alt/text gambar

Jumat, 31 Oktober 2025

, ,

YANG MEMBUAT DAN YANG DICATAT

 

Oleh: Abdurrahman Wahid


Dunia politik Amerika Serikat mempunyai kisah unik yang sering diulang-ulang. Seorang muda berbakat dan memiliki kepemimpinan potensial, berhasil meraih kedudukan anggota Kongres. Atau menjadi senator negara bagian. Kemudian menanjak menjadi senator nasional. Setelah cukup lama, menjadi eksekutif dalam jabatan gubernur negara bagiannya. Pola lokal, nasional, kemudian kembali ke daerah, mematangkan kepribadiannya. Hingga akhirnya ia dipandang potensial menjadi presiden. 

Tapi nasib menghendaki lain. Setelah begitu terkenal melalui berbagai jabatan, ia hilang. Tidak ada yang tahu di mana ia. Tidak tahunya ia menjadi wakil presiden – setelah kalah bersaing dengan orang-orang lain yang juga sama-sama potensial. 

Cerita di atas menunjukkan kecilnya arti kedudukan wakil presiden – setidak-tidaknya di masa lampau. Garner, di bawah Presiden Roosevelt, adalah contoh sempurna untuk ‘orang hilang’ itu. Sudah menumbuhkan ambisi pribadi yang luar biasa, akhirnya harus menerima nasib menjadi pimpinan sidang di Senat belaka, ditambah kerja membuka upacara dan meresmikan proyek-proyek seluruh negeri. Tidak diajak mengambil keputusan dalam masalah menentukan. 

Presiden lebih percaya kepada para pembantunya sendiri. Sering para presiden mengambil seorang lawan sebagai calon wakil presiden untuk kepentingan politiknya sendiri: keseimbangan geografis (Kennedy dari sudut timur laut negeri, Johnson dari barat daya), agama ataupun etnis (Carter Anglo-Sakson mulus, Mondale dari etnis Skandinavia). 

Hosni Mubarak 

Sudah untung kalau kematian presiden menampilkan para wakil menjadi presiden. Seperti Truman yang menggantikan Roosevelt yang mati jantung, dan Johnson yang menggantikan Kennedy yang tertembak. Atau juga menjadi presiden atas tenaga sendiri setelah berakhirnya masa jabatan ‘kelas dua’, seperti Richard Nixon (wakil presiden untuk Eisenhower 1953-1961, kemudian presiden terpilih 1969-1975). 

Kekeasalan mereka umumnya berkisar pada tidak efektifnya jabatan setinggi itu–di hadapan kekuasaan tunggal sang presiden di bidang eksekutif. Itu hanya mungkin terobati kalau memang jelas ia dipersiapkan untuk mengganti presiden nantinya. Seperti Hosni Mubarak sewaktu Sadat masih hidup. Tujuh tahun ‘magang’, dalam jabatan kedua, tetapi jelas dalam pola pemagangan yang tidak membuat putus asa pelakunya. 

Politikus yang merasa berhak memimpin negara memang sering jengkel harus berbagi kekuasaan dengan orang lain. Ia merasa tidak membuat sejarah. Dalam pandangan politisi seperti ini, sejarah hanya dibuat oleh mereka yang menduduki tempat pertama. Selain itu, semuanya hanya termasuk catatan sejarah. Apalagi kalau presiden sebagai pemegang kedudukan pertama tidak memberi kesempatan sama sekali untuk berperan kepada wakilnya, seperti Wakil Presiden Nance Garner di atas. 

Tidak seperti para presiden belakangan ini, yang seakan sengaja memberi hak kepada wakil presiden mereka untuk turut memutuskan kebijaksanaan pemerintah di tingkat nasional. Johnson yang di-’santuni’ begitu baik oleh Kennedy (walaupun masih juga tidak puas), Mondale yang dihargai Carter (tidak pernah terdengar keluhannya), dan Bush yang “dimanjakan” Reagan (asal tahu diri, tidak melawan para pembantu terdekatnya, Baker dan Meese). 

Bung Tomo 

Begitu halusnya perbedaan antara pembuat sejarah dan yang menjadi catatan sejarah saja. Hosni Mubarak tidak tahu apa-apa tentang perundingan perdamaian dengan Israel. Ia tidak pernah ke Israel sekali pun. Seolah kenyataan ini membedakan Mubarak yang menjadi catatan sejarah dari Sadat sang pembuat sejarah. Wakil presiden yang tadinya kalah dalam persaingan kepresidenan dari lawan politiknya, dicatat oleh sejarah sebagai ‘orang yang juga menjadi calon’ (the alson ran)–tokoh pelengkap belaka di balik keperkasaan pihak yang menang. 

Akan lebih besar kejengkelannya, jika sebelum menjadi wakil presiden ia sendiri telah membuat sejarah. Umpamakan sajalah Bung Tomo almarhum menjadi wakil presiden. Ia, yang begitu berapi-api membakar semangat arek Suroboyo, dan dengan demikian membuat sejarah dengan cara dan dalam lingkupnya sendiri, sudah tentu akan merasa konyol dalam peranan orang kedua tanpa wewenang yang jelas. Tidak heranlah jika kemudian si bung yang satu ini merasa sudah puas dengan peran kesejarahannya yang begitu pendek di tahun 1945 itu–lalu tidak mengejar peranan lain. Salah-salah bisa frustasi. 

Dari sudut pandangan ini, memang menarik mengikuti perkembangan di Mesir sepeninggal Anwar Sadat. Mampukah Mubarak menjadi pembuat sejarah yang setara dengan Sadat dan Nasser, setelah tujuh tahun hanya berfungsi sebagai catatan belaka? Sadat lebih lama lagi: enam belas tahun–itu pun yang sering jadi ejekan orang. Baru setelah sang ‘juragan’ Nasser, ia memperoleh kesempatan. Peranan itu dilakukannya dengan tidak tanggung-tanggung–akhirnya harus ditebusnya dengan jiwanya sendiri. 

Mampu tidaknya Mubarak bergerak dari catatan sejarah menjadi pembuat sejarah, hanya sejarah yang akan menjawabnya. Padahal, di kawasan begitu bergolak di negara tua Mesir itu, hanya pembuat sejarah yang dapat lama memerintah. 

Abdurrahman Wahid, cendekiawan Muslim


Sumber: TEMPO, No. 35, Thn. XI,31 Oktober 1981


Tempo, 1981


Nixon tentang Kepemimpinan

Kutipan-kutipan berikut ini saya ambil dari buku karya mantan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon, berjudul Tokoh-Tokoh Pemimpin Dunia [judul asli: Leaders. Diterjemahkan oleh: Ermas], Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.

Karena saya anggap penting maka saya publis di-blog pribadi saya ini. Berikut kutipan-kutipan saya:

"Yang membedakan antara anak kecil dengan orang dewasa dalam dunia politik ialah, seorang anak kecil menghendaki jabatan yang tinggi supaya bisa disebut orang besar, sedangkan orang dewasa menghendaki jabatan tinggi supaya ia bisa berbuat sesuatu. Charles De Gaulle (Mantan Presiden Perancis) menghendaki kekuasaan, bukan mencari apa yang bisa diberikan kekuasaan kepadanya, melainkan mencari apa yang ia bisa lakukan dengan kekuasaan itu."

