alt/text gambar

Selasa, 30 Juni 2015

Topik Pilihan:

GM vs PRAM





SURAT TERBUKA UNTUK PRAMOEDYA ANANTA TOER

Oleh: Goenawan Mohamad


Seandainya ada Mandela di sini. Bung Pram, saya sering mengatakan itu, dan mungkin mulai membuat orang jemu. Tapi Mandela, di Afrika Selatan, menyelamatkan manusia dari abad ke-20. Tiap zaman punya gilanya sendiri. Abad ke-20 adalah zaman rencana besar dengan pembinasaan besar. Hitler membunuh jutaan Yahudi karena Jerman harus jadi awal Eropa yang bersih dari ras yang tak dikehendaki. Stalin dan Mao dan Pol Pot membinasakan sekian juta “kontrarevolusioner” karena sosialisme harus berdiri. Kemudian Orde Baru: rezim ini membersihkan sekian juta penduduk karena “demokrasi pancasila” tak memungkinkan adanya orang komunis (dan/atau “ekstrim” lainnya) di sudut manapun.

Rencana besar, cita-cita mutlak, dan mengalirkan darah. Manusia menjadi penakluk. Ia menaklukkan yang berbeda, yang lain, agar dirinya jadi subjek.

Mandela bertahun-tahun di penjara, orang hitam Afrika Selatan bertahun-tahun ditindas, tapi kemudian ketika ia menang, ia membuktikan bahwa abad ke-20 tak sepenuhnya benar: manusia ternyata bisa untuk tak jadi penakluk. Ia menawarkan rekonsiliasi dengan bekas musuh. Ia tak membalikkan posisi dari si objek jadi sang subjek.

Tiap korban yang mengerti rasa sakit yang sangat tak akan mengulangi sakit itu bahkan kepada musuhnya yang terganas. Ia akan menghabisi batas antara subjek dan objek. Makna “rekonsiliasi” di Afrika Selatan punya analogi dengan impian Marx: karena proletariat tertindas, kelas ini berjuang agar setelah kapitalisme ambruk, segala kelas sosial pun hilang. Proletariat tak akan mengakhiri sejarah dengan berkuasa, melainkan menghapuskan kekuasaan, pangkal lahirnya korban-korban. Sejarah adalah sejarah penebusan kemerdekaan. 

Utopia itu tak terlaksana, tapi tiap utopia mengandung sesuatu yang berharga. Begitu ia menang, Mandela membongkar kembali tindak sewenang-wenang para petugas rezim apartheid yang menindasnya (dan juga tindak sewenang-wenang pejuang kemerdekaan pendukung Mandela sendiri). Proses itu mirip “pengakuan dosa” di depan publik.

Kemudian: pertalian kembali. Mandela menunjukkan, bahwa pembebasan yang sebenarnya adalah pembebasan bagi semua pihak. Bung Pram, saya ragu apakah Bung akan setuju dengan asas itu. Bung menolak ide “rekonsiliasi”, seperti Bung nyatakan dalam wawancara dengan Forum Keadilan 26 Maret 2000 pekan lalu. Bung menolak permintaan maaf dari Gus Dur. “Gampang amat!”, kata Bung. Saya kira, di sini Bung keliru.

Ada beberapa kenalan, yang seperti Bung, juga pernah disekap di Pulau Buru, di antaranya dalam keadaan yang lebih buruk. Mereka sedih oleh pernyataan Bung. Saya juga sedih, karena Bung telah bersuara parau ketidak-adilan. Justru ketika berbicara untuk keadilan. Bung terutama tak adil terhadap Gus Dur. Bagi seseorang dalam posisi Gus Dur, (Presiden Republik Indonesia, pemimpin NU, tokoh Islam, yang tumbuh dalam masa Orde Baru), meminta maaf kepada para korban kesewenang-wenangan 1965 berarti membongkar tiga belenggu yang gelap dan berat di pikiran banyak orang Indonesia.

