alt/text gambar

Senin, 02 November 2015

Topik Pilihan:

PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 18 TAHUN 2004



PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG 

REPUBLIK INDONESIA NO. 18 TAHUN 2004 

TENTANG 

PERKEBUNAN Terhadap 

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 









DIAJUKAN OLEH : PUBLIC INTEREST 

LAWYER NETWORK 



(PIL-NET) 

















PADA MAHKAMAH KONSTITUSI 

REPUBLIK INDONESIA 





Agustus 2010





Kepada Yang Terhormat,

KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

di Jalan Medan Merdeka Barat No. 6
Jakarta Pusat 10110



Perihal: Permohonan Pengujian Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 18
Tahun  2004  Tentang  Perkebunan  Terhadap  Undang-undang  Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945



Dengan hormat, Perkenankanlah kami:
Indriaswati Dyah Saptaningrum, SH., LL.M., Asep Yunan Firdaus, SH., Iki Dulagin, SH., Tandiono Bawor, SH., Wahyu Wagiman, SH., Wahyudi Djafar, SH., A. Patra M. Zen, SH., LL.M., Adiani Viviani, SH., Agustinus Karlo SH., Anggara,  SH.,  Betty  Yolanda,  SH.,  LL.M.,  Andi  Muttaqien,  SH.,  Blasius Hendi Candra, SH., Farhan Mahfudzi, SH., Fatilda Hasibuan, SH., Hadi Syahroni,  SH.,  Ikhana  Indah,  SH.,  Khairul  Fahmi,  SH.,  MH.,  Supriyadi Widodo Eddyono, SH., Sulistiyono, SH., Susilaningtyas, SH., Teuku Raja Arif Faisal, SH., Zainal Abidin, SH., dan Natanael Mite Timun, SH.

Semuanya  Advokat  dan  Pengabdi  Bantuan  Hukum,  yang  tergabung  dalam PUBLIC INTEREST LAWYER NETWORK (PIL-NET), memilih domisili hukum di Jalan Siaga II No. 31 Pasar Minggu, Jakarta Selatan Telp. 021-7972662, Fax. 021-
79192519, dalam hal ini bertindak bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama :


1.
Nama
Umur
Jenis Kelamin Pekerjaan Kebangsaan Alamat
:
:
:
:
:
:
Japin
39 Tahun Laki-laki Tani Indonesia
Dusun  Silat  Hulu,  Desa  Bantan  Sari,  Kecamatan
Marau Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat

2.

Nama
Umur
Jenis Kelamin Pekerjaan Kebangsaan Alamat

:
:
:
:
:
:

Vitalis Andi, S.Pd.
30 Tahun Laki-laki Swasta Indonesia
RT/RW    003/002    Desa    Mahawa,    Kecamatan
Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang.







3.     Nama
Umur
Jenis Kelamin Pekerjaan Kebangsaan Alamat

:    Sakri
:    41 Tahun
:    Laki-laki
:    Petani
:    Indonesia
:    Ds Soso Kec Gandusari, Kab. Blitar, Jawa Timur





4.     Nama
Umur
Jenis Kelamin Pekerjaan Kebangsaan Alamat

:    Ngatimin Alias Keling
:    49 Tahun
:    Laki-laki
:    Petani
:    Indonesia
:    Dusun III Suka Rakyat Desa Pergulaan, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara



Untuk selanjutnya secara keseluruhan Pemohon tersebut disebut sebagai PARA PEMOHON, dengan ini mengajukan permohonan Pengujian Pasal 21 Jo Pasal 47
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Terhadap Undang- Undang Dasar 1945 (Bukti P-1);

I.    PENDAHULUAN

Pada awal pembentukannya Pemerintah Indonesia menganggap bahwa lahirnya UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan merupakan landasan hukum untuk mengembangkan perkebunan dan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Sehingga penyelenggaraan perkebunan yang demikian telah sejalan dengan  amanat  dan  jiwa  pasal  33  ayat  (3)  Undang-undang  Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Permasalahannya kemudian adalah bahwa secara substansial, ternyata UU Perkebunan membuka ruang yang luas bagi pelestarian eksploitasi secara besar- besaran pengusaha perkebunan terhadap lahan perkebunan dan rakyat, serta menciptakan adanya ketergantungan rakyat terhadap pengusaha perkebunan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pengaturan mengenai luas maksimum dan luas minimum tanah yang dapat dijadikan sebagai lahan perkebunan, yang pada akhirnya   menimbulkan   adanya   konsentrasi   hak   penggunaan   tanah   yang berlebihan oleh pihak pengusaha. Implikasi lebih lanjutnya adalah sebagian besar hak guna usaha yang dimiliki pengusaha perkebunan lambat laun menggusur keberadaan masyarakat adat atau petani yang berada di sekitar atau di dalam lahan perkebunan. Akibatnya masyarakat adat atau petani tersebut tidak lagi memiliki akses terhadap hak milik yang telah turun temurun mereka kuasai atau bahkan kehilangan lahannya.

Selain itu, adanya sanksi administrasi dan pidana yang dikenakan terhadap setiap orang yang melanggar kewajiban dan melakukan perbuatan yang dilarang dalam UU         Perkebunan   merupakan   permasalahan   tersendiri   yang   harus   segera





diselesaikan. Permasalahan ini muncul karena muatan materi yang mengenai “larangan melakukan suatu perbuatan” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dirumuskan secara samar-samar dan tidak jelas dan rinci. Sehingga berpotensi dan memberikan peluang dan keleluasaan untuk disalahgunakan.

Pada dasarnya, Para Pemohon tidak menolak adanya UU Perkebunan yang ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan. Namun, apabila ternyata ada, dan telah terbukti, bahwa UU Perkebunan tersebut digunakan untuk melindungi dan memberikan peluang untuk disalahgunakan perusahaan dan penguasa, maka Para Pemohon secara tegas menolak Pasal 21 dan Pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.



