuk sungguh-sungguh memberi tahu mereka bahwa surga juga dapat dibayangkan secara teknologis, dan diselenggarakan secara ekonomis.

Tetapi politik adalah penyelenggaraan keadilan di dalam ruang sosial nyata. Ruang digital tidak boleh berubah menjadi tempat mencari suaka. Ruang digital hanya boleh menjadi ruang konsolidasi subversif, untuk membebaskan ruang sosial nyata dari hegemoni politik konservatif-fundamentalis.

Sesungguhnya, sama seperti ruang demokrasi, ruang digital itu juga dimanfaatkan oleh politik fundamentalis untuk menimbun dan menyebar kebencian, intoleransi dan permusuhan. Jelas bahwa ruang digital hanyalah sarana operasi politik, sementara markasnya tetap berada di dalam ruang sosial nyata: di ruang rapat partai, di kelas-kelas sekolah, di rumah-rumah ibadah.

Dalam konteks solidaritas global itu, kondisi kemanusiaan tidak mungkin lagi dipahami dalam definisi-definisi primordial. Kita tidak menjadi “manusia” hanya karena terikat pada kesamaan etnis dan keyakinan. Kita menjadi manusia karena kita terikat pada problem sosial yang sama, yaitu kemiskinan dan krisis energi global. Kita tidak mencari rasa aman pada aturan-aturan komunal, bila kita paham bahwa hukum hak asasi manusia telah menyelamatkan peradaban dari politik genosida di berbagai penjuru dunia. Kemanusiaan kita hari ini lebih diikat oleh kewajiban global untuk mengatasi bencana alam dan memberi perlindungan pada para pencari suaka. Kemanusiaan adalah solidaritas etis terhadap masalah masa kini, dan bukan perkelahian ideologis di jalan buntu.

Mengucapkan kemanusiaan sebagai “solidaritas etis” harus memungkinkan setiap orang keluar dari koordinat mentalitas komunalnya. Pertemuan di dalam ruang politik adalah pertemuan untuk mempercakapkan kemungkinan-kemungkinan sosiologis, dan bukan kepastian-kepastian teologis. Menerima politik sebagai “ruang antagonisme”, berarti memahami peluang untuk suatu konfrontasi etis demi alasan-alasan keadilan. Karena itu politik mengandaikan resipkrokasi percakapan, dan itu berarti wacana publik hanya dapat diselenggarakan bila keadilan dikonsepsikan secara sekuler. Anda tentu tidak membayar pajak untuk memperoleh “pahala akhirat”, melainkan untuk menjamin keadilan di bumi. Artinya, solidaritas etis harus dapat diukurkan langsung pada kesosialan manusia hari ini, agar kita tidak menunda keadilan sampai tibanya hari kiamat.

Tentu saja kita masih masih perlu memandang diri sendiri melalui cermin-cermin identitas yang dipasang mengelilingi hidup komunal kita. Cermin-cermin itu seperti memberi rasa aman primitif kepada identitas seseorang. Kita bahkan perlu menggosok cermin itu agar kilaunya menimbulkan rasa unggul primitif pada kelompok. Tetapi sekali kita melangkah ke luar rumah, narsisisme itu tidak lagi banyak gunanya. Di dunia nyata, yang kita temukan adalah berbagai masalah sosial yang tidak mungkin sekedar diatasi dengan doa, sesajen dan mantra. Politik kelas tidak dapat ditunggu penyelesaiannya di akhirat. Demikian juga kerusakan lingkungan tidak dapat ditangkal oleh komat-kamit sejumlah dukun. Kesetaraan gender, bahkan menuntut cermin-cermin itu dipecahkan!

So, do you speak Pluralism? Do you speak Environmentalism? Feminism?, Queer? Kita sedang berbicara tentang “politics of recognition”. Dan itu berarti pemihakan pada mereka yang tersisih oleh kekuatan-kekuatan kekuasaan, kapital dan kebudayaan. Dasar etis dari “politik pengakuan” ini adalah bahwa suatu kelompok yang tersisih hanya karena kedudukannya yang “minoritas” dalam masyarakat politik, harus memperoleh perlindungan istimewa dari negara. Itulah alasan misalnya bagi pengakuan atas hak “affirmative action” bagi politik perempuan. Itu juga alasannya keperluan kita membela hak-hak “queer”, karena orientasi seksual adalah kondisi yang sangat individual. Negara tidak dapat diperalat untuk menjalankan moral mayoritas.