Belenggu pertama adalah kebiasaan seorang pemimpin umat untuk memperlakukan umatnya sebagai kubu yang suci. Dengan meminta maaf, Gus Dur memberi isyarat bahwa klaim kesucian itu tak bisa dipertahankan, dan tak usah. Tiap klaim kesucian bisa jadi awal pembersihan dan kesewenang-wenangan. Dengan meminta maaf, diakui bahwa dalam peristiwa di tahun 1965 sejumlah besar orang NU, juga orang Islam lain – juga orang Hindu di Bali dan orang Kristen di Jawa Tengah – telah terlibat dalam sebuah kekejaman. Mengakui ini dan meminta maaf sungguh bukan perkara gampang. Bung Pram toh tahu tak setiap orang sanggup melakukan hal itu. Mungkin juga Bung sendiri tidak akan.

Dengan meminta maaf Gus Dur juga membongkar belenggu tahayul selama hampir seperempat abad: bahwa tiap orang PKI, juga tiap anak, isteri, suaminya, layak dibunuh atau disingkirkan. Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi: adilkah yang terjadi sejak 1965 itu? Seandainya pun pimpinan PKI bersalah besar di tahun 1965, toh tetap amat lalim hukuman yang dikenakan kepada tiap orang, juga sanak keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan partai itu. Kita ingat kekejaman purba: sebuah kota dikalahkan dan setiap warganya dibantai atau diperbudak.

Gus Dur agaknya tak menginginkan kezaliman itu. Ia, sebagai presiden, membiarkan dirinya dipotret duduk mesra dekat Iba, putri D.N. Aidit, yang hampir seumur hidupnya jadi pelarian yang tanpa paspor di Eropa. Dalam adegan itu ada gugatan: bersalahkah Iba hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban Gus Dur: tidak. Tak banyak tokoh politik yang berbuat demikian, Bung Pram. Tak gampang untuk seperti itu. Gus Dur juga telah membongkar belenggu ”teori” tua ini: bahwa PKI selamanya berbahaya. 

Ia bukan saja minta maaf kepada para korban pembasmian massal 1965. Ia juga hendak menghapuskan larangan resmi bagi orang Indonesia untuk mempelajari Marxisme-Leninisme. Ia seperti menegaskan bahwa komunisme adalah masa lampau yang menjauh, gagal—juga di Rusia dan Cina. Memekikkan terus “bahaya komunis” adalah menyembunyikan kenyataan bahwa PKI jauh lebih mudah patah dalam perlawanannya dibandingkan dengan gerakan Darul Islam.

Siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu. Gus Dur tidak. Ia sering salah, tapi ada hal-hal pelik yang ia tempuh karena ia ingin masa lalu tak jadi sebuah liang perangkap. Ia memang bukan Mandela yang pernah dirantai. Tapi seorang korban yang memaafkan sama nilainya dengan seorang bukan-korban yang meminta maaf. Maaf bukanlah penghapusan dosa. Maaf justru penegasan adanya dosa. Dan dari tiap penegasan dosa, hidup pun berangkat lagi, dengan luka, dengan trauma, tapi juga harapan. Dendam mengandung unsur rasa keadilan, tapi ada yang membedakan dendam dari keadilan. Dalam tiap dendam menunggu giliran seorang korban yang baru.

Begitu sulitkah Bung menerima prinsip itu? Karena masa lalu seakan-akan menutup pintu ke masa depan? Sekali lagi: siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu.

Tapi mungkin juga Bung hanya bisa melihat korban sebagai perpanjangan diri sendiri. Seakan di luar sana tak mungkin ada. Dalam wawancara, Bung menyatakan setuju bila orang-orang yang tak sepaham dengan Revolusi disingkirkan (ini di masa “Demokrasi Terpimpin” 1959-1965, ketika sejumlah suratkabar dibrangus, sejumlah buku & film & musik dilarang, sejumlah orang dipenjarakan). Bung mengakui ini semua melanggar hak asasi. Dan Bung punya argumen: waktu itu “Perang Dingin” dan Indonesia dalam bahaya. Tapi kekuasaan apa yang berhak menentukan ada “bahaya” atau tidak? Dan jika adanya ”bahaya” bisa menjadi dalih penindasan, Soeharto pun menjadi benar. Ia juga dulu mengumumkan Indonesia terancam bahaya (”komunis”) di Perang Dingin, maka rezimnya pun membunuh, membuang, dan mencopot entah berapa ribu orang dari jabatan. 

