alt/text gambar

Sabtu, 21 Januari 2017

Topik Pilihan:

KEBEBASAN NURANI (FREEDOM OF CONSCIENCE) DAN KEMANUSIAAN UNIVERSAL



Oleh : Nurcholish Madjid


Event Artikel : Diskusi mengenai Hak Asasi, 1 Maret 1994

Diupdated pada: Senin 2 April 2001


KEBEBASAN NURANI (FREEDOM OF CONSCIENCE)DAN KEMANUSIAAN UNIVERSAL SEBAGAI PANGKAL DEMOKRASI, HAK ASASI DAN KEADILAN

Mukaddimah
Perjuangan menegakkan hak-hak asasi di negeri kita adalah hal yang amat wajar sebagai kewajiban kita semua, disebabkan oleh tuntutan nilai-nilai falsafah kenegaraan kita, Pancasila. Semua sila dalam falsafah itu melahirkan kewajiban kita berusaha menegakkan hak-hak asasi, khususnya sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ditambah lagi bahwa kita sebagai anggota PBB, dengan sendirinya kita menerima dan menyetujui serta terikat kepada butir-butir dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), 1948. Bertitik tolak dari tuntutan nilai-nilai kefalsafatan negara kita itu, di sini akan kita coba membahas masalah hak-hak asasi dalam kaitannya dengan demokrasi dan demokratisasi. Berpijak kepada nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, kita akan bicarakan bagaimana korelasi antara capaian-capaian pembangunan sekarang ini dengan pengembangan dan pengukuhan kesadaran nilai-nilai kemanusiaan.


Kelanjutan Logis Pembangunan
Usaha menegakkan hak-hak asasi dapat juga dipandang sebagai kelanjutan logis, alami dan wajar dari tingkat perkembangan dan kemajuan bangsa kita di segala bidang, sebagai hasil pembangunan nasional selama Orde Baru. Pada saat sekarang ini kita bangsa Indonesia telah sampai kepada jalan persimpangan pertumbuhan dan perkembangan yang amat menentukan untuk masa mendatang. Pembangunan ekonomi yang telah berjalan selama sekitar seperempat abad telah menunjukkan hasil yang sangat mengesankan. Dari suatu bangsa yang miskin dan hampir bangkrut pada awal tahun 60-an kini Indonesia mulai tampil dengan cukup harga dan kepercayaan diri dalam pergaulan antar bangsa. Meskipun sesungguhnya kita masih jauh dari kemakmuran negara-negara maju — bahkan di antara negara-negara Asia Tenggara pun kita masih tergolong yang terkebelakang — namun hasil yang telah dicapai oleh bangsa kita melandasi harapan kita bagi masa depan yang lebih baik. Yaitu masa depan yang lebih makmur, lebih terbuka, lebih adil, dan lebih demokratis.

Dari pengalaman yang sejauh ini telah berlangsung, kita membuktikan kebenaran peringatan Nabi s.a.w. bahwa kemiskinan akan menyeret manusia kepada sikap-sikap mengingkari kebenaran. Kemiskinan akan membuat manusia terhalang dari usaha-usaha peningkatan dirinya menuju kepada harkat dan martabat kemanusiaannya yang lebih tinggi. Oleh sebab kemiskinan dan kemelaratan membuat seseorang lebih terpusat kepada usaha-usaha mempertahankan hidup jasmaninya, maka kemiskinan dan kemelaratan juga membuatnya terhalang dari perhatian kepada tingkat kehidupan yang lebih mulia, yaitu kehidupan ruhani, kehidupan untuk memenuhi dorongan naluri manusia guna kembali (inâbah) kepada Tuhan. Sebab Tuhanlah Sumber segala kebahagiaan, Asal-Muasal segala yang ada. Tuhanlah pangkal keberadaan kita semua, dan Dialah tujuan keberadaan kita semua.


Kemanusiaan Universal
Berdasarkan pandangan itu maka memberantas kemiskinan dengan upaya meningkatkan taraf hidup kaum miskin adalah bagian tidak langsung dari kesertaan membimbing mereka ke arah tingkat hidup yang lebih tinggi, lebih fithri, dan lebih mendekat kepada harkat dan martabat manusia, sejalan dengan design agung Ilahi. Oleh karena itu mengusahakan dan memperjuangkan perbaikan hidup lahiri adalah bagian yang tak terpisahkan dari usaha peningkatan hidup ruhani. Dan jika benar bahwa kemelaratan dapat menjadi penghalang dari kemampuan menghayati kehidupan yang lebih tinggi dan lebih mampu menerima dan meresapi kebenaran, maka sebaliknya dapat pula diharapkan bahwa kemakmuran akan memberi kesempatan lebih baik untuk meningkatkan seseorang kepada dataran hidup yang lebih tinggi, yang lebih mendekati ridla Ilahi. Maka setiap usaha dan perjuangan meningkatkan taraf hidup sesama manusia juga berarti usaha dan perjuangan menghantarkan manusia kepada sesuatu yang lebih bermakna dan lebih memenuhi rasa tujuan hidup yang mendalam dan hakiki.