Didalam diktum yang paling keras, negara justeru diadakan untuk melindungi kelompok minoritas. Sebaliknya, kelompok mayoritas yang masih menuntut pengakuan, adalah kelompok yang sebetulnya bermental minoritas. 


IV
Di Republic of Hope

Kita menyelenggarakan Republik bukan karena keunggulan teoretis dari konsep itu. Kita menyelenggarakan Republik juga bukan karena asal-usul kebudayaannya. Kita memilih Republik karena hanya sistem itu yang mampu memelihara kemajemukan kita. Kita menyebutnya Republik Indonesia, tanpa predikat tambahan, karena hanya itu bentuk maksimal dari persaudaraan warganegara. Indonesia hanya bersatu dalam nusa, bangsa dan bahasa. Kita tidak ingin bersatu dalam urusan agama, tatakrama dan busana. Kita menyelenggarakan Republik agar kita bisa berselisih dalam soal-soal dunia, dan bukan bertengkar untuk soal-soal akhirat.

Sesungguhnya, negara ini tidak berlokasi di dalam situs-situs purbakala. Dengan mengucapkan proklamasi kemerdekaan, kita sekaligus memutuskan untuk bergaul dalam peradaban dunia modern yang dinamis. Dalam pergaulan global itulah kita melatih akal sehat kita, agar kita tidak cuma sanggup mencerca tanpa arah, atau marah ke segala arah. Reaksi-reaksi primitif itu hanya akan menguras enersi mental kita, untuk akhirnya menyerah pada kecepatan pikiran dunia.

Di situlah suatu bangsa memerlukan kepemimpinan politik visioner. Kepemimpinan yang cerdas, yang mampu membangkitkan imajinasi rakyat. Kecanduan pada kekuasaan adalah hal yang biasa bagi seorang pemimpin. Tetapi kecanduan yang tidak menimbulkan imajinasi pada rakyat, adalah kecanduan seorang pemimpin medioker. Kekuasaan memerlukan kecerdasan agar arah peradaban bangsa dapat dibayangkan dalam suatu psikologi harapan. Tetapi kesempatan untuk memperoleh psikologi itu kini tidak lagi tersedia, karena dari kepemimpinan serba-tanggung tidak mungkin terbit gagasan serba agung. Bangsa ini sekarang kehilangan imajinasi tentang sebuah Republic of Hope, dan kekosongan itulah yang kini diisi oleh para ahli akhirat.

Pepatah Itali mengingatkan: “Bila akal sehat tertidur, maka para monsterlah yang menguasai malam”. Kepemimpinan yang gagal mengaktifkan akal sehat, bertanggung jawab terhadap munculnya Republic of Fear. Ekonomi dapat bertumbuh tanpa kebijakan pemerintah, tetapi keamanan warganegara dan keadilan sosial menghendaki pemihakan negara. Tanpa pemihakan itu, Republic of Fear akan tumbuh melampaui Republic of Hope.


Kita memelihara Republik, karena hanya dalam ruang politik itulah pikiran individu memperoleh kesempatan untuk diperiksa secara publik. Pikiran yang tidak dapat diperiksa di depan publik, adalah pikiran yang membahayakan Republik. Kita memelihara Republik karena kita ingin hidup dalam kesetaraan, kemajemukan dan keadilan. Marilah merawat Republik dengan akal sehat, agar para monster tidak menguasai malam, agar kita dapat nyenyak sepanjang malam. Karena besok, ada tugas menanti di Republic of Hope.

Terima kasih.

Bajak Laut Vs Negara: Apa Bedanya?

 

Aswab Mahasin, dalam artikelnya berjudul "Negara dan Kuasa", (Majalah Prisma, 1984), menjelaskan kira-kira sebagai berikut:

Seorang dedengkot bajak laut ditangkap. Barangkali karena kalibernya, maka kali ini Alexander the Great sendiri yang melakukan interogasi. Ketika ditanya apa haknya menjarah laut, dedengkot itu menjawab: “Hak hamba menjarah lautan sama saja dengan hak Tuan menjarah dunia. Hanya karena hamba melakukannya dengan sampan kecil, orang menyebut hamba 'bajak laut'. Sedangkan Tuan yang melakukannya dengan armada besar, disebut orang 'sang Maharaja'.”

Anekdot ini berasal dari St. Agustinus. Tapi sangat tepat menggambarkan tentang kuasa yang mengesahkan diri dengan kekuatan belaka. Negara imperial hadir dengan dalih ini, suatu argumentasi de facto. Kuasa dijaga dengan pedang, mesiu, senapan mesin, aparat negara, dan sejumlah alat pembasmi, untuk melenyapkan mereka yang menolaknya, atau untuk menerbitkan gentar. Pendeknya: kuasa ditegakkan dengan teror dan pengelolaan kengerian. 