(Richard Nixon, Tokoh-Tokoh Pemimpin Dunia [judul asli: Leaders. Diterjemahkan oleh: Ermas], Jakarta: Pustaka Jaya, 1986, h. 74)

**

Public Speaking

Dalam melakukan fungsi-fungsi sosialnya pun Charles de Gaulle tidak kurang cermat. Ketika mengadakan jamuan makan malam kenegaraan untuk menghormati delegasi kami yang berkunjung pada tahun 1969 ia mengucapkan pidato sambutan yang lancar dan bagus, seakan-akan tidak dipersiapkan lebih dahulu. Setelah upacara selesai, salah seorang ajudan saya memuji de Gaulle karena kemahirannya berpidato panjang tanpa teks. De Gaulle menjawab, ”Saya menuliskannya lebih dahulu, menghafalkannya lalu membuang kertas itu. Churchill juga berbuat begitu, hanya saja ia tak pernah mengaku.”

**

Tokoh berkarakter sama sekali tidak mencari kepuasan dengan menyenangkan atasan, melainkan lebih banyak bersikap jujur kepada dirinya sendiri. Kepribadiannya yang kasar dan tindakannya yang kadang-kadang seperti kurang ajar membuatnya kurang populer di mata atasannya yang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka memerlukan orang dengan kemauan yang keras sebagai bawahannya. Rupanya, tanpa sadar de Gaulle melukiskan dirinya sendiri ketika ia menulis, ” Abdi negara yang terbaik, baik militer maupun politisi, jarang sekali merupakan orang yang lembut-lunak. Para penguasa harus memiliki pemikiran dan saraf penguasa, dan adalah merupakan politik yang sangat buruk menyisihkan orang-orang dengan karakter yang kuat dari jabatannya dengan alasan yang tidak lebih dari sebab mereka merupakan orang-orang yang sulit. Hubungan yang mesra akan baik-baik saja selama keadaan berjalan baik, tetapi pada saat-saat kritis hubungan semacam itu dapat menimbulkan bencana.” 

De Gaulle sering sekali memberikan nasihat kepada pemimpin-pemimpin lain yang memerlukan kekuatan, kepercayaan diri, dan di atas segala-galanya, memerlukan kebebasan. Kepada Shah Iran yang sangat mengaguminya, de Gaulle berkata, "Saya hanya mempunyai satu saran yang dapat ditawarkan kepada Anda, namun sangat penting. Kerahkan semua kekuatan Anda untuk tetap dapat merdeka.” Dalam tahun 1961 ia menasihati Presiden Kennedy untuk memegang erat prinsip yang selamanya menuntun perilakunya sendiri: "Hanya kata hati sendiri yang harus Anda dengar!” Ketika bermobil bersama menuju Paris dari bandar udara, tahun 1969, ia berpaling kepada saya, kemudian memegang tangan saya, dan berkata, "Anda masih muda, penuh semangat dan sedang memegang tampuk kekuasaan. Ini sangat penting. Pertahankanlah itu.” 

Kepemimpinan de Gaulle di masa perang melambangkan citra karakternya. Ia mempertunjukkan semangat yang luar biasa ketika kesulitan-kesulitan dalam Perang Dunia II menghadangnya. Dalam hal ini de Gaulle mempunyai persamaan dengan Mao. Keduanya seperti memiliki kehidupan yang baru kalau sedang menghadapi cobaan yang sangat berat. Perbedaannya, kalau Mao mengacaukan ketertiban untuk menghidupkan perjuangannya, sedangkan de Gaulle berjuang keras untuk menciptakan ketertiban. (h. 88) 

**

Pada suatu saat ketika Zhou dan saya semobil menuju bandar udara Peking, Zhou berbicara tentang syair yang ditulis oleh Mao ketika berhasil kembali ke kampung halamannya setelah ditinggalkannya selama tiga puluh dua tahun. Katanya, syair itu melukiskan betapa kesengsaraan dan kepahitan merupakan guru besar. Saya menyatakan persetujuan saya, lalu menekankan bahwa kekalahan dalam pemilihan terasa lebih pahit dan memedihkan daripada terluka dalam peperangan. Yang terakhir melukai jasad, yang pertama melukai jiwa dan semangat. Tetapi kekalahan dalam pemilihan itu dapat menolong mengembangkan kekuatan dan karakter yang sangat penting untuk perjuangan masa datang. Saya jelaskan pula bahwa masa dua belas tahun de Gaulle tersingkir dari kekuasaan, telah memberinya kesempatan membentuk karakternya. Zhou setuju dan ia menambahkan bahwa seseorang yang senantiasa berjalan di atas jalan yang mulus tidak akan dapat mengembangkan kekuatannya. Seorang pemimpin besar dapat mengembangkan kekuatannya karena ia berenang melawan arus, bukan mengikuti arus. 

Sebagian dari para pemimpin politik tidak pernah bertemu dengan kesengsaraan dan kepedihan, sebagian lagi kalau menemukannya tidak pernah berhasil mengatasinya. Sebagian kecil saja yang berhasil membangun di atasnya. De Gaulle salah seorang dari yang sedikit itu. Dia sangat mengenal kesengsaraan dan kepedihan. Dalam Perang Dunia I ia pernah terluka parah sehingga ditinggalkan di medan perang karena dianggap tak mungkin tertolong lagi. Namun ajal belum tiba dan ia menghabiskan sebagian besar dari waktu perang itu sebagai tawanan perang. Dalam Perang Dunia II ia berjuang untuk mengembalikan kehormatan Perancis melawan rintangan dan halangan terpanjang, dan kemudian didepak oleh bangsanya sendiri segera setelah ia berhasil memenangkan perjuangannya. Baru dua belas tahun kemudian ia kembali memperoleh tampuk pimpinan. 

Ketika de Gaulle mengundurkan diri dari kehidupan politik, ia masuk ke dalam ”belantara”. Kebanyakan dari kaum politisi yang pernah mengecap kekuasaan tidak sanggup meninggalkannya. Banyak Senator dan anggota DPR merasa enggan kembali ke kampung halamannya setelah tidak terpilih lagi atau memasuki masa pensiun. Mereka lebih suka memilih tinggal di Washington, di dekat-dekat wilayah kekuasaan. De Gaulle tidak pernah melupakan desa tempat ia berasal. la selalu kembali ke sana dan menggariskan kekuatannya dari sana pula. Desa Colombey-les-Deux-Eglises adalah cagar alam de Gaulle — "belantara”, baik dalam arti kiasan dan dalam arti harfiah. Colombey berjarak 120 mil dari Perancis arah tenggara, terletak di lereng Plateau de Langes, provinsi Champagne. Dengan penduduknya yang berjumlah 350 orang, tempat itu tidak tercantum dalam kebanyakan peta jalan. Tempat tinggal de Gaulle yang berkamar empat belas, bernama La Boisserie, berupa sebuah gedung putih dengan atap genting berwarna coklat, dengan menara bersegi enam di salah satu ujungnya. Gedung itu terlindung dari pandangan oleh pepohonan dan semak-semak. Dengan tempat terpencil di desa kecil ini, de Gaulle tidak dapat memilih tempat yang lebih sesuai lagi untuk meningkatkan misteri dirinya. 

##

Di Colombey de Gaulle berpendapat, kalau kita merasa terasing di puncak kekuasaan, kita akan merasa lebih terasing lagi di mana pun juga. Tetapi di sana tak ada penyesalan yang mendalam. "Dalam gejolak manusia dan peristiwa,” tulisnya, "kesunyian sungguh merangsang: sekarang ia menjadi sahabatku. Kepuasaan apalagi yang mungkin kita cari setelah kita berhadapan dengan sejarah?” 