Manusia adalah jagad kecil, suatu "mikrokosmos", yang menjadi cermin dari jagad besar, "makrokosmos", yang meliputi seluruh alam semesta. Manusia adalah puncak ciptaan Tuhan, yang dikirim ke bumi untuk menjadi khalifah atau wakil?Nya. Oleh karena itu setiap perbuatan yang membawa perbaikan manusia, oleh sesama manusia sendiri, mempunyai nilai kebaikan dan keluhuran kosmis, menjangkau batas-batas jagad raya, menyimpan makna kebenaran dan kebaikan universal, suatu nilai yang berdimensi kesemestaan seluruh alam. Dan karena manusia itu, dalam analisa terakhir, terdiri dari individu-individu atau kenyataan-kenyataan perorangan yang tidak terbagi-bagi, maka masing-masing perorangan itu menjadi "instansi" pertanggungjawaban terakhir dan mutlak dalam pengadilan Hadirat Ilahi di akhirat nanti. Dan masing-masng perorangan itu pulalah yang akhirnya dituntut untuk menampilkan diri sebagai makhluk moral yang bertanggung jawab, yang akan memikul segala amal perbuatannya tanpa kemungkinan mendelegasikannya kepada pribadi yang lain. Karena itu, nilai seorang pribadi adalah sama dengan nilai kemanusiaan universal, sebagaimana nilai kemanusiaan universal adalah sama nilai dengan nilai kosmis seluruh alam semesta. Maka agama mengajarkan bahwa "barangsiapa membunuh seseorang tanpa dosa pembunuhan atau tindakan perusakan di bumi maka bagaikan ia membunuh seluruh umat manusia, dan barangsiapa menolong hidupnya maka bagaikan ia menolong hidup seluruh umat manusia."

Jadi harkat dan martabat setiap perorangan atau pribadi manusia harus dipandang dan dinilai sebagai cermin, wakil atau representasi harkat seluruh umat manusia. Maka penghargaan dan penghormatan kepada harkat masing-masing manusia secara pribadi adalah suatu amal kebajikan yang memiliki nilai kemanusiaan universal. Dan demikian pula sebaliknya, pelanggaran dan penindasan kepada harkat dan martabat seorang pribadi adalah tindak kejahatan kepada kemanusiaan universal, suatu dosa kosmis, dosa yang amat besar. Harkat dan martabat pribadi itu, sebagaimana telah dikemukan tadi, dimulai dengan pemenuhan keperluan hidup primernya, berupa sandang, pangan dan papan. Tetapi dari deretan sejumlah argumen di atas juga dapat disimpulkan bahwa terpenuhinya segi kehidupan lahiri tidaklah akan dengan sendirinya berarti menghantar manusia kepada dataran kehidupan yang lebih tinggi. Kehidupan material dan kemakmuran hanyalah salah satu prasarana — meskipun amat penting, jika bukannya yang paling penting — bagi pencapaian kehidupan yang lebih tinggi. Dengan meminjam adagium kaum Sufi, "Hanya orang yang mampu berjalan di tanah datar yang bakal mampu mendaki bukit."

Namun justru ibarat orang yang mampu berlari di tanah datar tapi belum tentu tertarik untuk mendaki bukit, maka demikian pula halnya dengan orang yang telah terpenuhi kehidupan lahiriahnya: belum tentu ia tertarik untuk meningkatkan dirinya ke dataran peri-kehidupan yang lebih tinggi. Mungkin ia malah merasa puas hanya dengan berlari-lari dan berputar-putar di tanah datar. Sungguh, justru yang banyak kita jumpai ialah adanya mereka yang memandang pemenuhan kehidupan lahiri sebagai tujuan akhir dan menjadi titik ujung cita-cita hidupnya. Dalam bahasa sehari-hari, orang seperti itu biasanya disebut materialis atau bersemangat kebendaan. Maka agama-agama senantiasa memberi peringatan, jangan sampai kita terpedaya oleh kehidupan duniawi, kehidupan rendah, kehidupan material, sehingga kita lupa akan kehidupan yang lebih bermakna, yang lebih berarti dan lebih bernilai. Agama memperingatkan bahwa harta kekayaan — juga anak dan keturunan — adalah "fitnah" atau percobaan dari Tuhan kepada kita. Janganlah kita biarkan diri kita terbuai, terpukau dan terkecoh oleh keberhasilan lahiri, kemudian kita melupakan, mengabaikan dan meninggalkan sesuatu dalam kehidupan ini yang nilainya lebih tinggi dan lebih agung daripada segi-segi lahiriah dan jasmaniah. Maka sebagai "fitnah" atau ujian dari Tuhan, harta dan keturunan harus diarahkan dan digunakan untuk memperkuat usaha menuju makna hidup yang lebih hakiki. Termasuk keberhasilan dalam kehidupan lahiriah itu ialah keberhasilan dalam memperoleh kekuasaan politik. Kekuasaan politik bukanlah tujuan akhir perjalanan hidup kita menuju kebahagiaan, baik pribadi maupun bersama. Kekuasaan politik hanyalah sarana untuk mempermudah mencapai tujuan itu. Karena itu Junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. pun, setelah berhasil membebaskan Makkah dari kaum musyrik Quraisy, diperintahkan Tuhan untuk ber-tasbîh memuji-Nya dan memohon ampun kepada-Nya. Yaitu, untuk meningkatkan diri kepada dataran nilai kehidupan yang lebih hakiki, sebagai kelanjutan dari kesuksesan beliau meletakkan prasarana kehidupan sosial-politik.