II.  KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1.      Bahwa  Pasal  24  ayat  (2)  Perubahan  Ketiga  UUD  1945  menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;

2.      Bahwa  selanjutnya  Pasal  24  C  ayat  (1)  Perubahan  Ketiga  UUD  1945 menyatakan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang  terhadap  UUD,  memutus  sengketa  kewenangan  lembaga  negara yang  kewenangannya  diberikan  oleh  UUD,  memutus  pembubaran  partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”;

3.      Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Mahkamah Konstitusi mempunyai hak atau kewenangannya untuk melakukan pengujian undang-undang (UU) terhadap UUD yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD RI tahun 1945”;

4.     Bahwa  oleh  karena  objek  permohonan  pengujian  ini  adalah  Pasal  21
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, maka berdasarkan ketentuan a quo, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan ini.

III. KEDUDUKAN   HUKUM   DAN   KEPENTINGAN   KONSTITUSIONAL   PARA PEMOHON

5.      Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara        Republik   Indonesia   Tahun   1945   merupakan   satu   indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif yang merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip Negara Hukum;





6.      Bahwa  Mahkamah  Konstitusi  Republik  Indonesia,  berfungsi  antara  lain sebagai guardian” dari constitutional rights” setiap warga Negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan badan yudisial      yang   bertugas   menjaga   hak   asasi   manusia   sebagai   hak konstitusional dan hak hukum setiap warga Negara. Dengan kesadaran inilah Para Pemohon kemudian, memutuskan untuk mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 21 jo. Pasal 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan yang bertentangan dengan semangat dan jiwa serta pasal-pasal yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

7.      Bahwa dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan   konstitusionalnya   dirugikan     oleh     berlakunya undang-undang,          yaitu  :  (a)  perorangan  WNI,  (b)  kesatuan  masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang- undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”;

8.      Bahwa  Para  Pemohon  adalah  Perorangan  warga  negara  Indonesia  yang secara faktual berdomisili di wilayah perkebunan dan memiliki lahan di sekitar wilayah perkebunan;

9.      Bahwa   Para   Pemohon   seringkali   terlibat   konfli dengan   perusahaan perkebunan yang berada di sekitar wilayah domisilinya;

10.    Bahwa akibat konflik yang terjadi antara Para Pemohon dengan perusahaan perkebunan, Para Pemohon telah disangka dan didakwa dengan ketentuan Pasal 21 jo. Pasal 47 Undang-undang a quo;

11.    Bahwa Pemohon I merupakan Masyarakat Adat Silat Hulu, Desa Bantan Sari,           Kecamatan   Marau   Kabupaten   Ketapang   Kalimantan   Barat   yang menuntut dikembalikannya tanah adat yang dirampas dan digunakan PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM) sebagai lahan perkebunan. Pemohon I bersama-sama dengan masyarakat lainnya telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan menghentikan pengrusakan dan penggusuran tanah adat masyarakat Silat Hulu, namun tidak berhasil; (Bukti P-2).

12.   Bahwa selanjutnya pada 22 Februari 2010, Pemohon I ditetapkan sebagai tersangka dan didakwa telah melakukan   tindakan yang berakibat pada kerusakan  kebun    dan/atau  aset  lainnya,  penggunaan  tanah  perkebunan tanpa  izin  dan/atau  tindakan  lainnya  yang  mengakibatkan  terganggunya usaha perkebunan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Jo Pasal 47 UU No.
18 tahun 2004 tentang Perkebunan (Bukti P-3);

13.   Bahwa   sampai   dengan   diajukanny Permohonan   Pengujian   UU   ini, Pemohon I telah 3 (tiga) kali didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum Pada Pengadilan Negeri Ketapang dengan menggunakan pasal-pasal a quo yang diujikan  (Vide  Bukti  P-3),  dan  dua  kali  dakwaan  Jaksa  Penuntut  Umum





dianggap batal demi hukum oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ketapang
(Bukti P-4);

14.    Bahwa Pemohon II merupakan Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Jelai Kendawangan (AMA JK) Ketapang. Pemohon II bersama-sama Masyarakat Adat Silat Hulu, Desa Bantan Sari, Kecamatan Marau Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat giat memimpin dikembalikannya tanah adat yang dirampas dan digunakan PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM) sebagai lahan perkebunan. Pemohon II bersama-sama dengan masyarakat lainnya telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah dan menghentikan pengrusakan dan           penggusuran   tanah   adat   masyarakat   Silat   Hulu,   baik   melalui musyawarah,           audiensi,    tuntutan    langsung    ataupun    laporan    kepada Pemerintah Daerah serta Komnas HAM, namun tidak pernah dihiraukan PT. Bangun Nusa Mandiri (BNM) (Bukti P-5);

15.    Bahwa pada 22 February 2010, Pemohon II ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian didakwa telah melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan  kebun  dan/atau  aset  lainnya,  penggunaan  tanah  perkebunan tanpa  izin  dan/atau  tindakan  lainnya  yang  mengakibatkan  terganggunya usaha perkebunan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Jo. Pasal 47 UU No.
18 tahun 2004 tentang Perkebunan (Bukti P-6);

16.   Bahwa sampai dengan diajukannya Permohonan Uji Materiil ini, Pemohon II telah 3 (tiga) kali didakwa  oleh  Jaksa  Penuntut  Umum  Pada  Pengadilan Negeri  Ketapang  dengan  menggunakan  pasal-pasal  yang  diujikan  a  quo (Vide Bukti P-6) dan dua kali dakwaan Jaksa Penuntut Umum dianggap batal demi hukum oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Ketapang;

17.   Bahwa Pemohon III merupakan Petani Desa Soso Kec. Gandusari, Kab.
Blitar, Jawa Timur yang menggarap lahan tanah Negara bekas hak erfpacht yang           dikuasai   PT.   Kismo   Handayani—yang   berlokasi   di   Desa   Soso Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar. Pemohon III menggarap lahan tersebut atas dasar Surat Keputusan Menteri Agraria tanggal 26 Mei 1964. No.               49/KA/64,     yang     menyatakan     perkebunan     Nyunyur     harus meredistribusikan tanah seluas 100 Ha kepada masyarakat yang pernah menduduki dan menggarap (Bukti P-7);

