alt/text gambar

Kamis, 17 Juli 2025

Komunikasi dalam Organisasi

Keberhasilan kepemimpinan itu bergantung pada kemampuan pemimpin menjabarkan kebijakan (policy) organisasi dan ide-ide sendiri ke dalam pengertian-pengertian praktis, yang bisa dipahami dan dapat dilaksanakan oleh para pengikut atau bawahannya.

Maka komunikasi yang efektif dan terbuka akan memudahkan penjabaran kebijakan tersebut, sekaligus juga memberikan fasilitas kelancaran kerja. Komunikasi ini juga menjadi sarana primer untuk mengubah tingkah laku, dengan jalan mempengaruhi dan meyakinkan para pengikut.

Maka ada dua bentuk komunikasi dalam kepemimpinan organisasi, yaitu komunikasi satu arah atau one way communication, dan komunikasi dua arah atau two way communication.

Keuntungan dari komunikasi searah antara lain ialah sebagai berikut: 

Dapat berlangsung cepat dan efisien, berlangsung top-down

Dapat melindungi pemimpin, sehingga orang atau para pengikut tidak dapat melihat dan menilai kesalahan-kesalahan dan kelemahan pemimpin. 

Sedangkan kelemahan pada komunikasi satu arah ialah:

- Kepemimpinannya bersifat otoriter; 

- Dapat menimbulkan ketidakjelasan, salah paham, penafsiran yang keliru, sentimen dan banyak ketegangan. 

Selanjutnya, keuntungan, dan kerugian dari komunikasi dua arah dapat disebutkan di bawah ini. 

Keuntungan Komunikasi dua arah ialah: 

- Semua perintah dapat diterima dengan lebih akurat-tepat, karena dapat ditanyakan dan didiskusikan apabila pesan-pesan yang diberikan kurang dapat dimengerti. 

- Bisa dikurangi salah paham dan salah interpretasi. 

- Suasananya lebih demokratis.

Sebaliknya, beberapa segi kelemahan dari komunikasi dua arah ialah: 

- Komunikasi dan kepatuhan berlangsung lebih lambat. 

- Kemungkinan besar muncul sikap "menyerang" pada pengikut/anak buah, dan terdapat sikap bertahan pada diri pemimpin. 

- Setiap saat bisa timbul masalah-masalah baru yang tidak terduga-duga dengan adanya dialog terbuka. Artinya, dapat muncul satu seri permasalahan kepemimpinan (manajemen) baru, yang bisa menyulitkan posisi pemimpin. 

Sehubungan dengan pembagian tugas pekerjaan dalam struktur organisasi, khususnya organisasi-organisasi formal, modern, dan maha-kompleks, maka masalah "koordinasi" merupakan masalah yang sangat pelik; lalu masalah paling gawat dalam koordinasi tersebut ialah komunikasi. Sebab, tanpa komunikasi yang efisien dan terkoordinasi dengan baik, tidak mungkin orang mengadakan kerja sama yang baik. Juga tidak mungkin terjalin relasi manusiawi yang menyenangkan. 

Komunikasi yang tidak lancar dapat menimbulkan banyak dampak buruk, antara lain ialah: 

(1) Timbulnya sentimen-sentimen, prasangka-prasangka, dan ketegangan-ketegangan di kalangan para anggota organisasi. 

(2) Memunculkan konflik-konflik di antara bermacam-macam tingkatan dalam organisasi garis atau organisasi model piramidal. (Dr. Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu?, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 138-140).



Minggu, 13 Juli 2025

Ilmuwan Muslim

Ibnu Sina

Oleh: Luthfi Assyaukanie


Setiap kali saya berbicara tentang kemunduran dunia Islam, ada sebagian kaum Islamis yang berargumen bahwa Islam pernah jaya di masa silam. Mereka mengirimkan link dan foto-foto ilmuwan Muslim seperti Ibn Sina, al-Khawarizmi, Ibn Nafis, Ibn Rushd, dan banyak lagi. Seolah-olah saya tidak tahu tentang itu semua.