Churchill dan de Gaulle keduanya tumbang setelah Perang Dunia II, sekalipun sumbangannya dalam masa perang itu sangat besar dan brilyan. Keduanya mencoba meraih kembali kekuasaannya namun dengan jalan yang berbeda. Kekalahan Partai RPF mengajar de Gaulle, bahwa dalam politik jarak terdekat antara dua titik jarang sekali merupakan garis yang lurus. Setelah mengumumkan pengunduran dirinya dari politik dalam sebuah konperensi pers dalam tahun 1955, ia langsung mengambil sikap tidak memihak, adil kepada semua pihak, hampir-hampir tidak berupaya sedikit pun untuk menarik perhatian masyarakat. Ia seorang aktor besar dan sebagaimana lazimnya aktor besar ia mengetahui kapan harus turun dari panggung. 

Ia pun seorang empu dalam politik. Intuisinya mengatakan, jabatan tinggi harus dirayu seperti wanita. Ia setia mengikuti sikap yang tercermin dalam sebuah pepatah Perancis "Kejarlah wanita itu dan ia akan laris mundurlah, dan ia akan mengikutimu.” Seperti halnya Eisenhower, secara intuitif ia mengetahui bahwa kadang-kadang jalan terbaik untuk meraih kekuasaan itu tidak memperlihatkan diri sedang memperjuangkannya. Tetapi, menunggu di pinggir, bukanlah sifat Churchill. 


REVOLUSI PERDANA MENTERI

Tempo, 1981


Resensi oleh: Arief Budiman

(TEMPO, No. 35, Thn. XI,31 Oktober 1981)


Judul buku: THE MALAY DILEMMA

Pengarang: Mahathir bin Mohamad

Penerbit: Federal Publication, Kualalumpur, Singapore, Hongkong, 1981 (Cetakan I, 1970)

Tebal: 198 hal.


Malaysia adalah sebuah negara multirasial. Kira-kira lima puluh persen orang Melayu, empat puluh persen orang Cina dan sepuluh persen orang India. Sistem perekonomiannya kapitalistis, sistem politiknya demokrasi liberal. Dalam kombinasi sistem seperti ini, yang mengutamakan kompetisi bebas, sudah sewajarnya kalau kelompok yang relatif paling kuat menang. Kelompok ini adalah kelompok Cina. 


Pada mulanya ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar, terutama oleh Pemerintah Malaysia. Meskipun pemerintah dikuasai orang Melayu, mereka adalah penganut prinsip ekonomi liberal yang taat. Sampai terjadi huru-hara 13 Mei 1969 yang ditujukan kepada orang Cina. Ada sesuatu yang salah dalam kombinasi sistem tersebut, agaknya. Dan buku Mahathir bin Mohamad yang sempat dilarang pada 1970 ini mencoba mempersoalkannya secara terbuka. 


Anugerah Tuhan 


Menurut Mahathir, dominasi ekonomi orang Cina tidak bisa dibenarkan. Terlepas itu dicapai melalui persaingan bebas yang “adil” sekalipun. Alasannya: Malaysia milik orang Melayu. Orang Cina cuma tamu, ketika orang Melayu sudah lebih dulu menghuninya. 


Lalu bagaimana dengan Australia atau Amerika Serikat, misalnya? Menurut Mahathir, tuan rumah sebuah negara adalah orang-orang yang pertama-tama mendirikan pemerintahan yang efektif di negara tersebut (hal. 126, 127). Di Australia dan AS, orang-orang putihlah yang melakukan hal ini, bukan orang-orang Aborigin atau Indian. Tapi Mahathir memang tidak menjelaskan yang dia maksudkan dengan “pemerintahan yang efektif”. 


Kedua, faktor jumlah. Ini untuk menjelaskan mengapa tuntutan orang-orang hitam di Afrika Selatan dan Rhodesia, bahwa mereka adalah pemilik negara-negara tersebut, adalah sah. Jumlah mereka jauh lebih besar daripada orang putih yang sekarang memerintah. 


Pendapat kedua ini sebenarnya sangat berbahaya buat orang Melayu di Malaysia, karena bisa menjadi bumerang. Pada saat ini memang orang Melayu jumlahnya lebih besar dari orang Cina. Tapi kita masih bisa membayangkan, bisa saja pada suatu saat terjadi perimbangan yang sebaliknya – suatu hal yang tidak terbayangkan bagi Indonesia. 


Maka bagi Mahathir, dominasi ekonomi orang Cina harus diubah. Sekaligus konsep Mahathir ini mau menggantikan ideologi kosmopolitanisme dari sistem kompetisi bebas, dengan ideologi nasionalisme. 


Mahathir tidak membantah bahwa orang Cina jauh lebih kuat dan gesit ketimbang orang Melayu. Bahkan dia memperteguh pendapat ini dengan memakai teori perbedaan sifat-sifat ras yang diturunkan. Katanya, orang Yahudi secara naluriah mengerti uang, orang Eropa punya dorongan keingintahuan yang tak terbatas, orang Melayu santai dan toleran, orang Cina berbakat jadi pedagang (hal. 84). Pada orang Melayu, sifat ras ini diperkuat karena mereka saling kawin dengan sesama keluarganya. Maka hukum Mendel pun berlaku: orang Melayu memperkuat kelemahannya. 


Penjelasan kelemahan orang Melayu berdasarkan teori genetika ini kemudian ditambah dengan penjelasan pengaruh lingkungan. Pertama, lingkungan alam. Malaysia adalah negeri yang subur dan jarang terlibat peperangan. Maka orang Melayu menjadi manja dan santai. Sebaliknya dengan orang Cina. Mereka datang dari negeri yang alamnya kejam, dan di situ peperangan sepertinya tanpa henti. Akibatnya, mereka menjadi orang yang ulet dan rajin. Ketika datang ke Malaysia, mereka dengan mudah mengalahkan orang Melayu. “Apa saja yang dapat dilakukan orang Melayu, orang Cina dapat melakukannya secara lebih baik dan murah,” kata Mahathir (hal. 25). 


Kemudian datang orang Inggris yang mau berdagang (tapi akhirnya menjajah). Adanya orang Cina untuk dijadikan kawan seiring merupakan “anugerah Tuhan,” kata Mahathir (hal. 35). Akibatnya, posisi orang Cina semakin diperkuat. Penjelasan kesejarahan ini masih ditambah lagi dengan penjelasan sistem nilai budaya. 


Terlalu Bersemangat 


Pendeknya, Mahathir benar-benar ingin meyakinkan kita bahwa orang Melayu sangat lemah, dan karena itu perlu dilindungi dari sistem kompetisi bebas. Segala macam penjelasan dia gunakan – dari penjelasan genetis sampai kepada penjelasan historis dan nilai-nilai budaya. 


Celakanya, penjelasan eklektis seperti ini kadang-kadang menimbulkan kesimpulan yang saling bertentangan. Misalnya, penjelasan yang memakai teori genetika dari perbedaan ras. Teori ini membawa pada kesimpulan, bahwa perkawinan campuranlah yang harus dipakai sebagai jalan keluar, sesuai dengan teori Mendel. 


Tetapi Mahathir tidak menuju ke sini (karena alasan politis? – pen.). Dia lebih banyak bicara tentang tindakan pemerintah yang positif untuk mengubah lingkungan yang tidak menguntungkan orang Melayu. Dengan mengubah lingkungan, Mahathir percaya bahwa “perubahan sifat-sifat dan tingkah laku rasial bukan tidak mungkin” (hal. 96). Teori genetika yang banyak dipakai Mahathir memang memberikan kemungkinan ini – teori mutasi dari gen. Tapi ini amat memerlukan waktu yang sangat lama, melibatkan beberapa generasi. 


Saya sendiri setuju dengan kesimpulan Mahathir, dan ada banyak teori yang mendukungnya. Misalnya teori kesejarahan tentang hakekat manusia dari Marx, yang pada dasarnya berpendapat hakekat manusia berubah sepanjang sejarah, tergantung pada sistem sosial yang melingkunginya. Hanya saja, persoalan buku ini adalah pembicaraan yang agak terlalu bersemangat tentang teori genetika lebih banyak merintangi daripada membantu kesimpulan yang dijadikan program politik penulis buku ini. 


