Oleh: Muchamad Ali Safa‟at
Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang muncul pada tahun tujuh
puluhan di Amerika Serikat. Gerakan ini merupakan kelanjutan dari aliran hukum realisme
Amerika yang menginginkan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami hukum,
tidak hanya seperti pemahaman selama ini yang bersifat Socratis.1 Beberapa nama yang
menjadi penggerak GSHK adalah Roberto Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel,
Mark Tushnet, Kelman, David trubeck, Horowitz, dan yang lainnya. Critical Legal Studies
oleh Ifdhal Kasim diterjemahkan dengan istilah bahasa Indonesia Gerakan Studi Hukum
Kritis (GSHK)2. Istilah yang akan digunakan dalam tulisan ini selanjutnya adalah Gerakan
Studi Hukum Kritis disingkat GSHK.
Perbedaan utama antara GSHK dengan pemikiran hukum lain yang tradisional adalah
bahwa GSHK menolak pemisahan antara rasionalitas hukum dan perdebatan politik. Tidak
ada pembedaan model logika hukum; hukum adalah politik denga baju yang berbeda.
Hukum hanya ada dalam suatu ideologi. GSHK menempatkan fungsi pengadilan dalam
memahami hukum sebagai perhatian utama3.
Walaupun menolak dikatakan
sebagai tipe pemikiran Marxis yang membedakan
antara suprastruktur dan
infrastruktur4
serta
hukum sebagai alat dominasi kaum kapitalis,
GSHK mendeklarasikan peran untuk
membongkar struktur sosial yang hierarkhis. Struktur
1 Karena Studi Hukum Kritis
merupakan kelanjutan sekaligus kritik terhadap aliran hukum realisme Amerika,
maka untuk memahami pemikiran
studi hukum kritis diperlukan dasar pemahaman atas pemikiran realisme
hukum Amerika, mengingat dasar
pijakan kritisisme Studi Hukum Kritis adalah realisme Amerika.
2 Roberto M. Unger, Gerakan Hukum
Kritis, (Critical Legal Studies), diterjemahkan oleh Ifdhal Kasim,
(Jakarta, ELSAM, 1999).
3 Yang menjadi perhatian utama
adalah faktor-faktor yang mempengaruhi hakim dalam membuat keputusan
hukum. Hal ini sesuai dengan
sistem hukum Common Law Amerika Serikat. Jadi pada hakekatnya perhatian
utama tidak hanya pada penerapan
hukum, tetapi juga pada pembuatan hukum.
4 Menurut pemikiran Karl Marx,
struktur sosial terdiri dari supra struktur dan infra struktur. Supra struktur
ditentukan oleh infra struktur.
Infra struktur adalah kehidupan ekonomi (penguasaan modal) dan supra struktur
adalah bidang sosial lainnya
(hukum, politik, budaya, dan lain-lain). Lihat, Franz Magnis Suseno, Pemikiran
Karl Marx; Sosialis Utopis Ke
Perselisihan Revisionis, Jakarta, PT. Gramedia, 2001.
2
sosial merupakan wujud
ketidakadilan, dominasi, dan penindasan. Tugas kalangan hukum
adalah membawa perubahan cara
berpikir hukum dan perubahan masyarakat. Pemikiran ini
terinspirasi pemikiran filsafat
kritis dari Jurgen Habermas 5 , Emil Durkheim 6 , Karl
Mannheim, Herbert Marcuse7, Antonio
Gramsci8, dan lain-lain.
Jurgen Habermas, Karl
Mannheim, Herbert Marcuse, dan
Antonio Gramsci adalah tokoh-tokoh utama mahzab kritis.
Filasafat kritis adalah salah
satu aliran filasat yang berkembang dengan menggunakan
pendekatan kritis terhadap
realitas sosial. Aliran ini diilhami oleh pemikiran Hegel dan Karl
Marx. Aliran ini berkembang mulai
dari Mahzab Frankfurt sampai dengan Post
Modernisme.9
Pendukung GSHK memahami dan
menggunakan pemikiran hukum dan teori-teori
sosial secara lebih intensif
dibanding kaum realis. Mereka telah banyak menghancurkan
segala hal yang berlaku dalam
hukum10. Namun banyak
juga yang mengkritik bahwa hanya
sedikit dari pemikir GSHK yang
menawarkan model yang konstruktif.
Tulisan ini bertujuan untuk
mengenal secara singkat pemikiran-pemikiran dalam
GSHK dari berbagai ahli hukum,
kelebihan dan kekurangannya, serta konteksnya dengan
perkembangan hukum di Indonesia.
Sebagai pijakan awal pada bagian pertama, akan
diuraikan pemikiran GSHK yang
dijelaskan dalam buku Modern Jurisprudence tulisan Hari
Chand, disertai dengan beberapa
kritikan yang ada dalam buku tersebut.11 Dikatakan sebagai
pijakan awal, karena pada bagian
ini juga akan diberikan beberapa penambahan baik secara
langsung maupun dalam catatan
kaki hal-hal yang terkait dengan pembahasan GSHK dari
sumber lain.
Pada bagian kedua akan diuraikan
beberapa pemikiran lain dari GSHK yang tidak
dibahas dalam buku Modern
Jurisprudence. Bagian ketiga, setelah mengetahui pemikiran
5 Jurgen Habermas, Knowledge and
Human Interest, Chapter Three, (Polity Press, 1968).
6 Emil Durkheim, The Sociology of
Knowledge, http://www.hewett.norfolk.sch.uk/curric/soc/ durkheim/
durkw4.htm, diakses 6 Nopember
2002.
7 Herbert Marcuse, The Paralysis of
Criticism: Society Without Opposition, http//cartoon.iguw. tuwien.ac.at/
Christian/marcuse.htm, diakses
tanggal 6 Nopember 2002.
8 Antonio Gramsci, The Prison
Notebooks, http://www.kb.dk/elib/bio/gramsci/soerensen/gramsum/, diakses
tanggal 6 Nopember 2002.
9 Peter Beilharz, Teori-Teori
Sosial, (Social Theory: A Guide to Central Thinkers), penerjemah: Sigit
Jatmiko,
(Jogjakarta, Pustaka Pelajar,
2002).
10 GSHK menolak pemisahan antara
ilmu hukum dengan ilmu sosial lainnya.
11 Hari Chand, Modern Jurisprudence,
(Kuala Lumpur, International Law Book Services, 1994), hal. 239-253
3
GSHK, merupakan analisis terhadap
keseluruhan Pemikiran GSHK dengan tujuan untuk
menemukan kekuatan dan kelemahan
dari GSHK, baik pada tataran teoritis maupun dalam
pelaksanaannya.
Bagian tersebut akan dirangkaikan
dengan penerapan pemikiran GSHK untuk
menganalisis hukum di Indonesia12. Bagian akhir
adalah penutup dari seluruh tulisan ini
yang lebih merupakan catatan
akhir bagaimana menyikapi GSHK dari pada sebuah
kesimpulan sebagaimana lazimnya
sebuah tulisan.
A. Gerakan Studi
Hukum Kritis
Seperti praktik pemikiran hukum
sebelumnya, American Legal Realist, GSHK
melanjutkan tradisi pengkajian
empiris terhadap hukum. Tetapi pendekatan yang digunakan
adalah paradigma-paradigma ilmu
sosial "kiri"13
seperti
aliran Marxisme, teori kritis mazhab
Frankfurt, neo-Marxis,
Strukturalisme, dan lain-lain 14 . Hal ini tidak berarti GSHK
merupakan pewaris
pandangan-pandangan tersebut, namun memanfaatkannya secara
ekletis15. Secara radikal
GSHK menggugat teori, doktrin atau asas-asas seperti netralitas
hukum (neutrality of law),
otonomi hukum (autonomy of law), dan pemisahan hukum dengan
politik (law politics
distinction)16.
12 Pada bagian ini akan dianalisis
proses pembahasan RUU Pemilu yang saat ini sedang dilakukan di DPR untuk
menunjukan beberapa kontruksi
pemikiran yang mewarnainnya dan kepentingan-kepentingan kelas yang ikut
ambil bagian.
13 Terminologi “kiri” memiliki beberapa
makna. Makna klasik pembedaan antara “kiri” dam “kanan” adalah
“kiri” mewakili pemikiran
sosialis dan “kanan” mewakili pemikiran “kapitalis”. Terminologi yang lebih
luas
adalah “kiri” mewakili pemikiran
kritis yang anti kemapanan, sedangkan “kanan” adalah pemikiran konservatif
(pemikiran yang mapan). Dalam
tulisan ini yang dimaksud dengan pemikiran “kiri” adalah pemikiran kritis
yang anti kemapanan.
14 Pada akhirnya, pembedaan antara
pemikiran “kiri” dan “kanan” tidak lagi mewakili pemikiran
sosialis-marxis versus
kapitalis-konservatis, tetapi lebih menunjukan fenomena sebagai diskursus
tesis-antitesis-sintesis.
15 Ekletik adalah salah satu metode
ilmiah dengan cara menggabungkan bagian-bagian dari suatu pemikiran
atau konsepsi yang baik, kemudian
dirangkai menjadi struktur konsepsi yang baru.
16 W. Friedmann, Teori dan Filasafat
Hukum; Susunan I, (Legal Theory), terjemahan: Mohamad Arifin,
Cetakan Kedua, (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Perkasa, 1993), hal. 169 – 200.