18.    Bahwa  dalam  rangka  meminta  kejelasan  status  lahan  yang  digarapnya kepada PT. Kismo Handayani, pada tanggal 10 Juli 2008, Pemohon III bersama-sama  sekitar  250  (dua  ratus  lima  puluh)  warga  desa  Soso melakukan aksi di depan kantor perusahaan perkebunan PT. Kismo Handayani. Aksi ini bertujuan untuk meminta perhatian yang lebih dari PT. Kismo  Handayani  untuk  duduk  bersama  membahas  dan  mendiskusikan upaya penyelesaian atas sengketa yang terjadi. Karena lahan yang menjadi sengketa tersebut sudah lama tidak ditanami dan tidak diurus. Atas perbuatannya  tersebut  Pemohon  III  didakwa  dan  dituntut  oleh  Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Blitar karena telah melakukan “tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang





mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” sebagaimana diatur dalam
Pasal 21 Jo. Pasal 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan (Bukti P-
8);

19.   Bahwa selanjutnya Pengadilan Negeri Blitar telah menyatakan Pemohon III bersalah                   melakukan   tindakan   yang   berakibat   pada   kerusakan   kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Jo. Pasal 47 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan menjatuhkan hukuman percobaan selama (5) lima bulan penjara (Bukti P-9);

20.    Bahwa Pemohon IV merupakan Petani yang tinggal di Dusun III Suka Rakyat Desa Pergulaan, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara  serta salah satu Pemilik yang diklaim dan masuk menjadi bagian HGU perusahaan PT. PP. London Sumatera (Lonsum) Tbk (Bukti P-10);

21.    Bahwa  Pemohon  IV  menganggap  ada  hak  yang  dirampas  oleh  PT.  PP Lonsum Tbk. Pada tanggal 20 Maret 2007, Pemohon IV bersama-sama dengan + 300 (tiga ratus) orang masuk ke lahan sengketa untuk melakukan penanaman di atas areal yang diklaim PT. Lonsum. Beberapa hari kemudian, Pemohon IV bersama-sama dengan 10 (sepuluh) orang lainnya mendapat panggilan sebagai tersangka dari POLRES Serdang Bedagai dengan sangkaan telah melanggar Pasal 47 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Selanjutnya Pemohon IV diadili dan dijatuhi penjara selama 1 (satu) tahun (Vide Bukti P-10);

22.   Bahwa dengan rumusan Pasal 21 dan Pasal 47 UU a quo membuat Para Pemohon menjadi sasaran potensial untuk dijerat menggunakan rumusan sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 dan Pasal 47 UU a quo;

23.   Bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 UU a quo telah mengakibatkan rasa takut dan trauma dalam diri Para Pemohon untuk memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak atas tanahnya karena akan sangat mungkin dijerat kembali dengan Pasal 21 dan Pasal 47 UU a quo;

24.    Bahwa ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 UU a quo juga telah mengganggu atau      setidak-tidaknya   berpotensi   mengganggu   Para   Pemohon   dalam pemenuhan        hak-hak    konstitusional    lainnya,    khususnya    hak    untuk mengembangkan diri dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasarnya;

25.   Bahwa berdasarkan uraian di atas,  Para Pemohon   memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon pengujian Undang-Undang karena terdapat keterkaitan sebab akibat (causal verband) dengan diundangkannya Undang-Undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, yang menyebabkan hak-hak         konstitusional   Para   Pemohon   secara   faktual   dan   potensial dirugikan;





IV. PARA     PEMOHON     MEMILIKI     KAPASITAS     SEBAGAI     PEMOHON PENGUJIAN UNDANG–UNDANG (HAK UJI MATERIIL)

26.   Bahwa Para Pemohon sebagai bagian dari masyarakat Indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum”;

27.    Bahwa Para Pemohon juga berhak untuk mengembangkan dirinya, dalam rangka                pemenuhan   kebutuhan   dasarnya,   demi   meningkatkan   kualitas hidupnya, dan kesejahteraan umat manusia;

28.   Bahwa Para Pemohon berhak pula untuk mendapatkan jaminan rasa aman, bebas  dari  rasa  takut,  dan  segala  bentuk  perlindungan  sebagai  warga negara, untuk bebas berbuat dan tidak berbuat sesuatu sebagai hak konstitusionalnya;

29.   Bahwa Para Pemohon dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, sebagai pilar utama hak konstitusional Para Pemohon, menjadikan tanah sebagai sarana   terpenting,    untuk    mengembangkan    diri    dan    keluarganya, mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya, demi kesejahteraan diri serta keluarganya (Bukti P-11);

30.   Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas Para Pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai  PEMOHON “Perorangan Warga Negara Indonesia”       dalam  pengujian   Undang-Undang   terhadap   Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 huruf c Undang- Undang           Republik   Indonesia   No.   24   Tahun   2003   tentang   Mahkamah Konstitusi. Karenanya, Para Pemohon memiliki hak dan kepentingan hukum mewakili kepentingan publik  untuk  mengajukan  permohonan  Pasal  21  jo. Pasal 47 UU aquo;



V.  ALASAN-ALASAN PERMOHONAN

RUANG LINGKUP PASAL 21 jo PASAL 47 UU NO. 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN

31.   Bahwa ketentuan Pasal  21  UU  No.  18  Tahun  2004  tentang  Perkebunan berbunyi, Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan  kebun  dan/atau  aset  lainnya,  penggunaan  tanah  perkebunan tanpa  izin  dan/atau  tindakan  lainnya  yang  mengakibatkan  terganggunya usaha perkebunan”;

32.   Bahwa Penjelasan Pasal 21 UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan berbunyi:

Yang  dimaksud  dengan  tindakan  yang  mengakibatkan  pada  kerusakan kebun adalah suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan pada tanaman,





antara lain, penebangan pohon, panen paksa, atau pembakaran sehingga kebun tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya”.