Tapi kuasa demikian pada akhirnya termakan oleh logikanya sendiri: yang menang karena kekuatan, dikalahkan oleh kekuatan pula. Sebab kekuatan akan menerbitkan kekuatan tandingan, dan kekerasan akan melahirkan kekerasan balasan. Logika inilah yang mengakhiri para jagoan seperti Napoleon, Hitler, atau Mussolini. Logika ini pula yang mengakhiri kuasa imperial di Tanah Air kita. (Aswab Mahasin, Negara dan Kuasa, Majalah Prisma, 1984) 

**

Senada dengan tulisan di atas, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, dalam tulisannya berjudul "(Harusnya) Bukan Negara Kekuasaan" (Kompas, 8 Juni 2023), menulis: 

Alkisah, Alexander Agung bertanya kepada seorang perompak, mengapa ia melakukan berbagai kejahatan. Sang perompak menjawab: yang saya lakukan sama saja dengan Anda yang merusak seluruh dunia. tapi karena saya melakukan itu semua dengan armada kecil, saya disebut "perompak" dan karena Anda melakukannya dengan armada besar, Anda disebut "penguasa". Demikian dikisahkan Santo Agustinus lebih 1.500 tahun yang lalu untuk menyoal kekuasaan.

Catatan Agustinus itu, lanjut Bivitri, masih berlanjut dengan pertanyaan sebaliknya: bukankah sarang penyamun sebenarnya adalah suatu kerajaan kecil? Gerombolan penyamun adalah organisasi, diperintah pemimpinnya, dan diikat perjanjian sehingga hasil perompakan dibagi menurut aturan main yang disepakati. Maka, yang seharusnya membedakan antara perompak dan penguasa adalah keadilan. Bukan hukum dalam arti peraturan dan aparat penegak hukum, melainkan keadilan dan etik. (Bivitri Susanti, Kompas, 8 Juni 2023) 

Demikian kira-kira perbedaan perompak (bajak laut) dan negara. Negara memperoleh pengakuan karena kekuatan yang dimilikinya. Karena kekuatan itu, terutama hukum dan peraturan perundang-undangan, maka negara—di mata rakyat—nampak absah melakukan apa saja. Hanya "keadilan"-lah yang bisa jadi pembeda. Artinya, jika negara tak berlaku adil, maka negara tak beda dengan bajak laut atau perompak. Perompak, hanya saja, tak punya legitimasi karena ia cuma kelompok kecil. 

Senin, 09 Juni 2025

Seputar Public Speaking

Seputar Public Speaking


Langkah-Langkah Menyusun Pidato

1. Menentukan tema

2. Menentukan maksud dan tujuan isi pidato (apakah bertujuan memperingatkan, menginstruksikan, menyadarkan, membujuk, atau sekedar menginformasikan sesuatu). Jika tujuan mengajak, berilah argumentasi dengan dukungan data-data yang kuat. Serta gunakan kata-kata persuasif, seperti: "ayo", "mari", dsb.

3. Membuat kerangka pidato

Setelah tema atau topik ditentukan, dan juga tujuan pidato, langkah selanjutnya membuat kerangka atau outline pidato. Ini penting agar pidato bisa sistematis dan tidak melantur terlalu jauh keluar dari tema. 

Contoh tema misalnya "narkoba". Maka outline-nya sebagai berikut:

Tema (topik): Narkoba

Judul: Bahaya Narkoba bagi Remaja

I. Apa itu narkoba? 

II. Jenis-jenis narkoba

2.1 Ganja

2.2 Putaw

2.3 Heroin, dll

III. Dampak narkoba

3.1 Dampak narkoba bagi kesehatan

3.2 Dampak narkoba bagi kehidupan

IV. Cara pencegahan dari narkoba

4.1 Dari dalam diri

4.2 Dari luar diri

V. Kesimpulan

4 Mengumpulkan bahan

Setelah kerangka pidato dibuat, masukkan informasi-informasi pendukung yang diperlukan, sehingga outline menjadi teks pidato yang utuh. (Aba Mehmed Agha, Cepat dan Mudah Lancar Public Speaking: Kiat Jago Berbicara di Depan Publik secara Mengesankan, Yogyakarta: Checklist, 2023, h. 40-43) 

