alt/text gambar

Rabu, 24 Februari 2016

Topik Pilihan:

GERAKAN STUDI HUKUM KRITIS (Critical Legal Studies Movement)

Oleh: Muchamad Ali Safa‟at



Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang muncul pada tahun tujuh

puluhan di Amerika Serikat. Gerakan ini merupakan kelanjutan dari aliran hukum realisme

Amerika yang menginginkan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami hukum,

tidak hanya seperti pemahaman selama ini yang bersifat Socratis.1 Beberapa nama yang

menjadi penggerak GSHK adalah Roberto Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel,

Mark Tushnet, Kelman, David trubeck, Horowitz, dan yang lainnya. Critical Legal Studies

oleh Ifdhal Kasim diterjemahkan dengan istilah bahasa Indonesia Gerakan Studi Hukum

Kritis (GSHK)2. Istilah yang akan digunakan dalam tulisan ini selanjutnya adalah Gerakan

Studi Hukum Kritis disingkat GSHK.

Perbedaan utama antara GSHK dengan pemikiran hukum lain yang tradisional adalah

bahwa GSHK menolak pemisahan antara rasionalitas hukum dan perdebatan politik. Tidak

ada pembedaan model logika hukum; hukum adalah politik denga baju yang berbeda.

Hukum hanya ada dalam suatu ideologi. GSHK menempatkan fungsi pengadilan dalam

memahami hukum sebagai perhatian utama3.
Walaupun menolak dikatakan sebagai tipe pemikiran Marxis yang membedakan
antara suprastruktur dan infrastruktur4 serta hukum sebagai alat dominasi kaum kapitalis,
GSHK mendeklarasikan peran untuk membongkar struktur sosial yang hierarkhis. Struktur
1 Karena Studi Hukum Kritis merupakan kelanjutan sekaligus kritik terhadap aliran hukum realisme Amerika,
maka untuk memahami pemikiran studi hukum kritis diperlukan dasar pemahaman atas pemikiran realisme
hukum Amerika, mengingat dasar pijakan kritisisme Studi Hukum Kritis adalah realisme Amerika.
2 Roberto M. Unger, Gerakan Hukum Kritis, (Critical Legal Studies), diterjemahkan oleh Ifdhal Kasim,
(Jakarta, ELSAM, 1999).
3 Yang menjadi perhatian utama adalah faktor-faktor yang mempengaruhi hakim dalam membuat keputusan
hukum. Hal ini sesuai dengan sistem hukum Common Law Amerika Serikat. Jadi pada hakekatnya perhatian
utama tidak hanya pada penerapan hukum, tetapi juga pada pembuatan hukum.
4 Menurut pemikiran Karl Marx, struktur sosial terdiri dari supra struktur dan infra struktur. Supra struktur
ditentukan oleh infra struktur. Infra struktur adalah kehidupan ekonomi (penguasaan modal) dan supra struktur
adalah bidang sosial lainnya (hukum, politik, budaya, dan lain-lain). Lihat, Franz Magnis Suseno, Pemikiran
Karl Marx; Sosialis Utopis Ke Perselisihan Revisionis, Jakarta, PT. Gramedia, 2001.
2
sosial merupakan wujud ketidakadilan, dominasi, dan penindasan. Tugas kalangan hukum
adalah membawa perubahan cara berpikir hukum dan perubahan masyarakat. Pemikiran ini
terinspirasi pemikiran filsafat kritis dari Jurgen Habermas 5 , Emil Durkheim 6 , Karl
Mannheim, Herbert Marcuse7, Antonio Gramsci8, dan lain-lain. Jurgen Habermas, Karl
Mannheim, Herbert Marcuse, dan Antonio Gramsci adalah tokoh-tokoh utama mahzab kritis.
Filasafat kritis adalah salah satu aliran filasat yang berkembang dengan menggunakan
pendekatan kritis terhadap realitas sosial. Aliran ini diilhami oleh pemikiran Hegel dan Karl
Marx. Aliran ini berkembang mulai dari Mahzab Frankfurt sampai dengan Post
Modernisme.9
Pendukung GSHK memahami dan menggunakan pemikiran hukum dan teori-teori
sosial secara lebih intensif dibanding kaum realis. Mereka telah banyak menghancurkan
segala hal yang berlaku dalam hukum10. Namun banyak juga yang mengkritik bahwa hanya
sedikit dari pemikir GSHK yang menawarkan model yang konstruktif.
Tulisan ini bertujuan untuk mengenal secara singkat pemikiran-pemikiran dalam
GSHK dari berbagai ahli hukum, kelebihan dan kekurangannya, serta konteksnya dengan
perkembangan hukum di Indonesia. Sebagai pijakan awal pada bagian pertama, akan
diuraikan pemikiran GSHK yang dijelaskan dalam buku Modern Jurisprudence tulisan Hari
Chand, disertai dengan beberapa kritikan yang ada dalam buku tersebut.11 Dikatakan sebagai
pijakan awal, karena pada bagian ini juga akan diberikan beberapa penambahan baik secara
langsung maupun dalam catatan kaki hal-hal yang terkait dengan pembahasan GSHK dari
sumber lain.
Pada bagian kedua akan diuraikan beberapa pemikiran lain dari GSHK yang tidak
dibahas dalam buku Modern Jurisprudence. Bagian ketiga, setelah mengetahui pemikiran
5 Jurgen Habermas, Knowledge and Human Interest, Chapter Three, (Polity Press, 1968).
6 Emil Durkheim, The Sociology of Knowledge, http://www.hewett.norfolk.sch.uk/curric/soc/ durkheim/
durkw4.htm, diakses 6 Nopember 2002.
7 Herbert Marcuse, The Paralysis of Criticism: Society Without Opposition, http//cartoon.iguw. tuwien.ac.at/
Christian/marcuse.htm, diakses tanggal 6 Nopember 2002.
8 Antonio Gramsci, The Prison Notebooks, http://www.kb.dk/elib/bio/gramsci/soerensen/gramsum/, diakses
tanggal 6 Nopember 2002.
9 Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial, (Social Theory: A Guide to Central Thinkers), penerjemah: Sigit Jatmiko,
(Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2002).
10 GSHK menolak pemisahan antara ilmu hukum dengan ilmu sosial lainnya.
11 Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur, International Law Book Services, 1994), hal. 239-253
3
GSHK, merupakan analisis terhadap keseluruhan Pemikiran GSHK dengan tujuan untuk
menemukan kekuatan dan kelemahan dari GSHK, baik pada tataran teoritis maupun dalam
pelaksanaannya.
Bagian tersebut akan dirangkaikan dengan penerapan pemikiran GSHK untuk
menganalisis hukum di Indonesia12. Bagian akhir adalah penutup dari seluruh tulisan ini
yang lebih merupakan catatan akhir bagaimana menyikapi GSHK dari pada sebuah
kesimpulan sebagaimana lazimnya sebuah tulisan.
A. Gerakan Studi Hukum Kritis
Seperti praktik pemikiran hukum sebelumnya, American Legal Realist, GSHK
melanjutkan tradisi pengkajian empiris terhadap hukum. Tetapi pendekatan yang digunakan
adalah paradigma-paradigma ilmu sosial "kiri"13 seperti aliran Marxisme, teori kritis mazhab
Frankfurt, neo-Marxis, Strukturalisme, dan lain-lain 14 . Hal ini tidak berarti GSHK
merupakan pewaris pandangan-pandangan tersebut, namun memanfaatkannya secara
ekletis15. Secara radikal GSHK menggugat teori, doktrin atau asas-asas seperti netralitas
hukum (neutrality of law), otonomi hukum (autonomy of law), dan pemisahan hukum dengan
politik (law politics distinction)16.
12 Pada bagian ini akan dianalisis proses pembahasan RUU Pemilu yang saat ini sedang dilakukan di DPR untuk
menunjukan beberapa kontruksi pemikiran yang mewarnainnya dan kepentingan-kepentingan kelas yang ikut
ambil bagian.
13 Terminologi “kiri” memiliki beberapa makna. Makna klasik pembedaan antara “kiri” dam “kanan” adalah
“kiri” mewakili pemikiran sosialis dan “kanan” mewakili pemikiran “kapitalis”. Terminologi yang lebih luas
adalah “kiri” mewakili pemikiran kritis yang anti kemapanan, sedangkan “kanan” adalah pemikiran konservatif
(pemikiran yang mapan). Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan pemikiran “kiri” adalah pemikiran kritis
yang anti kemapanan.
14 Pada akhirnya, pembedaan antara pemikiran “kiri” dan “kanan” tidak lagi mewakili pemikiran
sosialis-marxis versus kapitalis-konservatis, tetapi lebih menunjukan fenomena sebagai diskursus
tesis-antitesis-sintesis.
15 Ekletik adalah salah satu metode ilmiah dengan cara menggabungkan bagian-bagian dari suatu pemikiran
atau konsepsi yang baik, kemudian dirangkai menjadi struktur konsepsi yang baru.
16 W. Friedmann, Teori dan Filasafat Hukum; Susunan I, (Legal Theory), terjemahan: Mohamad Arifin,
Cetakan Kedua, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Perkasa, 1993), hal. 169 – 200.
4
Gerakan Studi Hukum Kritis dan Pemikiran Hukum Amerika
Sampai tahun 1850, pendapat umum menyatakan bahwa hakim memutus perkara
dengan menggunakan pertimbangan kebijakan (instrumental view). Mulai pada tahun 1890,