Yang dimaksud dengan penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa seizin pemilik hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Yang dimaksud dengan tindakan lain yang mengakibatkan terganggunnya usaha perkebunan adalah, antara lain, tindakan yang mengganggu pekerja sehingga tidak dapat melakukan panen atau pemeliharaan kebun sebagaimana mestinya”;

33.   Bahwa ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan menyatakan:
a. “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”;
b.  “Setiap  orang  yang  karena  kelalaiannya  melakukan  tindakan  yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan lahan        perkebunan    tanpa    izin    dan/atau    tindakan    lainnya    yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah)”;

34.    Bahwa dalam rumusan Pasal 21 UU a quo terdapat dua unsur penting yang harus dicermati, yaitu :
a. Unsur setiap orang;
b. Unsur melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya;
c.  mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan;

35.   Bahwa unsur yang sama juga terdapat dalam Pasal 47 UU a quo, karena Pasal 47 merupakan norma yang mengatur mengenai ancaman pidana untuk perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam Pasal 21 UU a quo;

36.   Bahwa permasalahannya kemudian adalah frasa yang terdapat dalam Pasal
21 jo Pasal 47 UU a quo, khususnya frasa “melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya  usaha  perkebunan”,  dirumuskan  secara  samar-samar  dan tidak   dirumuskan   secara   jelas   dan   rinci   mengenai   perbuatan   yang dikualifikasi sebagai tindak pidana, serta pengertiannya terlalu luas dan rumit. Sehingga, setiap upaya dan usaha yang dilakukan “setiap orang” dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak atas tanahnya dapat dikualifikasi





sebagai perbuatan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”. Sehingga dapat ditafsirkan secara terbuka dan luas oleh penguasa dan perusahaan perkebunan;

PASAL 21 JO. PASAL 47 UU NO. 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN BERTENTANGAN DENGAN PRINSIP-PRINSIP NEGARA HUKUM YANG DITEGASKAN DI DALAM PASAL 1 AYAT (3) UUD 1945

36.    Bahwa  Pasal  1  ayat  (3)  Undang-Undang  Dasar  1945,  dengan  tegas menyatakan, Negara Indonesia adalah negara hukum”;

37.    Bahwa pernyataan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menurut Jimly Ashiddiqie mengandung pengertian adanya pengakuan terhadap supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warganegara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa (Bukti P-12);

38.    Bahwa  suatu  negara  hukum,  seperti  diungkapkan  oleh  Frans  Magnis Suseno, adalah “…didasarkan pada suatu keinginan bahwa kekuasaan negara  harus  dijalankan  atas  dasar  hukum  yang  baik  dan  adil.  Hukum menjadi landasan dari   segenap tindakan negara, dan hukum itu sendiri harus baik dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dari hukum, dan adil karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan. Ada empat alasan utama untuk menuntut agar negara diselenggarakan  dan   menjalankan   tugasnya   berdasarkan   hukum (1) kepastian       hukum (2)   tuntutan   perlakuan   yang   sam (3)   legitimasi demokratis, dan (4) tuntutan akal budi” (Frans Magnis Suseno, 1994, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,  Jakarta: Gramedia, hal 295);

39.    Bahwa untuk memenuhi unsur-unsur agar disebut sebagai negara hukum, khususnya dalam pengertian rechtstaat, Julius Stahl mensyaratkan beberapa prinsip, yang meliputi: a. Perlindungan hak asasi manusia (grondrechten); b. Pembagian      kekuasaan    (scheiding    van    machten);    c.    Pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur); dan d. Adanya peradilan  administrasi—tata  usaha  negara  (administratieve  rechspraak) (Bukti P-13);

40.   Bahwa berdasarkan pendapat dari Jimly Asshiddiqie, sedikitnya terdapat 12 prinsip    pokok   negara   hukum   yang   berlaku   di   zaman   sekarang   ini. Keseluruhannya merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara, sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya.  Kedua belas prinsip pokok tersebut meliputi: a. supremasi





hukum (supremasi of law); b. persamaan dalam hukum (equality before the law); c. asas legalitas (due process of law); d. pembatasan kekuasaan (limitation of power); e. organ-organ eksekutif yang bersifat independen (independent executive organ); f. peradilan yang bebas dan tidak memihak (impartial and independent judiciary); g. peradilan tata usaha negara (administrative court); h. peradilan tata negara (constitusional court); i. perlindungan hak asasi manusia (human rights protection); j. bersifat demokratis     (democratische   rechstaat);   k.   berfungsi   sebagai   sarana mewujudkan tujuan kesejahteraan (welfare rechtsstaat); i. transparansi dan kontrol sosial (tranparency and social control) (Bukti P-14);

41.    Bahwa dalam suatu negara hukum, salah satu pilar terpentingnya, adalah perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban- kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak asasi kemanusiaan itu. Bahkan A.V. Dicey menekankan  prinsip  bahwa  isi  konstitusi  suatu  negara  yang  menganut negara hukum—rule of law, harus mengikuti perumusan hak-hak dasar (constitution based on human rights). Selain prinsip   the supremacy of law, dan equality before the law;

42.   Bahwa   penekanan   A.V.   Dicey   juga   ditegaskan   oleh   Eric   Barendt.
Dikatakannya, bahwa karakteristik dari dokumen konstitusi, yang terutama adalah memberikan jaminan terhadap hak asasi manusia. Selain keharusan untuk memberikan batasan pada kekuasaan legislatif dan eksekutif, serta mendorong penguatan dan independensi institusi peradilan;

43.   Bahwa  hak  asasi  manusia  adalah  substansi  dari  negara  hukum  juga dikatakan oleh Brian Z. Tamanaha, dalam bukunyaOn The Rule of Law”. Dinyatakan Tamanaha, bahwa substansi dari the rule of law adalah pada pemenuhan hak asasi manusia. Menurutnya hak individu, hak atas keadilan dan tindakan yang bermartabat, serta pemenuhan kesejahteraan sosial, menjadi inti dari the rule of law. Sedangkan penyelenggaraan pemerintahan dan           demokrasi,    adalah    instrumen    atau    prosedur    untuk    mencapai kesejahteraan yang menjadi substansi (Bukti P-15);