Gini ya, kalau para ilmuwan yang link dan foto-fotonya kalian kirim itu hidup sekarang, orang jenis kalianlah yang akan mengecam, mencaci, dan mengafirkan mereka. Ilmuwan seperti Ibn Sina, Ibn Rushd, dll, itu pada masanya dan era sesudahnya, dikafirkan oleh banyak ulama. Mereka dianggap sesat karena menjunjung tinggi kebebasan, berpikir kritis, dan mendiskusikan hal-hal yang membuat banyak orang Islam gerah.

Jangankan kalian yang tak berilmu. Al-Ghazali yang dianggap filsuf saja tak sanggup menerima pikiran Ibn Sina. Dia mengafirkannya dan menempatkannya di neraka jahannam, karena mempertanyakan soal kebangkitan jasad manusia setelah kematian. Jika orang terhormat seperti al-Ghazali saja begitu sempit lingkar otaknya, apalagi kalian yang tak belajar filsafat, tak tahu bahasa Arab, dan tak mengerti sejarah peradaban dunia.

Asal kalian tahu, sebagian ilmuwan Muslim itu jika tidak mulhid, agnostik. Bahwa mereka tampil berpakaian seperti ayatullah Khomeini, itu karena busana yang normal pada zaman itu ya memang begitu. Bahwa mereka seolah-olah seperti religius, itu karena tuntutan keadaan. Mereka bekerja kepada sultan dan raja, sebagai ahli hukum (qadi), dokter, dan penasehat politik. Secara personal, seperti terungkap dari karya-karya mereka, mereka adalah para pemikir bebas.

Al-Ghazali paham sekali perilaku para filsuf dan ilmuwan Muslim di sekitar istana, karena dia pernah berada di sana, pernah melewati masa-masa itu, sebelum tobat. Para ulama menilai ilmuwan dan filsuf Muslim bukan dari tampilan mereka, tapi dari pandangan-pandangan dan karya mereka. Ibn Taymiyah dan ulama Salafi menganggap kafir --atau paling tidak, zindik-- semua filsuf. Sebagian besar ulama menganggap rendah ilmuwan/filsuf Muslim dan tak menghormati karya mereka.

Jadi, tidak mungkin orang yang membenci kebebasan, pada saat yang sama mengagumi Ibn Sina dkk. Impossible. Mustahil. Lain halnya kalau dia tak mengerti persoalan.

Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1Lzefv6qhX/

Rabu, 09 Juli 2025

Belajar menurut Paulo Freire


Paulo Freire, seorang tokoh besar dalam dunia filsafat pendidikan, menolak pandangan bahwa belajar itu sekadar menerima dan menyerap informasi dari guru atau buku secara pasif. Dalam kutipan ini, dia menekankan bahwa belajar sejati adalah proses aktif dan kreatif.

Belajar bukan sekadar konsumsi:

Banyak sistem pendidikan tradisional menjadikan siswa seperti “wadah kosong” yang hanya diisi pengetahuan. Padahal belajar bukan soal menghafal atau menerima tanpa berpikir.

Belajar adalah mencipta ide:

Freire mengajak kita melihat belajar sebagai proses penciptaan makna — mengolah informasi, mengkritisinya, mengaitkannya dengan pengalaman, dan melahirkan ide-ide baru.

Belajar adalah proses yang berkelanjutan:

Tidak berhenti pada satu ide, tapi terus mengeksplorasi, mempertanyakan, dan memperkaya pemahaman secara aktif dan dinamis.

Dalam dunia modern yang penuh informasi, kutipan ini mengingatkan kita agar tidak hanya menjadi konsumen pasif.

Di kelas, di kampus, bahkan di media sosial, kita ditantang untuk berpikir kritis dan produktif.

Cocok untuk siapa saja yang ingin menjadi pembelajar seumur hidup, bukan hanya pencatat atau peniru.

Intinya: Belajar itu bukan menerima, tapi mencipta. Bukan hanya mendengar, tapi berdialog. Bukan hanya menyimpan ide orang lain, tapi melahirkan ide milik sendiri.