Kita sekalian sebagai bangsa Indonesia menyadari hal itu semua. Sebab semuanya itu merupakan tuntutan asasi dari falsafah kebangsaan dan kenegaraan kita, Pancasila. Dari falsafah itu kita meyakini bahwa hidup yang bahagia harus terlebih dahulu didasari oleh jiwa keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa tidak satu pun dari kegiatan kita yang dibolehkan lepas dari kesadaran akan asal dan tujuan hidup kita, yaitu Tuhan. Dari Dialah kita berasal, dan kepada Nyalah kita akan kembali. Maka dalam perspektif ini, seluruh hidup kita tidak lain adalah persiapan guna menghadap ke Hadirat-Nya, dan kita semua harus berusaha untuk memperoleh perkenan atau ridla-Nya.


Kebebasan Hati Nurani (Freedom of Conscience)
Sekarang, berusaha memperoleh perkenan atau ridla Tuhan berarti berusaha menempuh hidup yang diresapi oleh rasa kebajikan dan diilhami oleh keyakinan kepada kebenaran. Berusaha memperoleh perkenan Ilahi dimulai dengan ketulusan niat dalam hati sanubari untuk mengikuti jalan yang benar dan mewujudkan kebaikan. Juga berarti bahwa usaha mencapai perkenan Ilahi berpangkal dari hati nurani, sebab inti sanubari ialah hati nurani. Sanubari adalah modal primordial kita yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada kita guna dapat secara naluriah mengetahui benar dan salah, baik dan buruk.

Dalam lubuk hati nurani yang paling dalam — yang dapat kita nyatakan secara lahiriah lewat ucapan lisan kita — kita mewujudkan niat, bahwa kita berbuat dengan nama Allah dan bertujuan untuk ridla Allah. Oleh karena itu manusia tidak akan mampu tampil sebagai makhluk moral, yaitu makhluk yang secara logis dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala amal perbuatannya, baik ataupun buruk, jika ia sebagai pribadi tidak memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya. Seorang pribadi yang menjalankan tindakan dan perilakunya karena terpaksa — misalnya, karena ia hidup dalam sistem sosial-politik yang tiranik, otoriter dan menindas — bukanlah seorang yang dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan tindakan dan perilakunya itu. Ia tidak dapat dituntut untuk tampil sebagai makhluk moral, dan ia terbebas dari tanggungjawab, karena ia adalah makhluk terpaksa. Tetapi itu berarti bahwa ia dirampas hak dan kesempatannya untuk menampilkan dirinya secara utuh. Dan pribadi yang tidak utuh serupa itu akan dengan sendirinya terhalang dari jalan mendapatkan kebahagiaan sejati. Ia menjadi manusia yang tidak lagi integral, sehingga ia pun tidak lagi mungkin tampil sebagai khalifah Allah di bumi. Karena itu sungguh besar kezaliman orang yang merampas kebebasan orang lain malalui tindakan tiranik, otoriter dan zalim. Karena harkat dan martabartnya, manusia adalah makhluk yang tidak boleh menindas dan tidak boleh pula ditindas.

Oleh karena itu kehidupan yang utuh, yang integral, yang memenuhi fungsi kekhalifahan kemanusiaan universal di bumi, berpangkal dari kebebasan nurani. Yaitu kebebasan dari setiap bentuk pemaksaan, sekalipun pemaksaan yang dilakukan atas nama kebenaran mapan (established truth), sesuatu yang jelas benar dan baik. Keutuhan hidup manusia dimulai dengan adanya kebebasan padanya untuk menerima atau menolak sesuatu yang berkaitan erat dengan nilai hidup pribadinya yang mendalam. Lebih-lebih setelah mencapai tingkat peradaban seperti yang ditampilkan sejak kurang lebih limabelas abad terakhir ini, kemanusiaan universal haruslah dipandang sebagai telah dewasa, telah matang dalam mengambil keputusan tentang hidup nuraninya.

Seorang manusia harus dibiarkan dengan bebas bereksperimen dengan kebebasan hati nuraninya sendiri: kebebasan untuk menerima atau menolak sesuatu — baik dan buruk, benar dan salah — dengan kesediaan menanggung risikonya sendiri, juga baik dan buruk, bahagia dan sengsara. Sebab yang benar telah jelas berbeda dari yang salah, yang sejati telah jelas berlainan dari yang palsu. Manusia, dalam suasana kebebasan dan kejujuran hati nuraninya, akan mampu membedakan, menangkap dan mengikuti mana yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu. Manusia sejak limabelas abad terakhir ini harus dipandang sebagai makhluk yang dewasa, yang perkembangan budayanya telah dapat memperkuat kemampuan primordialnya untuk mengenali yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang palsu. Tinggal ia harus membuktikan sendiri, apakah pilihannya itu membuahkan kebebasan yang lebih besar, yaitu kebebasan dari setiap bentuk tirani — termasuk kecenderungan tiranik diri sendiri — yaitu suatu kebebasan yang menjadi buah dan hasil pengenalan dan penganutan seseorang kepada yang benar dan yang sejati.