4
Gerakan Studi
Hukum Kritis dan Pemikiran Hukum Amerika
Sampai tahun 1850, pendapat umum
menyatakan bahwa hakim memutus perkara
dengan menggunakan pertimbangan
kebijakan (instrumental view). Mulai pada tahun 1890,
pandangan yang dianut kemudian
adalah bahwa hakim memutuskan perkara dengan
penerapan suatu peraturan
tersendiri yang tepat17. Setelah tahun
1937, paham hukum realis
berpendapat bahwa pencarian
obyektivitas, dan sistem pemikiran hukum yang tidak
memihak adalah ilusi semata.
Gerakan kaum realis menciptakan ketidakpercayaan terhadap
peradilan dan menambah kekuasaan
pakar dan aparat negara. Menurut kaum realis, hukum
dan moralitas itu terpisah.
Sementara paham kontemporer menyatakan bahwa antara hukum
dan moralitas memiliki hubungan
yang erat. Hukum adalah suatu ilmu moral dan hakim
memutus sebagai seorang aparat
moral. Ronald Dworkin dan Posner menemukan moralitas
yang berada dalam hukum
kebiasaan.18
Kritik terhadap
Liberalisme
Unger mengkritik liberalisme yang
menurutnya menghasilkan perubahan moral
individu dan politik masyarakat
modern yang berbahaya. Lisberalisme membengkokan
moral, intelektual, dan sisi
spiritual seseorang. Maka dia melontarkan suatu kritik yang
menyeluruh. Dia menemukan
"struktur mendalam" dari liberalisme yang terdiri dari enam
prinsip; (1) rasionalitas dan
hawa nafsu, (2) keinginan yang sewenang-wenang, (3) Analisis,
(4) Aturan-aturan dan
nilai-nilai, (5) nilai subyektif, dan (6) individualisme. 19 Dia
menunjukan antinomi yang ada
antara rasionalitas dan hawa nafsu, antara aturan dan nilai.
Untuk menyelesaikan antinomi
tersebut, ada dua jalan, yaitu; pertama, suatu penyelesaian
politis untuk mewujudkan
transformasi kondisi kehidupan sosial di mana dominasi harus
dihilangkan karena menimbulkan
nilai yang kebetulan dan berubah-ubah. Kedua, suatu
17 Dalam sistem Common Law, yang
dimaksud peraturan sebagai dasar hakim membuat keputusan terutama
adalah keputusan hakim lain yang
telah ada sebelumnya (yurisprudensi), sedangkan dalam negara dengan
sistem Civil Law, peraturan
adalah undang-undang.
18 Roberto M. Unger, Op. Cit.
hal. XV.
19 Dalam masyarakat liberal,
ternyata kesejahteraan yang menjadi tujuan utama doktrin laize faire tidak bisa
terpenuhi karena adanya
ketidaksamaan kekuatan dan nafsu keserakahan manusia sehingga menciptakan
penderitaan pada sebagian besar
anggota masyarakat. Kesejahteraan hanya dinikmati oleh sekelompok orang
yang memiliki kekuatan lebih
sehingga dapat bersaing. Lihat, James Boyle, The Politic of Reason: Critical
Legal Theory And Local Social
Thought, (University of Pennsylvania Law Review, April, 1985), hal. 4.
5
revolusi teroritis dibutuhkan
untuk menciptakan suatu sistem berpikir yang berdasar pada
kebaikan umat manusia. Alan Hunt
menyatakan bahwa kritik liberalisme ini tidak sesuai
dengan ilmu hukum modern kontemporer
yang paling banyak berpengaruh.
Dominasi dan
Hierarkhi
GSHK menyatakan bahwa masyarakat
liberal dipenuhi dengan dominasi dan
hierarkhi. Kelas atas membentuk
struktur yang berlaku bagi lainnya untuk memperlancar
kehidupannya.20 Negara hukum
yang ideal adalah yang dapat menandai kontradiksi dan
hierarkhi dalam masyarakat
liberal. Jika dikatakan bahwa hukum tidak bertugas untuk
menemukan kebenaran, tetapi
menemukan kompleksitas yang telah ada, maka teori hukum
tidak akan bermakna tanpa teori
sosial. Kebenaran pernyataan tentang kehidupan sosial
sesungguhnya telah dikondisikan
oleh seluruh sistem sosial yang berlaku21. Kebenaran
bersifat relatif menurut
masyarakat tertentu atau kelompok sejarah tertentu22.
Seseorang secara keseluruhan
struktur sosial adalah produk sejarah, bukan alam.
Sejarah dipenuhi dengan
pertentangan-pertentangan, dan aturan sosial merupakan garis
pemisah yang menggambarkan posisi
masing-masing. Kekuatan menjadi hak, kepatuhan
menjadi tugas, dan untuk
sementara pembagian hierarkhi sosial menjadi kabur23.
GSHK mencoba untuk mempengaruhi
realitas sosial. Struktur yang ada merupakan
penggunaan kepercayaan dan asumsi
yang menciptakan suatu masyarakat dalam realitas
hubungan antar manusia. Struktur kepercayaan
atau ideologi tersebut memiliki potensi
terselubung dalam tendensinya
untuk mempertahankan dinamikanya sendiri untuk
20 Pemikiran ini telah banyak
diungkapkan dalam berbagai teori seperti masyarakat kelasnya Karl Mark (negara
sebagai alat penindas), dan teori
Hegemoni dari Antonio Gramsci. Lihat, Franz Magnis Suseno, Etika Politik,
Cetakan kelima, (Jakarta, PT.
Gramedia, 1999), hal. 259 – 277. Sedangkan Pemikiran Gramsci dapat dibaca
dalam Roger Simon,
Gagasan-gagasan Politik Gramsci, diterjemahkan oleh:Kamdani dan Imam Baihaqi,
diterbitkan atas kerjasama Insist
Press dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2000.
21 Talcot Parson, Essei-Essei
Sosiologi Talcot Parson, (Talcot Parson Essays Sociology), (Jakarta, Aksara
Persada Press, 1986), hal.
293-310.
22 Untuk mengungkapkan struktur
hierarkhi dan pola dominasi yang ada dalam masyarakat GSHK banyak
menggunakan pola piker filsafat
kritis seperti konsepsi Hegemoni dari Gramsci, Diskursus Prakis Rasional dari
Herbert Marsuce, serta Masyarakat
Komunikatif dari Jurgen Habermas.
23 Aturan sosial dapat digunakan
untuk melihat kekuatan sosial mana yang dominan dalam hierarki sosial.
Aturan sosial merupakan hasil
dari proses pertarungan kepentingan-kepentingan dalam struktur sosial.
6
menciptakan doktrin hukum yang
menyalahkan kondisi dan alam24. Bagi GSHK, kesadaran
hukum adalah alat yang
berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan. Hal ini
merupakan cara untuk
menyembunyikan atau menghindari kebenaran fundamental bahwa
segala sesuatu itu dalam proses
perubahan dan kehadiran.25
Penekanan pada
pengaruh eksternal
Para ahli hukum banyak
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti sosial,
ekonomi, politik dan psikologi,
tetapi kaum GSHK lebih menekankan pada konteks sosial
dan politik. Interpretasi banyak
dipengaruhi oleh kondisi historis, maka prinsip-prinsip dan
rasionalitas hukum tidak kebal
dari pengaruh-pengaruh sosial dan politik. Mereka
menegaskan bahwa pemikiran hukum
mempengaruhi perubahan hukum dan melegitimasi
tatanan sosial yang telah ada
dengan cara yang berlaku tanpa terasa26.
Kritik terhadap
Teori Hukum
Alirah Hukum kritis merupakan
kritik dari teori hukum yang menuntut bahwa
pendekatan doktrinal itu cacat,
dengan prinsip-prinsip abstrak seperti kemerdekaan,
kebebasan berkontrak dan hak
milik dapat menimbulkan kontradiksi dalam berbagai hal27.
Mereka menggunakan teknik-teknik
sosiologis, antropologis, dan ideologis dalam tatanan
hukum. Mereka mencoba melukiskan
penekanan antara ide normatif dan struktur sosial.
GSHK menunjukan bagaimana hukum
memberikan konstribusi terhadap stabilitas dan
mengabadikan tatanan sosial yang
ada. Duncan Kenedy dalam The Structure of
Blackstone’s Commentaries merupakan salah
satu contoh bagus dari metode ini yang
24 Lewis Cases, Strukturalisme
Konflik I: Mempertahankan Struktur Melalui Konflik, dalam Margareth M.
Poloma, Sosiologi Kontemporer,
(Contemporary Sociological Theory), terjemahan Tim YASOGAMA,
Cetakan kedua, (Jakarta, CV.
Rajawali, 1987), hal. 106-165.
25 Karena keinginan untuk
mempertahankan struktur lama itulah, maka kaum konservatif menolak
pemikiran-pemikiran baru walaupun
merupakan kebenaran. Penolakan ini dapat dilakukan dengan berbagai
cara yang merupakan penindasan
dari yang bersifat psikis hegemonic sampai dengan menggunakan cara-cara
kekerasan fisik. Lihat, Margareth
M. Poloma, ibid.
26 Pemikiran hukum terbentuk dari
pemikiran sosial lainnya. Pemikiran sosial terbentuk dalam dan dari struktur
sosial yang merupakan produk dan
konstruksi sejarah. Jadi, pemikiran hukum tanpa terasa seringkali
melegitimasi struktur sosial yang
telah ada.
27 Kontradiksi kapitalisme dan
liberalisme telah banyak diungkap oleh Karl Marx dan pemikiran Marxian yang
lain. Kontradiksi dalam
masyarakat liberal modern juga ditunjukan oleh Antony Gidden dalam bukunya The
Third Way. Antony Gidden,
The Third Way, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka, 1999).