pandangan yang dianut kemudian adalah bahwa hakim memutuskan perkara dengan
penerapan suatu peraturan tersendiri yang tepat17. Setelah tahun 1937, paham hukum realis
berpendapat bahwa pencarian obyektivitas, dan sistem pemikiran hukum yang tidak
memihak adalah ilusi semata. Gerakan kaum realis menciptakan ketidakpercayaan terhadap
peradilan dan menambah kekuasaan pakar dan aparat negara. Menurut kaum realis, hukum
dan moralitas itu terpisah. Sementara paham kontemporer menyatakan bahwa antara hukum
dan moralitas memiliki hubungan yang erat. Hukum adalah suatu ilmu moral dan hakim
memutus sebagai seorang aparat moral. Ronald Dworkin dan Posner menemukan moralitas
yang berada dalam hukum kebiasaan.18
Kritik terhadap Liberalisme
Unger mengkritik liberalisme yang menurutnya menghasilkan perubahan moral
individu dan politik masyarakat modern yang berbahaya. Lisberalisme membengkokan
moral, intelektual, dan sisi spiritual seseorang. Maka dia melontarkan suatu kritik yang
menyeluruh. Dia menemukan "struktur mendalam" dari liberalisme yang terdiri dari enam
prinsip; (1) rasionalitas dan hawa nafsu, (2) keinginan yang sewenang-wenang, (3) Analisis,
(4) Aturan-aturan dan nilai-nilai, (5) nilai subyektif, dan (6) individualisme. 19 Dia
menunjukan antinomi yang ada antara rasionalitas dan hawa nafsu, antara aturan dan nilai.
Untuk menyelesaikan antinomi tersebut, ada dua jalan, yaitu; pertama, suatu penyelesaian
politis untuk mewujudkan transformasi kondisi kehidupan sosial di mana dominasi harus
dihilangkan karena menimbulkan nilai yang kebetulan dan berubah-ubah. Kedua, suatu
17 Dalam sistem Common Law, yang dimaksud peraturan sebagai dasar hakim membuat keputusan terutama
adalah keputusan hakim lain yang telah ada sebelumnya (yurisprudensi), sedangkan dalam negara dengan
sistem Civil Law, peraturan adalah undang-undang.
18 Roberto M. Unger, Op. Cit. hal. XV.
19 Dalam masyarakat liberal, ternyata kesejahteraan yang menjadi tujuan utama doktrin laize faire tidak bisa
terpenuhi karena adanya ketidaksamaan kekuatan dan nafsu keserakahan manusia sehingga menciptakan
penderitaan pada sebagian besar anggota masyarakat. Kesejahteraan hanya dinikmati oleh sekelompok orang
yang memiliki kekuatan lebih sehingga dapat bersaing. Lihat, James Boyle, The Politic of Reason: Critical
Legal Theory And Local Social Thought, (University of Pennsylvania Law Review, April, 1985), hal. 4.
5
revolusi teroritis dibutuhkan untuk menciptakan suatu sistem berpikir yang berdasar pada
kebaikan umat manusia. Alan Hunt menyatakan bahwa kritik liberalisme ini tidak sesuai
dengan ilmu hukum modern kontemporer yang paling banyak berpengaruh.
Dominasi dan Hierarkhi
GSHK menyatakan bahwa masyarakat liberal dipenuhi dengan dominasi dan
hierarkhi. Kelas atas membentuk struktur yang berlaku bagi lainnya untuk memperlancar
kehidupannya.20 Negara hukum yang ideal adalah yang dapat menandai kontradiksi dan
hierarkhi dalam masyarakat liberal. Jika dikatakan bahwa hukum tidak bertugas untuk
menemukan kebenaran, tetapi menemukan kompleksitas yang telah ada, maka teori hukum
tidak akan bermakna tanpa teori sosial. Kebenaran pernyataan tentang kehidupan sosial
sesungguhnya telah dikondisikan oleh seluruh sistem sosial yang berlaku21. Kebenaran
bersifat relatif menurut masyarakat tertentu atau kelompok sejarah tertentu22.
Seseorang secara keseluruhan struktur sosial adalah produk sejarah, bukan alam.
Sejarah dipenuhi dengan pertentangan-pertentangan, dan aturan sosial merupakan garis
pemisah yang menggambarkan posisi masing-masing. Kekuatan menjadi hak, kepatuhan
menjadi tugas, dan untuk sementara pembagian hierarkhi sosial menjadi kabur23.
GSHK mencoba untuk mempengaruhi realitas sosial. Struktur yang ada merupakan
penggunaan kepercayaan dan asumsi yang menciptakan suatu masyarakat dalam realitas
hubungan antar manusia. Struktur kepercayaan atau ideologi tersebut memiliki potensi
terselubung dalam tendensinya untuk mempertahankan dinamikanya sendiri untuk
20 Pemikiran ini telah banyak diungkapkan dalam berbagai teori seperti masyarakat kelasnya Karl Mark (negara
sebagai alat penindas), dan teori Hegemoni dari Antonio Gramsci. Lihat, Franz Magnis Suseno, Etika Politik,
Cetakan kelima, (Jakarta, PT. Gramedia, 1999), hal. 259 – 277. Sedangkan Pemikiran Gramsci dapat dibaca
dalam Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, diterjemahkan oleh:Kamdani dan Imam Baihaqi,
diterbitkan atas kerjasama Insist Press dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2000.
21 Talcot Parson, Essei-Essei Sosiologi Talcot Parson, (Talcot Parson Essays Sociology), (Jakarta, Aksara
Persada Press, 1986), hal. 293-310.
22 Untuk mengungkapkan struktur hierarkhi dan pola dominasi yang ada dalam masyarakat GSHK banyak
menggunakan pola piker filsafat kritis seperti konsepsi Hegemoni dari Gramsci, Diskursus Prakis Rasional dari
Herbert Marsuce, serta Masyarakat Komunikatif dari Jurgen Habermas.
23 Aturan sosial dapat digunakan untuk melihat kekuatan sosial mana yang dominan dalam hierarki sosial.
Aturan sosial merupakan hasil dari proses pertarungan kepentingan-kepentingan dalam struktur sosial.
6
menciptakan doktrin hukum yang menyalahkan kondisi dan alam24. Bagi GSHK, kesadaran
hukum adalah alat yang berhubungan dengan pikiran untuk melakukan penindasan. Hal ini
merupakan cara untuk menyembunyikan atau menghindari kebenaran fundamental bahwa
segala sesuatu itu dalam proses perubahan dan kehadiran.25
Penekanan pada pengaruh eksternal
Para ahli hukum banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti sosial,
ekonomi, politik dan psikologi, tetapi kaum GSHK lebih menekankan pada konteks sosial
dan politik. Interpretasi banyak dipengaruhi oleh kondisi historis, maka prinsip-prinsip dan
rasionalitas hukum tidak kebal dari pengaruh-pengaruh sosial dan politik. Mereka
menegaskan bahwa pemikiran hukum mempengaruhi perubahan hukum dan melegitimasi
tatanan sosial yang telah ada dengan cara yang berlaku tanpa terasa26.
Kritik terhadap Teori Hukum
Alirah Hukum kritis merupakan kritik dari teori hukum yang menuntut bahwa
pendekatan doktrinal itu cacat, dengan prinsip-prinsip abstrak seperti kemerdekaan,
kebebasan berkontrak dan hak milik dapat menimbulkan kontradiksi dalam berbagai hal27.
Mereka menggunakan teknik-teknik sosiologis, antropologis, dan ideologis dalam tatanan
hukum. Mereka mencoba melukiskan penekanan antara ide normatif dan struktur sosial.
GSHK menunjukan bagaimana hukum memberikan konstribusi terhadap stabilitas dan
mengabadikan tatanan sosial yang ada. Duncan Kenedy dalam The Structure of
Blackstone’s Commentaries merupakan salah satu contoh bagus dari metode ini yang
24 Lewis Cases, Strukturalisme Konflik I: Mempertahankan Struktur Melalui Konflik, dalam Margareth M.
Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Contemporary Sociological Theory), terjemahan Tim YASOGAMA,
Cetakan kedua, (Jakarta, CV. Rajawali, 1987), hal. 106-165.
25 Karena keinginan untuk mempertahankan struktur lama itulah, maka kaum konservatif menolak
pemikiran-pemikiran baru walaupun merupakan kebenaran. Penolakan ini dapat dilakukan dengan berbagai
cara yang merupakan penindasan dari yang bersifat psikis hegemonic sampai dengan menggunakan cara-cara
kekerasan fisik. Lihat, Margareth M. Poloma, ibid.
26 Pemikiran hukum terbentuk dari pemikiran sosial lainnya. Pemikiran sosial terbentuk dalam dan dari struktur
sosial yang merupakan produk dan konstruksi sejarah. Jadi, pemikiran hukum tanpa terasa seringkali
melegitimasi struktur sosial yang telah ada.
27 Kontradiksi kapitalisme dan liberalisme telah banyak diungkap oleh Karl Marx dan pemikiran Marxian yang
lain. Kontradiksi dalam masyarakat liberal modern juga ditunjukan oleh Antony Gidden dalam bukunya The
Third Way. Antony Gidden, The Third Way, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka, 1999).
7
menggambarkan analisis mendalam tentang bagaimana komentar-komentar tersebut
melegitimasikan praktek-praktek sosial yang telah ada di Inggris waktu itu. Dengan jalan ini