Oleh karena sedemikian asasinya kemerdekaan nurani ini, maka biarpun seorang yang mengetahui dengan pasti tentang apa yang benar dan yang sejati — seperti para Nabi dan Rasul, misalnya — tidak diperkenankan Allah memaksakan pengetahuannya itu kepada orang lain. Mereka yang meyakini suatu kebenaran dan kesejatian, serta meyakini pula bahwa kebenaran dan kesejatian itu akan membawa keselamatan dan kebahagiaan orang lain, dibolehkan hanya sampai kepada tingkat memberi peringatan kepada orang lain itu, dan hanya sampai kepada tingkat mengajaknya dengan hikmah kebijaksanaan, keterangan persuasif yang penuh pengertian, dan argumentasi dialektis yang meyakinkan. Karena itu para Rasul pun hanya bertugas memberi peringatan seperti itu, dan samasekali tidak diberi tugas untuk memaksa atau menguasai orang lain.


Demokrasi, Demokratisasi dan Hak Asasi
Dalam persimpangan jalan pertumbuhan dan perkembangan bangsa kita yang amat penting sekarang ini, prinsip-prinsip kebebasan nurani dalam semangat kemanusiaan universal tersebut di atas sungguh harus mulai menjadi acuan serius bagi seluruh lapisan masyarakat. Prinsip-prinsip itu merupakan dasar dan titik tolak bagi segenap usaha mengembangkan dan menegakkan kesadaran akan hak-hak asasi dan demokrasi, sejalan dengan tekad dan cita-cita bangsa sebagaimana tertuang dalam falsafah negara. Tidak seorangpun dari kita yang boleh dibiarkan menyisihkan hak istimewa untuk dirinya sehingga terbebas dari kewajiban memenuhi tuntutan nilai-nilai falsafah negara itu. Hak dan kewajiban setiap pribadi warga negara adalah sama di hadapan nilai kefalsafatan negara. Hak seseorang terhadap yang lain adalah kewajiban orang lain itu, dan kewajiban seseorang terhadap orang lain adalah hak orang bersangkutan.

Seperti halnya semua nilai luhur tidak dengan sendirinya terwujud dalam masyarakat tanpa kesungguhan mengusahakannya, maka demikian pula hak-hak asasi juga tidak akan terwujud tanpa pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga yang memiliki komitmen dan ketulusan batin untuk memperjuangkannya. Maka kini, dalam simpang jalan perjalanan bangsa ini, tindak lanjut logis dari pembangunan bangsa yang amat prinsipil antara lain ialah memperjuangkan hak-hak asasi sebagaimana dikehendaki oleh falsafah negara. Berkaitan dengan sumber-sumber kekuasaan, dalam masyarakat secara minimal harus ditegakkan hak-hak yang tak terpisahkan dari perikehidupan yang sentosa, yaitu hak-hak pribadi untuk hidup dan memperoleh jaminan keamanan atas hidupnya itu; hak-hak pribadi untuk tidak disiksa, baik fisik maupun mental; hak-hak pribadi untuk memperoleh pengadilan yang tidak memihak, yang fair; hak-hak pribadi untuk tidak mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.

Pelanggaran atas hak-hak pribadi tersebut akan merupakan pelanggaran hak asasi yang paling telanjang. Pelanggaran atas hak-hak itu juga merupakan penyelewengan yang paling gawat dari dasar dan falsafah kenegaraan kita. Dan karena hak-hak itu ada dalam konteks kekuasaan, maka usaha melindungi dan menegakkannya memerlukan sistem dan tatanan kekuasaan yang adil, yang fair, yang tidak memihak kepada kepentingan diri sendiri dan golongan. Yaitu suatu sistem kekuasaan yang tidak terpengaruh oleh perasaan suka-tidak suka. Yaitu suatu kekuasaan yang sanggup menegakkan keadilan sekalipun terkena kepada diri si penguasa sendiri.

Asas Keimanan dan Ketaqwaan
Semuanya itu memerlukan sistem yang dalam dirinya terkandung mekanisme untuk mampu mengawasi dan meluruskan dirinya sendiri, serta mendorong pertumbuhan dan perkembangannya ke arah yang lebih baik, dan terus lebih baik. Yaitu sistem yang kini lazim disebut demokrasi. Yaitu sistem yang dalam konteks falsafah kenegaraan kita bertitik tolak dari jiwa keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dasar yang benar dari seluruh kegiatan manusia.

Jiwa keimanan dan ketaqwaan itu melengkapi kita dengan tujuan hidup yang tinggi, yang transendental, yang mengatasi tujuan-tujuan hidup yang duniawi, yang terrestrial. Tetapi karena keimanan dan ketaqwaan selamanya bersifat pribadi — justru yang paling pribadi — maka ia tidak cukup guna menciptakan masyarakat yang membahagiakan semuanya. Keimanan dan ketaqwaan itu harus diterjemahkan kedalam tindakan-tindakan nyata dalam masyarakat, berupa tindakan-tindakan kebajikan yang sejalan dengan semangat kemanusiaan universal, sehingga berdampak kepada kehidupan bersama.