Sumber: https://www.facebook.com/share/1Bg5xqdPyE/

Senin, 07 Juli 2025

Beyt Miqdas

 Oleh: Luthfi Assyaukanie


Ketika Nabi Muhammad dan orang2 Arab menunjuk suatu tempat suci di Yerusalem dengan istilah "bayt maqdis" sebetulnya itu adalah "beyt miqdas", atau "rumah suci" yang dibangun Raja Solomo (Sulaiman). Bayt Maqdis adalah ungkapan bahasa Arab untuk menyebut Beyt Miqdas.

Bahasa membuat segalanya menjadi kacau. Mungkin sang Nabi menganjurkan umatnya untuk menghormati rumah suci yang dibangun oleh raja bangsa Yahudi yang hebat itu. Siapa yang tak kenal Solomo, seorang raja yang dihormati oleh semua bangsa di Asia Barat ketika itu.

Rumah Suci atau Beyt Miqdas dibangun pertama kali pada 966 SM. Pada mulanya disebut "Beyt Solomo", tapi setelah sang raja agung itu meninggal, para pengikutnya menyebutnya "Beyt Miqdas." Bahasa Ibrani adalah rumpun bahasa Semitik yang mengilhami banyak sekali kosakata bahasa Arab.

Ketika pertama kali belajar Ibrani, saya terkejut betapa miripnya bahasa ini dengan bahasa Arab. Tentu saja, karena kedua bahasa ini berasal dari rumpun yang sama. Persis seperti bahasa Jerman dan Belanda atau bahasa Spanyol dan Portugis. Bahkan kedekatan Arab dan Ibrani jauh lebih besar dari semua bahasa yang pernah saya pelajari.

Ketika orang2 Arab menaklukkan Syam, mereka ingat pesan Nabi mereka untuk menghormati "rumah suci" (beyt miqdas) di Yerusalem. Sayangnya, ketika itu rumah suci tersebut sudah tidak ada, dihancurkan oleh pasukan Romawi pada tahun 70 M. Yang mereka saksikan hanyalah puing2 berupa tembok besar dan beberapa sisa fondasinya.

Di atas puing2 itulah "bayt maqdis" didirikan. Tujuannya menghormati peninggalan sang raja dan ajarannya. Semestinya "bayt maqdis" itu adalah Kuil Ketiga yang harus diserahkan kepada umat Yahudi. Mereka yang lebih berhak memilikinya ketimbang orang-orang Arab yang baru datang ke sana.

Sayangnya kekacauan bahasa dan ketiadaan Nabi membuat masalah menjadi rumit. Beyt miqdas itu berubah nama menjadi "bayt maqdis" dan kemudian lama kelamaan berubah nama menjadi "masjid Aqsa." Masjid berarti "tempat sujud," yang sebetulnya berarti sama dengan "rumah suci."

Dalam bahasa Arab, "aqsa" berarti "jauh." Disebut demikian karena jarak Yerusalem dari Madinah, tempat Nabi tinggal, memang cukup jauh. Bahkan, nabi sendiri seumur hidupnya tak pernah ke sana, kecuali dalam perjalanan virtual (mimpi) yang disebut Isra. Sampai tahun 691 M atau sekitar 60 tahun setelah Nabi wafat, masjid itu tak pernah ada.

Yahudi adalah agama yang banyak menginspirasi Islam. Separuh teologi dan ajaran Islam diambil dari Yahudi. Ini tidak mengherankan karena Yathrib, tempat Nabi membangun Islam adalah salah satu pusat agama Yahudi terbesar di Arabia. Obsesi kepada keyahudian, termasuk kisah2 biblikal dan tempat2 sucinya tampak sangat jelas.

Di tengah kecamuk perang dan antagonisme dua cucu Ibrahim itu, tak ada yang lebih elok selain melihat kembali sejarah dua bangsa, dua agama, dua bahasa, yang lebih banyak kesamaannya ketimbang perbedaannya.

Dan kalian, yang berada jauh dari wilayah konflik itu, bukan cucu Ibrahim, bukan bangsa Semit, dan tak punya DNA Yahudi dan Arab, janganlah ikut memanas2i. Kehidupan terlalu berharga untuk diisi kebencian dan perang.