Seperti sudah dinyatakan, Mahathir ingin mengubah lingkungan sosial yang membuat orang Melayu tersisih dari posisi penting ekonomi Malaysia. Dan dia menolak perubahan secara evolusioner. Karena perubahan macam ini “terlalu tergantung pada keadaan lingkungan dan pelbagai faktor yang sulit dikenali sebelumnya” (hal. 103). 


Dia menginginkan sebuah revolusi. Tapi bukan revolusi berdarah disertai kekacauan, melainkan revolusi “yang direncanakan dengan teliti” dan damai (hal. 103). Pemerintah harus secara aktif menghancurkan dominasi ekonomi orang Cina, membuka kesempatan kerja kepada orang Melayu. Kalau perlu melakukan diskriminasi rasial dalam mempekerjakan dan menempatkan orang Melayu ke posisi-posisi ekonomi yang penting. Mendidik dan mendobrak nilai-nilai feodal dan nilai-nilai lain yang menghambat kemajuan orang Melayu, dan sebagainya. Semacam affirmative action yang sekarang populer di AS, untuk menolong orang hitam, kaum wanita dan kaum minoritas lainnya di sana. 


Memang, dalam spektrum orang-orang yang fanatik pada sistem persaingan bebas, usul yang diajukan Mahathir terasa sebagai sebuah revolusi. Bagi orang-orang penganut ajaran sosialisme, usul ini cumalah merupakan ekspresi pertentangan di kalangan kaum borjuis Malaysia dengan menggunakan kontradiksi rasial sebagai alat penggalang kekuatan. Siapa yang bisa menjamin, setelah “revolusi” ini berhasil, sebagian orang Melayu yang sudah menjadi kapitalis baru tidak akan mengeksploatasi orang-orang sekaumnya? Bukankah sistem kapitalis didasarkan pada dikembangkannya wiraswasta yang profit motivation-nya kuat, dan tahu bagaimana memancing keuntungan di antara orang-orang miskin yang berlimpah mencari kerja? 


Tapi memang tidak bisa disangkal juga, bahwa “revolusi” Mahathir paling sedikit bisa mematahkan dominasi ekonomi orang Cina – sekiranya berhasil. Tapi, mungkinkah ini? 


Ada baiknya kalau kita melihat keadaan di Indonesia. Kedua negara ini sama-sama menghadapi dominasi ekonomi oleh orang Cina. Tapi Cina di Indonesia, karena jumlahnya yang kecil, tidak mempunyai akses langsung ke bidang politik. Di Malaysia, orang Cina bukan saja punya kekuatan ekonomi, tapi juga politik. 


Juga, di Indonesia terdapat keinginan kuat untuk menghilangkan dominasi ini. Ini sampai sekarang berlum berhasil, terlepas dari sudah banyaknya kemajuan diperoleh kalangan pengusaha pribumi. 


Kalau di Indonesia usaha ini belum berhasil, barangkali kita boleh merasa tidak terlalu optimistis bahwa pelaksaan “revolusi” Mahathir di Malaysia bisa berhasil. Kehidupan negara Malaysia itu sendiri, ditambah dengan kehidupan enak dari pejabat-pejabat Malaysia, seperti halnya juga di Indonesia, sudah saling berkaitan secara kompleks dengan kehidupan perekonomian orang Cina. Paling-paling, “revolusi” ini bisa menarik beberapa pengusaha Melayu untuk mendapat porsi yang lebih besar dari rezeki pembangunan. 


Tentu saja kenyataan ini tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan “revolusi” ini. Cuma, ada persoalan yang lebih besar, ialah apakah “revolusi” ini bisa memecahkan persoalan kemiskinan mayoritas orang Melayu? 


Buku ini tidak punya pretensi sebagai buku ilmiah. Pada edisi tahun 1981, di sampul belakanganya dituliskan: “Ini bukan karya yang obyektif. Bagaimanapun juga, (buku) ini diterbitkan karena dia menggambarkan pemikiran dan kepercayaan dari seorang Melayu yang terdidik, modern dan progresif.” 


Buku ini lebih merupakan manifesto politik Dr. Mahathir bin Mohamad, yang sekarang menjadi Perdana Menteri Malaysia. 


Sumber: TEMPO, No. 35, Thn. XI,31 Oktober 1981

Kamis, 30 Oktober 2025

Richard Nixon tentang Kepemimpinan: Belajar dari de Gaulle

Richard Nixon, Presiden Amerika Serikat ke-37 (1969 - 1974)


Seorang pemimpin bukan hanya harus membuat keputusan yang benar tentang apa yang harus dijalankan tetapi juga harus dapat menggerakkan orang lain untuk melakukan keputusan itu. 

Setiap penghuni Gedung Putih pernah mengalami saat merasakan mendapat kutukan seperti Cassandra, ketika dihadapkan kepada kenyataan, di satu pihak ia melihat jalan yang harus ditempuh, di lain pihak tidak mampu menggerakkan birokrasi, Kongres atau rakyat untuk menempuh jalan benar yang dilihatnya itu. 

Dalam bukunya Mata Sebuah Pedang, de Gauile (mantan Presiden Perancis) menulis, seorang pemimpin "harus bisa menciptakan semangat kepercayaan pada bawahannya. Ia harus bisa menyatakan kewibawaannya.” 

Kewibawaan itu, menurut de Gaulle, bersumber dari prestise, dan prestise itu "sebagian besar merupakan soal perasaan, sugesti dan kesan, dan itu semua tergantung pertama-tama kepada bakat yang paling elementer, yakni bakat yang tidak dapat diterangkan.” 

Bakat ini langka sekali. Ia menulis, "Beberapa orang tentu memiliki, bisa dikatakan sejak lahir, sejenis kewibawaan yang bersifat menetes, seperti barang cair, namun tidak menerangkan dengan tepat apa isi tetesan itu.” 

Penggambaran kewibawaaan seperti itu akhir-akhir ini lenyap digantikan dengan istilah baru karisma. Namun ini pun tetap tidak dapat diterangkan, tetapi semua orang dapat mengenalinya. 

Kepada bakat yang tak terlukiskan ini, kata de Gaulle, harus ditambahkan lagi tiga bakat yang lebih kongkrit: misteri, karakter, dan keagungan. "Pertama-tama dan terutama,” katanya lagi, "tidak ada prestise tanpa misteri, karena keakraban menumbuhkan kejijikan. 

Setiap agama mempunyai tempat beribadat, dan tidak ada seorang pun dipandang sebagai pahlawan oleh pelayan pribadinya. Dalam rencana dan sikap-lakunya pemimpin harus selalu mempunyai sesuatu yang tidak bisa dimengerti sepenuhnya oleh orang lain, yang membingungkan orang lain, yang membangkitkan perhatian dan memukau orang lain.” 

Dengan jelas saya teringat lagi kepada kehadiran de Gaulle yang mempesonakan ketika ia datang di Washington untuk menghadiri pengebumian Presiden Kennedy bulan November 1963. 

Mrs. Nixon dan saya menyaksikan upacara penguburan itu dari jendela suite kami di Hotel Mayflower. Orang-orang pertama dan kedua dari seluruh dunia berjalan di belakang peti jenazah. Perawakan de Gaulle memang besar, tetapi tampaknya ia melebihi yang lain dalam hal martabat, perawakan, karisma dan juga tinggi tubuhnya. 