Dan pengadilan dibungkam. Bung memang menambahkan: ingat, pelanggaran hak asasi waktu Bung Karno tak seburuk dengan yang terjadi di masa Orde Baru. Mochtar Lubis, korban Demokrasi Terpimpin, tak dikurung di Pulau Buru, tapi di Jawa. Memang ada perbedaan. Tapi adakah peringkat penderitaan? Bagaimana membandingkannya? Di mana ukurannya, bila di masa yang sama, apalagi di masa yang berbeda, ada yang ditembak mati, ada yang disiksa, ada yang di sel, ada yang di pulau?

Dalam sejarah kesewenang-wenangan, semua korban akhirnya diciptakan setara, biarpun berbeda. Suatu hari dalam kehidupan Pramudya Ananta Toer di Pulau Buru setara terkutuknya dengan suatu hari dalam kehidupan Ivan Denisovich dalam sebuah gulag Stalin. Tak bisa ada hierarki dalam korban, sebagaimana mustahil ada hierarki kesengsaraan.

Saya kira ini penting dikemukakan. Di zaman ketika sang korban dengan mudah dianggap suci, seorang yang merasa lebih ”tinggi” derajat ke-korban-annya akan mudah merasa berhak jadi maha hakim terakhir. Tapi seperti setiap klaim kesucian, di sini pun bisa datang kesewenang-wenangan. Mandela tahu itu. Gus Dur mungkin juga tahu itu. Keduanya merendahkan hati. Saya pernah mengharapkan Bung akan bersikap sama. Saya pernah harapkan ini, Bung Pram: bukan sekedar keadilan dan hukum yang adil yang harus dibangun, tapi di arus bawahnya, kebencian pun lepas, dan kemudian hilang, tenggelam. Saya tak tahu masih bisakah saya berharap. 


Goenawan Mohamad, Mantan Pemred Majalah Tempo
 
* Tulisan GM ini dimuat di Majalah Tempo 3-9 April 2000, dan dimuat ulang dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2004).



SAYA BUKAN NELSON MANDELA
(TANGGAPAN BUAT GOENAWAN MOHAMAD)

Oleh: Pramoedya Ananta Toer



Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April 2000), seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia.

Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat. Lebih dari itu, saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma basa-basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa-basi.

Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. Mengapa harus dia yang mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu kelompok, NU misalnya, kenapa dia berbicara sebagai presiden? Dan jika dia bicara sebagai presiden, kenapa lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu saja? Sekalipun dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini mempunyai lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan MPR mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu.

Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi.

Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan. 

Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar.

Basa-basi baik saja, tapi hanya basa-basi. Selanjutnya mau apa? Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.

Minta maaf saja tidak cukup. Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat hukum. Jadikan itu keputusan DPR dan MPR. Tidak bisa begitu saja basa-basi minta maaf. Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke Buru. Semua menganggap saya sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru menangkap saya.

Ketika dibebaskan 14 tahun lalu, saya menerima surat keterangan bahwa saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan apa-apa. Dalam buku saya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan.

Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tak terkecuali para intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami. Mereka ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan Orde Baru.

Goenawan mungkin mengira saya pendendam dan mengalami sakit hati yang mendalam. Tidak. Saya justru sangat kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya, termasuk merampas semua yang dimiliki bangsanya sendiri.

Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini. Sekarang saya tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak lagi bisa menghibur saya.

Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Indonesia



0 komentar:

Posting Komentar