***


5 Kunci Komunikasi yang Efektif

1. Respect (saling menghormati) 

2. Empathy (mampu melihat dari perasaan orang lain) 

3. Audible (pembicaraan dapat didengar dengan baik) 

4. Clarity (pesan dapat dipahami dengan jelas) 

5. Humble (rendah hati; tak menunjukkan sikap angkuh) 

(Arisatya Yogaswara dan Niken R Yogaswara, Cara Sukses Public Speaking: Seni Berbicara dengan Baik di Depan Umum, Yogyakarta: Checklist, 2022, hlm. 91-95) 

***

INTI PUBLIC SPEAKING

Inti dari public speaking adalah menyampaikan pesan dari pembicara kepada audiens. Apakah pesan yang dimiliki oleh pembicara tersampaikan dengan baik atau tidak kepada audiens, sangat tergantung pada kemampuan komunikasi si pembicara. (Arisatya Yogaswara dan Niken R Yogaswara, Cara Sukses Public Speaking: Seni Berbicara dengan Baik di Depan Umum, hlm. 127) 

**

Kontak Mata (Eye-contact)

Eye-contact alias kontak mata adalah unsur penting dalam komunikasi yang mampu menciptakan daya tarik dan kedekatan. Ketika pembicara publik menyampaikan ceramah atau pidatonya, ia harus menatap audiensnya dan tidak melihat atau memperhatikan hal-hal lain selain mereka, seperti menatap dinding ruangan, langit-langit ruangan, atau membuang pandangan jauh ke luar ruangan. Seorang pembicara publik saat berpidato harus adil. Caranya, dengan melihat dan mengarahkan pandangannya secara proporsional ke arah audiens (ke kanan dan ke kiri). Ia tidak boleh hanya memandang sebagian audiens atau salah seorang saja. Tak adanya kontak mata dapat menimbulkan ketidakpercayaan audiens terhadap si pembicara. Sebab ada jarak antara pembicara dengan audiens. Audiens di hadapannya secara langsung dianggap tidak ada. (Aba Mehmed Agha, Cepat dan Mudah Lancar Public Speaking: Kiat Jago Berbicara di Depan Publik secara Mengesankan, Yogyakarta: Checklist, 2023, h. 105-106).

JAGA KONTAK MATA

Berbicara dengan lima puluh orang atau seratus orang seharusnya memiliki cara yang sama dengan berbicara dengan satu orang. Buatlah kontak mata. Lemparkan tatapan mata secara adil kepada seluruh audiens secara merata dan bergiliran. 

Tapi, jika Anda terlalu gugup untuk melakukan kontak mata dengan seluruh audiens, maka cobalah cara ini: Carilah seseorang yang duduk di baris paling belakang audiens, lalu cobalah menjelaskan isi materi presentasi Anda dengan membuat kontak mata dengannya, seolah-olah di ruangan itu hanya ada Anda dan dirinya. Tidak ada audiens lain. Anggaplah diri Anda hanya bercakap-cakap biasa dengannya. 

Cara ini sangat membantu, karena jauhnya jarak antara Anda dengannya membuat Anda sesungguhnya tidak terlalu jelas menatap matanya. Namun, sudut pandang yang tepat membuat Anda seolah-olah sedang menatap lurus ke seluruh audiens. Ini lebih baik ketimbang Anda terlihat kebingungan menghindari tatapan mata ratusan orang yang berada di depanAnda.

Bahkan Warren Buffet mengakui ia merasa sangat gugup saat harus menjalani prosesi pernikahannya. Begitu banyak orang berada di sana. Namun, Buffet tak kehilangan akal. Ia melepaskan kacamatanya sehingga ia tidak bisa melihat orang-orang yang menatap kepadanya. Cara ini berhasil meredam kegugupannya. Warren akhirnya bisa menatap dan tersenyum ke orang-orang yang hadir di pernikahannya, meski sejujurnya, ia tak mampu mengenali wajah mereka.“ (Arisatya Yogaswara dan Niken R Yogaswara, Cara Sukses Public Speaking, hlm. 135-136) 