Kapan saja saya bertemu dengan de Gaulle baik di muka umum maupun hanya berdua, selalu saja menangkap martabat yang sangat agung dari dalam dirinya. Sikapnya yang pasti memberikan kesan jauh dari orang lain. Sebagian orang mengartikan ini sebagai kekakuan, tetapi dalam kasus de Gaulle bukan kekakuan. Esensi kekakuan ialah tidak wajar.

Pada de Gaulle kekakuan itu wajar. Ia mempunyai cara yang akrab kalau berbicara dengan Kepala Negara lain yang ia anggap setaraf dengan dirinya, tetapi dia tidak pernah meninggalkan formalitas, sekalipun dengan kawan dekatnya. 

Dalam hal ini de Gaulle sama dengan semua Presiden Amerika yang saya kenal sebelum saya sendiri menjadi Presiden pada tahun 1969. Kecuali Lyndon Johnson, Herbert Hoover, Dwight Eisenhower, John Kennedy dan bahkan Harry Truman, semuanya mempertahankan benar privacy-nya dan tidak suka diperlakukan terlalu akrab. 

Bahkan ketika mudanya de Gaulle tetap menjaga jarak dengan kawan-kawan sebayanya. Keluarganya sendiri mencemoohkannya dengan mengatakan bahwa sikapnya yang kaku-dingin itu karena ketika bayi ia terperangkap ke dalam sebuah termos es. Seorang instruktur di sekolah Perang Perancis pernah menulis bahwa de Gaulle mempunya kecenderungan seperti seorang "raja dalam pembuangan”.

Saya tidak dapat membayangkan dia menepuk bahu seseorang, atau memegang lengan seseorang untuk memberikan tekanan kepada apa yang ia katakan, atau terlibat dalam persahabatan yang karib dengan para pemilihnya atau teman sejawatnya. 

Ia tidak berkeberatan orang lain berbuat demikian, tetapi ia menganggapnya kurang layak bagi dirinya sendiri. Walau demikian sikap pribadinya itu jauh dari sikap angkuh yang biasa melekat pada orang kecil dengan kedudukan yang tinggi. 

Sebagai seorang tokoh nasional de Gaulle bisa menarik pengikutpengikut yang setia, tetapi ia tetap berada jauh dari mereka, sesuai dengan ajarannya sendiri bahwa seorang pemimpin tidak akan memiliki "wibawa tanpa prestise, dan tidak akan memiliki prestise kalau tidak menjaga jarak”. 

Di ruang kerjanya di Istana Elysee ada dua buah pesawat telepon di dekat mejanya. Tetapi kedua pesawat itu tidak pernah berdering. Ia menganggap telepon sebagai penemuan dunia modern yang sangat mengganggu. Penasihat-penasihatnya yang terdekat pun tidak berani menghubungi de Gaulle lewat telepon. 

Sama seperti MacArthur, de Gaulle tidak menyukai pembicaraan yang tidak berarti. Bila saya bertemu dengannya, jelas sekali ia ingin segera masuk ke dalam pembicaraan yang serius. Ia juga sama Seperti MacArthur, suka memilih kata-kata yang tepat, apakah itu dalam konperensi pers, dalam pidato mendadak, dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan, atau bahkan juga dalam pembicaraan-pembicaraan yang informal. Keduanya berbicara dengan kalimat-kalimat yang terpilih, yang mengandung makna yang tepat tentang apa yang dimaksudkan si pembicara. Seandainya salah seorang dari mereka sempat menjadi anggota Senat AS, pasti ia tidak akan perlu mengoreksi dahulu ucapan-ucapannya sebelum dicetak dan dimasukkan ke dalam arsip Kongres.

De Gaulle tidak bisa melihat tindakan-tindakan bodoh. Pada jamuan makan malam resmi yang saya adakan untuk menghormatinya dalam tahun 1960, ia memilih sebagai penterjemahnya seorang konsul Jenderal Perancis dari satu kota besar di Amerika. Ketika ia menterjemahkan kata-kata sambutan de Gaulle pada waktu toast, tangan penterjemah itu gemetaran dan berbicara terbata-bata. Saya melihat betapa de Gaulle marah.

Kemudian saya mendengar de Gaulle menggantikannya dengan penterjemah yang lain untuk sisa perjalanannya, De Gaulle tidak pernah mau terlibat dalam perdebatan sengit. 

Dalam rapat-rapat kabinet ia akan mendengarkan dengan cermat menteri-menterinya dan dengan sopan mencatat apa-apa yang mereka katakan. 

Apabila ia menginginkan bertukar pikiran dengan salah seorang menterinya, biasanya ia mengatur pertemuan tersendiri. Keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah besar ada pada tangan de Gaulle sendiri. 

Ia tidak berpretensi berpengetahuan seluas Nabi Sulaeman, tetapi ia yakin mempunyai kemampuan membuat pertimbangan serupa Nabi Sulaeman. Mula-mula ia akan meminta ”semua catatan” tentang sesuatu persoalan tertentu, kemudian dengan kemampuannya yang luar biasa dalam menguasai soal-soal detail, ia akan dapat mempelajari segala yang perlu diketahui tentang persoalan itu. Setelah itu ia akan mengucilkan diri untuk mempelajari persoalannya, lalu membuat keputusan dalam kesendiriannya. 

Ia paham benar betapa pentingnya bagi seorang pemimpin mempunyai waktu untuk berfikir. Oleh sebab itu ia meminta dengan sangat kepada stafnya untuk menyediakan waktu beberapa jam setiap hari untuk berfikir tanpa diganggu. 

Saya sendiri, sebagai Presiden, mencoba mengikuti pola yang sama, namun ternyata bahwa salah satu hal yang paling berat bagi seorang pemimpin ialah menghadapkan disiplin ini kepada permintaan waktu dari para pejabat pemerintah, pemimpin-pemimpin legislatif dan yang lain-lainnya. 

Kalau mereka melihat sedikit saja celah dalam jadwal acara si pemimpin itu, mereka semua secara khas mengira bahwa si pemimpin itu pasti mempunyai waktu bagi mereka. Mereka cenderung untuk menjadikan prioritas mereka sendiri menjadi prioritas si pemimpin. Tetapi biasanya, prioritas mereka itu bukan — dan tidak harus menjadi — prioritas si pemimpin. Tanggung jawab pemimpin lebih penting dari tanggung jawab mereka. Hanya sedikit sekali keputusan-keputusan tentang yang saya buat sebagai Presiden, ditentukan di Ruang Oval, Bila saya harus membuat keputusan penting, selalu saya mengasingkan diri untuk beberapa jam 

di ruang duduk Lincoln atau di perpustakaan-perpustakaan kecil dj Camp David, Key Biscayne, atau San Clemente. Menurut pengalaman, saya lebih bisa berfikir dan membuat keputusan yang baik di tem. pat-tempat yang terpencil, jauh dari hingar-bingar Washington. 

Selain sikap menyendiri, tulis de Gaulle, misteri itu menuntut ucapan-ucapan dan tingkah yang ekonomis, dan perilaku yang terlatih. "Tidak ada sesuatu yang dapat lebih meningkatkan kewibawaan daripada diam,” lanjutnya. Tetapi diam itu, "yang merupakan nilai terbaik seorang kuat,” hanya akan berarti apabila ia bersifat menyem. bunyikan kekuatan pikiran dan kebulatan tekadnya. "Hal itu sama benar dengan pergeseran antara kekuatan dalam dan pengendalian luar sehingga melahirkan satu kekuatan atau gaya seorang penjudi tingkat tinggi yang mampu bersikap lebih tenang daripada biasanya ketika ia meningkatkan taruhannya, atau kehebatan seorang aktor itu tergantung dari kemampuannya menampilkan emosi tokoh yang dimainkannya sembari ia mengendalikan dirinya sendiri dengan kuat.” 

