Mushaf al-Qur'an yang kita baca saat ini sebenarnya merupakan hasil inovasi (baca: "bid'ah") yang dilakukan sepeninggal Nabi. Tidak ada pengumpulan al-Qur'an pada masa Nabi dalam satu susunan mushaf. Selain dihafal, ayat al-Qur'an itu dicatat secara sporadis dalam potongan kulit atau tulang atau lainnya. Baru kemudian berturut-turut pada masa tiga khalifah pertama al-Qur'an dikodifikasi dan --singkat cerita-- jadilah Mushaf Utsmani.
Tapi bentuk penulisannya masih belum ada tanda baca. Ini menyulitkan buat orang-orang non Arab, padahal Islam sudah tersebar keluar jazirah Arab. Maka muncullah "bid'ah" berikutnya:
Khalifah Muawiyah menugaskan Abu al-Aswad Ad-du'ali untuk meletakkan tanda baca pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca. Kemudian pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ditugaskan Al Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf ba dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Baru kemudian, pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memudahkan umat Islam dalam membaca Al-Qur'an.
Kemudian, pada masa
Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya "ber-inovasi" untuk
semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran, khususnya bagi
orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa
isymam dan mad. Sebagaimana mereka juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai
pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat.
Sampai di sini
pengkodifikasian dan penulisan tanda baca al-Qur'an sudah melampaui apa yang
ada di masa Nabi. Tidak ada contohnya dari Nabi. Untunglah "bid'ah"
semacam ini diterima oleh semua umat Islam. Kata Lajnah Da'imah Lil Buhuts
Al-Ilmiah Wal Ifta Saudi Arabia, meski tidak ada dalil khusus yang memberi
perintah seperti itu, namun pengkodifikasian dan pemberian tanda baca itu masuk
dalam dalil umum untuk menjaga al-Qur'an. Oke deh syekh bro...ini masuk
kategori bid'ah yang hasanah kali yah :)
Tapi persoalan belum
selesai, karena gara-gara perbedaan tanda waqaf, bisa timbul perbedaan
penafsiran yang bahkan dalam sejarah Islam berujung pada kafir mengkafirkan.
Contohnya ayat di bawah
ini:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ
عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ
مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا
تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا
بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya : Dialah yang
menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu. Diantara (isi) nya ada ayat-ayat
muhkamat, itulah ummul Qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun
orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk
mencari-cari takwilnya padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan
Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : “kami beriman kepada
ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami”. Dan tidak
dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal (Q.S. Al
Imran : 7)
Kelompok salaf berhenti
sejenak membaca potongan ayat ini
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ
"tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah"
sedangkan lafazh berikutnya dianggap merupakan permulaan kalimat baru. Sehingga
menurut golongan ini, ayat mutasyabihat diserahkan saja maksudnya kepada Allah
Ta’ala, tanpa ditakwil maknanya.
Sedangkan ulama Khalaf
meneruskan membacanya
dengan lafazh selanjutnya:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ
“Tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang
mendalam ilmunya”.
Gara-gara bahasa Arab
klasik tidak mengenal titik dan koma, maka tidak jelas penggalan ayat di atas
dibacanya sampai mana. Maka persoalan boleh tidak kita menakwil ayat
mutasyabihat menjadi persoalan klasik yang tak pernah usai.
Saya membayangkan kalau
sekarang ada yang berani mengusulkan untuk menambah titik, koma, tanda seru atau
tanda tanya dalam al-Qur'an pasti langsung dianggap ahlul bid'ah, kafir, JIL,
syi'ah, sekuler, dan lain sebagainya, padahal tanda baca yang sekarang di jaman
Nabi juga gak ada kan :) :)
Yo wis...gak usah usul
macem-macem, kita ngaji aja deh..daripada benjol kena fentung.
Tabik,
Nadirsyah
Hosen
Monash Law School
0 komentar:
Posting Komentar