Kennedy dapat menunjukan bahwa keseluruhan pemikiran hukum modern memberikan
sumbangan terhadap stabilitas suatu tatanan sosial.
Sedangkan Unger melihat mainstream aliran hukum dan ekonomi sebagai salah satu
aliran utama yang melayani hak politik, aliran hak dan prinsip yang melayani sentralisme28.
Instrumen utama aliran hukum dan ekonomi adalah penggunaan yang samar-samar atas
konsepsi pasar.29
Penghilangan dan Pengafkiran Ortodoksi
GSHK berpendapat bahwa pen-delegitamasi-an diperlukan untuk mengangkat
kemungkinan-kemungkinan yang mengekspresikan realitas. Sesuatu harus membebaskan
diri terlebih dahulu dari ilusi-ilusi mistik30 yang mewujud dalam kesadaran dengan jalan
dunia hukum liberal dan aktivitas kritis yang dapat membebaskan masa depan. Tetapi hal ini
sangat tergantung pada seseorang untuk mengadopsi filsafat ini atau tidak. Sebagai sebuah
teori untuk tindakan politik, GSHK sendiri penting, seseorang harus memiliki pandangan
terhadap tanggungjawabnya sendiri.
Unger menawarkan sebuah "struktur dari non struktur", suatu komitmen terhadap
penataan sosial yang akan selalu menjadi perdebatan dan percobaan dalam berbagai macam
kehidupan sosial. Dia mencoba melakukan suatu “perputaran kapital” dana untuk
membiayai program individual dan untuk memberikan akibat pada desentralisasi produksi
dan perdagangan31. Dia menyarankan penciptaan empat macam hak:
28 Hal ini paralel dengan pemikiran Karl Mark bahwa hukum adalah supra struktur yang ditentukan oleh infra
struktur (penguasaan model). Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Op Cit. hal. 265.
29 James Boyle, Op Cit., hal. 4.
30 Ilusi mistik dalam hal ini bukan berarti ilusi mistik yang ada pada masyarakat primitif, yaitu kepercayaan
terhadap roh-roh halus, tetapi keyakinan-keyakinan tanpa adanya bukti dan dasar pemikiran yang kuat seperti
doktrin hukum murni, doktrin moralitas, doktrin keharusan sejarah yang banyak diterima begitu saja. Janine
Mileaf, Levi Straus “Science of Concrete”, http//dept.English.open.edu/ diakses tanggal 23 Oktober 2002.
31 Konsepsi tentang perputaran modal untuk mengatasi kelemahan kapitalisme juga bisa dipelajari dalam buku
The Third Way dari Anthoni Gidden terutama konsep investasi sosial. Pemikiran Gidden banyak
mempengaruhi kebijakan Partai Buruh Inggris terutama Perdana Menteri Tony Blair serta Kanselir Jerman
Gerald Shcroeder. Pemikiran ini banyak diterima di Eropa terbukti dengan kemenangan partai buruh di
negara-negara Eropa. Lihat http://www.third-way.com/.
8
1. Hak kekebalan yang memberikan kekuasaan untuk melawan intervensi dan dominasi
oleh individu atau organisasi lain, termasuk negara.
2. Hak de-stabilisasi yang menuntut untuk meruntuhkan praktek institusi dan
bentuk-bentuk sosial yang telah ada.
3. Hak pasar yang memberikan suatu pendakuan (claim) kondisional terhadap bagian
modal sosial yang dapat dibagi.
4. Hak solidaritas yang memupuk jalinan saling menguntungkan, loyalitas dan
pertanggungjawaban.
Hari Chand mengkritik struktur dari non struktur Unger ini membatasi pertentangan
sosial yang dituntut untuk difasilitasi. Hal ini tidak legitimate dan dapat diobyektifkan seperti
tatanan sosial yang lain32.
Penganut GSHK menempatkan negara sebagai pelaksana aksi transformasi yang
paling efektif. Kebebasan yang sebenarnya membutuhkan kehidupan sosial yang memiliki
instrumen untuk revisinya sendiri. Kebebasan sesungguhnya ada pada aktivitas penemuan
batas perbedaan antara kemampuan transendensi dan pembatasan struktur dimana disitulah
hidup dan perjuangan dari setiap perbedaan maksud pencapaian dan pengaburan tujuan.
Transformasi Sosial
Aliran kritis tidak percaya terhadap rekayasa sosial dan reformasi liberal, mereka
menginginkan untuk memajukan sosial melalui transformasi sosial. Mereka harus mencari
suatu potensi hukum dan sosial yang transformatif. Pencarian tersebut terutama dengan tiga
metodologi yaitu pengungkapan makna implisit text, teori sosial, dan kritik murni.
Penafsiran aturan hukum dilakukan untuk membuka idedologi, struktur dan materi, dan
kemudian mencoba memperlihatkan kebenaran-kebenaran yang bermukim dalam system
hukum. Dalam lapangan hukum, digambarkan bahwa doktrin hukum saat ini adalah tidak
efektif, tidak merepresentasikan perasaan dan pikiran umum rakyat33.
32 Dalam Buku Modern Jurisprudence terlihat bahwa Hari Chand lebih condong pada pemikiran sociological
jurisprudence.
33 Untuk bisa melakukan penafsiran dengan baik dan mengetahui kepentingan yang tersimpan dalam suatu teks,
dapat digunakan metode geneologi dan arkheologi. Geneologi adalah metode penelusuran makna teks melalui
pencarian makna leksikal. Sedangkan arkheologi adalah pencarian makna secara histori penggunaan teks
9
GSHK mempercayai bahwa sebuah teori harus merupakan hasil dari eksperimentasi
dan penyelidikan sosial sehingga dapat bersifat praktis untuk mengembangkan teori. Hal ini
paralel dengan pemikiran Karl Mark tentang makna obyektif praksis yang dimulai dari
kritiknya terhadap filsafat hingga doktrin materialisme historis 34 . Sebagai contoh,
mekanisme penyelesaian perselisihan diupayakan dengan persatuan dan partisipasi. Mereka
melihat dampak hukum terhadap nilai-nilai, persepsi sendiri dan ide-ide. Aliran kritis
memberontak terhadap tradisi masyarakat akademik sebagaimana mereka menolak ide-idee,
cita-cita atau suposisi dari pendidikan tradisional.35 Aliran hukum kritis ingin mencapai
mimpi transformasi sosial yang ambisius di bawah universitas.
Tema-tema pokok gerakan GSHK
Ketidakpastian
Positivisme menuntut bahwa memutuskan suatu kasus menunjuk pada ketetapan dan
kepastian. Namun GSHK menganggap bahwa klaim atas suatu kepastian adalah palsu. Baik
aturan hukum maupun ajaran prinsip-prinsip hukum dan pepatah tidak bisa digunakan untuk
menentukan hasil akhir dari suatu kasus. Rasionalitas hukum adalah semacam manipulasi.
Hal ini karena prinsip-prinsip, doktrin atau pepatah yang sama dapat digunakan untuk
lapangan kasus yang berbeda dengan hasil yang berlawanan atau berbeda. Berbagai aturan
hukum dan berbagai kata atau frase yang digunakan dalam aturan sangat rentan terhadap
berbagai penafsiran tergantung pada hakim menerima interpretasi yang mana. Singkatnya,
tidak tergantung pada substansi hukum, apalagi alasan rasio hukum. Yang ditolak adalah
bahwa seluruh hukum memiliki aturan yang tetap.
Namun menurut Hari Chand, positivis memang salah dengan menuntut hukum
memutuskan kasus sebagaimana GSHK juga salah karena melihat hukum sebagai
ketidakpastian. Kenyataan kepastian hukum juga ada tetapi tidak benar jika hal itu ada pada
masing-masing dan setiap hukum dan aturan atau sistem hukum. Pada suatu kasus yang
berat, mungkin tidak aturan hukum yang dapat dijadikan pedoman oleh hakim dan fakta
tersebut. Lihat, Kim Lane Scheppele, Legal Theory and Social Theory, Annual Review of Sociology, 1994, V.
20, hal. 383.
34 Sayyid Al-Islam Ayatullah Al-„Uzhma As-Sayyid Muhammad Baqir Ash-Shadr, Falsafatuna, terjemahan M.
Nur Mufid bin Ali, Cetakan VI, (Bandung, Mizan, 1998), hal. 51-54.
10
ketidakmenentuan banyak terdapat pada kasus-kasus yang berat. Namun tesis
ketidakmenentuan tidak dapat dibenarkan dalam banyak kasus lainnya.
Pertentangan
Bahwa doktrin hukum mengandung kontradiksi adalah pandangan pokok lain dari
aliran hukum kritis. Unger memberikan contoh hukum kontrak yang didasarkan atas prinsip
kebebasan untuk memilih dari patner dan ketentuan dan kondisi yang diinginkan para pihak
dan counterprinsip tidak boleh meruntuhkan aspek sosial kehidupan bersama dan tidak
dilakukannya transaksi dan bargaining yang tidak fair. Namun selalu ada suatu permainan
prinsip dominasi dalam hukum kontrak. Pada kenyataanya terdapat unsur dominasi dalam
kesatuan .
Prof. Finnis mengatakan bahwa Unger gagal untuk melihat bahwa seseorang dapat
mempertahankan seperangkat aturan dan doktrin dengan mewujudkan prinsip pertentangan
tanpa mendaku hal ini. Hal ini dikatakan oleh Chand bahwa pandangan unger tentang tesis