Sumber: https://www.facebook.com/share/19r4MS7Nbe/

Minggu, 06 Juli 2025

PhD Itu Apa Sih?

Oleh: Nadirsyah Hosen


PhD itu bukan soal gelar tiga huruf di belakang nama. Itu soal berapa kali kau meragukan dirimu sendiri—dan tetap menulis. Soal tidur dengan kegelisahan, bangun dengan keraguan, dan menyerahkan ratusan halaman ke dosen pembimbing hanya untuk dapat komentar: “Tolong diperjelas. Rewrite!”

PhD bukan bukti kau paling pintar. Seringkali, justru sebaliknya: itu bukti kau cukup keras kepala untuk terus bertanya saat orang lain sudah puas dengan jawaban Google Scholar atau ChatGPT.

PhD itu seperti pacaran LDR sama ide. Kau percaya, walau tak bisa lihat hasilnya sekarang. Kau sabar, walau disertasi sering bikin sakit hati. Kadang ide datang jam 3 pagi, lalu malah hilang pas kamu udah siap menuliskannya.

Dunia pikir PhD itu prestasi. Padahal kadang cuma jalan panjang penuh stres dan folder bernama: Final-Fix-FinalBeneran-FixRevisiFinal.docx

Dan setelah semua itu, kamu tetap gak bisa nyusun satu kalimat paling penting dalam hidup:

“Aku sayang kamu.”

Mau ngomong gini aja, muternya bisa 3 paragraf, sambil posting lagu If Tomorrow Never Comes.

PhD itu bukan bukti bahwa kamu paling ngerti dunia. Karena biarpun kamu udah punya gelar, kamu tetap aja gagal memahami isi hatinya. Gagal menafsirkan amarahnya. Gak peka dengan getar-getar cinta yang dia kirim lewat postingan artistik di pantai dengan lagu beautiful in white.

PhD itu jangan-jangan sebenarnya singkatan dari:

“Perempuan Harus Dimengerti.”

Dan kalau kamu punya dua gelar PhD?

Ya tinggal ditambahin:

“Perempuan Harus Dicintai (dengan Sepenuh Hati, Tanpa Ada Celah bagi yang Lain untuk Bisa DM, Bisa Ngafe Berdua, atau Bisa Foto Berdua. Pokoknya cukup sama kekasih hatimu saja).”

Punya PhD itu baru terasa enak kalau gajinya dollar atau euro. Kalau rupiah, ya bisa-bisa artinya jadi Permanent Head Damage 😊


Nadirsyah Hosen

Jumat, 04 Juli 2025

Beragama secara Ilmiah?

Oleh: Mun'im Sirry


Ini utk mereka yg masih nanya definisi "ilmiah" apa? Status FB tgl 23 Oktober. Capek melacaknya. Jadi, saya posting lagi saja. Ada yg juga nanya definisi "rasional" apa? Definisi "masuk akal" apa? Malu kalau praktik haji disebut "tidak rasional", "tidak masuk akal." kenapa harus rasional?


Nanti saya ceritakan kisah Hunain bin Ishaq (seorang saintis Kristen di Baghdad abad ke-9) dan dua murid Muslim-nya yang tunduk pada irrasionalitas agama. stay tuned!


“Beragama secara ilmiah?”


Jika yang dimaksud dengan ajakan beragama secara ilmiah ialah memahami dan mengamalkan ajaran agama berdasarkan ilmu, maka itu berarti mengatakan sesuatu yang sudah jelas. Tak ada orang, apalagi ulama, menyuruh pemeluk agama tidak mempelajari agama yang diimaninya. Dalam hal ini, berilmu merupakan kebalikan dari bodoh. Dalam ihya’-nya, imam Ghazali menyebut banyak riwayat tentang keutamaan orang berilmu dibandingkan ahli ibadah yang bodoh.


Namun, jika yang dimaksud “ilmiah” adalah “saintifik” dalam arti beragama berdasarkan pembuktian sains, maka ajakan beragama secara ilmiah merupakan pernyataan paling aneh yang pernah saya dengar. Keanehan ini terjadi karena sains dicampuradukkan dengan hal-hal yang bukan sains.


