Oleh: Nani Efendi
Berkaitan dengan puasa Ramadhan, ada hadits yang cukup populer disampaikan oleh para ustadz atau penceramah. Hadits itu berbunyi sebagai berikut: "Man shama Ramadhana iymanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min zanbih." (HR. Bukhari)
Hadits ini sering diterjemahkan:
"Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan perhitungan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Yang perlu diperjelas adalah kata-kata "perhitungan". Apa arti "perhitungan" dalam konteks hadits itu? Jangan hanya bisa menyebutkan. Karena kata "perhitungan" itu, di masyarakat tertentu, kadang diidentikkan juga dengan kata "pelit".
Saya coba menganalisis kata "perhitungan" itu. Menurut saya, kata itu lebih tepat diterjemahkan menjadi "dengan penuh muhasabah", atau "menghitung-hitung atau menghisab diri". Sebagai terjemahan dari kata "wahtisaban"/"ihtisab".
Cak Nur—dalam bukunya 30 Sajian Ruhani: Renungan di Bulan Ramadlan (Bandung: Mizan, 1998, hlm. 76-84)—menerjemahkan kata "ihtisab" dengan "introspeksi diri" atau "mawas diri". Cak Nur menerjemahkan hadits tersebut berbunyi:
"Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan introspeksi diri, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Tapi, kata Cak Nur lagi, kata itu lebih tepat kalau diterjemahkan dengan "self-examination" atau "melakukan koreksi diri".
Cak Nur menulis:
Namun agaknya kata ihtisib akan lebih tepat kalau diterjemahkan dengan self-examination atau melakukan koreksi diri. Koreksi diri adalah tindakan yang sangat sulit dilakukan, khususnya oleh mereka yang tidak memiliki sikap jujur dan rendah hati. Berkaitan dengan itu, ungkapan atau pepatah yang berbunyi, “Katakanlah yang benar itu walau pahit rasanya,” sebenarnya pekerjaan tersebut belum terlalu berat jika dibandingkan dengan melakukan koreksi diri. Itu karena biasanya orang akan lebih mudah melakukan kritik dan menilai kesalahan orang lain daripada mengoreksi diri sendiri.
Kemauan melakukan koreksi atau kritik terhadap kesalahan diri, kata Cak Nur, adalah pekerjaan yang amat sulit. Akan tetapi, inilah hakikat akhlak mulia sebagaimana yang dimaksudkan oleh hadist Nabi di atas tadi. Di situlah pentingnya amalan puasa harus diikuti oleh tindakan ihtisab agar orang beriman dapat memiliki akhlak mulia.
Kalau seseorang tidak mampu melakukan koreksi dan kritik diri, yang di dalamnya dibutuhkan ketulusan dan kejujuran hati, maka yang akan terjadi adalah munculnya sikap sombong, selalu merasa paling benar.
Tapi, bagi saya, kata itu juga tepat diterjemahkan dengan "menghitung diri atau bermuhasabah": mengingat-ingat sudah berapa banyak amal baik yang kita lakukan dan berapa banyak pula dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat. Dengan muhasabah-lah, kita bisa benar-benar sadar, memohon ampun, dan mengharap rahmat dan ampunan Allah semata. (NE)
0 komentar:
Posting Komentar