kontradiksinya tidak menunjukan bahwa sistem hukum menuju keruntuhan, namun hanya
mengindikasikan bahwa doktrin yang tidak sempurna tersebut harus diperbaiki agar sesuai
dengan situasi yang baru.
Legitimasi dan Kesadaran yang salah
Profesor Horwitz mengajukan sebuah tesis dalam bukunya The Transformation of
American Law, bahwa doktrin-doktrin hukum dibangun dengan bantuan pertumbuhan
industri dan maka melayani kepentingan ekonomis dari bagian masyarakat yang kaya. Tidak
semua aliran hukum kritis menerima pandangan yang terdengar seperti sebuah Marxisme
ortodok ini.36
Tesis lain yang dianut sebagian besar pendukung GSHK adalah bahwa hukum
melayani yang berkuasa melalui legitimasi. Sebagai contoh, penekanan pada hak dan aturan
hukum membuat rakyat percaya bahwa sistem hukum adalah semata-mata adil dan masuk
akal, sehingga seolah-olah tidak ada alternatif lain bagi rakyat. Beberapa orang tokoh GSHK
35 Kennedy, The Structure of Blackstones Commentaries 1979, (Buffalo Law Review), hal. 47.
11
menerapkan ide Antonio Gramci tentang ideologi dalam atmosfir hukum. Dalam buku
Prison Note37, Gramci menyatakan bahwa kelas penguasa memupuk kekuasaannya bukan
dengan kekuatan secara khusus tetapi juga dengan berbagai macam moral dan kepercayaan
sosial yang memaksa rakyat menerima sistem tersebut sebagai menguntungkan, dapat
mencapai keadilan dan bagus. Sama halnya sistem hukum mempropagandakan seperangkat
ide tentang kesejahteraan, perjanjian, hak individual dan aturan hukum yang mempengaruhi
pikiran rakyat bahwa ssstem tersebut pada dasarnya adil. Sebagai contoh, Klare
mendeskripsikan Hukum Perburuhan Amerika sebagai perwujudan suatu moral dan visi
politik yang berisi seperangkat kepercayaan, nilai, dan asumsi politik yang menyatu dalam
kekuasaan (yaitu pandangan dunia) dan yang melayani sebagai suatu pelegitimasian
ideologi.
Menurut Chand, Klaim GSHK bahwa hukum maju selangkah dan melegitimasi
aturan yang tidak adil dan sistem hukum yang tidak adil menimbulkan pertanyaan besar.
Seseorang dapat mengatakan bahwa hukum telah tidak mendapatkan monopoli untuk
mencetak kesadaran manusia. Mungkin pikiran seseorang cukup luas mementingkan akibat
dari penemuan manusia, termasuk hukum.
Aturan-aturan dan Standar-standar
Duncan Kennedy mempresentasikan suatu analisis tentang aturan-aturan dan
standar-standar. Ada dua bentuk aturan; bentuk formal yang umumnya penggunaannya jelas
dan pasti, sangat administratif, aturan umum dan bentuk yang mendukung penggunaan
standar yang sesuai. Legal Reasoning, ditujukan untuk kedua bentuk, hasilnya adalah semua
argumen hukum menunjukan ketidakstabilan dan pertentangan.
Kennedy menyatakan bahwa ada tiga dimensi dari bentuk-bentuk argumen:
1. Realisabilitas Formal
Kennedy meminjam bentuk Spirit of Roman Law yang dikemukakan Ihering untuk
menyampaikan ide bahwa kualitas keteraturan dalam peraturan ditentukan dalam
36 Morton J. Horwitz, The Transformation Of American Law, 1870-1960 by. (New York: Oxford University
Press, 1992).
37 Salah satu buku yang membahas pemikiran Gramsci yang telah diterjemahkan adalah Roger Simon,
Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Op Cit.
12
penentuannya atau persyaratan spesifik dari beberapa aspek kenyataan, misalnya, umur
tertentu dari seseorang dapat digunakan menentukan kapasitasnya, menentukan jumlah
kerusakan untuk tuntutan tertentu.38
Disamping Realisabilitas yang formal, kemampuan menyadari adalah sebuah standar
prinsip dan kebijakan, misalnya, persaingan sehat, kepedulian, keadilan, dll.
2. Generalisasi
Peraturan-peraturan dibuat untuk mencakup sebanyak mungkin situasi yang ada pada
kenyataannya. Beberapa peraturan lebih umum atau lebih khusus dari pada yang lainnya.
Semakin luas jangkauan peraturan, semakin serius ketidaktepatan diatas atau dibawah
tingkat pencapaian. Sebagai contoh, adalah mungkin untuk menyediakan suatu
perbedaan umur dari kapasitas untuk memilih, minum, mengemudi, membuat kontrak,
dll. Tetapi satu aturan umum tentang kemampuan hukum pada usia 18 tahun
menghilangkan semua pertentangan yang mungkin muncul dari perbedaan usia dalam
kemampuan hukum. Peraturan khusus dimunculkan jika sebuah standar dilaksanakan
untuk suatu situsasi khusus di lapangan.
Individualisme dan Altruisme
Orientasi peraturan menunjukan cita-cita individualisme sementara altruisme
merepresentasi dalam bentuk standar yang menunjukan kepentingan individu adalah bukan
hal yang utama39. Individual percaya bahwa aktivitas hukum adalah salah tempat sementara
altruisme mengharapkan hakim untuk menerapkan standar komunitas bersama. Selalu ada
konflik antara individualisme dan altruisme40.
Tujuan kaum individualis terdiri dari aturan kepemilikan yang menyediakan suatu
kepemilikan hukum dengan kebebasan kewenangan tetapi dalam batasan yang pasti, dan
38 Kennedy, Op Cit. hal. 49.
39 Individualisme adalah paham mementingkan kepentingan individu, sedangkan altruisme adalah paham yang
mementingkan kepentingan orang lain. Lihat, The Fallacies of Egoism and Altruism,
and the Fundamental Principle of Morality, http://www.friesian.com/moral-1.htm, diakses tanggal 17
Desember 2002.
40 Pertentangan antara individualisme dan altruisme merupakan salah satu bentuk antinomy yang bersumber
pada paham penghargaan individu namun dengan pendekatan yang berbeda. Antinomy ini juga melahirkan
pertentangan yang tak berujung antara individualisme versus kollektivisme, dan antara liberalisme versus
sosialisme.
13
peraturan kontrak dibuat sebagian oleh para pihak sebagian oleh kelompok. Teori liberal
yang mewujud dalam individualisme menolak kebebasan peradilan, sebagai hakim adalah
hakim yang seharusnya menerapkan hukum dan tidak membuatnya.
Kalangan altruis berharap untuk memiliki kolektivisme 41 sehingga nilai yang
diajukan dan dituju adalah pelayanan. Bagi altruis, nilai kewenangan tidak hanya tidak
menyenangkan, tetapi juga tidak adil.Altruisme tidak mengijinkan hakim untuk menerapkan
peraturan tanpa melihat hasil yang dicapai. Kerja altruis untuk mempertahankan nilai moral
seseorang yang sesuai dengan kawannya.
Keberadaan pertentangan menyebabkan ketidakmungkinan untuk menyeimbangkan
nilai-nilai individualis dan altruis. Kennedy melukiskan gambaran bahw Lawyer dibutuhkan
karena nilai-nilai; wibawa hakim adalah karena professional dan teknis, kharisma dan spirit,
karenanya penggugat yang ahli dalam pembentukan bahasa dapat mendominasi dan
menindas yang lain, atau mungkin secara sederhana mensejahterakan karenya;
individualisme adalah struktur dari status quo.”42
Tentu saja, seseorang tidak bisa menentukan keputusan akhir dari suatu kasus
berdasarkan argumen individualis atau altruis sebagaimana keduanya dapat diderivasikan
dari materi hukum yang sama.
Dalam kenyataan hidup seorang individu tidak pernah sendirian. Kita tidak bisa
menjadi orang yang bebas tanpa keluarga, negara, masyarakat atau komunitas. Individu
dileburkan dalam kolektivitas. Pada saat yang sama peleburan dengan yang lain mungkin
dipaksakan pada keberadaan kita.
Selanjutnya dia mengambil pandangan bahwa norma-norma kolektif sangat berat
dalam berbagai macam status quo yang dalam gerakan yang benar-benar sukarela adalah
sesuatu yang tidak bisa dipahami dan jalan keluarnya adalah mengasumsikan
pertanggungjawaban untuk dominasi totalitarian terhadap pikiran orang lain, maka paksa
mereka untuk menjadi bebas.
41 Kolektifisme adalah paham yang menempatkan kepentingan kelompok (kepentingan umum) sebagai hal
yang utama di atas kepentingan individual.
42 Hari Chand, Op Cit. hal. 248
14
Kritik Roberto Unger terhadap Formalisme dan Obyektivisme43
Bagi Unger, formalisme berarti sebuah komitmen untuk, dan kepercayaan terhadap
kemungkinan dari sebuah metode pembenaran hukum. Termasuk di dalamnya tujuan yang
impersonal, kebijakan dan prinsip-prinsip yang merupakan komponen yang dibutuhkan
dalam rasionalisasi hukum.
Sedangkan obyektivisme, Unger mengartikan sebagai kepercayaan bahwa materi