Misalnnya, sains dicampuradukkan dengan filasafat. Karena beberapa hal dalam agama masuk dalam perbincangan filosofis, maka kemudian dianggap saintifik. “Philosophy is not a science proper.” Sains menggunakan metode tertentu untuk menguji hipotesis berdasarkan bukti-bukti empiris. Tentu saja filsafat itu penting sebagai sumber pengetahuan, tapi bukan sains.

Juga, sains dicampuradukkan dengan rasionalitas. Karena pandangan keagamaan kita rasional, maka kemudian disimpulkan bersifat ilmiah dalam pengertian saintifik. Rasionalitas itu tidak selalu saintifik. Suatu pemahaman rasional bisa dianggap saintifik manakala telah teruji melalui metode saintifik.


Sementara sains berfokus pada pembuktian empiris, yakni alam nyata dan mekanisme kerjanya, penalaran akal (rasional) mencakup hal yang luas sekali, termasuk hal-hal di luar alam nyata yang biasa disebut metafisika. Karenanya, sebagian pertanyaan filosofis yang menjadi obyek penalaran akal bukan wilayah yang digarap sains.


Karena campuraduk antara ilmiah (saintifik) dan rasional dan filosofis, maka persoalannya menjadi rumit seperti benang kusut. Padahal, kalau saya amati dari diskusi yang selama ini berkembang, pertanyaannya lebih sederhana: Apakah doktrin-doktrin agama (Islam) bersifat rasional? Apakah masuk akal? Apakah bisa dibuktikan melalui penalaran?


Jadi, “ilmiah” yang dimaksud adalah “rasional.” Maka, kemudian disusun argumen-argumen rasional untuk membuktikan keberadaan Tuhan, misalnya. Atau, argumen rasional untuk membuktikan Al-Quran sebagai wahyu ilahi. Dan seterusnya.


Pembuktian rasional terkait keimanan itu umumnya bersifat “after the fact.” Artinya, beriman dahulu kemudian dicari beragam alasan untuk menjustifikasi apa yang diimani. Tentu saja orang yang tidak beriman juga punya alasan untuk menilainya tidak rasional. Yang menarik dicatat ialah sebagian orang tampak bernafsu mengkampanyekan bahwa seluruh ajaran Islam bersifat rasional.


Padahal, para ulama dahulu – yang juga saya imani – secara legowo menerima kenyataan bahwa ada hal-hal dalam agama yang ma’qulatul ma’na (maknanya dapat dinalar akal) dan ghayru ma’qulatil ma’na (maknanya tidak dapat dinalar). “Maknanya tidak dapat dinalar” bukan berarti bertentangan dengan nalar! Itu merupakan cara ulama dahulu untuk mengatakan “ya terima saja” sebagaimana diwahyukan.


Saya ini hidup di tengah-tengah masyarakat yang mengedepankan rasionalitas dan bergelut dengan penalaran kritis setiap saat, tapi saya tetap mengimani ada hal-hal dalam agama yang tidak perlu bersifat rasional untuk saya terima. Dalam hal ini, saya setuju dengan pandangan ulama dahulu.


Saya juga teringat pandangan Thomas Aquinas berikut: “seharusnya kamu tidak mencoba membuktikan iman dengan (bersandar sepenuhnya pada) akal. Sebab, hal itu akan mengecilkan sublimitas iman yang kebenarannya melampaui akal manusia, bahkan para malaikat; kami mengimani (ajaran-ajaran agama) karena diwahyukan oleh Tuhan” (non ad hoc conari debes, ut fidem rationibus necessariis probes. Hoc enim sublimitati fidei derogaret, cuius veritas non solum humanas mentes, sed etiam Angelorum excedit; a nobis autem creduntur quasi ab ipso Deo revelata).


Apa alasan saya menerima hal-hal dalam agama yang tidak harus rasional? Karena saya tidak mau sok rasional! Ndak itu bercanda, walaupun ada benarnya juga. Begini jawaban seriusnya: Ada banyak hal dalam agama yang bisa diketahui melalui penalaran akal. Dalam studi agama, ini disebut “natural religion,” yakni aspek-aspek agama yang dapat diketahui melalui logika atau penalaran semata.