Selanjutnya karena tindakan berdimensi sosial itu menyangkut para anggota masyarakat yang menjadi lingkungannya, jauh atau dekat, maka ia tidak dapat dipertaruhkan hanya kepada keinginan atau aspirasi pribadi. Tidak boleh diremehkan adanya kemungkinan seorang pribadi dikuasai oleh kepentingan dirinya sendiri dan didikte oleh vested interest-nya, menuju kepada tirani. Maka dari itu dalam masyarakat selalu diperlukan adanya mekanisme yang efektif untuk terjadinya proses saling mengingatkan tentang apa yang benar dan yang menjadi kebaikan bersama. Dan pada urutannya, proses serupa itu memerlukan kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat. Oleh karena itu setiap pengekangan kebebasan-kebebasan ini dan pencekalan atau pelarangan berbicara dan mengemukakan pikiran adalah pelanggaran yang amat prinsipil terhadap tuntutan falsafah kenegaraan kita. Dengan hasil pembangunan yang membuat rakyat kita semakin cerdas dan semakin mampu mengambil peran dalam kehidupan bersama sekarang ini, setiap pengekangan dan pembatasan kebebasan menyatakan pendapat harus diakhiri dengan tegas, dan kita harus menumbuhkan dalam diri kita sendiri kepercayaan yang lebih besar kepada rakyat. Janganlah kita menjadi korban dari keberhasilan pembangunan nasional kita sendiri, karena kita tidak menyadari dinamika masyarakat yang menjadi konsekwensi logisnya, kemudian kita digulung oleh gelombang dinamika perkembangan masyarakat itu.

Sampai di sini pun persoalan belum berhenti, dan tidak cukup. Semua prinsip yang tiga itu — keimanan, keterlibatan sosial, serta kebebasan menyatakan pendapat sebagai dasar terciptanya pengawasan dan pengimbangan (check and balance) — masih harus dilanjutkan dan dilengkapi dengan jiwa, semangat dan kemampuan menahan diri dan tabah hati untuk menerima kenyataan-kenyataan yang mungkin bertentangan dengan kepentingan diri sendiri, yaitu kenyataan-kenyataan yang akan membawa kebaikan bersama. Harus ada semangat menepiskan kepentingan diri sendiri dan mendahulukan kepentingan orang banyak. Karena memang keterbukaan dan kebebasan yang sejati selalu memerlukan sikap-sikap bertanggung jawab, sikap-sikap yang bebas dari egoisme dan vested interest. Sebab, seperti pernah diingatkan Bung Hatta, kebebasan yang tak terkendali akan mengundang lawan kebebasan itu sendiri, yaitu tirani.

Berdasarkan itu semua harus dipandang dan diterima sebagai hal yang wajar saja bahwa akhir-akhir ini negeri kita ditandai oleh arus deras tuntutan mewujudkan demokrasi dan demokratisasi. Wajar, karena arus itu merupakan salah satu dari banyak konsekwensi alami tingkat perkembangan negara kita, baik yang materiil maupun yang non-materiil. Yang materiil ialah taraf hidup yang makin baik dari masyarakat pada umumnya, dan yang non-materiil ialah taraf kemampuan kognitif yang lebih tinggi daripada sebelumnya, sebagai hasil kesempatan berpendidikan yang bertambah luas.

Sebagai hal yang wajar, kita harus menilai arah perkembangan itu secara positif. Jika dapat dilakukan pembedaan analitis yang tegas dan jelas antara segi makro dan segi mikro arah perkembangan itu, maka barangkali penilaian kita ialah bahwa keseluruhan perkembangan tersebut akan membawa kebaikan bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sekalipun segi-segi mikronya mungkin ada hal-hal yang tidak sepadan.


Masalah Oposisi
Dengan titik tolak pandangan dasar itu kita ingin bicara tentang demokrasi, demokratisasi dan oposisi. Oleh karena perkataan demokrasi sudah menjadi kata-kata harian, ada kesan seolah-olah pembicaraan tentang hal itu tidak perlu lagi. Tetapi ketika orang menyadari adanya tarik-menarik antara, di satu pihak, pengertian demokrasi sebagai sesuatu yang universal dan, di pihak lain, perwujudan demokrasi itu dalam konteks ruang, seperti faktor geografis yang acapkali berdampak kultural, dan konteks waktu seperti pengalaman kesejarahan suatu bangsa yang menjadi unsur kuat identifikasi diri bangsa itu, maka kita dapati bahwa demokrasi--seperti halnya dengan konsep-konsep besar lainnya, termasuk agama--tidak pernah sederhana. Diskusi, bahkan kontroversi, di negeri kita sekitar masalah itu sudah lama dikenal, sejak dari masa-masa para bapak republik meletakkan dasar pemikiran kenegaraan kita (yang antara lain menghasilkan Pancasila) sampai kepada isyu tidak lama yang lalu seperti ide reaktualisasi Islam oleh Munawir Syadzali dan mempribumikan Islam oleh Abdurrahman Wahid. Reaksi-reaksi yang sengit terhadap ide-ide itu menunjukkan kompleksitas permasalahan bersangkutan.