hukum yang memiliki otoritas yang merupakan sistem pengundangan, kasus-kasus, dan
ide-ide hukum yang diterima, mewujud dan hidup dalam sebuah skema pengelompokan
manusia yang dapat dipertahankan. Hal tersebut menggambarkan tatanan moral, walaupun
tidak sempurna.
Menurut Unger, formalisme dan obyektivisme gagal, sebagimana halnya keduanya
gagal untuk dipidahkan satu dan lainnya. Dia mengkritik obyektivisme sebagai hukum yang
memiliki pertentangan dan persaingan dedngan prinsip-prinsip. Sebagai contoh, hukum
kontrak memiliki prinsip kebebasan bagi para pihak dan counterprinsip yang tidak
mengijinkan akibat terhadap kepentingan umum dari seluruh komunitas. Unger juga
mengkritik fomalisme sebagai adanya kebutuhan teori bagi yang mempercayai formalisme.
Tanpa beberapa teori, rasionalisasi hukum adalah sebuah permainan analogi yang mudah.
Dalam buku The Critical Legal Studies Movement, Unger memulai kritiknya
terhadap obyektivisme berdasarkan pada usaha akbar para ahli hukum untuk mencari suatu
struktur hukum yang di dalamnya built-in demokrasi dan pasar. Bangsa telah memilih suatu
jenis masyarakat tertentu yaitu komitment terhadap republik demokratis dan suatu sistem
pasar sebagai bagian yang harus ada dalam republik.
Namun kegagalan yang tidak berkesudahan dalam menemukan bahasa hukum yang
universal mengenai demokrasi dan pasar mengungkapkan bahwa bahasa semacam itu tidak
pernah ada. Teori kontrak dan kepemilikan menyediakan ruang bagi usaha kaum obyektivis
untuk mengungkapkan isi hukum yang sudah built-in dengan pasar, sama halnya dengan
teori perlindungan kepentingan-kepentingan konstitusional serta tujuan-tujuan sah tindakan
negara yang dirancang untuk mengungkapkan esensi hukum suatu republik demokratis.
43 Roberto M. Unger, Op Cit. hal. 1-14
15
Sedangkan kritik Unger terhadap formalisme bertitik tolak dari argumen bahwa
pemikiran setiap cabang doktrin harus bersandar secara diam-diam, kalau tidak secara
eksplisit, pada suatu pemerian bentuk-bentuk interaksi manusia yang benar dan realistis di
bidang kehidupan masyarakat tempat doktrin itu berlaku. Misalnya, seorang ahli hukum
konstitusi membutuhkan suatu teori republik demokratis yang menggambarkan hubungan
yang tepat antara negara dan masyarakat atau ciri-ciri esensial organisasi sosial dan
pemberian hak pribadi yang harus dilindungi pemerintah.
Tanpa visi pembimbing ini, pemikiran hukum tampak terkungkung dalam permainan
analogi murahan. Pertentangan kepentingan dan visi yang banyak ragamnya yang
menyangkut pembentukan undang-undang harus merupakan wahana suatu rasionalitas yang
dapat diartikulasikan dalam suatu teori tunggal yang terpadu. Teori-teori hukum dominan
sebenarnya melakukan penyucian yang berani dan tidak masuk akal dengan mengambil
bentuk untuk memperlakukan hukum sebagai suatu tempat penyimpanan tujuan, kebijakan,
dan prinsip yang sama sekali bertentangan dengan pandangan percaturan politik legislatif
standar.
Konstribusi Roberto Unger terhadap gerakan GSHK telah diterima dengan baik dan
dihargai oleh Hugh Collins. Unger dalam teori sosial kritisnya memunculkan kemungkinan
mempertahankan kondisi sosial yang memuaskan pertanyaan untuk kepuasan sendiri, maka
seseorang memperoleh keberhasilan dengan berbagai macam jalan yang dalam
kehidupannya mungkin sesuai dan memiliki arti bagi tujuan. Unger mengkritik pendekatan
yang berlaku pada sosiologi, sejarah dan ekonomi yang gagal untuk mengambil pentingnya
pertentangan struktur. Dia memberikan contoh seseorang yang menginginkan menjadi
seorang penulis tetapi pasar tidak berposisi memilih profesi itu.
Konteks Formatif
Unger mengatakan bahwa masyarakat merepresentasikan individu-individu dengan
seperangkat struktur paksaan yang disebutnya konteks formatif. Dia mendefinisikan konteks
formatif Sebagai dasar penyusunan institusional dan perspektif imaginatif yang melingkupi
aktivitas rutin kita atau aktivitas imaginatif dan konflik dan perlawanan akibat
16
ketidakstabilan. Unger mengkritik hitungan konvensional rasionalisasi hukum, khususnya
rasionalisasi yang berdasarkan pada formalisme atau obyektivisme.
Doktrin Penyimpangan
Unger menuntut bahwa aliran hukum yang menganut pandangan GSHK harus
melakukan aktivitas politik untuk merubah masyarakat. Untuk menentukan kesalahan
formalisme dan obyektivisme, Unger mengusulkan tiga tingkatan doktrin hukum:
1. Peraturan yang otoritatif
2. Tujuan (cita-cita), prinsip yang bersandar dalam peraturan.
3. Konflik antara prinsip-prinsip dan counterprinsip menunjukan ketidakharmonisan dan
pertentangan asumsi ideologis tentang kehidupan sosial.
Masyarakat modern telah dipaksa membuka konflik yang transformatif. Dia
mengatakan bahwa fungsi doktrin hukum dalam masyarakat saat ini adalah bertarung
terhadap hak dan bentuk yang memungkinkan dari kehidupan sosial. Kalangan hukum
modern telah mencoba menghindari konflik ini tetapi gerakan hukum kritis juga menuntut
tidak dilakukan.
Dipertahankannya bentuk-bentuk doktrin yang mapan selalu terletak pada tantangan
implisit untuk menerima genre yang berkuasa. Kita selalu dihadapkan pada menyerahkan
diri pada versi tatanan sosial yang sudah stabil atau menghadapi perang antara semua
melawan semua. Ciri pokok dari doktrin penyimpangan adalah usaha untuk menyeberangi
tapal batas empiris maupun normatif yang memisahkan antara hukum dari teori sosial
empiris dan argumen mengenai organisasi masyarakat yang benar.
Konflik ini dikaraterisasikannya sebagai vertikal dan horizontal dibuat untuk
perombakan konstruksi yang sangat esensial. Dia membedakan hal ini dengan mudah dari
hukum kontrak. Prinsip dan counterprinsip dapat dipahami sebagai ekspresi dari latar
belakang keinginan dan skema perkumpulan manusia. Dalam usaha ini, counterprinsip
mengontrol prinsip dari sisi perluasan yang iperialistik. Dia mengatakan bahwa hubungan
komunal bervariasi sepanjang dunia perdagangan dan komersial berdasarkan hukum
kontrak. Perkawanan dan keluarga tidak disyaratkan atau tidak diperhatikan oleh kontrak
dengan kata lain wilayah kontrak tidak disentuh oleh perkawanan dan pengaruh yang saling
17
menguntungkan. Hasil ini berpengaruh terhadap model demokrasi dan masyarakan privat.
Idenya adalah superliberalism.44
Dia mengusulkan untuk suatu “reinventing democracy” yang bisa dipaksakan dalam
merubah hierarkhi sosial dan meredistribusi sumber-sumber. Hal ini mencakup sebuah
konsep hukum baru yang membutuhkan hak destabilisasi. J.W. Harris mengkritik
penghakiman Unger yang disebut Pahlawan yang memainkan peran seorang aliran kritis dan
menggenggam politik dan tidak menggenggam dirinya sendiri dan pandangannya dari
praktek hukum.45
Secara umum gerakan GSHK menyalahkan pencarian sebuah sistem hak sebagai
sebuah sistem yang tidak dapat dibuat secara koheren. Lebih dari itu, Individual meningkat
melebihi komunitas dan kebutuhan komunitas terhadap individual dilupakan. Gabel dan
Kennedy telah menuntut bahwa rakyat tidak membutuhkan hak mereka. Apa yang mereka
butuhkan adalah bentuk nyata dari sistem kehidupan sosial yang bebas dari ilusi saat ini.
Beberapa orang juga mengatakan bahwa eksistensi hak bermanfaat sebagai polisi dan orang
lain dipaksakan. Hak-hak adalah poin yang berkumpul kepada sesorang.
Kritik juga menolak keinginan dan kemungkinan rule of law. Duncan Kennedy
memegang pendapat bahwa hukum secara keseluruhan itu tidak pasti dan tidak pernah ada
suatu solusi hukum yang benar selain kebenaran etik dan solusi politik untuk sebuah
permasalahan hukum. Anggota GSHK berbeda dalam hal peran instrumental dari hukum
dalam masyarakat; beberapa mengambil pendekatan Marxian ortodhok, yang lainnya
memegang pendapat bahwa hukum melayani kelas yang dominan dengan cara yang lebih
bervariasi.
44 Secara lengkap dikatakan oleh Unger bahwa: “Hal ini menekan premise liberal tentang negara dan
masyarakat, tentang kebebasan dari ketergantungan dan hubungan pemerintahan masyarakat oleh keinginan,
menunjuk pada kecenderungan mereka pada suatu ambisi yang luas; bangunan dunia sosial sedikit terasing
