(682 Views) Februari 17, 2016 5:32 am | Published by Islamnus | No comment
17 Februari 2016,
AUSTRALIA, ISLAMNUSANTARA.COM – Jargon “kembali kepada al-Qur’an dan Hadis” merupakan hal yang mulia, namun bisa menjadi masalah bila dipraktekkan sebagai “kembali ke terjemahan al-Qur’an dan Hadis”. Kenapa? karena seringkali kita dapati mereka yang gemar menyalah-nyalahkan pendapat orang lain hanya berdasarkan terjemahan al-Qur’an.
Proses menerjemahkan al-Qur’an sebetulnya bagian kecil dari penafsiran. Penerjemah tidak hanya sekedar menerjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, tapi juga konteks dan pilihan redaksi yang dipilih khususnya pada kata yang mengandung arti bercabang. Tidak jarang penerjemah memasukkan pemahaman dan penafsiran versinya sendiri ke dalam terjemahan al-Qur’an. Itu sebabnya kita lihat berbeda-beda penerjemahan al-Qur’an.
Kalau menerjemahkan saja sudah beragam versinya, bagaimana
pula penafsiranya? Tidak ada penafsiran tunggal, Itu sebabnya para ulama
menyusun berjilid-jilid kitab tafsir yang berbeda sesuai dengan sudut pandang
mereka, disiplin ilmu yg mereka kuasai, maupun kecenderungan mazhab dan situasi
politik, sosio-ekonomi mereka hidup. Itu semua akan mempengaruhi cara mereka
menafsirkan al-Qur’an.
Sebagai contoh, pernah pada suatu waktu, seorang kawan yang
jengkel dengan tulisan saya, kemudian mengecam saya dengan menuliskan terjemah
al-Qur’an Surat al-Rum ayat 59: “Demikianlah Allah menutup hati orang-orang
yang tidak mau memahami (Al Qur’an)”.
Maksudnya tentu ingin mengatakan lewat terjemah tersebut
betapa hati saya telah terkunci sehingga tidak bisa memahami kebenaran
al-Qur’an. Alamakkkk mudah sekali memvonis orang lain smile emotikon
Ketimbang balas ngomel-ngomel, saya memilih untuk
menunjukkan penafsiran ayat yang dipakai untuk “mementung” saya itu. Sepintas
terjemah ayat yang dikutip itu sudah kita pahami maknanya. Namun kalau kita
buka kitab-kitab tafsir maknanya ternyata amat luas. Bahkan kita pun akan
menyadari terjemah yang dipilih, baik disadari atau tidak, sudah bagian dari
penafsiran si penerjemah.
Ini teks arabnya: kadzalika yathba’ullah ‘ala qulubilladzina
la ya’lamun
Kalau kita perhatikan terjemah di atas ada dalam kurung kata
al-Qur’an yang diselipkan. Padahal teks asli sama sekali tidak menyebut kata
al-Qur’an secara langsung. Darimana penerjemah bisa memasukkan kata al-Qur’an
dalam terjemah tsb? Salah satu jawabannya adalah dari konteks ayat-ayat
sebelumnya.
Namun itu bukan satu-satunya pemahaman. Tafsir Jalalayn,
misalnya, mengatakan: ayat itu bicara soal al-tauhid (keesaan Allah). Jadi,
bukan soal mereka tidak mau memahami al-Qur’an. Pemahaman ini juga senada
disebutkan dalam
Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas. Penjelasan lebih
panjang ditulis oleh Tafsir al-Thabary yg mengatakan “mereka tidak mengetahui
hakikat apa yang telah didatangkan kepada mereka dari sisi Allah berbagai
pelajaran dan ayat yang jelas, tidak mengerti hujjah ttg Allah, tidak paham
atas apa yang dibacakan dari kitab Allah, mereka itu ragu-ragu dalam
kesombongan mereka.”
Tafsir al-Mizan mengatakan bahwa mereka jahil terhadap Allah
dan ayat-Nya diantaranya mengenai soal kebangkitan setelah mati. Jadi, Syekh
Thabathaba’i tidak mengatakan mereka jahil terhadap semua isi al-Qur’an,
melainkan mereka tidak memahami ayat-ayat kebangkitan setelah mati (al-ba’ts
ba’dal maut). Beliau mengaitkan dengan tiga ayat sebelumnya yaitu QS 30: 56
Begitulah, tafsir lebih luas dari sekedar terjemah, dan kita
bisa lihat keragaman penafsiran di atas baru pada satu ayat saja. Jadi, kalau
ada yang bilang dengan merujuk pada al-Qur’an maka semua perdebatan ulama akan
selesai, maka dapat dipastikan mereka belum terbiasa membaca beragam kitab
tafsir al-Qur’an, karena para ulama tafsir semuanya juga merujuk pada
al-Qur’an. Metode tafsir yang mereka aplikasikan juga beraneka ragam.