Kompleksitas demokrasi yang berada dalam dinamika tarik-menarik antara universalitasnya dan kenisbian kultural dalam perwujudannya tercermin dalam kenyataan tentang banyaknya ragam atau versi demokrasi, dari satu negara ke negara lain. Keragaman itu sedemikian rupa sehingga penilaian terhadap versi yang berbeda-beda itu mendorong penilaian yang berbeda-beda pula, dalam kategori penolakan dan penerimaan, pendukungan dan penentangan. Alexis de Toqueville, misalnya, dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Democracy in America, mendapati bahwa demokrasi ala Amerika Serikat adalah pada hakikatnya sebuah sistem yang memberi peluang kepada mayoritas untuk bertindak semaunya. Demokrasi Amerika, kata sarjana Perancis kenamaan itu, adalah semacam sistem diktator mayoritas. Jika Anda termasuk minoritas, kata de Tocqueville, Anda tidak akan mendapatkan apa-apa, karena semuanya telah ditentukan oleh mayoritas yang memenangkan pemilihan umum. Dan melalui kemenangan dalam pemilihan umum itu sebuah partai mayoritas menyisihkan untuk dirinya semua hak menentukan kebijakan politik, melalui institusi kepresidenan yang amat kuat. Presiden yang memangku jabatan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, yaitu empat tahun, adalah seorang kepala eksekutif yang sangat berkuasa, dan yang tidak dapat dijatuhkan di tengah masa jabatan. Tentu ada perkecualian, seperti Richard Nixon yang dikenakan tuntuan Kongres (impeachment) karena skandal Watergate. Di luar itu, demokrasi ala Amerika adalah sistem politik yang melandasi pemerintahan yang sangat kuat, jauh lebih kuat daripada banyak pemerintahan demokratis di Eropa Barat. Maka jika pengamatan dan penilaian de Tocqueville benar--sebagaimana banyak orang menerima dan meyakini demikian--bahwa demokrasi Amerika adalah "kedikatoran" atau "tirani mayoritas", maka demokrasi Amerika sesungguhnya boleh dikata bukanklah demokrasi, sebab sebuah kediktatoran atau tirani, betapapun kualifikasinya seperti pelaksanaannya yang oleh mayoritas, samasekali bukanlah demokrasi.

Namun sudah pasti bahwa mereka yang bersangkutan sendiri, yaitu orang-orang Amerika, akan dengan keras menolak penilaian serupa itu. Demokrasi dalam pengertian yang lebih menyeluruh tidak dapat direduksikan hanya kepada mekanisme-mekanisme pelaksanaan kekuasaan yang antara lain melahirkan kekuasaan mayoritas yang mungkin saja berlangsung atas kerugian minoritas. Demokrasi adalah lebih banyak daripada sekedar tatanan pemerintahan. Meskipun hal itu amat penting, namun ia harus dipandang sebagai salah satu hasil akhir yang bersifat formal dan struktural. Dan segi-segi kekurangan sudut formal dan struktural demokrasi itu dapat diimbangi dengan usaha perbaikan sambil berjalan, melalui improvisasi berdasarkan pengalaman-pengalaman nyata. Justru kekuatan demokrasi ialah bahwa ia merupakan sebuah sistem yang mampu, melalui dinamika internnya sendiri, untuk mengadakan kritik kedalam dan perbaikan-perbaikannya, berdasarkan prinsip keterbukaan dan kesempatan untuk bereksperimen. Dan prinsip keterbukaan serta kesempatan bereksperimen itulah salah satu dari ruh demokrasi yang paling sentral.


Kebebasan dan Tanggung Jawab
Keterbukaan itu dengan sendirinya mengandung pengertian kebebasan. Dan logika dari kebebasan ialah tanggung jawab. Seseorang disebut bebas apabila ia dapat melakukan sesuatu seperti dikehendakinya sendiri atas pilihan serta pertimbangannya sendiri, sehingga orang itu secara logis dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Seseorang yang melakukan sesuatu karena terpaksa dengan sendirinya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya itu. Seperti dikatakan oleh S.I. Benn dan R.S. Peters,

Mengatakan bahwa seseorang tidak dapat menghindar atau terpaksa melakukan sesuatu yang ia kerjakan adalah sama dengan mengatakan bahwa dia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya itu. Karenanya dalam pembicaraan tentang keadaan tak mampu menghindar dalam kaitannya dengan kebebasan dan determinisme kita sesungguhnya juga berbicara tentang konsep pertanggungjawaban.

Oleh karena itu, menurut Bradley, sebagaimana dikutip oleh Benn dan Peters, tanggung jawab dalam kaitannya dengan kebebasan melibatkan beberapa persyaratan:

Pertama, kelangsungan identitas perorangan. Artinya, tindakan yang bebas ialah tindakan yang tetap mencerminkan kepribadian orang bersangkutan. Justru seseorang bebas melakukan sesuatu karena sesuatu itu mencocoki dirinya, sehingga menjadi pilihannya. Maka tidak dapat dinamakan sebagai kebebasan jika seseorang melakukan sesuatu yang tidak merupakan kelanjutan yang konsisten dari kepribadiannya. Dan hanya dengan dasar kontinuitas dan konsistensi itu maka seseorang dapat dipandang sebagai bertanggung jawab atas tindakannya. Dan ini merupakan dasar bagi keharusan adanya freedom of conscience, kebebasan nurani.