kepada diri sendiri yang selalu bisa dilanggar oleh aturan yang umum dari mental dan konstruksi sosialnya
dan mengambil aturan dan konstruksi lain di tempatnya”. Roberto M. Unger, Op Cit. hal. 15-52.
45 Hari Chand, Op Cit. hal. 253.
18
B. Pemikiran-Pemikiran Lain Dari Gerakan Studi Hukum Kritis
Gerakan Studi Hukum Kritis dan Kontadiksi Liberalisme
Mark Kelman mendaku ada tiga kontradiksi utama dalam liberalisme, yaitu (1)
kontradiksi antara komitmen terhadap aturan mekanis yang dapat diterapkan sebagai bentuk
yang tepat penyelesaian perselisihan dan komitmen terhadap kepedulian situasional sebagai
standar sementara, (2) kontradiksi antara komitmen terhadap nilai atau kemauan liberal
tradisional yang arbitrer, subjektif, dan individual serta kenyataan yang obyektif dan
universal berhadapan dengan komitmen terhadap cita-cita bahwa kita bisa mengetahui
kebenaran etika sosial secara obyektif atau harapan bahwa seseorang bisa menyatukan
pembedaan antara subjektif dan obyektif dalam mencari kebenaran moral, (3) kontradiksi
antara komitmen terhadap diskursus kehendak, dimana semua tindakan manusia dilihat
sebagai hasil penentuan keinginan individu sendiri, dan diskursus determinis, di mana
aktivitas subyek tidak sesuai karena secara sederhana merupakan hasil dari struktur sosial
yang ada.
Kontradiksi pertama merupakan dua posisi yang mengundang untuk memilih antara
seperangkat nilai dan pandangan umum. Argumen formal tentang penggunaan aturan atau
standar adalah terkait dengan cita-cita keteraturan masyarakat yang tepat. Hakim berada
dalam posisi yang hati-hati dalam memilih aturan yang terkait dengan pandangan etis
subtantif.
Kontradiksi kedua secara singkat menunjukan masalah kegagalan metode liberalisme
positivis dalam menyesuaikan dengan kebutuhan normatif. Kesulitan ini dihadapi ketika
penerapan metode empiris terhadap kemauan manusia. Sedangkan kontradiksi ketiga
menunjukan pada konflik panjang antara kehendak bebas dan determinisme.
Teori Hukum dan Teori Sosial
Salah satu yang diajukan secara prinsipil oleh GSHK adalah kebutuhan untuk
mengintegrasikan teori hukum dengan teori sosial. Dalam pandangan GSHK, realitas bukan
merupakan produk dari alam yang tidak bisa ditawar, namun merupakan "pertarungan antara
individu yang dibatasi oleh suatu garis tertentu". Diskursus hukum adalah suatu diskursus
19
yang perhatian utamanya pada kehidupan sosial. Dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk
kesadaran sosial, pendukung GSHK berharap bisa memajukan individu. Dengan
menunjukan bahwa kehidupan sosial semakin tidak terstruktur dan semakin komplek,
semakin tidak berpihak dan semakin irasional, dari pada proses hukum yang dikira,
kepentingan yang dilayani oleh doktrin dan teori hukum akan muncul.
Dalam pandangan Robert Gordon, kepentingan yang dilayani tersebut adalah suatu
ideologi (cara pandang) dari kelompok masyarakat tertentu yang dominan. Dia mengajukan
beberapa metode untuk menunjukan dan meruntuhkan ideologi dalam pemikiran hukum
utama, yaitu melalui; perongsokan, dekonstruksi, dan geneologi. Pembentukan dominasi
dijelaskan dengan menggunakan pemikiran Levi Strauss dan konsep hegemoni yang
diungkapkan oleh Antonio Gramci46.Salah satu cara untuk membongkar struktur sosial
adalah dengan menggunakan metode geneologi dan archeology. Metode ini menelusuri
dasar-dasar dan pemikiran dasar pembentukan struktur sosial yang hierarkhis.
Dari Kritik ke Konstruksi
Doktrin Deviasi
Dipertahankannya bentuk-bentuk doktrin yang mapan selalu terletak pada sebuah
tantangan implisit untuk menerima genre yang berkuasa. Tantangan itu berupa pilihan umum
untuk menyerahkan diri pada versi tatanan sosial yang sudah stabil atau menghadapi perang
antara semua melawan semua. Pertentangan ini diselesaikan dengan doktrin deviasi yang ciri
pokoknya adalah usaha untuk menyeberang tapal batas empiris maupun normatif yang
memisahkan antara teori sosial empiris dan dari argumen mengenai organisasi masyarakat
yang benar. 47
46 Robert Gordon and Thomas Kearn (editor), Law in the Domains of Culture, (University of Michigan Press,
1998).
47 Roberto M. Unger, Op Cit. hal. 15.
20
Penetapan Kembali Demokrasi dan Pasar
Hasil konstruktif kritik terhadap obyektivisme adalah usaha untuk mencari alternatif
cita-cita kelembagaan demokrasi dan pasar dengan menggunakan doktrin deviasi. Pencarian
ini membutuhkan tiga gagasan, yaitu teori transformasi sosial untuk bisa membedakan
cita-cita yang programatis yang realistis, pikiran programatis yang dilakukan dengan
pembalikan dan pemujian berupa pendefinisian kembali tanpa usaha kapitulasi buta, dan
konsepsi hubungan yang tepat antara negara dan masyarakat.
Hasilnya berupa tiga bentuk versi yang sepadan, yaitu; pertama, pelonggaran
kumulatif tatanan masyarakat tertentu terutama mengenai pelapisan dan pembagian sosial,
pola yang diberlakukan mengenai cara-cara hubungan manusia yang mungkin dan
dikehendaki. Kedua, peluang hidup dan pengalaman hidup pribadi harus semakin terbebas
dari tirani kategori-kategori sosial yang abstrak. Ketiga, perbedaan antara apa yang
dimaksudkan oleh dunia sosial dan apa yang dikeluarkannya, antara kegiatan rutin dan
revolusi, harus diperinci sebanyak mungkin.
Demokrasi bisa ditemukan kembali melalui beberapa persyaratan yaitu:48
1. bentuk-bentuk organisasi ekonomi dan politik mapan yang memungkinkan kelompok
rakyat yang relatif kecil menguasai syarat-syarat pokok kemakmuran kolektif dengan
mengambil keputusan-keputusan investasi yang amat penting.
2. Menekankan arti penting bidang-bidang utama kehidupan organisasi pabrik, birokrasi,
kantor, rumah sakit, dan sekolah.
3. Sarana komunikasi dan pemberian dana politik.
Revolusi Politik dan Kebudayaan
Tujuan yang menjadi pedoman dan pemersatu kebiasaan budaya revolusioner adalah
untuk membentuk kembali hubungan pribadi langsung dengan membebaskan mereka dari
latar belakang rancangan pembagian hierarkhi sosial. Rencana ini memberikan suatu
kesempatan bagi pertukaran praktis atau ikatan yang penuh gairah untuk menghormati
batas-batas yang ditetapkan tatanan kekuasaan yang mapan. Rencana itu juga memberikan
21
peran tertentu pada setiap orang sesuai dengan kedudukan yang mereka pegang dalam
seperangkat perbedaan sosial atau gender yang ditetapkan sebelumnya.
C. Kelebihan Dan Kekurangan Gerakan Studi Hukum Kritis
Kelebihan
GSHK terdiri dari berbagai macam pemikiran yang dikemukakan oleh banyak ahli
hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut bervariasi dari pemikiran yang bercirikan marxian
ortodok sampai pada pemikiran post-modern. Namun ada beberapa kesepahaman antara
pemikiran-pemikiran tersebut, yaitu ketidakpercayaan terhadap netralitas hukum, struktur
sosial yang hierarkhis dan didominasi ideologi kelompok tertentu, dan keinginan untuk
merombak struktur sosial.
Kekritisan GSHK dalam memahami realitas sosial dan tata hukum serta komitmen
untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan praksis sosial untuk merombak struktur
sosial yang hierarkhis adalah kelebihan utama GSHK. Kekuatan ini diwujudkan dalam
bentuk analitis kritis terhadap tata hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum yang digunakan
oleh para hakim yang selama ini disebut netral dan benar secara obyektif.
Kelebihan lain dari GSHK adalah perhatiannya yang sangat besar terhadap
pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan sosial. Kelebihan ini
seperti membangkitkan kembali pandangan eksistensialis Kant-ian yang akhir-akhir tergerus
oleh gelombang modern dan industri sehingga menimbulkan keterasingan individu subyektif
karen tersedot arus budaya massa yang abstrak.
Kekurangan
Sebagaimana pemikiran kritis yang lain, apabila tidak digunakan secara tepat dengan
mengingat tujuan dan batas penggunaan, kritisisme bisa berujung pada nihilisme. Atau
paling tidak terjebak pada lingkaran kritik tanpa ujung dalam tingkatan wacana sehingga
melupakan tugas praksis terhadap masyarakat.