7
menggambarkan analisis mendalam
tentang bagaimana komentar-komentar tersebut
melegitimasikan praktek-praktek
sosial yang telah ada di Inggris waktu itu. Dengan jalan ini
Kennedy dapat menunjukan bahwa
keseluruhan pemikiran hukum modern memberikan
sumbangan terhadap stabilitas
suatu tatanan sosial.
Sedangkan Unger melihat mainstream
aliran hukum dan ekonomi sebagai salah satu
aliran utama yang melayani hak
politik, aliran hak dan prinsip yang melayani sentralisme28.
Instrumen utama aliran hukum dan
ekonomi adalah penggunaan yang samar-samar atas
konsepsi pasar.29
Penghilangan dan
Pengafkiran Ortodoksi
GSHK berpendapat bahwa
pen-delegitamasi-an diperlukan untuk mengangkat
kemungkinan-kemungkinan yang
mengekspresikan realitas. Sesuatu harus membebaskan
diri terlebih dahulu dari
ilusi-ilusi mistik30
yang
mewujud dalam kesadaran dengan jalan
dunia hukum liberal dan aktivitas
kritis yang dapat membebaskan masa depan. Tetapi hal ini
sangat tergantung pada seseorang
untuk mengadopsi filsafat ini atau tidak. Sebagai sebuah
teori untuk tindakan politik,
GSHK sendiri penting, seseorang harus memiliki pandangan
terhadap tanggungjawabnya
sendiri.
Unger menawarkan sebuah
"struktur dari non struktur", suatu komitmen terhadap
penataan sosial yang akan selalu
menjadi perdebatan dan percobaan dalam berbagai macam
kehidupan sosial. Dia mencoba
melakukan suatu “perputaran kapital” dana untuk
membiayai program individual dan
untuk memberikan akibat pada desentralisasi produksi
dan perdagangan31. Dia
menyarankan penciptaan empat macam hak:
28 Hal ini paralel dengan pemikiran
Karl Mark bahwa hukum adalah supra struktur yang ditentukan oleh infra
struktur (penguasaan model).
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Op Cit. hal. 265.
29 James Boyle, Op Cit., hal.
4.
30 Ilusi mistik dalam hal ini bukan
berarti ilusi mistik yang ada pada masyarakat primitif, yaitu kepercayaan
terhadap roh-roh halus, tetapi
keyakinan-keyakinan tanpa adanya bukti dan dasar pemikiran yang kuat seperti
doktrin hukum murni, doktrin
moralitas, doktrin keharusan sejarah yang banyak diterima begitu saja. Janine
Mileaf, Levi Straus “Science of
Concrete”, http//dept.English.open.edu/ diakses tanggal 23 Oktober 2002.
31 Konsepsi tentang perputaran modal
untuk mengatasi kelemahan kapitalisme juga bisa dipelajari dalam buku
The Third Way dari Anthoni Gidden
terutama konsep investasi sosial. Pemikiran Gidden banyak
mempengaruhi kebijakan Partai
Buruh Inggris terutama Perdana Menteri Tony Blair serta Kanselir Jerman
Gerald Shcroeder. Pemikiran ini
banyak diterima di Eropa terbukti dengan kemenangan partai buruh di
negara-negara Eropa. Lihat
http://www.third-way.com/.
8
1. Hak kekebalan yang memberikan
kekuasaan untuk melawan intervensi dan dominasi
oleh individu atau organisasi
lain, termasuk negara.
2. Hak de-stabilisasi yang
menuntut untuk meruntuhkan praktek institusi dan
bentuk-bentuk sosial yang telah
ada.
3. Hak pasar yang memberikan
suatu pendakuan (claim) kondisional terhadap bagian
modal sosial yang dapat dibagi.
4. Hak solidaritas yang memupuk
jalinan saling menguntungkan, loyalitas dan
pertanggungjawaban.
Hari Chand mengkritik struktur
dari non struktur Unger ini membatasi pertentangan
sosial yang dituntut untuk
difasilitasi. Hal ini tidak legitimate dan dapat diobyektifkan seperti
tatanan sosial yang lain32.
Penganut GSHK menempatkan negara
sebagai pelaksana aksi transformasi yang
paling efektif. Kebebasan yang
sebenarnya membutuhkan kehidupan sosial yang memiliki
instrumen untuk revisinya
sendiri. Kebebasan sesungguhnya ada pada aktivitas penemuan
batas perbedaan antara kemampuan
transendensi dan pembatasan struktur dimana disitulah
hidup dan perjuangan dari setiap
perbedaan maksud pencapaian dan pengaburan tujuan.
Transformasi
Sosial
Aliran kritis tidak percaya
terhadap rekayasa sosial dan reformasi liberal, mereka
menginginkan untuk memajukan
sosial melalui transformasi sosial. Mereka harus mencari
suatu potensi hukum dan sosial
yang transformatif. Pencarian tersebut terutama dengan tiga
metodologi yaitu pengungkapan
makna implisit text, teori sosial, dan kritik murni.
Penafsiran aturan hukum dilakukan
untuk membuka idedologi, struktur dan materi, dan
kemudian mencoba memperlihatkan
kebenaran-kebenaran yang bermukim dalam system
hukum. Dalam lapangan hukum,
digambarkan bahwa doktrin hukum saat ini adalah tidak
efektif, tidak merepresentasikan
perasaan dan pikiran umum rakyat33.
32 Dalam Buku Modern Jurisprudence
terlihat bahwa Hari Chand lebih condong pada pemikiran sociological
jurisprudence.
33 Untuk bisa melakukan penafsiran
dengan baik dan mengetahui kepentingan yang tersimpan dalam suatu teks,
dapat digunakan metode geneologi
dan arkheologi. Geneologi adalah metode penelusuran makna teks melalui
pencarian makna leksikal.
Sedangkan arkheologi adalah pencarian makna secara histori penggunaan teks
9
GSHK mempercayai bahwa sebuah
teori harus merupakan hasil dari eksperimentasi
dan penyelidikan sosial sehingga
dapat bersifat praktis untuk mengembangkan teori. Hal ini
paralel dengan pemikiran Karl
Mark tentang makna obyektif praksis yang dimulai dari
kritiknya terhadap filsafat
hingga doktrin materialisme historis 34 . Sebagai contoh,
mekanisme penyelesaian
perselisihan diupayakan dengan persatuan dan partisipasi. Mereka
melihat dampak hukum terhadap
nilai-nilai, persepsi sendiri dan ide-ide. Aliran kritis
memberontak terhadap tradisi
masyarakat akademik sebagaimana mereka menolak ide-idee,
cita-cita atau suposisi dari
pendidikan tradisional.35
Aliran
hukum kritis ingin mencapai
mimpi transformasi sosial yang
ambisius di bawah universitas.
Tema-tema pokok
gerakan GSHK
Ketidakpastian
Positivisme menuntut bahwa
memutuskan suatu kasus menunjuk pada ketetapan dan
kepastian. Namun GSHK menganggap
bahwa klaim atas suatu kepastian adalah palsu. Baik
aturan hukum maupun ajaran
prinsip-prinsip hukum dan pepatah tidak bisa digunakan untuk
menentukan hasil akhir dari suatu
kasus. Rasionalitas hukum adalah semacam manipulasi.
Hal ini karena prinsip-prinsip,
doktrin atau pepatah yang sama dapat digunakan untuk
lapangan kasus yang berbeda
dengan hasil yang berlawanan atau berbeda. Berbagai aturan
hukum dan berbagai kata atau
frase yang digunakan dalam aturan sangat rentan terhadap
berbagai penafsiran tergantung
pada hakim menerima interpretasi yang mana. Singkatnya,
tidak tergantung pada substansi
hukum, apalagi alasan rasio hukum. Yang ditolak adalah
bahwa seluruh hukum memiliki
aturan yang tetap.
Namun menurut Hari Chand,
positivis memang salah dengan menuntut hukum
memutuskan kasus sebagaimana GSHK
juga salah karena melihat hukum sebagai
ketidakpastian. Kenyataan
kepastian hukum juga ada tetapi tidak benar jika hal itu ada pada
masing-masing dan setiap hukum
dan aturan atau sistem hukum. Pada suatu kasus yang
berat, mungkin tidak aturan hukum
yang dapat dijadikan pedoman oleh hakim dan fakta
tersebut. Lihat, Kim Lane Scheppele,
Legal Theory and Social Theory, Annual Review of Sociology, 1994, V.
20, hal. 383.
34 Sayyid Al-Islam Ayatullah Al-„Uzhma
As-Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, terjemahan M.
Nur Mufid bin Ali, Cetakan VI,
(Bandung, Mizan, 1998), hal. 51-54.
10
ketidakmenentuan banyak terdapat
pada kasus-kasus yang berat. Namun tesis
ketidakmenentuan tidak dapat
dibenarkan dalam banyak kasus lainnya.
Pertentangan
Bahwa doktrin hukum mengandung
kontradiksi adalah pandangan pokok lain dari
aliran hukum kritis. Unger
memberikan contoh hukum kontrak yang didasarkan atas prinsip
kebebasan untuk memilih dari
patner dan ketentuan dan kondisi yang diinginkan para pihak
dan counterprinsip tidak boleh
meruntuhkan aspek sosial kehidupan bersama dan tidak
dilakukannya transaksi dan
bargaining yang tidak fair. Namun selalu ada suatu permainan
prinsip dominasi dalam hukum
kontrak. Pada kenyataanya terdapat unsur dominasi dalam
kesatuan .