***

BERHENTI BICARA SEJENAK 2-3 DETIK

Dalam public speaking, penting berhenti sejenak, sekitar 2-3 detik. Hal ini bertujuan untuk mengajak atau membiarkan audiens berpikir, merenung, terhadap isi pesan. Pembicara dengan jam terbang tinggi sangat mahir melakukan teknik berhenti sejenak. Untuk menambah pengetahuan public speaking Anda, cobalah tonton pidato atau ceramah tokoh-tokoh terkenal. Pelajari cara mereka membuat hidup suasana. Pelajari cara mereka menyampaikan materi dengan menarik dan jelas. Pelajari juga bagaimana bagusnya mereka dalam memancing interaksi dengan audiens. Perhatikan bagaimana mereka memberikan penekanan pada kata-kata tertentu. Perhatikan juga variasi intonasi pada suara mereka. Perhatikan bagaimana mereka memilih timing untuk berhenti sejenak sebelum atau sesudah mengatakan sesuatu yang penting. Makin banyak Anda mempelajari gaya dan teknik berbicara dari para pembicara terkenal, akan makin mahir pula Anda menirukan mereka dalam mengolah kata-kata dan cara menyampaikan pesan ke audiens dengan penuh gaya. (Arisatya Yogaswara dan Niken R Yogaswara, Cara Sukses Public Speaking, h. 144-145) 

***

Pentingnya Penampilan

You Are What You Wear! 

"Anda tak dapat menapaki tangga kesuksesan dengan berpakaian seperti orang gagal," kata Zig Ziglar. Brian Tracy, seorang motivator ternama dan penulis berbagai buku pengembangan diri, pernah berkata, "Aturlah penampilan untuk meraih kesuksesan. Pencitraan adalah hal yang sangat penting, karena orang-orang akan menilai Anda dari apa yang terlihat di luar." 

Dalam konteks public speaking, audiens bisa menolak presentasi Anda, atau kehilangan kepercayaan jika penampilan Anda kucel, jorok, tak rapi, atau tak sesuai dengan momen atau situasi tertentu. 

Kata Donald Trump, "Cara kita berpakaian mengatakan banyak hal tentang diri kita sebelum kita mengatakan sepatah kata pun."

Karena itu, penampilan sangat penting untuk kesuksesan seseorang. Dan, dalam konteks melakukan public speaking, perhatikanlah sungguh-sungguh penampilan Anda, karena penampilan merupakan cerminan diri kita. 

(Arisatya Yogaswara dan Niken R Yogaswara, Cara Sukses Public Speaking: Seni Berbicara dengan Baik di Depan Umum, hlm. 82-85) 

***

5 Nasihat Penting dari Pakar Public Speaking

1. "There are only two types of speakers in the world: the nervous and liars." —Mark Twain

Hanya ada dua tipe pembicara di dunia ini: yang gugup dan yang pura-pura. Jadi, agar tak kelihatan gugup, berpura-puralah agar tak tampak gugup. Pembicara hebat harus pintar berakting di depan audiens. 

2. "All great speakers were bad speakers at first." —Ralp Waldo Emerson

Semua pembicara hebat, berasal dari pembicara yang buruk. Artinya, tak ada orang yang langsung bisa jadi pembicara yang hebat. Semua butuh proses—butuh latihan—atau jam terbang yang tinggi. 

3. "A good speech should be like a woman's skirt: long enough to cover the subject and short enough to create interest." —Winston Churchill

Pidato yang baik haruslah seperti rok wanita: cukup panjang untuk menutupi/menjangkau pokok bahasan dan cukup pendek untuk menarik perhatian.

4. "Great communication begins with connection." —Oprah Winfrey

Komunikasi yang hebat diawali dengan hubungan yang baik. Agar direspons dengan baik oleh audiens, seorang pembicara harus meninggalkan arogansinya dan berusaha terlebih dahulu membangun koneksi dengan audiensnya. Bangunlah hubungan yang nyaman terlebih dahulu, barulah komunikasi bisa berjalan dengan lancar. 

5. "You cannot talk to people successfully if they think you are not interested in what they have to say or you have no respect for them.—Larry King, How to Talk to Anyone, Anytime, Anywhere: The Secrets of Good Communication

Anda tidak akan bisa berbicara dengan sukses kepada orang lain jika mereka menganggap Anda tidak akan tertarik dengan apa yang akan mereka katakan atau Anda tidak menaruh respek pada mereka.

Perhatikanlah apa yang sesungguhnya diinginkan audiens. Dengarkan apa yang mereka ucapkan. Ingat, presentasi dirancang, salah satunya, ialah untuk memenuhi kebutuhan audiens, bukan sekedar memuaskan si pembicara. (Arisatya Yogaswara dan Niken R Yogaswara, Cara Sukses Public Speaking: Seni Berbicara dengan Baik di Depan Umum, Yogyakarta: Checklist, 2022, hlm. 186-191) 

***


TERBARU

MAKALAH