48 Hari Chand, Op Cit. hal. 253.
22
Kelemahan lain adalah dari sifat asali pemikiran kritis yang selalu dalam dirinya
sendiri melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak selalu terjadi. Padahal
realitas masyarakat selualu cenderung mempertahankan nilai-nilai dan tatanan lama dan
hanya mengijinkan perubahan yang tidak terasa. Maka konsekuensi dari pendukung GSHK
akan selalu berada di pinggir sistem sosial kalau tidak tidak anggap sebagai makhluk aneh
yang harus disingkirkan. Akibatnya GSHK sangat sulit menjadi mainstream pembangunan
hukum. Tugas utama GSHK adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan oleh
orang lain.
Analisis Kritis terhadap Hukum di Indonesia
Penggunaan GSHK untuk menganalisis hukum di Indonesia paling mudah dilakukan
terhadap pembangunan hukum pada masa orde baru. Pada masa inilah dapat dilihat secara
jelas kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik dominan yang menghuni ide tata hukum.
Kepentingan atas pertumbuhan ekonomi memaksa kebijakan kemudahan usaha dengan jalan
pemberian kredit yang disertai dengan deregulasi dan debirokratisasi. Kepentingan
pembangunan ekonomi mensyaratkan stabilitas politik yang dilakukan dengan cara
mengurangi hak sipil dan politik rakyat49.
Sebagai salah satu contoh, disini akan diungkapkan kepentingan kelas dominan
dalam menentukan substansi Rancangan Undang-Undang Pemilu yang saat ini dibahas di
DPR. Pemilu tahun 2004 memiliki arti strategis. Bagi penguasa, momen ini memiliki arti
untuk melanggengkan kekuasaannya50. Sehingga sejak saat ini pun banyak langkah dan
kebijakan yang dilandasi pertimbangan kepentingan kekuasaan tahun 2004. Di sisi lain, masa
transisi politik adalah masa paling mudah melakukan perubahan karena tidak adanya
kekuatan yang dominan. Pemberantasan KKN harus dilakukan dalam rentang waktu transisi
politik.51
49 Kekuasaan Presiden Soeharto merupakan contoh paling jelas dari dianutnya paradigma pembangunan
ekonomi sebagai panglima.
50 Untuk setiap pemilu biasanya dibuat peraturan-peraturan tersendiri. Biasanya meliputi UU Pemilu, UU Partai
Politik, dan UU Susunan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
51 Dalam kondisi transisi, semua hal mungkin dilakukan dengan prosedur dan ukuran-ukuran yang juga
temporer, seperti munculnya istilah keadilan transisi.
23
Apabila sampai saat rekonsolidasi politik perubahan belum berhasil, maka proses
perubahan akan kembali memasuki masa-masa yang sulit karena semakin mapannya
kekuasaan. Makna pemilu 2004 menjadi semakin penting karena pada waktu inilah dimulai
sistem perwakilan baru yaitu bikameral52 di Indonesia yang ditandai dengan adanya DPD
dan bergesernya kedudukan MPR53, serta merupakan awal pelaksanaan pemilihan Presiden
secara langsung. Untuk bisa menciptakan wakil rakyat yang amanah dan bertanggungjawab
serta sebagai salah satu agenda pemberantasan KKN, harus dipilih dan diciptakan sistem
pemilu yang dapat memenuhi kepentingan tersebut54.
Pemilu 1999 yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup55 telah
menimbulkan jarak antara wakil rakyat dan konstituennya56. Dengan memilih tandar gambar
partai, kampanye partai politik lebih menekankan pada sentimen primordial dan nama besar
tokoh partai, sehingga pilihan konstituenpun tidak berdasarkan pertimbangan rasional
program dan citra calonnya. Sebagai bukti dapat diungkapkan bahwa perbedaan pilihan
untuk DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kota/Kabupaten hanya 0,04%.57
Akibatnya, saat ini sulit untuk menggunggat pertanggungjawaban wakil rakyat58.
Penilaian negatif seseorang terhadap wakil rakyat akan dengan mudah terhapus oleh nama
besar dari partai. Sistem pemilu tahun 1999, juga melahirkan hegemoni kekuasaan partai
politik59. Kekuasaan partai politik sangat besar dalam menentukan calon dan apa yang harus
52 Jimly Asshiddiqie, Menuju Struktur Parlemen Dua Kamar, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional
tentang Bikameralisme yang diselenggarakan oleh Forum Rektor Indonesia bekerjasama dengan National
Democratic Institut, di Medan, 12 Juni 2001.
53 Namun hingga saat ini masih terjadi tarik menarik di DPR apakah akan menempatkan DPD sebagai lembaga
perwakilan yang kuat seperti lembaga Senat di Amerika Serikat. Bahkan ada suara yang ingin mengurangi
peran DPD. Lihat Agus Haryadi, Bikameral Setengah Hati, Harian KOMPAS, 15 Mei 2002.
54 Jadi masalah pemberantasan KKN tidak hanya masalah korupsi dan penciptaan clean and good governance
tetapi merupakan masalah sistemik, termasuk masalah pilihan sistem pemilu.
55 ACE Project, Sistem Pemilu, Diterbitkan atas kerjasama IDEA, United Nations, dan IFES, (Jakarta, 2001),
hal. 99 – 108.
56 Namun harus diakui bahwa dalam banya hal, terutama dalam pelaksanaannya, pemilu 1999 telah jauh lebih
baik dibanding pemilu sebelumnya di masa orde baru. Lihat Miriam Budiarjo, Pemilu 1999 dan Pelajaran
Untuk Pemilu 2004, Makalah untuk Centre for Electoral Reform (CETRO), Jakarta, 9 September 1999.
57 Data ini pernah diungkapkan oleh Anas Urbaningrum, anggota Komisi Pemilihan Umum, pada forum diskusi
di Center for Good Governance Studies, Jakarta, Oktober 2002.
58 Seperti kasus banyaknya anggota DPR yang tidak menghadiri sidang, sampai saat ini belum ada mekanisme
masyarakat meminta pertanggungjawaban wakilnya. Lihat Potret Suram Dari Senayan, FORUM Keadilan No.
34, Edisi 22 Desember 2002, hal. 82-83.
59 Karena partailah yang menentukan apakah seseorang dapat menjadi calon legislative atau tidak, dan partai
juga yang menentukan apakah seseorang calon menempati urutan calon jadi atau tidak.
24
diperbuat wakil rakyat. Sistem pemilu tahun 1999 ternyata telah mengukuhkan budaya
politik yang abstrak, paternalis, dan tidak bertanggungjawab.
Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum yang saat ini sedang dibahas di DPR,
dalam beberapa hal mencoba untuk menutup berbagai kekurangan dalam sistem pemilu yang
digunakan tahun 1999. Dengan menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka
diharapkan dapat dicapai aspek representasi dari sistem proporsional dan aspek akuntabilitas
dari sistem distrik.
Sistem ini tentu saja memiliki sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif bagi
perkembangan partai politik adalah; pertama, mengalihkan konflik penyusunan daftar nama
calon dalam partai politik 60 . Sebelumnya, konflik tidak sehat, karena keputusannya
tergantung pada pimpinan partai. Dalam sistem proporsional dengan daftar terbuka calon
tidak disusun berdasarkan peringkat. Calon jadi adalah calon yang mendapatkan jumlah
suara tertentu menurut peringkat sesuai jatah kursi daerah setempat. Kedua, karena seorang
calon nasibnya ditentukan oleh suara yang didapat, maka calon tersebut terutama harus
berkampanye di daerahnya61.
Kampanye dengan menghadirkan tokoh tertentu diluar daerah pemilihannya menjadi
kurang berarti bagi terpilihnya seorang calon. Kampanye yang dilakukan harus menyentuh
kebutuhan riil masyarakat, dan masyarakat bisa menggugat serta mengkoreksinya pada
pemilu kemudian. Ketiga, dengan sistem tersebut, akan mengeliminasi hegemoni partai
politik terhadap wakil rakyat dan memperdekat jarak wakil rakyat dengan konstituennya.
Sisi positif bagi masyarakat, adalah pembangunan budaya politik yang rasional.
Pertama, masyarakat tidak hanya memilih tanda gambar partai, tetapi juga memilih calon
yang akan mengisi kursi partai tersebut. Sehingga sangat mungkin partai pilihan pemilih
berbeda antara DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Propinsi, dan DPR. Masyarakat juga belajar
kalkulasi rasional terhadap citra dan program wakil rakyat. Kedua, kepentingan-kepentingan
daerah atau isu-isu lokal menjadi mendapatkan tempat dalam perpolitikan Indonesia62.
60 Dengan demikian money politik dalam tubuh partai bisa diminimalisir dan menyerahkan pilihan calon
kepada pemilih.
61 Hal ini bisa digunakan untuk mengimbangi kampanye model mobilisasi massa seperti yang selalu dilakukan