Prof. Finnis mengatakan bahwa
Unger gagal untuk melihat bahwa seseorang dapat
mempertahankan seperangkat aturan
dan doktrin dengan mewujudkan prinsip pertentangan
tanpa mendaku hal ini. Hal ini
dikatakan oleh Chand bahwa pandangan unger tentang tesis
kontradiksinya tidak menunjukan
bahwa sistem hukum menuju keruntuhan, namun hanya
mengindikasikan bahwa doktrin
yang tidak sempurna tersebut harus diperbaiki agar sesuai
dengan situasi yang baru.
Legitimasi dan
Kesadaran yang salah
Profesor Horwitz mengajukan
sebuah tesis dalam bukunya The Transformation of
American Law, bahwa
doktrin-doktrin hukum dibangun dengan bantuan pertumbuhan
industri dan maka melayani
kepentingan ekonomis dari bagian masyarakat yang kaya. Tidak
semua aliran hukum kritis
menerima pandangan yang terdengar seperti sebuah Marxisme
ortodok ini.36
Tesis lain yang dianut sebagian
besar pendukung GSHK adalah bahwa hukum
melayani yang berkuasa melalui
legitimasi. Sebagai contoh, penekanan pada hak dan aturan
hukum membuat rakyat percaya
bahwa sistem hukum adalah semata-mata adil dan masuk
akal, sehingga seolah-olah tidak ada
alternatif lain bagi rakyat. Beberapa orang tokoh GSHK
35 Kennedy, The Structure of
Blackstone‟s Commentaries‟ 1979, (Buffalo
Law Review), hal. 47.
11
menerapkan ide Antonio Gramci
tentang ideologi dalam atmosfir hukum. Dalam buku
Prison Note37, Gramci
menyatakan bahwa kelas penguasa memupuk kekuasaannya bukan
dengan kekuatan secara khusus
tetapi juga dengan berbagai macam moral dan kepercayaan
sosial yang memaksa rakyat
menerima sistem tersebut sebagai menguntungkan, dapat
mencapai keadilan dan bagus. Sama
halnya sistem hukum mempropagandakan seperangkat
ide tentang kesejahteraan,
perjanjian, hak individual dan aturan hukum yang mempengaruhi
pikiran rakyat bahwa ssstem
tersebut pada dasarnya adil. Sebagai contoh, Klare
mendeskripsikan Hukum Perburuhan
Amerika sebagai perwujudan suatu moral dan visi
politik yang berisi seperangkat
kepercayaan, nilai, dan asumsi politik yang menyatu dalam
kekuasaan (yaitu pandangan dunia)
dan yang melayani sebagai suatu pelegitimasian
ideologi.
Menurut Chand, Klaim GSHK bahwa
hukum maju selangkah dan melegitimasi
aturan yang tidak adil dan sistem
hukum yang tidak adil menimbulkan pertanyaan besar.
Seseorang dapat mengatakan bahwa
hukum telah tidak mendapatkan monopoli untuk
mencetak kesadaran manusia.
Mungkin pikiran seseorang cukup luas mementingkan akibat
dari penemuan manusia, termasuk
hukum.
Aturan-aturan
dan Standar-standar
Duncan Kennedy mempresentasikan
suatu analisis tentang aturan-aturan dan
standar-standar. Ada dua bentuk
aturan; bentuk formal yang umumnya penggunaannya jelas
dan pasti, sangat administratif,
aturan umum dan bentuk yang mendukung penggunaan
standar yang sesuai. Legal
Reasoning, ditujukan untuk kedua bentuk, hasilnya adalah semua
argumen hukum menunjukan ketidakstabilan
dan pertentangan.
Kennedy menyatakan bahwa ada tiga
dimensi dari bentuk-bentuk argumen:
1. Realisabilitas Formal
Kennedy meminjam bentuk Spirit
of Roman Law yang dikemukakan Ihering untuk
menyampaikan ide bahwa kualitas
keteraturan dalam peraturan ditentukan dalam
36 Morton J. Horwitz, The
Transformation Of American Law, 1870-1960 by. (New York: Oxford University
Press, 1992).
37 Salah satu buku yang membahas
pemikiran Gramsci yang telah diterjemahkan adalah Roger Simon,
Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Op
Cit.
12
penentuannya atau persyaratan
spesifik dari beberapa aspek kenyataan, misalnya, umur
tertentu dari seseorang dapat
digunakan menentukan kapasitasnya, menentukan jumlah
kerusakan untuk tuntutan
tertentu.38
Disamping Realisabilitas yang
formal, kemampuan menyadari adalah sebuah standar
prinsip dan kebijakan, misalnya,
persaingan sehat, kepedulian, keadilan, dll.
2. Generalisasi
Peraturan-peraturan dibuat untuk
mencakup sebanyak mungkin situasi yang ada pada
kenyataannya. Beberapa peraturan
lebih umum atau lebih khusus dari pada yang lainnya.
Semakin luas jangkauan peraturan,
semakin serius ketidaktepatan diatas atau dibawah
tingkat pencapaian. Sebagai
contoh, adalah mungkin untuk menyediakan suatu
perbedaan umur dari kapasitas
untuk memilih, minum, mengemudi, membuat kontrak,
dll. Tetapi satu aturan umum
tentang kemampuan hukum pada usia 18 tahun
menghilangkan semua pertentangan
yang mungkin muncul dari perbedaan usia dalam
kemampuan hukum. Peraturan khusus
dimunculkan jika sebuah standar dilaksanakan
untuk suatu situsasi khusus di
lapangan.
Individualisme
dan Altruisme
Orientasi peraturan menunjukan
cita-cita individualisme sementara altruisme
merepresentasi dalam bentuk
standar yang menunjukan kepentingan individu adalah bukan
hal yang utama39. Individual
percaya bahwa aktivitas hukum adalah salah tempat sementara
altruisme mengharapkan hakim
untuk menerapkan standar komunitas bersama. Selalu ada
konflik antara individualisme dan
altruisme40.
Tujuan kaum individualis terdiri
dari aturan kepemilikan yang menyediakan suatu
kepemilikan hukum dengan
kebebasan kewenangan tetapi dalam batasan yang pasti, dan
38 Kennedy, Op Cit. hal. 49.
39 Individualisme adalah paham
mementingkan kepentingan individu, sedangkan altruisme adalah paham yang
mementingkan kepentingan orang
lain. Lihat, The Fallacies of Egoism and Altruism,
and the Fundamental Principle of
Morality, http://www.friesian.com/moral-1.htm, diakses tanggal 17
Desember 2002.
40 Pertentangan antara individualisme
dan altruisme merupakan salah satu bentuk antinomy yang bersumber
pada paham penghargaan individu
namun dengan pendekatan yang berbeda. Antinomy ini juga melahirkan
pertentangan yang tak berujung
antara individualisme versus kollektivisme, dan antara liberalisme versus
sosialisme.
13
peraturan kontrak dibuat sebagian
oleh para pihak sebagian oleh kelompok. Teori liberal
yang mewujud dalam individualisme
menolak kebebasan peradilan, sebagai hakim adalah
hakim yang seharusnya menerapkan
hukum dan tidak membuatnya.
Kalangan altruis berharap untuk
memiliki kolektivisme 41
sehingga
nilai yang
diajukan dan dituju adalah
pelayanan. Bagi altruis, nilai kewenangan tidak hanya tidak
menyenangkan, tetapi juga tidak
adil.Altruisme tidak mengijinkan hakim untuk menerapkan
peraturan tanpa melihat hasil
yang dicapai. Kerja altruis untuk mempertahankan nilai moral
seseorang yang sesuai dengan
kawannya.
Keberadaan pertentangan
menyebabkan ketidakmungkinan untuk menyeimbangkan
nilai-nilai individualis dan
altruis. Kennedy melukiskan gambaran bahw Lawyer dibutuhkan
karena nilai-nilai; wibawa hakim
adalah karena professional dan teknis, kharisma dan spirit,
karenanya penggugat yang ahli
dalam pembentukan bahasa dapat mendominasi dan
menindas yang lain, atau mungkin
secara sederhana mensejahterakan karenya;
individualisme adalah struktur
dari status quo.”42
Tentu saja, seseorang tidak bisa
menentukan keputusan akhir dari suatu kasus
berdasarkan argumen individualis
atau altruis sebagaimana keduanya dapat diderivasikan
dari materi hukum yang sama.
Dalam kenyataan hidup seorang
individu tidak pernah sendirian. Kita tidak bisa
menjadi orang yang bebas tanpa
keluarga, negara, masyarakat atau komunitas. Individu
dileburkan dalam kolektivitas.
Pada saat yang sama peleburan dengan yang lain mungkin
dipaksakan pada keberadaan kita.
Selanjutnya dia mengambil
pandangan bahwa norma-norma kolektif sangat berat
dalam berbagai macam status quo
yang dalam gerakan yang benar-benar sukarela adalah
sesuatu yang tidak bisa dipahami
dan jalan keluarnya adalah mengasumsikan
pertanggungjawaban untuk dominasi
totalitarian terhadap pikiran orang lain, maka paksa
mereka untuk menjadi bebas.
41 Kolektifisme adalah paham yang menempatkan
kepentingan kelompok (kepentingan umum) sebagai hal
yang utama di atas kepentingan
individual.
42 Hari Chand, Op Cit. hal.
248
14
Kritik Roberto
Unger terhadap Formalisme dan Obyektivisme43
Bagi Unger, formalisme berarti
sebuah komitmen untuk, dan kepercayaan terhadap
kemungkinan dari sebuah metode
pembenaran hukum. Termasuk di dalamnya tujuan yang
impersonal, kebijakan dan
prinsip-prinsip yang merupakan komponen yang dibutuhkan
dalam rasionalisasi hukum.