Namun demikian, ada hal-hal subtil dalam agama yang hanya diketahui karena Tuhan memberitahu melalui wahyu. Tanpa wahyu, baik dalam arti inspirasi yang menjadi teks ataupun Tuhan sendiri turun ke bumi, kita tidak tahu. Kita tak perlu ruwet memikirkan contohnya. Misalnya, kenapa Muhammad dipilih sebagai Nabi terakhir, bukan orang lain? Dalam Kristen, kenapa Trinitas? Kaum beriman mengetahui karena Tuhan memberitahu dengan cara yang sesuai kehendak-Nya. Tanpa pemberitahuan Tuhan, kaum Muslim tidak tahu apakah harus mengimani Muhammad sebagai Nabi atau tidak.


Perkara kenabian Muhammad bisa dirasionalkan, itu urusan lain. Kaum beriman dapat menyusun alasan rasional tentang kenabian Muhammad, namun hal itu hanya dapat dilakukan setelah diberitahu Tuhan bahwa Muhammad itu Nabi terakhir (khatam al-nabiyin). Lagi-lagi, ini contoh bagus tentang justifikasi “after the fact” itu.


Yang perlu disadari ialah, sebagaimana kita dapat mengembangkan argumen rasional untuk menjelaskan kemasuk-akalan (reasonableness) ajaran agama kita, para penganut agama lain juga melakukan hal yang sama. Kalau Anda baca karya-karya Thomas Aquinas, misalnya, maka akan tampak betapa masuk-akal ajaran Kristen. Para apologet dalam setiap agama melakukan hal yang sama.


Berbeda dengan apologet, kaum polemikus biasanya bukan hanya memperlihatkan aspek-aspek rasional ajaran agamanya, melainkan juga mengkampanyekan ketidak-rasionalan agama lain. Teolog Muslim Abu Isa al-Warraq pada ke-9, misalnya, mengkritik Trinitas dan konsep inkarnasi Kristen sebagai ajaran tidak logis dan inkoheren. Sementara dari pihak Kristen, Abdul Masih b. Ishaq al-Kindi pada abad ke-10 mencibir ajaran Islam sebagai irrasional. Para polemikus modern juga sama. Dengar apa yang dikatakan Ahmed Deedat dan Zakir Naik (dari pihak Islam) atau Jay Smith dan Christian Prince (dari pihak Kristen).


Jika sempat, nanti saya lanjutkan dengan penjelasan historis kenapa sebagian ulama Muslim, terutama abad ke-19, menekankan argumen bahwa Islam merupakan agama paling rasional. Saya akan tutup dengan satu tambahan campuraduk yang menyebabkan kata “ilmiah” membingungkan. Yakni, mencampuradukkan “ilmiah” dengan kata “ilmi” dalam bahasa Arab. Misalnya “bahts ‘ilmi” diartikan “pembahasan ilmiah.” Ya benar, tapi ilmiah di situ tidak harus dalam pengertian saintifik.


Kalau mendiskusikan satu tema dengan menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang relevan disebut ilmiah, ya ilmiah dalam pengertian berdasarkan ilmu. Kalau membahas suatu masalah dengan mengutip banyak literatur disebut ilmiah, ya pembahasan ilmiah dalam arti tidak ngibul. Jangan karena ada frasa “hadza bahts ‘ilmi” kemudian dipahami ini pembahasan ilmiah dalam arti saintifik.


Pada akhirnya, kata “ilmiah” bisa bermakna berbeda bagi orang berbeda. Sayangnya, dalam bahasa Indonesia, kata “ilmu” (yang darinya kata “ilmiah” diderivasi) tidak dibedakan dengan “pengetahuan.” Keduanya kerap digunakan dengan makna yang sama. Dalam bahasa Inggris, kata “science” dan “knowledge” itu konotasinya berbeda.

Sumber: https://www.facebook.com/share/1FAnpidbKR/

TERBARU

MAKALAH