44.   Bahwa pengertian negara hukum Indonesia yang berdasar pada UUD 1945 dan Pancasila, menurut Simorangkir, adalah berbeda dengan pengertian negara hukum dalam kerangka rechtsstaat, seperti yang berlaku di Belanda. Akan tetapi lebih mendekati  negara hukum dalam pengertian  rule of law (Bukti P-16);

45.   Bahwa Moh. Mahfud MD, juga memberikan pendapat yang senada dengan
Simorangkir. Dikatakan Mahfud, penggunaan istilah rechtsstaat dalam UUD
1945 sangat berorientasi pada konsepsi negara hukum Eropa Kontinental,





namun demikian, bilamana melihat materi muatan UUD 1945, justru yang terlihat kental adalah meteri-materi yang bernuansakan anglo saxon, khususnya ketentuan yang mengatur tentang jaminan perlindungan hak asasi manusia (Bukti P-17);

46.    Bahwa  menurut  Kusumadi  Pudjosewojo  dikarenakan  Indonesia  adalah negara  hukum,    maka    segala    kewenangan    dan    tindakan    alat-alat perlengkapan negara harus pula berdasarkan dan diatur oleh hukum. Penguasa bukanlah pembentuk hukum, melainkan pembentuk aturan-aturan hukum, oleh sebab itu hukum berlaku bukan karena ditetapkan oleh penguasa, akan tetapi karena hukum itu sendiri. Hal ini membawa konsekuensi, bahwa penguasa pun dapat dimintai pertanggungjawaban jika dalam menjalankan kekuasaannya melampaui batas-batas yang telah diatur oleh hukum, atau melakukan perbuatan melawan hukum. Kewenangan penguasa dan organ-organ  negara  sangat  dibatasi  kewenangan perseorangan dalam negara, yang berupa hak asasi manusia. Pendapat tersebut menegaskan bahwa hak asasi manusia merupakan unsur penting dalam sebuah negara hukum (Bukti P-18);

47.    Bahwa perlindungan hak asasi manusia sebagai bagian penting dari konsep negara hukum yang dianut  di  Indonesia  telah  dinyatakan  dalam  Bab  XA (Pasal 28 A sampai 28 J) UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia. Secara khusus penegasan mengenai jaminan hak asasi manusia dalam negara hukum yang demokratis tertuang dalam Pasal 28 I ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak          asas manusia   dijamin,   diatur   dan   dituangkan   dalam   peraturan perundang-undangan”.

48.   Bahwa di dalam negara hukum, aturan perundangan-undangan yang tercipta, harus berisi nilai-nilai keadilan bagi semua orang. Seperti yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, dari Wolfgang Friedman dalam bukunya,Law in a Changing Society”, membedakan antara organized public power (the rule of law dalam arti formil), dengan the rule of just law (the rule of law dalam arti materil). Negara hukum dalam arti formil (klasik) menyangkut pengertian hukum dalam arti sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis, dan belum tentu menjamin keadilan substanstif. Negara hukum dalam arti materiel (modern) atau the rule of just law merupakan perwujudan dari Negara hukum dalam arti luas yang menyangkut pengertian keadilan di dalamnya, yang menjadi esensi daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit (Vide Bukti P-14);

49.   Bahwa ketentuan Pasal-pasal a quo tidak mencerminkan aturan yang jelas, mudah dipahami, dan dilaksanakan secara adil (fair). Rumusan delik pemidanaan dalam Pasal-pasal a quo adalah rumusan yang tidak jelas dan berpotensi disalahgunakan secara sewenang-wenang; Ketentuan dalam Pasal-pasal aquo yang  tidak  jelas  dan  sumir tersebut  merupakan  bentuk pelanggaran atas konsep negara hukum (rule of law) dimanaa legal system in which rules are clear, wellunderstood, and fairly enforced”;






50.    Bahwa rule of law dapat dimaknai sebagai a legal system in which rules are clear, well-understood, and fairly enforced”. Dengan salah satu cirinya ada kepastian hukum yang mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi (Bukti P-19);

51.   Bahwa  ketentuan  Pasal  21  dan  Pasal  47  undang-undang  a  quo,  telah melanggar prinsip kepastian hukum sebagai salah satu ciri negara hukum atau rule of law karena bertentangan dengan asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi;

PASAL 21 Jo. PASAL 47 UU NO. 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN, BERTENTANGAN DENGAN JAMINAN KEPASTIAN HUKUM, SEBAGAIMANA DIATUR DALAM PASAL 28 D AYAT (1) UUD 1945

52.   Bahwa  kepastian  hukum  dan  perlakuan  yang  sama  di  muka  hukum merupakan ciri dari negara hukum atau rule of law sebagaimana dinyatakan dalam  Pasal  1  ayat  (3)  UUD  1945  yang  menyatakan  bahwa  “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dimana kepastian hukum merupakan prasyarat yang tidak bisa ditiadakan;

53.   Bahwa asas kepastian hukum yang adil juga merupakan prinsip penting dalam negara hukum (rule of law)  juga dapat dimaknai sebagai  “a  legal system in which rules are clear, well-understood, and fairly enforced. Kepastian hukum   ini   mengandung   asas   legalitas,   prediktibilitas,   dan transparansi;

54.   Bahwa Negara hukum juga mesti mengikuti konsep hukum, yang oleh Gustav Radbruch                     diklasifikasikan   ke   dalam    (tiga)   general   precepts yaitu: purposiveness, justice, and legal certainty (lihat penjelasan mengenai konsep Radbruch dalam Torben Spaak, “Meta-Ethic and Legal Theory: The Case of Gustav Radbruch”) (Bukti P-20);