De Gaulle mengetahui bahwa politik adalah teater—dalam pelaksanaan praktisnya kalau bukan dalam substansinya—dan sebagian berkat penguasaannya terhadap seni teaterlah ia berhasil memaksakan keinginannya.

Sumber:

(Richard Nixon, Tokoh-Tokoh Pemimpin Dunia [judul asli: Leaders. Diterjemahkan oleh: Ermas], Jakarta: Pustaka Jaya, 1986, h. 78-82) 



Rabu, 29 Oktober 2025

,

BAHASA INDONESIA: DARI “LINGUA FRANCA” KE POLITIK BAHASA


Oleh: Ignas Kleden


Bahasa Indonesia sebagaimana yang digunakan sekarang patutlah dianggap sebuah karunia sejarah. Betapa tidak! Setelah kira-kira tiga abad berada di bawah penjajahan Belanda, Nusantara sebagai koloni Belanda yang terbesar pada waktu itu akhirnya tidak mengambil mengambil bahasa Belanda sebagai bahasa resmi yang digunakan di sini. Sebagai gantinya, para pemuda di tahun 1928 telah memilih dan menetapkan bahasa Indonesia sebagai satu bahasa yang berlaku dan dipergunakan di seluruh Kepulauan Nusantara. 


Karunia sejarah itu nyata dari sikap pemerintah kolonial dan orang-orang Belanda sendiri yang memang ogah-ogahan mendidikan bahasa Belanda kepada kalangan pribumi, suatu sikap yang baru mengalami sedikit perubahan setelah diterapkan politik etis pada awal abad ini. Akibanya yang menguasai bahasa Belanda  hanyalah sekelompok kecil elite pribumi yang beruntung dapat mengunjungi sekolah berbahasa Belanda. 


Pilihan untuk mengambil Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia ternyata ditunjang juga oleh faktor sejarah yang lain, bahwa Bahasa Melayu sejak berabad-abad telah menjadi lingua franca untuk seluruh Kepulauan Nusantara. Dalam arti akademisnya, lingua franca adalah suatu bahasa yang berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi tidak berfungsi sebagai penunjuk identitas pemakainya. Jadi pemakai bahasa Melayu pada waktu itu tidak terlalu jelas, apakah berasal dari Riau, Jawa, Maluku, Timor, atau Kalimantan. Tentu saja dialek setempat mempengaruhi penggunaan Bahasa Melayu di berbagai daerah, tetapi bahasa itu tidak menunjuk suatu kelompok khusus yang mempergunakannya, kira-kira seperti bahasa Inggris sekarang. 


Penetapan ............. (kertas sobek)


                                                      ***  


Keputusan .... ..... (kertas sobek). 

... Para sastrawan kemudian aktif menggunakan bahasa itu sebagai bahasa kesusastraan, seklipun mereka semua, pada masanya, amat fasih dan sanggup menggunakan bahasa Belanda untuk keperluan literer. Sastrawan Sanusi Pane misalnya, menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Sjahrir menulis renungannya dalam bahasa Belanda. Kemahiran berbahasa Belanda secara aktif itu maish terlihat bahkan jauh setelah Indonesia merdeka: sastrawan Mochtar Lubis kemudian menulis sebuah buku sejarah Indonesia dalam bahasa Belanda, sementara wartawan Rosihan Anwar aktif menulis berbagai tulisan jurnalistik dalam bahasa Belanda. Jadi pilihan elite Indonesia pada waktu itu untuk mendukung Bahasa Indonesia adalah pilihan yang sadar, sekalipun mereka mempunyai fasilitas lainnya untuk menyampaikan buah pikirannya, baik secara ilmiah, secara politik, maupun secara sastra. 


Sutan Takdir Alisjahbana, seorang sarjana hukum berdasarkan pendidikan formalnya, kemudian tidak saja membantu perkembangan bahasa Indonesia sebagai sastrawan dan pemikir kebudayaan yang produktif dan amat berpengaruh, tetapi sekaligus memastikan dirinya sebagai ahli bahasa yang mengabdikan diri kepada keperluan menyusun sebuah tata bahasa normatif (jadi bukan hanya tata bahasa deskriptif). Selain itu sarjana-sarjana Indonesia yang terbaik selepas Proklamasi (dan bahkan sebelumnya) terlibat aktif dalam pembentukan istilah-istilah baku untuk keperluan pendidikan keilmuan dalam bahasa Indonesia. Tanpa kerja komite istilah ini mungkin sampai sekarang kita belum  mempunyai istilah “berat jenis” dalam fisika, “akar serabut” dalam ilmu tumbuh-tumbuhan, misalnya. 


Sedari awal pembakuannya, sudah terlihat bahwa yang membentuk bahasa Indonesia dan membakukannya bukanlah terutama para ahli bahasa, tetapi semua cerdik-pandai dari berbagai keahlian lainnya. Dengan itu kemudian kita mengalami satu tahapan baru dalam perkembangan bahasa Indonesia: dari lingua franca ke bahasa persatuan, dan dari bahasa persatuan ke bahasa pendidikan dan pengajaran. 


                                            ***    


Terbentuknya negara Indonesia dan pemerintahannya tak dapat tidak membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi pemerintah dalam mengeluarkan peraturan-peraturan pemerintah. Peran politik bahasa Indonesia ini sengaja atau tidak, diresmikan dengan cara yang megah melalui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang diumumkan dalam bahasa Indonesia (dan bukan dalam bahasa Belanda atau bahasa Inggris). Pers Indonesia kemudian juga memakai bahasa Indonesia untuk  menyampaikan berita, komentar, , dan analisis keadaan. 


Sementara itu sekolah dan perguruan tinggi mulai memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengajaran. Betapa sulitnya hal ini pada mulanya terlihat dari usaha para sarjana yang berusaha sekuat tenaga menerangkan sebuah konsep  ilmiah dalam istilah Indonesia. Tak mengherankan bahwa pada mulanya masih ada demikian banyak istilah bahasa Barat (Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Latin) yang terpaksa tetap digunakan karena konsep itu belum dapat diungkapkan secara memadai dalam istilah Indonesia. Kalau kita membaca seri kuliah yang diberikan oleh Prof Djokosutono yang diterbitkan belakangan oleh bekas mahasiswanya, masih terlihat betapa sulitnya mengerjakan konsep-konsep ilmu hukum dalam bahasa Indonesia. 


Untuk banyak bekas koloni lainnya, kenyataan bahwa bahasa Indonesia dapat dipergunakan sebagai bahasa politik, bahasa ilmiah, bahasa jurnalistik dan bahasa sastra, menimbulkan kekaguman dan iri hati. Di Filipina, sarjana-sarjana ilmu sosial mulai berusaha menuliskan buku teks dalam bahasa Tagalog, tetapi ternyata bahasa Inggris tidak bisa ditinggalkan. Rekan-rekan ilmuwan sosial Malaysia suka bercerita bahwa bahasa Malaysia memang dipergunakan dalam pertemuan-pertemuan resmi, akan tetapi begitu mereka memasuki diskusi akademis atau perdebatan intelektual tinggi, tanpa sadar mereka harus berpindah kembali ke bahasa Inggris. 