Kedua, seseorang disebut bebas dan bertanggung jawab kalau pekerjaan yang dilakukannya benar-benar keluar dari dirinya sendiri, jadi tidak dipaksakan dari luar. Pemaksaan didefinisikan oleh Bradley sebagai "dihasilkannya suatu akibat, dalam jasmani atau ruhani suatu makhluk hidup, dari sesuatu yang tidak terkait sebagai konsekwensi kemauan makhluk itu." ("...the production, in the body or mind of an animate being, of a result which is not related as a consequence to its will.") Dengan perkataan lain, pemaksaan adalah dihasilkannya suatu tindakan yang bertentangan dengan kemauan yang bersangkutan. Karena itu dia tidak dapat disebut sebagai bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya.

Ketiga, orang disebut bebas dan bertanggung jawab jika ia berakal, yakni, ia mengetahui keadaan khusus perkara yang dihadapi. Jika ia melakukannya karena tidak mengerti, maka ia tidak dapat dipandang sebagai bertanggung jawab.

Keempat, orang bersangkutan haruslah seorang pelaku moral (moral agent), yaitu orang yang mengetahui aturan umum yang dituntut oleh masyarakatnya. Tanpa pengetahuan itu, seseorang tidak mungkin diperlakukan sebagai bertanggung jawab atas tindakannya.


Demokrasi dan Eksperimentasi
Demokrasi adalah suatu kategori dinamis, bukan statis. Tidak seperti kategori-kategori statis yang stasioner (diam di suatu tempat), suatu kategori dinamis selalu berada dalam keadaan terus bergerak, baik secara negatif (mundur) atau positif (maju). Dalam masalah sosial, suatu nilai yang berkategori dinamis, seperti demokrasi dan keadilan, gerak itu juga mengimplikasikan perubahan dan perkembangan. Karena adanya sifat gerak itu, maka demokrasi dan keadilan tidak dapat didefinisikan "sekali untuk selamanya" (once and for all). Karena itu "demokrasi" adalah sama dengan "proses demokratisasi" terus-menerus. Cukuplah untuk dikatakan bahwa suatu masyarakat tidak lagi demokratis kalau ia berhenti berproses menuju kepada yang lebih baik, dan terus yang lebih baik lagi.

Oleh karena itu faktor eksperimentasi, dengan coba dan salahnya, trial and error-nya, adalah bagian yang integral dari ide tentang demokrasi. Suatu sistem disebut demokratis jika ia membuka kemungkinan eksperimentasi terus-menerus, dalam kerangka dinamika pengawasan dan pengimbangan (check and balance) masyarakat. Demokrasi yang dirumuskan "sekali untuk selamanya", sehingga tidak memberi ruang bagi adanya perkembangan dan perubahan, adalah sesungguhnya bukan demokrasi, melainkan kediktatoran. Contoh yang paling mudah untuk hal ini ialah apa yang disebut "Demokrasi Rakyat" model negara-negara komunis. Itulah demokrasi yang dirumuskan "sekali untuk selamanya." Dan pengalaman menunjukkan bahwa begitu orang mencoba merumuskan demokrasi "sekali untuk selamanya" maka ia berubah menjadi ideologi tertutup, padahal mengatakan demokrasi sebagai ideologi tertutup adalah suatu kontradiksi dalam terminologi.

Itulah sebabnya maka demokrasi memerlukan ideologi terbuka. Atau, demokrasi adalah ideologi terbuka. Yaitu, sekali lagi, ideologi yang membuka lebar pintu bagi adanya perubahan dan perkembangan, melalui eksperimentasi bersama. Karena itu demokrasi adalah satu-satunya sistem yang mampu mengoreksi dirinya sendiri dan membuat perbaikan dan perubahan ke arah kemajuan bagi dirinya sendiri.

Eksperimentasi itu, sebagaimana telah disinggung, dipertaruhkan kepada dinamika masyarakat, dalam wujudnya sebagai dinamika pengawasan dan pengimbangan (check and balance). Mengapa pengawasan, karena, sebagai ideologi terbuka, demokrasi adalah sistem yang terbuka untuk semua pemeran?serta (partisipan), dan tidak dibernarkan untuk diserahkan kepada keinginan pribadi atau kebijaksanaannya, betapapun wasesa-nya (wise-nya) orang itu. Dan mengapa pengimbangan, karena sistem masyarakat dapat dikatakan sebagai demokratis hanya jika terbuka kesempatan bagi setiap kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi, apapun dan bagaimanapun caranya, dan tidak boleh dibiarkan adanya unsur sebagian yang mendominasi keseluruhan. Adalah mekanisme ini yang membuat demokrasi di Amerika, misalnya, tidak sepenuhnya merupakan "tirani mayoritas" seperti dikatakan oleh Alexis de Tocqueville.


Oposisi dan Pengawasan dan Pengimbangan
Dengan begitu terciptalah sistem yang dalam dirinya terkandung mekanisme untuk mampu mengoreksi dan meluruskan dirinya sendiri, serta mendorong pertumbuhan dan perkembangannya ke arah yang lebih baik, dan terus lebih baik. Karena dalam analisa terakhir masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi atau, dalam perkataan lain, masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi-pribadi, maka demokrasi pun sesungguhnya berpangkal kepada pribadi-pribadi yang "berkemauan baik". Akan tetapi karena sifatnya yang pribadi itu, kemauan atau iktikad, baik dan buruk, dapat dipandang sebagai "rahasia" yang menjadi urusan pribadi orang bersangkutan. Maka ia akan mempunyai fungsi sosial hanya jika diwujudkan dalam tindakan bermasyarakat, yang bedimenasi sosial.