55.   Bahwa  prinsip-prinsip  pembentukan  hukum  yang  adil  menurut  Lon  Fuller dalam bukunya The Morality of Law (moralitas Hukum), diantaranya yaitu:
a.  Hukum-hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat biasa. Fuller juga menamakan hal ini juga sebagai hasrat untuk kejelasan;
b.  Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;
c.  Dalam  hukum  harus  ada  ketegasan.  Hukum  tidak  boleh  diubah-ubah setiap      waktu,   sehingga   setiap   orang   tidak   lagi   mengorientasikan kegiatannya kepadanya;
d. Harus  ada  konsistensi  antara  aturan-aturan  sebagaimana  yang diumumkan dengan pelaksanaan senyatanya.
(Bukti P-21)

51.   Bahwa   ketentuan-ketentuan   yang   saling   bertentangan   dan   kontradiktif tersebut  yang  masih  tetap  diberlakukan,  mengakibatkan  ketidakpastian hukum  bagi  semua  orang.  Ketidakpastian  demikian  akan  mengakibatkan





kekacauan hukum dan sangat rentan akan adanya penyalahgunaan dan pemberlakuan secara sewenang-wenang;

52.   Bahwa praktik pemidanaan yang berbeda antara satu kasus dengan yang lainnya, akibat dari ketidakjelasan unsur Pasal-Pasal pada UU a quo, jelas menyebabkan ketidakpastian hukum;

53.   Bahwa kepastian hukum (legal certainty) sangat terkait dengan kejelasan rumusan                   sebuah   regulas sehingga   dapat   diprediksikan   maksud   dan tujuannya.  Hal  ini  sesuai  dengan  pengertian  kepastian  hukum  dalam berbagai doktrin dan putusan  Pengadilan  Eropa  bahwa  kepastian  hukum mengandung makna:

the principle  which requires that the rules of law must be predictable as well as the extent of the rights which are conferred to individuals and obligations imposed upon them must be clear and precise”

Terjemahan:
(prinsip yang mensyaratkan bahwa ketentuan hukum harus dapat terprediksi sebagaimana halnya lingkup hak yang diberikan kepada individu dan kewajiban yang kenakan kepada mereka haruslah jelas dan persis”; dan

the principle  which ensures that individuals concerned must know what the law is so that would be able to plan their actions accordingly”

Terjemahan:
(prinsip yang menjamin bahwa seseorang harus mengetahui hukum sehingga ia mampu merencanakan tindakannya sesuai dengan hukum itu);

(Bukti P-22)

54.   Bahwa  prinsip  kepastian  hukum,  khususnya  dalam  hukum  pidana,  selalu terkait dengan asas legalitas yang harus diterapkan secara ketat. Melalui asas legalitas   inilah   individu   mempunyai   jaminan   terhadap   perlakuan sewenang-wenang negara terhadapnya sehingga terjadi kepastian hukum;

55.   Bahwa asas legalitas ini mencakup 4 (empat) aspek penting yaitu; peraturan perundang-undangan (law)/lex scripta, retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi (Bukti P-23). Aspek penting terkait dengan kejelasan sebuah rumusan tindak pidana yang menjamin adanya kepastian hukum adalah asas lex certa yaitu pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan   yang   tidak   jela atau   terlalu   rumit   hanya   akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa





ketentuan-ketentuan  seperti  itu  tidak  berguna  sebagai  pedoman  perilaku
(Vide Bukti P-23);

56.   Bahwa Pasal 21 Jo. Pasal 47 ayat (1) dan (2)  UU No. 18 Tahun 2004 dirumuskan secara samar-samar dan tidak dirumuskan secara jelas dan rinci mengenai          perbuatan   yang   dikualifikas sebagai   tindak   pidana,   serta pengertiannya terlalu luas dan rumit. Sehingga berpotensi disalahgunakan oleh penguasa dan perusahaan perkebunan karena Pasal tersebut bersifat lentur,           subjektif,   dan   sangat   tergantung   interpretasi   penguasa.   Oleh karenanya berpotensi dan secara faktual menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak asasi Para Pemohon;

57.    Bahwa Pasal 21 Jo. Pasal 47 ayat (1) dan (2)   UU No. 18 Tahun 2004 bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar negara hukum yang didasarkan pada suatu keinginan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil, seperti dikemukakan Frans Magnis;

58.   Bahwa unsur "setiap orang" dalam Pasal 21 Jo. Pasal 47 ayat (1) dan (2) ini merupakan kriteria umum tanpa kecuali, yang berarti bahwa setiap orang yang dianggap melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan  lainnya  yang  mengakibatkan  terganggunya  usaha  perkebunan dapat dipidana”. Ketentuan ini berpotensi dan telah terbukti disalahgunakan karena ketentuan tersebut dibuat secara lentur, bersifat multitafsir, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi penguasa dan perusahaan perkebunan. Sehingga situasi ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum;

59.   Bahwa frasa “melakukan tindakan  yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” sangat     multi   interpretative   dan   dapat   ditafsirkan   menurut   kehendak perusahaan perkebunan, pemerintah dan aparat penegak hukum. Sehingga ketentuan ini dapat melegitimasi praktik kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat sipil yang menyampaikan masukan, kritik, protes, terhadap perusahaan perusahaan perkebunan;

60.   Bahwa frasa “melakukan tindakan  yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” juga berpotensi dan   telah   menghilangkan   serta   membungkam   suara-suara masyarakat yang menuntut ditegakkannya hukum dan hak-hak masyarakat. Banyaknya sengketa perkebunan, yang terjadi mulai dari pembebasan lahan yang  tidak  sesuai  dengan  kesepakatan  ataupun  pengambilalihan  lahan secara sewenang-wenang yang menimbulkan protes masyarakat terhadap perusahaan perkebunan  telah  mengakibatkan  tekanan  dan  intimidasi  dari perusahaan                kepada   pihak   yang   ingin   meminta   pertanggungjawaban perusahaan dengan menggunakan kekurangan dari ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) a   quo. Akibatnya telah banyak korban baik di wilayah perkebunan maupun di sekitar wilayah perkebunan;