Ketimbang memaksakan hanya satu penafsiran yang benar atau
menganggap tafsir ulama lain keliru, mungkin lebih baik kita mulai membiasakan
diri untuk hidup dalam naungan satu Al-Qur’an dengan beragam tafsirnya,
sehingga apapun persoalan yang kita hadapi, tafsir al-Qur’an akan memberi
beragam pilihan.
Jargon “Kembali kepada al-Qur’an” selayaknya dipahami
sebagai “kembali kepada beragam penafsiran dalam al-Qur’an”. Jangan dipahami
secara sempit sebagai “kembali kepada terjemah al-Qur’an” semata. Kalau saja
kita persilakan saudara kita menyelami makna ayat-ayat al-Qur’an, boleh jadi
dia mendapatkan makna lebih banyak dari apa yang kita pahami. Wa Allahu a’lam
bis shawab. Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New
Zealand yang kebetulan lagi tugas mengajar di Monash Law School. (ISNU)
Nadirsyah Hosen
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dr. H. Nadirsyah Hosen, LLM, MA (Hons), PhD adalah orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang menjadi dosen tetap di fakultas hukum di universitas di Australia[butuh rujukan]. Sejak pertengahan tahun 2015 dia mengajar di Monash University Faculty of Law,[1] salah satu Fakultas Hukum terbaik di dunia[butuh rujukan]. Sebelumnya selama 8 tahun ia mengajar pada Fakultas Hukum,Universitas Wollongong (2007-2015) hingga meraih posisi sebagai Associate Professor. Tahun 2005 ia bekerja sebagai post-doctoral research fellow di TC. Beirne School of Law, Universitas Queensland.
Dr. Hosen lulus sarjana S1 dari Fakultas Syari'ah, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan meraih gelar Graduate Diploma in Islamic Studies serta Master of Arts with Honours dari Universitas New England. Kemudian ia meraih gelar Master of Laws dari Universitas Northern Territory.
Peraih dua gelar doktor (PhD in Law dari Universitas Wollongong dan PhD in Islamic law dari National University of Singapore) ini telah melahirkan lebih dari 20 artikel di jurnal internasional seperti Nordic Journal of International Law (Lund University), Asia Pacific Law Review (City University of Hong Kong), Australian Journal of Asian Law (University of Melbourne), European Journal of Law Reform (Indiana University), Asia Pacific Journals on Human Rights and the Law (Murdoch University), Journal of Islamic Studies (University of Oxford), and Journal of Southeast Asian Studies (Universitas Cambridge).
Disamping itu, Nadirsyah Hosen adalah seorang kiai dari organisasi Islam terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU). Sejak tahun 2005, ia dipercaya sebagai Ra'is Syuriah, pengurus cabang istimewa NU di Australia dan Selandia Baru. Gus Nadir, begitu ia biasa disapa, adalah pengarang buku "Human Rights, Politics and Corruption in Indonesia: A Critical Reflection on the Post Soeharto Era", (Republic of Letters Publishing, Dordrecht, The Netherlands, 2010); "Shari'a and Constitutional Reform in Indonesia" (Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2007); dan menulis buku bersama Ann Black and Hossein Esmaeili yang bejudul" Modern Perspectives on Islamic Law" (Edward Elgar, UK, 2013 dan 2015).[2]
Dia juga mengedit (bersama Joseph Liow) 4 jilid buku tebal "Islam in Southeast Asia", 4 volumes, (Routledge, London, 2010); dan mengedit bersama Richard Mohr buku "Law and Religion in Public Life: The Contemporary Debate" (Routledge, London, 2011 dan 2013).
Untuk karya dalam bahasa Indonesia, Nadirsyah telah menulis buku "Mari Bicara Iman" (Penerbit Zaman, 2011), dan menulis bersama Nurussyariah Hammado buku berjudul "Ashabul Kahfi Melek 3 Abad: Ketika Neurosains dan Kalbu Menjelajah Al-Quran" (Penerbit Noura Books, 2013). Pada tahun 2015, Nadirsyah Hosen meluncurkan buku terbarunya "Dari Hukum Makanan Tanpa Label Halal Hingga Memilih Mazhab yang Cocok" (Penerbit Noura Books, 2015).
Beberapa tulisan dan kolomnya tersebar di media massa Indonesia seperti Gatra, Media Indonesia, The Jakarta Post dan Jawa Pos. Kumpulan artikel keislamannya bisa dibaca di situs Isnet.
0 komentar:
Posting Komentar