Sedangkan obyektivisme, Unger
mengartikan sebagai kepercayaan bahwa materi
hukum yang memiliki otoritas yang
merupakan sistem pengundangan, kasus-kasus, dan
ide-ide hukum yang diterima,
mewujud dan hidup dalam sebuah skema pengelompokan
manusia yang dapat dipertahankan.
Hal tersebut menggambarkan tatanan moral, walaupun
tidak sempurna.
Menurut Unger, formalisme dan
obyektivisme gagal, sebagimana halnya keduanya
gagal untuk dipidahkan satu dan
lainnya. Dia mengkritik obyektivisme sebagai hukum yang
memiliki pertentangan dan
persaingan dedngan prinsip-prinsip. Sebagai contoh, hukum
kontrak memiliki prinsip
kebebasan bagi para pihak dan counterprinsip yang tidak
mengijinkan akibat terhadap
kepentingan umum dari seluruh komunitas. Unger juga
mengkritik fomalisme sebagai
adanya kebutuhan teori bagi yang mempercayai formalisme.
Tanpa beberapa teori,
rasionalisasi hukum adalah sebuah permainan analogi yang mudah.
Dalam buku The Critical Legal
Studies Movement, Unger memulai kritiknya
terhadap obyektivisme berdasarkan
pada usaha akbar para ahli hukum untuk mencari suatu
struktur hukum yang di dalamnya built-in
demokrasi dan pasar. Bangsa telah memilih suatu
jenis masyarakat tertentu yaitu
komitment terhadap republik demokratis dan suatu sistem
pasar sebagai bagian yang harus
ada dalam republik.
Namun kegagalan yang tidak
berkesudahan dalam menemukan bahasa hukum yang
universal mengenai demokrasi dan
pasar mengungkapkan bahwa bahasa semacam itu tidak
pernah ada. Teori kontrak dan
kepemilikan menyediakan ruang bagi usaha kaum obyektivis
untuk mengungkapkan isi hukum
yang sudah built-in dengan pasar, sama halnya dengan
teori perlindungan
kepentingan-kepentingan konstitusional serta tujuan-tujuan sah tindakan
negara yang dirancang untuk
mengungkapkan esensi hukum suatu republik demokratis.
43 Roberto M. Unger, Op Cit.
hal. 1-14
15
Sedangkan kritik Unger terhadap
formalisme bertitik tolak dari argumen bahwa
pemikiran setiap cabang doktrin
harus bersandar secara diam-diam, kalau tidak secara
eksplisit, pada suatu pemerian
bentuk-bentuk interaksi manusia yang benar dan realistis di
bidang kehidupan masyarakat
tempat doktrin itu berlaku. Misalnya, seorang ahli hukum
konstitusi membutuhkan suatu
teori republik demokratis yang menggambarkan hubungan
yang tepat antara negara dan
masyarakat atau ciri-ciri esensial organisasi sosial dan
pemberian hak pribadi yang harus
dilindungi pemerintah.
Tanpa visi pembimbing ini,
pemikiran hukum tampak terkungkung dalam permainan
analogi murahan. Pertentangan kepentingan
dan visi yang banyak ragamnya yang
menyangkut pembentukan
undang-undang harus merupakan wahana suatu rasionalitas yang
dapat diartikulasikan dalam suatu
teori tunggal yang terpadu. Teori-teori hukum dominan
sebenarnya melakukan penyucian
yang berani dan tidak masuk akal dengan mengambil
bentuk untuk memperlakukan hukum
sebagai suatu tempat penyimpanan tujuan, kebijakan,
dan prinsip yang sama sekali
bertentangan dengan pandangan percaturan politik legislatif
standar.
Konstribusi Roberto Unger terhadap
gerakan GSHK telah diterima dengan baik dan
dihargai oleh Hugh Collins. Unger
dalam teori sosial kritisnya memunculkan kemungkinan
mempertahankan kondisi sosial
yang memuaskan pertanyaan untuk kepuasan sendiri, maka
seseorang memperoleh keberhasilan
dengan berbagai macam jalan yang dalam
kehidupannya mungkin sesuai dan
memiliki arti bagi tujuan. Unger mengkritik pendekatan
yang berlaku pada sosiologi,
sejarah dan ekonomi yang gagal untuk mengambil pentingnya
pertentangan struktur. Dia
memberikan contoh seseorang yang menginginkan menjadi
seorang penulis tetapi pasar
tidak berposisi memilih profesi itu.
Konteks Formatif
Unger mengatakan bahwa masyarakat
merepresentasikan individu-individu dengan
seperangkat struktur paksaan yang
disebutnya konteks formatif. Dia mendefinisikan konteks
formatif Sebagai dasar penyusunan
institusional dan perspektif imaginatif yang melingkupi
aktivitas rutin kita atau
aktivitas imaginatif dan konflik dan perlawanan akibat
16
ketidakstabilan. Unger mengkritik
hitungan konvensional rasionalisasi hukum, khususnya
rasionalisasi yang berdasarkan
pada formalisme atau obyektivisme.
Doktrin
Penyimpangan
Unger menuntut bahwa aliran hukum
yang menganut pandangan GSHK harus
melakukan aktivitas politik untuk
merubah masyarakat. Untuk menentukan kesalahan
formalisme dan obyektivisme,
Unger mengusulkan tiga tingkatan doktrin hukum:
1. Peraturan yang otoritatif
2. Tujuan (cita-cita), prinsip
yang bersandar dalam peraturan.
3. Konflik antara prinsip-prinsip
dan counterprinsip menunjukan ketidakharmonisan dan
pertentangan asumsi ideologis
tentang kehidupan sosial.
Masyarakat modern telah dipaksa
membuka konflik yang transformatif. Dia
mengatakan bahwa fungsi doktrin
hukum dalam masyarakat saat ini adalah bertarung
terhadap hak dan bentuk yang
memungkinkan dari kehidupan sosial. Kalangan hukum
modern telah mencoba menghindari
konflik ini tetapi gerakan hukum kritis juga menuntut
tidak dilakukan.
Dipertahankannya bentuk-bentuk
doktrin yang mapan selalu terletak pada tantangan
implisit untuk menerima genre
yang berkuasa. Kita selalu dihadapkan pada menyerahkan
diri pada versi tatanan sosial
yang sudah stabil atau menghadapi perang antara semua
melawan semua. Ciri pokok dari
doktrin penyimpangan adalah usaha untuk menyeberangi
tapal batas empiris maupun
normatif yang memisahkan antara hukum dari teori sosial
empiris dan argumen mengenai
organisasi masyarakat yang benar.
Konflik ini dikaraterisasikannya
sebagai vertikal dan horizontal dibuat untuk
perombakan konstruksi yang sangat
esensial. Dia membedakan hal ini dengan mudah dari
hukum kontrak. Prinsip dan
counterprinsip dapat dipahami sebagai ekspresi dari latar
belakang keinginan dan skema
perkumpulan manusia. Dalam usaha ini, counterprinsip
mengontrol prinsip dari sisi
perluasan yang iperialistik. Dia mengatakan bahwa hubungan
komunal bervariasi sepanjang
dunia perdagangan dan komersial berdasarkan hukum
kontrak. Perkawanan dan keluarga
tidak disyaratkan atau tidak diperhatikan oleh kontrak
dengan kata lain wilayah kontrak
tidak disentuh oleh perkawanan dan pengaruh yang saling
17
menguntungkan. Hasil ini
berpengaruh terhadap model demokrasi dan masyarakan privat.
Idenya adalah superliberalism.44
Dia mengusulkan untuk suatu “reinventing democracy” yang bisa
dipaksakan dalam
merubah hierarkhi sosial dan
meredistribusi sumber-sumber. Hal ini mencakup sebuah
konsep hukum baru yang
membutuhkan hak destabilisasi. J.W. Harris mengkritik
penghakiman Unger yang disebut
Pahlawan yang memainkan peran seorang aliran kritis dan
menggenggam politik dan tidak
menggenggam dirinya sendiri dan pandangannya dari
praktek hukum.45
Secara umum gerakan GSHK
menyalahkan pencarian sebuah sistem hak sebagai
sebuah sistem yang tidak dapat
dibuat secara koheren. Lebih dari itu, Individual meningkat
melebihi komunitas dan kebutuhan
komunitas terhadap individual dilupakan. Gabel dan
Kennedy telah menuntut bahwa
rakyat tidak membutuhkan hak mereka. Apa yang mereka
butuhkan adalah bentuk nyata dari
sistem kehidupan sosial yang bebas dari ilusi saat ini.
Beberapa orang juga mengatakan
bahwa eksistensi hak bermanfaat sebagai polisi dan orang
lain dipaksakan. Hak-hak adalah
poin yang berkumpul kepada sesorang.
Kritik juga menolak keinginan dan
kemungkinan rule of law. Duncan Kennedy
memegang pendapat bahwa hukum
secara keseluruhan itu tidak pasti dan tidak pernah ada
suatu solusi hukum yang benar
selain kebenaran etik dan solusi politik untuk sebuah
permasalahan hukum. Anggota GSHK
berbeda dalam hal peran instrumental dari hukum
dalam masyarakat; beberapa
mengambil pendekatan Marxian ortodhok, yang lainnya
memegang pendapat bahwa hukum
melayani kelas yang dominan dengan cara yang lebih
bervariasi.