Karena tindakan berdimensi sosial itu menyangkut para anggota masyarakat yang menjadi lingkungannya, jauh atau dekat, maka ia tidak dapat dipertaruhkan hanya kepada keinginan atau aspirasi pribadi. Tidak boleh diremehkan adanya kemungkinan seorang pribadi dikuasai oleh kepentingan dirinya sendiri dan didikte oleh vested interest-nya, menuju kepada tirani. Maka dari itu dalam masyarakat selalu diperlukan adanya mekanisme yang efektif untuk terjadinya proses saling mengingatkan tentang apa yang benar dan yang menjadi kebaikan bersama. Dan pada urutannya, proses serupa itu memerlukan kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat.

Oleh karena itu setiap pengekangan kebebasan-kebebasan tersebut dan pencekalan atau pelarangan berbicara dan mengemukakan pikiran adalah pelanggaran yang amat prinsipil terhadap tuntutan falsafah kenegaraan kita. Di sinilah relevannya pembicaraan tentang perlunya partai oposisi. Yaitu partai atau kelompok masyarakat yang senantiasa mengawasi dan mengimbangi kekuasaan yang ada, sehingga terpelihara dari kemungkinan jatuh kepada tirani.

Harus diakui bahwa ide tentang oposisi adalah sebuah temuan modern. Artinya, sebelum zaman modern ini ide tentang oposisi sebagai kelembagaan yang dibuat secara deliberate belum ada. Yang ada pada zaman itu ialah oposisi de facto yang lahirnya dan penerimaannya dalam masyarakat bersifat kebetulan, tidak sengaja, alias accidental. Padahal sesuatu yang terjadi hanya secara "kebetulan" (apalagi jika wujud de facto-nya ada tetapi pengakuan de jure-nya tidak ada), tidak akan berjalan efektif, malah kemungkinan justru mudah mengundang anarki dan kekacauan karena usaha-usaha check and balance berlangsung sekenanya dan tidak dengan penuh tanggung jawab.


Demokrasi dan Kedewasaan
Namun sesungguhnya prinsip-prinsip kemauan baik pribadi, komitmen sosial, dan mekanisme pengawasan dan pengimbangan melalui kebebasan-kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, belumlah lengkap dan sempurna. Kembali kepada pribadi, juga kepada kelompok, masih diperlukan adanya sikap tabah dan tulus untuk mendahulukan kepentingan umum dan menyisihkan kepentingan pribadi semata, dan untuk melihat kemungkinan diri sendiri salah dan orang lain benar. Dengan kata-kata lain, diperlukan kedewasaan menyatakan pendapat, menerima pendapat, dan berbeda pendapat. Ini dapat merupakan hal yang amat berat atas individu-individu, mengingat kecenderungan setiap orang kepada egoisme dan mendahulukan vested interest?nya sendiri. Demokrasi tidak akan terwujud jika tidak ada ketabahan pribadi untuk kemungkinan melihat dirinya salah dan orang lain benar. Dan ini hanya dapat diatasi jika setiap orang memahami dan menerima demokrasi sebagai pandangan hidup, atau way of life. Seperti dikatakan oleh T.V. Smith dan Eduard C. Lindeman,

Orang-orang yang berdedikasi kepada pandangan hidup demokratis mampu bergerak ke arah tujuan itu jika mereka bersedia menerima dan hidup menurut aturan tentang terlaksananya (hanya) sebagian dari idé-idé. Perfeksionisme dan demokrasi adalah dua hal yang saling tidak cocok.

Barangkali terlalu banyak kalau dikatakan bahwa demokrasi menuntut adanya tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi. Tetapi memang keterbukaan dan kebebasan yang sejati selalu memerlukan sikap-sikap bertanggung jawab, sikap-sikap yang bebas dari egoisme dan vested interest. Seperti ternyata dari kutipan di atas, kita mampu mendukung pandangan hidup demokratis kalau kita mampu meninggalkan sikap "mau menang sendiri", dan menerima ketentuan bahwa demokrasi akan menghasilkan diterimanya dan dilaksakannya hanya sebagian dari keinginan dan pikiran kita. Perfeksionisme dan absultisme adalah pandangan-pandangan yang berlawanan dengan ide demokrasi dan demokratisasi. Dalam demokrasi harus selalu ada kesediaan untuk membuat kompromi-kompromi. Apalagi selalu ada kemungkinan bahwa keinginan dan pikiran kita sendiri itu adalah hasil perpanjangan dari vested interest kita, jadi egois, setidaknya subyektif. Maka prinsip "partial functioning of ideas" harus benar-benar dimengerti, dihayati dan dipegang teguh. Sudah tentu demikian pula halnya dalam kita melakukan oposisi yang merupakan bagian amat penting dari mekanisme check and balance, sebagai kekuatan amar ma‘ruf nahi munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kejahatan).

Wallâh-u a‘lam. 
 
 
 
 
 

0 komentar:

Posting Komentar