pada masa lalu yang lebih merupakan pembodohan terhadap pemilih.
62 Pilihan menjadi tergantung pada program dan calon dari partai untuk tiap tingkat perwakilan, bukan pada
partai politik.
25
Sedangkan sisi negatifnya adalah pelaksanaannya yang cukup rumit dan
membutuhkan pengetahuan pemilih yang detil dan lengkap. Dengan kondisi masyarakat
Indonesia yang tingkat pendidikannya rendah, pelaksanaan sistem ini memang cukup sulit.
Belum lagi masalah teknis lain, seperti bentuk surat suara, waktu yang digunakan untuk
memilih dan waktu penghitungan suara.
Namun kendala tersebut bukan berarti tidak bisa diselesaikan. Kendala kesadaran dan
pengetahuan pemilih bisa diatasi apabila ada proses voter education yang memadai dalam
tahapan pemilu. Proses ini tentu saja tidak hanya dilakukan oleh KPU sebagai pelaksana
pemilu, tetapi juga oleh elemen masyarakat yang lain. 63 Kendala kerumitan proses
kampanye, pemilihan, dan penghitungan, juga bisa diatasi dengan pemisahan pelaksanaan
pemilu. Disamping karena pokok persoalan pemilihannya berbeda, hal ini juga akan
memperkukuh kalkulasi rasional masyarakat pada masing-masing pemilihan.
Namun lagi-lagi upaya perubahan ini menghadapi tembok kekuasaan yang saat ini
berada dalam bangunan partai politik. Enam partai besar sudah menunjukan indikasi
penolakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Berbagai alasan dikemukakan mulai
dari yang ideologis sampai pada yang teknis.
Penolakan tersebut dapat dimaklumi karena; pertama, sistem ini akan memperlemah
kontrol partai politik terhadap wakil rakyat. Kedua, sistem ini akan menimbulkan kesadaran
kritis pemilih. Pemilih yang sadar tidak akan lagi terikat secara emosional tetapi lebih pada
citra dan program calon wakil rakyat. Akibatnya, partai yang tidak memiliki program yang
sungguh-sungguh akan ditinggalkan. Ketiga, sistem ini membutuhkan proses kampanye
yang panjang, dialogis dan menitikberatkan pada pendidikan politik, padahal partai politik
saat ini lebih menyukai proses mobilisasi massa.
Tembok penghalang tersebut sangat kukuh, karena bermukim dalam lembaga DPR
dan pemerintahan. Kedua institusi inilah yang secara yuridis normatif memegang kekuasaan
membentuk Undang-undang. Tampaknya harapan memperoleh wakil rakyat yang lebih
bertanggungjawab sulit terwujud.
63 Patut diingat bahwa pada Pemilu 1999 proses pendidikan pemilih (voter education) lebih banyak dilakukan
oleh ormas dan LSM dari pada yang dilakukan oleh pemerintah. Lihat Laporan Masyarakat Transparansi
dalam; Duit Mengalir Sampai Jauh, Proses Demokrasi yang Mahal, MEDIA TRANSPARANSI, Edisi 09 Juni
1999.
26
D. Penutup
Pemikiran hukum di Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh dua aliran
besar, yaitu positivis dan sociological jurisprudence. Aliran positivis terutama dipegang oleh
kalangan aparat penegak hukum, akademisi dan birokrasi, sehingga seringkali menjadi
penghalang perkembangan hukum serta mengalami kebuntuan ketika menghadapi
kasus-kasus baru.
Sedangkan aliran sociological jurispurudence banyak tergambar dari perilaku dan
aktivitas politisi terutama lembaga pembuat undang-undang (legislatif). Aliran ini awal
mulanya diterapkan pada masa orde baru untuk mendukung program-program pembangunan
orde baru dan melanggengkan kekuasaan dengan menjaga stabilitas politik. Saat ini yang
tersisa adalah menjadikan hukum sebagai ajang legiitimasi dalam memperoleh dan
melanggengkan kekuasaan.
GSHK sendiri masih sangat baru bagi kalangan hukum di Indonesia. Perkembangan
awal GSHK digunakan oleh kalangan aktivis LSM untuk memahami kebijakan dan struktur
hukum yang menindas. Hal ini sesuai dengan mainstream utama pemikiran LSM yang
cenderung kritis dengan menggunakan pemikiran-pemikiran marxian dan mazhab kritis.
Saat ini Indonesia berada dalam masa transisi yang ditandai oleh pergulatan
kekuatan-kekuatan yang mencoba untuk mendominasi baik dari dalam negeri maupun
kekuatan kapitalis internasional. Maka sudah saatnya pemikiran-pemikiran GSHK juga
digunakan untuk memahami, mengkritik, membangun, dan menerapkan hukum di Indonesia.
27
Daftar Pustaka
ACE Project. Sistem Pemilu. Diterbitkan atas kerjasama IDEA. United Nations dan IFES.
Jakarta. 2001.
Baqir Ash-Shadr, Sayyid Al-Islam Ayatullah Al-„Uzhma As-Sayyid Muhammad.
Falsafatuna. terjemahan M. Nur Mufid bin Ali. Cetakan VI. Bandung. Mizan. 1998.
Beilharz, Peter. Teori-Teori Sosial. (Social Theory: A Guide to Central Thinkers).
penerjemah: Sigit Jatmiko. Jogjakarta. Pustaka Pelajar. 2002.
Boyle, James. The Politics Of Reason; Critical Legal Theory And Local Social Thought.
University of Pennsylvania Review. April 1985.
Chand, Hari. Modern Jurisprudence. International Law Book Service. Kuala Lumpur. 1994.
Durkheim, Emil. The Sociology of Knowledge, http://www.hewett.norfolk.sch.uk/curric/
soc/ durkheim/ durkw4.htm, diakses 6 Nopember 2002.
Friedmann,W. Teori dan Filasafat Hukum; Susunan I. (Legal Theory). terjemahan:
Mohamad Arifin. Cetakan Kedua. Jakarta. PT. Raja Grafindo Perkasa. 1993.
Gidden, Antony. The Third Way. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka. 1999
Gramsci, Antonio. The Prison Notebooks. http://www.kb.dk/elib/bio/gramsci/soerensen/
gramsum/. diakses tanggal 6 Nopember 2002.
Gordon, Robert dan Thomas Kearn (editor). Law in the Domains of Culture. (University of
Michigan Press. 1998.
Habermas, Jurgen. Knowledge and Human Interest. Chapter Three. Polity Press. 1968.
Horwitz, Morton J. The Transformation Of American Law. 1870-1960 by. New York:
Oxford University Press. 1992
Jaine Mileaf on Levi-Strauss, "Science of the Concrete", http://dept.english.upenn.edu/
~jenglish/Courses/mileaf.html, diakses 23 Oktober 2002.
Kennedy, D. The Structure of Blackstones Commentaries . Buffalo Law Review. 1979.
hal. 47.
Mannheim, Karl. Ideologi dan Utopia. judul asli: Ideology and Utopia. penerjemah: F. Budi
Hardiman.. Cetakan Kedua. Yogyakarta. Kanisius. 1991.
28
Marcuse, Herbert. The Paralysis of Criticism: Society Without Opposition, http//cartoon.
iguw.tuwien.ac.at/Christian/marcuse.htm, diakses tanggal 6 Nopember 2002.
Parson, Talcot. Essei-Essei Sosiologi Talcot Parson. (Talcot Parson Essays Sociology).
Jakarta. Aksara Persada Press. 1986.
Poloma, Margareth M. Sosiologi Kontemporer. (Contemporary Sociological Theory).
terjemahan Tim YASOGAMA. Cetakan kedua. Jakarta. CV. Rajawali. 1987.
Rizal, Jufrina dan Agus Brotosusilo (peny). Filsafat Hukum. Buku Ke-II. Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. September 2001.
Scheppele, Kim Lane. Legal Theory and Social Theory. Annual Review of Sociologi.
Annual 1994 v20.
Simon, Roger. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Jakarta. Pustaka Pelajar dan Insist Press.
2000.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik. Cetakan kelima. Jakarta. PT. Gramedia. 1999.
………………………. Pemikiran Karl Marx; Sosialis Utopis Ke Perselisihan Revisionis.
Jakarta. PT. Gramedia, 2001
The Fallacies of Egoism and Altruism, and the Fundamental Principle of Morality,
http://www.friesian.com/moral-1.htm, diakses tanggal 17 Desember 2002.
Unger, Roberto M. Gerakan Studi Hukum Kritis. judul Asli: The Critical Legal Studies
Movement. penerjemah: Ifdhal Kasim. Cetakan Pertama. Jakarta. ELSAM. 1999.
………………….. The Critical Legal Studies Movement. First Edition. Cambridge. Harvard
University Press. 1983.
Makalah
Asshiddiqie, Jimly. Menuju Struktur Parlemen Dua Kamar, Makalah disampaikan dalam
Seminar Nasional tentang Bikameralisme yang diselenggarakan oleh Forum Rektor
Indonesia bekerjasama dengan National Democratic Institut, di Medan, 12 Juni
2001.
Budiarjo,Miriam. Pemilu 1999 dan Pelajaran Untuk Pemilu 2004. Makalah untuk Centre for
Electoral Reform (CETRO). Jakarta. 9 September 1999.
29
Media Massa
Duit Mengalir Sampai Jauh; Proses Demokrasi yang Mahal. MEDIA TRANSPARANSI.
Edisi 09 Juni 1999.
Haryadi, Agus. Bikameral Setengah Hati. Harian KOMPAS, 15 Mei 2002.

Potret Suram Dari Senayan. FORUM Keadilan No. 34 Edisi 22 Desember 2002.

0 komentar:

Posting Komentar