44 Secara lengkap dikatakan oleh
Unger bahwa: “Hal ini menekan premise liberal tentang negara dan
masyarakat,
tentang kebebasan dari ketergantungan dan hubungan pemerintahan masyarakat oleh
keinginan,
menunjuk pada
kecenderungan mereka pada suatu ambisi yang luas; bangunan dunia sosial sedikit
terasing
kepada diri
sendiri yang selalu bisa dilanggar oleh aturan yang umum dari mental dan
konstruksi sosialnya
dan mengambil aturan dan konstruksi lain di
tempatnya”. Roberto
M. Unger, Op Cit. hal. 15-52.
45 Hari Chand, Op Cit. hal.
253.
18
B.
Pemikiran-Pemikiran Lain Dari Gerakan Studi Hukum Kritis
Gerakan Studi
Hukum Kritis dan Kontadiksi Liberalisme
Mark Kelman mendaku ada tiga
kontradiksi utama dalam liberalisme, yaitu (1)
kontradiksi antara komitmen
terhadap aturan mekanis yang dapat diterapkan sebagai bentuk
yang tepat penyelesaian
perselisihan dan komitmen terhadap kepedulian situasional sebagai
standar sementara, (2)
kontradiksi antara komitmen terhadap nilai atau kemauan liberal
tradisional yang arbitrer,
subjektif, dan individual serta kenyataan yang obyektif dan
universal berhadapan dengan
komitmen terhadap cita-cita bahwa kita bisa mengetahui
kebenaran etika sosial secara
obyektif atau harapan bahwa seseorang bisa menyatukan
pembedaan antara subjektif dan
obyektif dalam mencari kebenaran moral, (3) kontradiksi
antara komitmen terhadap
diskursus kehendak, dimana semua tindakan manusia dilihat
sebagai hasil penentuan keinginan
individu sendiri, dan diskursus determinis, di mana
aktivitas subyek tidak sesuai
karena secara sederhana merupakan hasil dari struktur sosial
yang ada.
Kontradiksi pertama merupakan dua
posisi yang mengundang untuk memilih antara
seperangkat nilai dan pandangan
umum. Argumen formal tentang penggunaan aturan atau
standar adalah terkait dengan
cita-cita keteraturan masyarakat yang tepat. Hakim berada
dalam posisi yang hati-hati dalam
memilih aturan yang terkait dengan pandangan etis
subtantif.
Kontradiksi kedua secara singkat
menunjukan masalah kegagalan metode liberalisme
positivis dalam menyesuaikan
dengan kebutuhan normatif. Kesulitan ini dihadapi ketika
penerapan metode empiris terhadap
kemauan manusia. Sedangkan kontradiksi ketiga
menunjukan pada konflik panjang
antara kehendak bebas dan determinisme.
Teori Hukum dan
Teori Sosial
Salah satu yang diajukan secara
prinsipil oleh GSHK adalah kebutuhan untuk
mengintegrasikan teori hukum
dengan teori sosial. Dalam pandangan GSHK, realitas bukan
merupakan produk dari alam yang
tidak bisa ditawar, namun merupakan "pertarungan antara
individu yang dibatasi oleh suatu
garis tertentu". Diskursus hukum adalah suatu diskursus
19
yang perhatian utamanya pada
kehidupan sosial. Dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk
kesadaran sosial, pendukung GSHK
berharap bisa memajukan individu. Dengan
menunjukan bahwa kehidupan sosial
semakin tidak terstruktur dan semakin komplek,
semakin tidak berpihak dan
semakin irasional, dari pada proses hukum yang dikira,
kepentingan yang dilayani oleh
doktrin dan teori hukum akan muncul.
Dalam pandangan Robert Gordon,
kepentingan yang dilayani tersebut adalah suatu
ideologi (cara pandang) dari
kelompok masyarakat tertentu yang dominan. Dia mengajukan
beberapa metode untuk menunjukan
dan meruntuhkan ideologi dalam pemikiran hukum
utama, yaitu melalui;
perongsokan, dekonstruksi, dan geneologi. Pembentukan dominasi
dijelaskan dengan menggunakan
pemikiran Levi Strauss dan konsep hegemoni yang
diungkapkan oleh Antonio Gramci46.Salah satu cara
untuk membongkar struktur sosial
adalah dengan menggunakan metode
geneologi dan archeology. Metode ini menelusuri
dasar-dasar dan pemikiran dasar
pembentukan struktur sosial yang hierarkhis.
Dari Kritik ke
Konstruksi
Doktrin Deviasi
Dipertahankannya bentuk-bentuk
doktrin yang mapan selalu terletak pada sebuah
tantangan implisit untuk menerima
genre yang berkuasa. Tantangan itu berupa pilihan umum
untuk menyerahkan diri pada versi
tatanan sosial yang sudah stabil atau menghadapi perang
antara semua melawan semua.
Pertentangan ini diselesaikan dengan doktrin deviasi yang ciri
pokoknya adalah usaha untuk
menyeberang tapal batas empiris maupun normatif yang
memisahkan antara teori sosial
empiris dan dari argumen mengenai organisasi masyarakat
yang benar. 47
46 Robert Gordon and Thomas Kearn
(editor), Law in the Domains of Culture, (University of Michigan Press,
1998).
47 Roberto M. Unger, Op Cit.
hal. 15.
20
Penetapan
Kembali Demokrasi dan Pasar
Hasil konstruktif kritik terhadap
obyektivisme adalah usaha untuk mencari alternatif
cita-cita kelembagaan demokrasi
dan pasar dengan menggunakan doktrin deviasi. Pencarian
ini membutuhkan tiga gagasan,
yaitu teori transformasi sosial untuk bisa membedakan
cita-cita yang programatis yang
realistis, pikiran programatis yang dilakukan dengan
pembalikan dan pemujian berupa
pendefinisian kembali tanpa usaha kapitulasi buta, dan
konsepsi hubungan yang tepat
antara negara dan masyarakat.
Hasilnya berupa tiga bentuk versi
yang sepadan, yaitu; pertama, pelonggaran
kumulatif tatanan masyarakat
tertentu terutama mengenai pelapisan dan pembagian sosial,
pola yang diberlakukan mengenai
cara-cara hubungan manusia yang mungkin dan
dikehendaki. Kedua, peluang hidup
dan pengalaman hidup pribadi harus semakin terbebas
dari tirani kategori-kategori
sosial yang abstrak. Ketiga, perbedaan antara apa yang
dimaksudkan oleh dunia sosial dan
apa yang dikeluarkannya, antara kegiatan rutin dan
revolusi, harus diperinci
sebanyak mungkin.
Demokrasi bisa ditemukan kembali
melalui beberapa persyaratan yaitu:48
1. bentuk-bentuk organisasi
ekonomi dan politik mapan yang memungkinkan kelompok
rakyat yang relatif kecil
menguasai syarat-syarat pokok kemakmuran kolektif dengan
mengambil keputusan-keputusan
investasi yang amat penting.
2. Menekankan arti penting
bidang-bidang utama kehidupan organisasi pabrik, birokrasi,
kantor, rumah sakit, dan sekolah.
3. Sarana komunikasi dan
pemberian dana politik.
Revolusi Politik
dan Kebudayaan
Tujuan yang menjadi pedoman dan
pemersatu kebiasaan budaya revolusioner adalah
untuk membentuk kembali hubungan
pribadi langsung dengan membebaskan mereka dari
latar belakang rancangan
pembagian hierarkhi sosial. Rencana ini memberikan suatu
kesempatan bagi pertukaran
praktis atau ikatan yang penuh gairah untuk menghormati
batas-batas yang ditetapkan
tatanan kekuasaan yang mapan. Rencana itu juga memberikan
21
peran tertentu pada setiap orang
sesuai dengan kedudukan yang mereka pegang dalam
seperangkat perbedaan sosial atau
gender yang ditetapkan sebelumnya.
C. Kelebihan Dan
Kekurangan Gerakan Studi Hukum Kritis
Kelebihan
GSHK terdiri dari berbagai macam
pemikiran yang dikemukakan oleh banyak ahli
hukum. Pemikiran-pemikiran
tersebut bervariasi dari pemikiran yang bercirikan marxian
ortodok sampai pada pemikiran
post-modern. Namun ada beberapa kesepahaman antara
pemikiran-pemikiran tersebut,
yaitu ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur
sosial yang hierarkhis dan
didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan untuk
merombak struktur sosial.
Kekritisan GSHK dalam memahami
realitas sosial dan tata hukum serta komitmen
untuk mengembangkan teori hukum
berdasarkan praksis sosial untuk merombak struktur
sosial yang hierarkhis adalah
kelebihan utama GSHK. Kekuatan ini diwujudkan dalam
bentuk analitis kritis terhadap tata
hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum yang digunakan
oleh para hakim yang selama ini
disebut netral dan benar secara obyektif.
Kelebihan lain dari GSHK adalah
perhatiannya yang sangat besar terhadap
pengakuan individu sebagai subyek
kehendak utama dalam tatanan sosial. Kelebihan ini
seperti membangkitkan kembali
pandangan eksistensialis Kant-ian yang akhir-akhir tergerus
oleh gelombang modern dan
industri sehingga menimbulkan keterasingan individu subyektif
karen tersedot arus budaya massa
yang abstrak.
Kekurangan
Sebagaimana pemikiran kritis yang
lain, apabila tidak digunakan secara tepat dengan
mengingat tujuan dan batas
penggunaan, kritisisme bisa berujung pada nihilisme. Atau
paling tidak terjebak pada
lingkaran kritik tanpa ujung dalam tingkatan wacana sehingga
melupakan tugas praksis terhadap
masyarakat.
48 Hari Chand, Op Cit. hal.
253.