61.   Bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) a  quo terbukti telah digunakan untuk mengkriminalisasi pemegang hak atas tanah dan warga sekitar wilayah perkebunan yang terkena dampak dari adanya usaha perkebunan (Vide Bukti P-6);

62.   Bahwa syarat-syarat kriminalisasi (limiting principles) diantaranya mencakup misalnya; 1) menghindari untuk menggunakan hukum pidana untuk; a) pembalasan semata-mata,  b)  korbannya  tidak  jelas,  b)  diperkirakan  tidak berjalan  efektif  (unforceable),  dan  2)  perumusan  tindak  pidana  harus dilakukan secara teliti dalam menggambarkan perbuatan yang dilarang (precision principle). Dalam pengaturan tindak pidana harus juga diperhatikan beberapa hal diantaranya; 1) keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan dan keadilan, 2) keseimbangan antara nilai-nilai nasional dan universal, dan 3) aspirasi universal masyarakat beradab;

63.   Bahwa jika dilihat dari perumusan unsur-unsur delik dalam Pasal 21 UU a quo       dan ancaman pidana 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sampai 5 (lima) tahun sebagaimana dinyatakan dalam Pasal yang terkait dengan Pasal a quo (yakni Pasal 47), perumusan larangan dalam Pasal 21 a quo tidak memenuhi syarat-syarat kriminalisasi misalnya;

Pertama efektifitas pelaksanaan karena yang dilarang adalah masalah perjuangan masyarakat atau kelompok masyarakat untuk mempertahankan hak milik atau hak untuk mengembangkan dirinya dengan bersandarkan pada lahan atau tanah yang biasanya menjadi sengketa dengan perusahaan perkebunan.

Kedua, perumusannya juga sangat sumir karena mendasarkan pada penafsiran   atas   kegiatan   yang   dianggap   “merintangi   dan   menggangu jalannya usaha perkebunan”, yang mana hal ini merupakan sesuatu yang tidak   pasti   karena   tergantung   pihak   mana   yang   menafsirkan   dan menimbulkan  diskriminasi  terhadap  kelompok  minoritas  atau  kelompok rentan, dimana kecenderungannya,  pihak  yang  mempunyai  relasi  dengan kekuasaan akan memiliki kewenangan lebih untuk menentukan penafsiran yang pada gilirannya mendiskriminasi pihak lainnya;

64.   Bahwa  pengaturan  tindak  pidana  haruslah  seimbang  antara  kepastian hukum, kelenturan dan keadilan, sehingga perumusan tindak pidana harus melihat keadilan bagi korban maupun pelaku, sementara Pasal 21 dan Pasal
47 ayat (1) dan (2) UU a  quo tidak memenuhi kualifikasi syarat ini;

65.   Bahwa  sejarah  dunia  mengenai  penghukuman  dan  pengancaman  pidana atas       kasus-kasus   yang   terkait   dengan   sengketa   perkebunan,   telah membuktikan bahwa para korban, termasuk Para Pemohon, dihukum karena dianggap melakukan tindakan yang dianggap merintangi dan menggangu jalannya usaha perkebunan” adalah merupakan penghukuman yang salah;

66.   Bahwa ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) a  quo juga secara





jelas bertentangan dengan asas lex certa, karena unsur-unsurnya tidak dirumuskan secara terang, jelas dan tegas serta tidak dirumuskan dan disebutkan secara jelas maksud, tujuan serta batas-batas perbuatan yang hendak dilarang. Sehingga, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik penegakan hukum pidana;

67.   Bahwa asas Lex Certa  merupakan  asas  hukum  yang  menghendaki  agar hukum itu haruslah bersifat tegas dan jelas. Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) a quo tersebut bersifat kabur (tidak pasti) sehingga berpotensi multitafsir. Dalam ranah hukum, rumusan-rumusan hukum seharusnya pasti dan        jelas   agar   orang   juga   memperolah   kepastian   hukum,   bukannya kebingungan  tanpa  jaminan   kepastian   hukum   karena   rumusan   pasal- pasalnya yang multitafsir;

68.   Bahwa berdasarkan asas Lex Certa dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi.      Perumusan   yang   tidak   jela atau   terlalu   rumit   hanya   akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan  seperti  itu  tidak  berguna  sebagai  pedoman  perilaku (Vide Bukti P-23);

69.    Bahwa dalam praktiknya ternyata tidak selamanya pembuat undang-undang dapat memenuhi persyaratan di atas. Tidak jarang perumusan undang- undang diterjemahkan  lebih  lanjut  oleh  kebiasaan  yang  berlaku  di  dalam masyarakat apabila norma tersebut secara faktual dipermasalahkan;

70.   Bahwa berdasarkan asas Lex Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam merumuskan undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta). Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku;

71.   Bahwa perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku (Vide Bukti P-23);

72.   Bahwa perumusan ketentuan Pasal-Pasal UU a quo, telah memberikan suatu keluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara, atau menurut pendapat dari Prof. Rosalyn Higgins disebut dengan ketentuan clawback (Bukti P-24);






73.   Bahwa dengan demikian, ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU a quo mencerminkan pembedaan kedudukan dan perlakuan (unequal treatment), ketidakadilan (injustice), ketidakpastian hukum (legal uncertainty), dan bersifat diskriminatif terhadap Para Pemohon karena dengan adanya ketentuan ini setiap tindakan yang dilakukan dalam rangka mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya serta membela hak-hak masyarakat petani dapat dikualifikasi secara sewenang-wenang menjadi suatu perbuatan yang dapat ditafsirkan dan dikualifikasi sebagai “merintangi dan menggangu jalannya usaha perkebunan”. Padahal menuntut suatu hak baik individu maupun kolektif dijamin oleh berbagai perundang-undangan  termasuk UUD
1945,  sehingga  mengakibatkan  dilanggarnya  jaminan  kepastian  hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.