Pembakuan bahasa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pekerjaan beberapa kelompok. Pertama, para sastrawan Indonesia, yang secara langsung mengerjakan bahasa Indonesia dalam karya kreatif; kedua, para ahli bahasa khususnya ahli tata bahasa, yang menyusun kaida-kaidah bahasa Indonesia yang perlu diikuti  dan ditaati. Pilihan Sutan Takdir Alisjahbana untuk menyusun sebuah tata bahasa normatif dan bukan tata bahasa deskriptif, adalah sebuah pilihan yang sangat tepat pada masanya. Jasa terbesar STA adalah bahwa dengan itu norma-norma bahasa Indonesia disusun oleh seorang Indonesia dengan latar belakang Melayu  yang kuat, dan bukan oleh seorang Belanda atau seorang Jerman misalnya. Ketiga, para penyusun kamus bahasa Indonesia. Tidak berlebihan apa yang dikatakan Prof Sudjoko bahwa jasa WJS Poerwadarminta belum cukup dihargai bukan saja oleh Pemerintah Indonesia, tetapi juga oleh masyarakat Indonesia. Keempat, para wartawan (baik media cetak maupun media elektronik) yang juga dengan aktif mengerjakan bahasa Indonesia untuk keperluan penyampaian berita dan analisis keadaan. Kelima, berbagai kelompok pemakai bahasa (para mahasiswa, remaja, politisi, kelompok bisnis, kaum teknisi dan kalangan media, ibu-ibu rumah tangga) yang mempergunakan bahasa Indonesia sesuai kebutuhan khas kelompoknya, dan kemudian turut menyumbangkan kosa kata atau bentuk-bentuk kalimat yang bisa memperkaya bahasa Indonesia. 


                                         ***     


Melihat semua itu, maka politik bahasa Indonesia saat ini menghadapi beberapa tantangan. Tantangan terbesar adalah bagaimana mempertemukan keperluan pembakuan bahasa (yang dilakukan para ahli) dan pengembangan bahasa Indonesia yang dilakukan oleh pemakai aktif bahasa? Khusus mengenai pembakuan bahasa apakah tepat menyerahkan pekerjaan pembakuan bahasa ini hanya kepada para ahli bahasa, atau hanya melibatkan para ahli dari sebanyak mungkin disiplin dan bidang kehidupan dan sektor pekerjaan, sebagaimana yang diperlihatkan dengan sukses pada awal kemerdekaan dalam komite istilah. 


Kedua, kalau kita memberikan kesempatan lebih luas kepada pengembangan bahasa sebagaimana, bagaimana sikap kita terhadap salah-kaprah yang muncul dalam pengembangan tersebut? Sebuah salah-kaprah yang sudah meluas adalah kacaunya penggunaan kalimat pasif dan kalimat aktif yang seringkali dipertukarkan tempat dan fungsinya, dengan akibat kacau pula fungsi pokok kalimat (subyek) dengan fungsi keterangan. Sebagai contoh: Dengan datangnya El Nino menyebabkan gagalnya panen di banyak tempat. Atau: Datangnya El Nino terlihat panen di banyak tempat gagal. Kalau kita berpegang pada tata bahasa STA, maka pokok kalimat pada kalimat pertama seharusnya Datangnya El Nino yang secara salah kaprah diubah menjadi keterangan yaitu dengan datangnya El Nino. Sebaliknya pada kalimat kedua, keterangan yaitu Dengan datangnya El Nino diubah secara salah kaprah menjadi pokok kalimat berupa Datangnya El Nino. Dengan demikian kalimat yang benar menurut tata bahasa STA adalah: Datangnya El Nino menyebabkan gagalnya panen di banyak tempat (kalimat 1, struktur aktif), dan Dengan datangnya El Nino terlihat panen gagal di banyak tempat (kalimat kedua, struktur pasif). 


Politik bahasa saat ini sebaiknya menetapkan apakah salah kaprah seperti itu harus ditolak, karena kita berpegang pada tata bahasa normatif yang menentukan bahwa sebuah kalimat  barulah lengkap kalau dia mempunyai sekurang-kurangnya pokok kalimat (subyek) dan sebutan (predikat), atau kita mengakomodasi saja salah kaprah tersebut, karena kita berpegang pada tata bahasa deskriptif yang mencatat dan melukiskan saja perkembangan bahasa yang terjadi secara apa adanya. 


Kalau pilihan kedua ini diambil maka kesulitannya adalah penerjemahan bahasa Indonesia ke bahasa-bahasa modern lain (dan sebaliknya) menjadi jauh lebih sukar karena struktur subyek-predikat-obyek, relatif dianut  dalam semua bahasa modern. Segi sintaksis ini menjadi penting karena dia langsung berhubungan cara berpikir logis yang amat esensial untuk pemikiran ilmiah, yaitu prinsip kausalitas, di mana harus jelas apakah A yang menjelaskan B, ataukah B yang menjelaskan A. Logika kausalitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan Subyek (yang menerangkan) dan Predikat (yang diterangkan). 


Argumentasi ini mungkin sekali akan ditentang oleh beberapa pihak yang beranggapan bahwa struktur S-P (subyek-predikat) adalah struktur pikiran yang mewakili alam pikiran yang sangat linear, yang mengandaikan bahwa selalu jelas apa yang menerangkan apa. Padahal dalam praktek tidak selalu jelas hubungan kausalitas tersebut. Apakah seorang buntu pikirannya karena mengantuk, ataukah dia mengantuk karena buntu pikirannya? Ini argumentasi epistemologis yang mungkin berguna untuk para ahli ilmu dan ahli filsafat. Suatu politik bahasa seharusnya tidak bertolak dari keruwetan yang kompleks tetapi dari suatu pegangan (biarpun hanya sementara) yang jelas. Para penyair memang bisa memutar-balikkan bahasa sesuai dengan kebebasan – licentia potica – yang diberikan kepada mereka. Tetapi penyair Goenawan Mohamad selalu berkata: penyair yang baik adalah seorang yang sanggup menulis prosa yang baik. Yang sering dilupakan adalah bahwa pemberontak terhadap tata bahasa biasanya sudah menjadi grammarian yang amat piawai sebelumnya. 


Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta


Sumber: Kompas, 29 Oktober 1998

Artikel Kompas


,

KAPANKAH KITA BERHENTI MEMUSUHI PEMUDA KITA SENDIRI?

Arief Budiman, awal '90-an


Oleh: Arief Budiman


Di ITB, sembilan mahasiswa dipecat oleh rektor, di samping lainnya yang diskors. Sebabnya, mereka mengadakan demonstrasi ketika Menteri Dalam Rudini datang ke kampus tersebut. Demonstrasi ini dianggap telah menghina tamu yang diundang oleh pihak ITB, sehingga sangat mempermalukan pimpinan kampus tersebut. Sebagai pernyataan solidaritas, beberapa mahasiswa ITB lain melakukan aksi mogok makan.

Di Yogya, Bambang Subono ditangkap dan diadili atas tuduhan subversi, karena menjual novel Pramoedya Ananta Toer yang telah dilarang. Bersama Bambang Subono yang mahasiswa UGM, ikut ditangkap juga Isti Nugroho, karyawan UGM, yang meskipun hanya tamatan SMA (karena tidak mampu melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi) ternyata menjadi salah seorang pimpinan dari kelompok diskusi mahasiswa di mana Bambang Subono tergabung. Juga ditangkap seorang mahasiswa UGM lain, juga pimpinan kelompok diskusi yang sama, dengan tuduhan serupa.

Putusan pengadilan kepada dua orang yang terdahulu adalah pidana penjara 7 dan 8 tahun. Dalam pertimbangannya, hakim yang memberikan vonis itu pada dasarnya menyatakan bahwa kedua pemuda tersebut telah mengritik keberhasilan pembangunan pemerintah Orde Baru, menyebarkan ideologi lain, dan membahayakan kelestarian Pancasila dan kemantapan generasi Penerus. 