22
Kelemahan lain adalah dari sifat
asali pemikiran kritis yang selalu dalam dirinya
sendiri melakukan dekonstruksi
sehingga perubahan dan gejolak selalu terjadi. Padahal
realitas masyarakat selualu
cenderung mempertahankan nilai-nilai dan tatanan lama dan
hanya mengijinkan perubahan yang
tidak terasa. Maka konsekuensi dari pendukung GSHK
akan selalu berada di pinggir
sistem sosial kalau tidak tidak anggap sebagai makhluk aneh
yang harus disingkirkan.
Akibatnya GSHK sangat sulit menjadi mainstream pembangunan
hukum. Tugas utama GSHK adalah
melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan oleh
orang lain.
Analisis Kritis
terhadap Hukum di Indonesia
Penggunaan GSHK untuk
menganalisis hukum di Indonesia paling mudah dilakukan
terhadap pembangunan hukum pada
masa orde baru. Pada masa inilah dapat dilihat secara
jelas kepentingan-kepentingan ekonomi
dan politik dominan yang menghuni ide tata hukum.
Kepentingan atas pertumbuhan
ekonomi memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan
pemberian kredit yang disertai
dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan
pembangunan ekonomi mensyaratkan
stabilitas politik yang dilakukan dengan cara
mengurangi hak sipil dan politik
rakyat49.
Sebagai salah satu contoh, disini
akan diungkapkan kepentingan kelas dominan
dalam menentukan substansi
Rancangan Undang-Undang Pemilu yang saat ini dibahas di
DPR. Pemilu tahun 2004 memiliki
arti strategis. Bagi penguasa, momen ini memiliki arti
untuk melanggengkan kekuasaannya50. Sehingga sejak
saat ini pun banyak langkah dan
kebijakan yang dilandasi
pertimbangan kepentingan kekuasaan tahun 2004. Di sisi lain, masa
transisi politik adalah masa
paling mudah melakukan perubahan karena tidak adanya
kekuatan yang dominan.
Pemberantasan KKN harus dilakukan dalam rentang waktu transisi
politik.51
49 Kekuasaan Presiden Soeharto
merupakan contoh paling jelas dari dianutnya paradigma pembangunan
ekonomi sebagai panglima.
50 Untuk setiap pemilu biasanya
dibuat peraturan-peraturan tersendiri. Biasanya meliputi UU Pemilu, UU Partai
Politik, dan UU Susunan Kedudukan
MPR, DPR dan DPRD.
51 Dalam kondisi transisi, semua hal
mungkin dilakukan dengan prosedur dan ukuran-ukuran yang juga
temporer, seperti munculnya
istilah keadilan transisi.
23
Apabila sampai saat rekonsolidasi
politik perubahan belum berhasil, maka proses
perubahan akan kembali memasuki
masa-masa yang sulit karena semakin mapannya
kekuasaan. Makna pemilu 2004
menjadi semakin penting karena pada waktu inilah dimulai
sistem perwakilan baru yaitu
bikameral52
di
Indonesia yang ditandai dengan adanya DPD
dan bergesernya kedudukan MPR53, serta
merupakan awal pelaksanaan pemilihan Presiden
secara langsung. Untuk bisa
menciptakan wakil rakyat yang amanah dan bertanggungjawab
serta sebagai salah satu agenda
pemberantasan KKN, harus dipilih dan diciptakan sistem
pemilu yang dapat memenuhi kepentingan
tersebut54.
Pemilu 1999 yang menggunakan
sistem proporsional dengan daftar tertutup55 telah
menimbulkan jarak antara wakil
rakyat dan konstituennya56. Dengan memilih
tandar gambar
partai, kampanye partai politik
lebih menekankan pada sentimen primordial dan nama besar
tokoh partai, sehingga pilihan
konstituenpun tidak berdasarkan pertimbangan rasional
program dan citra calonnya.
Sebagai bukti dapat diungkapkan bahwa perbedaan pilihan
untuk DPR, DPRD Propinsi dan DPRD
Kota/Kabupaten hanya 0,04%.57
Akibatnya, saat ini sulit untuk
menggunggat pertanggungjawaban wakil rakyat58.
Penilaian negatif seseorang
terhadap wakil rakyat akan dengan mudah terhapus oleh nama
besar dari partai. Sistem pemilu
tahun 1999, juga melahirkan hegemoni kekuasaan partai
politik59. Kekuasaan
partai politik sangat besar dalam menentukan calon dan apa yang harus
52 Jimly Asshiddiqie, Menuju
Struktur Parlemen Dua Kamar, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional
tentang Bikameralisme yang
diselenggarakan oleh Forum Rektor Indonesia bekerjasama dengan National
Democratic Institut, di Medan, 12
Juni 2001.
53 Namun hingga saat ini masih
terjadi tarik menarik di DPR apakah akan menempatkan DPD sebagai lembaga
perwakilan yang kuat seperti
lembaga Senat di Amerika Serikat. Bahkan ada suara yang ingin mengurangi
peran DPD. Lihat Agus Haryadi,
Bikameral Setengah Hati, Harian KOMPAS, 15 Mei 2002.
54 Jadi masalah pemberantasan KKN
tidak hanya masalah korupsi dan penciptaan clean and good governance
tetapi merupakan masalah
sistemik, termasuk masalah pilihan sistem pemilu.
55 ACE Project, Sistem Pemilu,
Diterbitkan atas kerjasama IDEA, United Nations, dan IFES, (Jakarta, 2001),
hal. 99 – 108.
56 Namun harus diakui bahwa dalam
banya hal, terutama dalam pelaksanaannya, pemilu 1999 telah jauh lebih
baik dibanding pemilu sebelumnya
di masa orde baru. Lihat Miriam Budiarjo, Pemilu 1999 dan Pelajaran
Untuk Pemilu 2004, Makalah untuk
Centre for Electoral Reform (CETRO), Jakarta, 9 September 1999.
57 Data ini pernah diungkapkan oleh
Anas Urbaningrum, anggota Komisi Pemilihan Umum, pada forum diskusi
di Center for Good Governance
Studies, Jakarta, Oktober 2002.
58 Seperti kasus banyaknya anggota
DPR yang tidak menghadiri sidang, sampai saat ini belum ada mekanisme
masyarakat meminta
pertanggungjawaban wakilnya. Lihat Potret Suram Dari Senayan, FORUM Keadilan
No.
34, Edisi 22 Desember 2002, hal.
82-83.
59 Karena partailah yang menentukan
apakah seseorang dapat menjadi calon legislative atau tidak, dan partai
juga yang menentukan apakah
seseorang calon menempati urutan calon jadi atau tidak.
24
diperbuat wakil rakyat. Sistem
pemilu tahun 1999 ternyata telah mengukuhkan budaya
politik yang abstrak, paternalis,
dan tidak bertanggungjawab.
Rancangan Undang-Undang Pemilihan
Umum yang saat ini sedang dibahas di DPR,
dalam beberapa hal mencoba untuk
menutup berbagai kekurangan dalam sistem pemilu yang
digunakan tahun 1999. Dengan
menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka
diharapkan dapat dicapai aspek
representasi dari sistem proporsional dan aspek akuntabilitas
dari sistem distrik.
Sistem ini tentu saja memiliki
sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif bagi
perkembangan partai politik
adalah; pertama, mengalihkan konflik penyusunan daftar nama
calon dalam partai politik 60 . Sebelumnya,
konflik tidak sehat, karena keputusannya
tergantung pada pimpinan partai.
Dalam sistem proporsional dengan daftar terbuka calon
tidak disusun berdasarkan
peringkat. Calon jadi adalah calon yang mendapatkan jumlah
suara tertentu menurut peringkat
sesuai jatah kursi daerah setempat. Kedua, karena seorang
calon nasibnya ditentukan oleh
suara yang didapat, maka calon tersebut terutama harus
berkampanye di daerahnya61.
Kampanye dengan menghadirkan
tokoh tertentu diluar daerah pemilihannya menjadi
kurang berarti bagi terpilihnya
seorang calon. Kampanye yang dilakukan harus menyentuh
kebutuhan riil masyarakat, dan
masyarakat bisa menggugat serta mengkoreksinya pada
pemilu kemudian. Ketiga, dengan
sistem tersebut, akan mengeliminasi hegemoni partai
politik terhadap wakil rakyat dan
memperdekat jarak wakil rakyat dengan konstituennya.
Sisi positif bagi masyarakat,
adalah pembangunan budaya politik yang rasional.
Pertama, masyarakat tidak hanya
memilih tanda gambar partai, tetapi juga memilih calon
yang akan mengisi kursi partai
tersebut. Sehingga sangat mungkin partai pilihan pemilih
berbeda antara DPRD
Kota/Kabupaten, DPRD Propinsi, dan DPR. Masyarakat juga belajar
kalkulasi rasional terhadap citra
dan program wakil rakyat. Kedua, kepentingan-kepentingan
daerah atau isu-isu lokal menjadi
mendapatkan tempat dalam perpolitikan Indonesia62.
60 Dengan demikian money politik
dalam tubuh partai bisa diminimalisir dan menyerahkan pilihan calon
kepada pemilih.
61 Hal ini bisa digunakan untuk
mengimbangi kampanye model mobilisasi massa seperti yang selalu dilakukan
pada masa lalu yang lebih
merupakan pembodohan terhadap pemilih.
62 Pilihan menjadi tergantung pada
program dan calon dari partai untuk tiap tingkat perwakilan, bukan pada
partai politik.
25
Sedangkan sisi negatifnya adalah
pelaksanaannya yang cukup rumit dan
membutuhkan pengetahuan pemilih
yang detil dan lengkap. Dengan kondisi masyarakat
Indonesia yang tingkat
pendidikannya rendah, pelaksanaan sistem ini memang cukup sulit.