PASAL 21 JO PASAL 47 UU NO. 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN TELAH MEMBATASI HAK-HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA UNTUK MENGEMBANGKAN  DIRI  DEMI  MEMENUHI  KEBUTUHAN  DASAR  HIDUP, DAN HAK ATAS RASA AMAN, SERTA UNTUK BEBAS DARI RASA TAKUT SEBAGAIMANA DIATUR DALAM PASAL 28 C AYAT (1) DAN PASAL 28 G AYAT (1) UUD 1945

74.   Bahwa   Pasal   28    ayat   (1)   UUD   1945   tela memberikan   jaminan konstitusional bagi setiap warga negara untuk mengembangkan dirinya, demi meningkatkan   kualitas   hidupny dan   kesejahteraan   umat   manusia. Disebutkan       di   dalam   Pasal   tersebut   bahwa,   Setiap   orang   berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”;

75.   Bahwa Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 telah memberikan jaminan untuk mendapatkan rasa aman dan perlindungan bagi setiap warga negara untuk bebas dari rasa takut.  Dalam Pasal tersebut secara jelas dikatakan bahwa, “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan dan martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”;

76.   Bahwa bangsa Indonesia mengakui hak untuk mengembangkan diri dan hak keamanan                       sebagai   hak   dasar   yang   tidak   boleh   terabaikan   dalam pemenuhannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Piagam Hak Asasi Manusia, pada TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Alinea kedua Piagam menyebutkan, Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Selanjutnya manusia juga mempunyai hak dan tanggung jawab yang timbul





sebagai akibat perkembangan kehidupannya dalam masyarakat. (Bukti P-
25);

77.   Bahwa hak bagi setiap orang untuk mengembangkan diri merupakan hak asasi manusia yang sifatnya pokok dan mendasar, karena akan berpengaruh terhadap pemenuhan hak-hak lain. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Bagian Ketiga Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jaminan terhadap hak untuk mengembangkan diri terdapat dua dimensi pengakuan sekaligus. Di dalamnya termasuk pengakuan   hak sipil dan politik, serta hak ekonomi, sosial dan budaya;

78.    Bahwa  peraturan  perundang-undangan  di  Indonesia  telah  memberikan jaminan                  bagi   setiap   orang   atas   perlindungan   diri   pribadi,   keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. Sebagiamana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya;

79.    Bahwa dalam pelaksanaan pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, di dalamnya berlaku beberapa prinsip dasar. Diantaranya adalah prinsip indivisibility, serta prinsip interdependence dan interrelatedness (Bukti P-26);

80.   Bahwa prinsip indivisibility memiliki pengertian bahwa seluruh komponen hak asasi manusia memiliki status yang sama dan setara, tidak ada yang lebih penting daripada yang lain. Oleh karena itu, jika ada penyangkalan atas satu hak tertentu, maka akan langsung menghambat penikmatan hak lainnya;

81.   Bahwa  prinsip  interdependence  dan  interrelatedness  ingin  menegaskan bahwa tiap hak akan berhubungan dan menyumbang pada pemenuhan hak dan  martabat   orang.   Hak   atas   kesehatan   misalnya   tergantung   pada pemenuhan hak atas pembangunan, hak atas pendidikan dan hak atas informasi;

82.   Bahwa berdasarkan pada prinsip-prinsip di atas, maka pembatasan atas hak untuk mengembangkan diri, dan hak untuk bebas dari rasa takut, akan berdampak dan berhubungan pada pemenuhan hak dasar lainnya. Termasuk di dalamnya menghambat pemenuhan hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas harta benda, dan lainnya;

83.   Bahwa keberadaan ketentuan pasal-pasal pada UU a quo telah membatasi hak konstitusional Para Pemohon untuk mengembangkan diri, dalam rangka memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia;

84.   Bahwa ketentuan pasal-pasal pada UU a quo terbukti telah menciptakan rasa ketakutan dan merampas rasa aman Para Pemohon dan setiap orang yang sedang atau akan memperjuangkan dan mempertahankan haknya sebagai warga negara;






VI.   PETITUM

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami memohon kepada Majelis Hakim pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus permohonan uji materiil sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan Pengujian Undang- Undang yang diajukan PARA PEMOHON;
2.  Menyatakan  ketentuan  Pasal  21  jo.  Pasal  47  UU  No.  18  Tahun  2004 tentang Perkebunan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28  ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945;
3.  Menyatakan ketentuan yang terkait dengan Pasal 21 UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yakni Pasal 47 ayat (1) dan (2)  bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28  ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945;
4.  Menyatakan ketentuan Pasal 21 jo. Pasal 47 ayat (1) dan (2)   UU No.18
Tahun  2004  tentang  Perkebunan  tidak  mempunyai  kekuatan  hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;
5.  Bilamana Majelis Hakim pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai  keputusan  lain,  mohon  putusan  yang  seadil-adilnyaex aequo et bono.



Jakarta, 20 Agustus Juli 2010

Hormat kami,
Public Interest Lawyer Network






Indriaswati Dyah Saptaningrum, SH., LL.M
Asep Yunan Firdaus, SH.



Iki Dulagin, SH.



Tandiono Bawor, SH.



Wahyu Wagiman, SH.



Wahyudi Djafar, SH.







A. Patra M. Zen, SH., LL.M                                  Adiani Viviani, SH.







Agustinus Karlo, SH.                                          Anggara, SH.







Betty Yolanda, SH., LL.M.                                   Andi Muttaqien, SH. Blasius Hendi Candra, SH.                                 Farhan Mahfudzi, SH. Fatilda Hasibuan, SH.                                         Hadi Syahroni, SH. Ikhana Indah, SH.                                                Khairul Fahmi, SH., MH. Supriyadi Widodo Eddyono, SH.                       Sulistiyono, SH.
Susilaningtyas, SH.                                             Teuku Raja Arif Faisal, SH.








Zainal Abidin, SH.                                                Natanael Mite Timun, SH.

0 komentar:

Posting Komentar