Semua ini dilakukan melalui diskusi. Tidak ada tindakan nyata yang dilakukan kedua pemuda ini, yang secara formal melanggar hukum, kecuali penjualan buku terlarang. Tapi, bila hanya ini yang dilanggar, hukumannya pasti tidak seberat itu, kecuali bila dihubungkan dengan kegiatan subversi. Karena itulah para pembelanya secara tepat menyatakan bahwa yang diadili di sini adalah kebebasan berdiskusi dan berbeda pendapat. 

Rekan-rekan mahasiswa dari beberapa kota kemudian juga mengadakan aksi solidaritas di Yogya. Yang menarik adalah reaksi Rektor UGM. Berbeda dengan ITB, rektor UGM menyatakan tidak akan memecat dan mahasiswa yang telah divonis tersebut dengan alasan proses peradilannya belum selesai (Subono dan Nugroho naik banding). Sikap ini tentunya sangat simpatik bagi para mahasiswa. 

Membaca berita-berita ini, saya jadi termenung. Ada kesan, bahwa bagi yang menghukum mereka, baik itu rektor maupun hakim, para pemuda ini musuh yang berbahaya, yang bisa merusak kelangsungan kehidupan negara. Karena itu, hukuman berat yang dijatuhkan dianggap pantas.

Meskipun tidak mengenal semua mahasiswa ini, saya mengenal beberapa di, antaranya, dan mengenal lingkungan teman-teman mereka secara baik. Kalau boleh saya lukiskan ciri mereka, maka secara singkat dapat saya catat hal-hal di bawah ini:

Mereka adalah orang-orang yang tinggi integritas kepribadiannya dan kepekaannya terhadap nasib orang kecil yang di bawah. Mereka sangat mendambakan terciptanya masyarakat Indonesia yang berkeadilan, demokratis, makmur, dan sejahtera. Mereka adalah minoritas di kalangan teman-teman, mahasiswa mereka, karena kebanyakan mahasiswa lain sibuk dengan proyek dirinya, yakni bagaimana meraih ilmu untuk bisa sukses (baca: kaya). Mereka memiliki keberanian untuk menyatakan apa yang mereka mereka anggap benar dengan segala risikonya. Padahal, kebanyakan mahasiswa lain, meski mengakui kebenaran perjuangan temannya, tidak berani bicara, apalagi berdemonstrasi.

Karena kepekaan yang disebutkan di atas, mahasiswa-mahasiswa ini meski sebenarnya memiliki kemampuan (banyak di antara mereka sangat cerdas) tidak berusaha meniti karier konvensional seperti mahasiswa mayoritas, yakni: lulus, kerja di perusahaan besar, kaya, kawin, dan live happily ever after. Kecerdasannya mereka pakai untuk memperluas pengetahuan mereka (antara lain mempelajari alternatif pembangunan yang lebih baik Indonesia), supaya mereka dapat, pada suatu saat, menciptakan sebuah bangsa yang kuat, makmur, dan adil. 

Tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa mereka adalah kaum muda idealis yang patriotik, seperti juga pemuda Angkatan 45 di zaman revolusi. Mereka memang marah melihat kecurangan dan kemunafikan yang ada di sekitarnya. Tapi mereka sama sekali bukan tipe pembuat onar yang tidak bertanggung jawab. 

Mereka mungkin, sebagai pemuda, lebih emosional dan kadang lebih dramatis dalam mengemukakan pendapatnya. Ini sama sekali bukan masalah prinsipiil. Ini hanyalah proses menjadi dewasa. Yang mereka perlukan bukanlah pemecatan, atau menjebloskan mereka ke penjara, tapi bimbingan yang arif. Supaya idealisme mereka tidak musnah, kreativitas mereka tidak luka. 

Kepada beberapa perwira yang saya anggap bisa diajak bicara, saya membicarakan masalah ini. Saya katakan kepada mereka, bagi saya adanya pengaruh besar ABRI dalam kehidupan politik di Indonesia sudah merupakan kenyataan sejarah. Menghadapi kenyataan ini, bagi saya, yang paling penting adalah bertindak positif, yakni: bagaimana meningkatkan kualitas kepemimpinan ABRI di bidang politik. Ini bukan persoalan ABRI saja, tapi persoalan seluruh bangsa. 

Salah satu “kelemahan” begitu kata saya, adalah kurang luwesnya banyak perwira ABRI yang menduduki jabatan kepemimpinan sipil dalam mentransformasikan manajemen militer ke manajemen sipil. 

Manajemen militer didasarkan pada suatu kondisi perang yang bersifat darurat. Dalam keadaan ini, keputusan harus diambil cepat, karena ada bahaya besar mengancam. Peran komandan menjadi sangat penting. Disiplin dan kepatuhan anak buah menjadi utama. Musuh juga harus secara nyata diidentifikasikan, dan garis antara lawan dan kawan harus diperjelas. 

Masyarakat sipil sangat berbeda. Dalam keadaan damai, pada dasarnya tidak ada musuh. Semua warga negara pada prinsipnya adalah saudara. Kalau terjadi perbedaan pendapat, mereka tidak bisa lalu dikategorikan sebagai musuh yang sedang melakukan kegiatan subversif. (Kecuali kalau ada bukti yang sangat jelas bahwa seseorang sedang berkomplot untuk menggulingkan negara). Karena itu, yang sangat diperlukan adalah ilmu mengelola perbedaan pendapat secara damai, sehingga hasilnya menjadi positif bagi semua pihak. Perbedaan pendapat tidak boleh dikelola dengan metode konfrontatif untuk menghancurkan lawan secara represif, seperti halnya dalam perang. 

Saya akui bahwa militer di Indonesia dengan doktrin dwi-fungsi yang sudah dijalankan cukup lama, memang lebih canggih dibandingkan dengan militer di negara-negara lain yang hanya menjalankan fungsi perang saja. Tapi toh saya melihat, dalam banyak kasus, militer Indonesia belum berhasil benar dalam menjadikan dirinya pemimpin sipil yang handal. Prinsip manajemen perang pada dasarnya masih tetap berakar dalam diri banyak perwira yang menduduki jabatan birokrasi sipil. 

Bahkan prinsip manajemen perang ini mulai menular kepada para pemimpin sipil. Dia bisa menular kepada hakim, bahkan kepada rektor yang jenjang pendidikannya sangat tinggi.

Saya merasa kuatir bahwa kalau hal ini tidak dikoreksi maka apa yang terjadi adalah kita sedang membabat benih-benih terbaik bangsa ini. Para pemuda yang idealis, baik dia mahasiswa atau bukan, yang mau berpikir tentang nasib saudara-saudaranya yang tersisih dari perolehan hidup yang layak, yang berani bicara tentang ketimpangan yang ada dalam masyarakat, yang mengorbankan kesempatan untuk menjadi kaya dan hidup happily ever after, oleh suatu manajemen yang tidak tepat, lalu dianggap sebagai musuh berbahaya bangsa ini. 

Mereka dituduh subversif, dihukum, dipecat dari universitasnya, atau dimasukkan penjara sampai bertahun-tahun. Tindakan seperti ini bukan saja mematahkan yang terkena, tapi juga membuat layu kuncup-kuncup baru yang mau mekar. Apakah ini suatu tindakan yang bijaksana? Bagaimana masa depan bangsa ini, kalau dia dikelola oleh para pemuda yang lebih memikirkan kepentingan dirinya ketimbang nasib sesamanya, dan yang takut bicara benar demi keselamatan jenjang kariernya?

Kapankah kita sadar bahwa kita sedang membunuhi benih, benih kreatif dan unsur dinamis bangsa ini? Kapankah kita berhenti memusuhi pemuda kita sendiri?

Arief Budiman, dosen Universitas Kristen Satya Wacana


KOMPAS, SENIN, 18 SEPTEMBER 1989


Artikel Kompas


TERBARU

MAKALAH