Belum lagi masalah teknis lain,
seperti bentuk surat suara, waktu yang digunakan untuk
memilih dan waktu penghitungan
suara.
Namun kendala tersebut bukan
berarti tidak bisa diselesaikan. Kendala kesadaran dan
pengetahuan pemilih bisa diatasi
apabila ada proses voter education yang memadai dalam
tahapan pemilu. Proses ini tentu
saja tidak hanya dilakukan oleh KPU sebagai pelaksana
pemilu, tetapi juga oleh elemen
masyarakat yang lain. 63
Kendala
kerumitan proses
kampanye, pemilihan, dan
penghitungan, juga bisa diatasi dengan pemisahan pelaksanaan
pemilu. Disamping karena pokok
persoalan pemilihannya berbeda, hal ini juga akan
memperkukuh kalkulasi rasional
masyarakat pada masing-masing pemilihan.
Namun lagi-lagi upaya perubahan
ini menghadapi tembok kekuasaan yang saat ini
berada dalam bangunan partai
politik. Enam partai besar sudah menunjukan indikasi
penolakan sistem proporsional
dengan daftar terbuka. Berbagai alasan dikemukakan mulai
dari yang ideologis sampai pada
yang teknis.
Penolakan tersebut dapat
dimaklumi karena; pertama, sistem ini akan memperlemah
kontrol partai politik terhadap
wakil rakyat. Kedua, sistem ini akan menimbulkan kesadaran
kritis pemilih. Pemilih yang
sadar tidak akan lagi terikat secara emosional tetapi lebih pada
citra dan program calon wakil
rakyat. Akibatnya, partai yang tidak memiliki program yang
sungguh-sungguh akan
ditinggalkan. Ketiga, sistem ini membutuhkan proses kampanye
yang panjang, dialogis dan
menitikberatkan pada pendidikan politik, padahal partai politik
saat ini lebih menyukai proses
mobilisasi massa.
Tembok penghalang tersebut sangat
kukuh, karena bermukim dalam lembaga DPR
dan pemerintahan. Kedua institusi
inilah yang secara yuridis normatif memegang kekuasaan
membentuk Undang-undang.
Tampaknya harapan memperoleh wakil rakyat yang lebih
bertanggungjawab sulit terwujud.
63 Patut diingat bahwa pada Pemilu
1999 proses pendidikan pemilih (voter education) lebih banyak dilakukan
oleh ormas dan LSM dari pada yang
dilakukan oleh pemerintah. Lihat Laporan Masyarakat Transparansi
dalam; Duit Mengalir Sampai Jauh,
Proses Demokrasi yang Mahal, MEDIA TRANSPARANSI, Edisi 09 Juni
1999.
26
D. Penutup
Pemikiran hukum di Indonesia
hingga saat ini masih didominasi oleh dua aliran
besar, yaitu positivis dan
sociological jurisprudence. Aliran positivis terutama dipegang oleh
kalangan aparat penegak hukum,
akademisi dan birokrasi, sehingga seringkali menjadi
penghalang perkembangan hukum
serta mengalami kebuntuan ketika menghadapi
kasus-kasus baru.
Sedangkan aliran sociological
jurispurudence banyak tergambar dari perilaku dan
aktivitas politisi terutama
lembaga pembuat undang-undang (legislatif). Aliran ini awal
mulanya diterapkan pada masa orde
baru untuk mendukung program-program pembangunan
orde baru dan melanggengkan
kekuasaan dengan menjaga stabilitas politik. Saat ini yang
tersisa adalah menjadikan hukum
sebagai ajang legiitimasi dalam memperoleh dan
melanggengkan kekuasaan.
GSHK sendiri masih sangat baru
bagi kalangan hukum di Indonesia. Perkembangan
awal GSHK digunakan oleh kalangan
aktivis LSM untuk memahami kebijakan dan struktur
hukum yang menindas. Hal ini
sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang
cenderung kritis dengan
menggunakan pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis.
Saat ini Indonesia berada dalam
masa transisi yang ditandai oleh pergulatan
kekuatan-kekuatan yang mencoba
untuk mendominasi baik dari dalam negeri maupun
kekuatan kapitalis internasional.
Maka sudah saatnya pemikiran-pemikiran GSHK juga
digunakan untuk memahami,
mengkritik, membangun, dan menerapkan hukum di Indonesia.
27
Daftar Pustaka
ACE Project. Sistem Pemilu.
Diterbitkan atas kerjasama IDEA. United Nations dan IFES.
Jakarta. 2001.
Baqir Ash-Shadr, Sayyid Al-Islam
Ayatullah Al-„Uzhma As-Sayyid Muhammad.
Falsafatuna. terjemahan M. Nur
Mufid bin Ali. Cetakan VI. Bandung. Mizan. 1998.
Beilharz, Peter. Teori-Teori
Sosial. (Social Theory: A Guide to Central Thinkers).
penerjemah: Sigit Jatmiko.
Jogjakarta. Pustaka Pelajar. 2002.
Boyle, James. The Politics Of
Reason; Critical Legal Theory And Local Social Thought.
University of Pennsylvania
Review. April 1985.
Chand, Hari. Modern
Jurisprudence. International Law Book Service. Kuala Lumpur. 1994.
Durkheim, Emil. The Sociology of
Knowledge, http://www.hewett.norfolk.sch.uk/curric/
soc/ durkheim/ durkw4.htm,
diakses 6 Nopember 2002.
Friedmann,W. Teori dan Filasafat
Hukum; Susunan I. (Legal Theory). terjemahan:
Mohamad Arifin. Cetakan Kedua.
Jakarta. PT. Raja Grafindo Perkasa. 1993.
Gidden, Antony. The Third Way.
Jakarta. PT. Gramedia Pustaka. 1999
Gramsci, Antonio. The Prison
Notebooks. http://www.kb.dk/elib/bio/gramsci/soerensen/
gramsum/. diakses tanggal 6
Nopember 2002.
Gordon, Robert dan Thomas Kearn
(editor). Law in the Domains of Culture. (University of
Michigan Press. 1998.
Habermas, Jurgen. Knowledge and
Human Interest. Chapter Three. Polity Press. 1968.
Horwitz, Morton J. The
Transformation Of American Law. 1870-1960 by. New York:
Oxford University Press. 1992
Jaine Mileaf on Levi-Strauss,
"Science of the Concrete", http://dept.english.upenn.edu/
~jenglish/Courses/mileaf.html,
diakses 23 Oktober 2002.
Kennedy, D. The Structure of
Blackstone‟s Commentaries‟ . Buffalo Law
Review. 1979.
hal. 47.
Mannheim, Karl. Ideologi dan
Utopia. judul asli: Ideology and Utopia. penerjemah: F. Budi
Hardiman.. Cetakan Kedua.
Yogyakarta. Kanisius. 1991.
28
Marcuse, Herbert. The Paralysis
of Criticism: Society Without Opposition, http//cartoon.
iguw.tuwien.ac.at/Christian/marcuse.htm,
diakses tanggal 6 Nopember 2002.
Parson, Talcot. Essei-Essei
Sosiologi Talcot Parson. (Talcot Parson Essays Sociology).
Jakarta. Aksara Persada Press.
1986.
Poloma, Margareth M. Sosiologi
Kontemporer. (Contemporary Sociological Theory).
terjemahan Tim YASOGAMA. Cetakan
kedua. Jakarta. CV. Rajawali. 1987.
Rizal, Jufrina dan Agus
Brotosusilo (peny). Filsafat Hukum. Buku Ke-II. Program
Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. September 2001.
Scheppele, Kim Lane. Legal Theory
and Social Theory. Annual Review of Sociologi.
Annual 1994 v20.
Simon, Roger. Gagasan-Gagasan
Politik Gramsci. Jakarta. Pustaka Pelajar dan Insist Press.
2000.
Suseno, Franz Magnis. Etika
Politik. Cetakan kelima. Jakarta. PT. Gramedia. 1999.
………………………. Pemikiran Karl Marx;
Sosialis Utopis Ke Perselisihan Revisionis.
Jakarta. PT. Gramedia, 2001
The Fallacies of Egoism and
Altruism, and the Fundamental Principle of Morality,
http://www.friesian.com/moral-1.htm,
diakses tanggal 17 Desember 2002.
Unger, Roberto M. Gerakan Studi
Hukum Kritis. judul Asli: The Critical Legal Studies
Movement. penerjemah: Ifdhal
Kasim. Cetakan Pertama. Jakarta. ELSAM. 1999.
………………….. The Critical Legal
Studies Movement. First Edition. Cambridge. Harvard
University Press. 1983.
Makalah
Asshiddiqie, Jimly. Menuju
Struktur Parlemen Dua Kamar, Makalah disampaikan dalam
Seminar Nasional tentang
Bikameralisme yang diselenggarakan oleh Forum Rektor
Indonesia bekerjasama dengan
National Democratic Institut, di Medan, 12 Juni
2001.
Budiarjo,Miriam. Pemilu 1999 dan
Pelajaran Untuk Pemilu 2004. Makalah untuk Centre for
Electoral Reform (CETRO).
Jakarta. 9 September 1999.
29
Media Massa
Duit Mengalir Sampai Jauh; Proses
Demokrasi yang Mahal. MEDIA TRANSPARANSI.
Edisi 09 Juni 1999.
Haryadi, Agus. Bikameral Setengah
Hati. Harian KOMPAS, 15 Mei 2002.
Potret Suram Dari Senayan. FORUM Keadilan No. 34
Edisi 22 Desember 2002.
0 komentar:
Posting Komentar