Oleh: Moh. Mahfud MD[2]
Pendahuluan
UUD 1945 hasil amandemen memiliki implikasi mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen tersebut kemudian disusul oleh perubahan dan penataan di berbagai bidang, tak terkecuali bidang hukum. Hal ini dilakukan sebagai merupakan implikasi langsung dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, adalah sudah semestinya untuk menjunjung tinggi supremasi hukum. Artinya, hukum diberi posisi sentral, untuk tidak lagi sekedar menjadi alat pembenar kehendak pemegang kekuasaan politik yang dominan. Untuk itu, reformasi bidang hukum dilakukan sebagai agenda yang tak terelakkan pasca perubahan UUD 1945.
Namun, meskipun reformasi sudah dijalankan, pembangunan tertib hukum belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Masih adanya peraturan perundang-undangan yang bermasalah baik secara vertikal maupun horizontal, adalah salah satu contoh sederhana. Di sisi lain, ada kesan bahwa pembentukan hukum kurang terkoordinasi dengan baik, menyangkut materi muatan maupun teknis prosedural pembentukannya.
Sejauh ini, ada beberapa problem yang teridentifikasi berkontribusi terhadap cengkarutnya bidang legislasi. Pertama, UU sebagai produk legislasi belum memadai secara kualitas sehingga kurang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Kedua, belum terpenuhinya target jumlah penyelesaian RUU yang telah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ketiga, proses pembahasan RUU dianggap kurang transparan sehingga sulit diakses oleh publik. Keempat, masih lemahnya tingkat koordinasi di antara alat kelengkapan DPR dalam penyusunan dan pembahasan suatu RUU.
Problem-problem itu kemudian menumbuhkan kesan bahwa
pembentukan hukum kurang dipersiapkan dengan baik sehingga banyak UU yang tidak
memenuhi asas-asas pembentukan UU atau tidak layak sebagai UU. Akibatnya,
banyak UU yang bukannya mengatasi masalah tetapi justru menimbulkan problem baru
di lapangan. Entah karena tidak dapat diimplementasikan atau tumpang tindih.
Persoalan-persoalan itu tentu menjadi hambatan yang kontra
produktif terhadap arah politik hukum nasional yang hendak dicapai. Agar arah
politik hukum nasional tetap terjaga, sebenarnya sudah disediakan instrumen pengawalan,
sejak pembentukan UU hingga UU tersebut berlaku, yaitu melalui Prolegnas dan
mekanisme judicial review. Keduanya merupakan
bagian penting dari pemikiran untuk mengawal politik hukum, agar tak sedetikpun
boleh ada, aturan hukum yang melawan atau bertabrakan dengan konstitusi.
Kerangka
Pikir dan Arah Politik Hukum
Politik hukum adalah legal
policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah. Legal policy itu meliputi pertama,
pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap
materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan
ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan
para penegak hukum. Dari pengertian itu, politik hukum mencakup proses
pembuatan dan pelaksanaan hukum, yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana
hukum akan dibangun dan ditegakkan. Melalui kalimat lain, politik hukum merupakan
garis resmi yang dijadikan dasar pijak sekaligus cara untuk membuat dan
melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan negara.
Dari pengertian itu, pembahasan politik hukum untuk
mencapai tujuan negara dengan satu sistem hukum nasional mencakup sekurang-kurangnya
lima hal berikut. (1) tujuan negara atau masyarakat Indonesia yang diidamkan
sebagai orientasi politik hukum, termasuk panggilan nilai-nilai dasar tujuan
negara sebagai pemandu politik hukum, (2) sistem hukum nasional yang diperlukan
untuk mencapai tujuan itu serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, (3)
perencanaan dan kerangka pikir dalam perumusan kebijakan hukum, (4) isi hukum
nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, (5) pemagaran hukum dengan Prolegnas
dan judicial review, legislative, review,
dan sebagainya. Selanjutnya, apabila hukum adalah alat mencapai tujuan, maka
sekali lagi, politik hukum harus diartikan sebagai arah yang harus ditempuh
dalam pembuatan dan penegakan hukum guna mencapai cita-cita dan tujuan bangsa. Untuk
itu, politik hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar sebagai berikut
yakni mengarah pada cita-cita bangsa yakni masyarakat yang adil makmur berdasar
Pancasila, ditujukan untuk mencapai tujuan negara sebagaimana disebutkan dalam Alenia
IV Pembukaan UUD 1945, dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara
dan keharusan untuk membangun sistem hukum Pancasila.[3] Kerangka dasar itu tidak
terlepas dari kedudukan Pancasila yang menjadi cita hukum (rechtside) dan harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum yang
berlaku di Indonesia.
Sebagai
hukum tertinggi, UUD 1945 memuat arah kebijakan hukum yang harus dijalankan
sesuai dengan tujuan nasional yang hendak dicapai dengan senantiasa berdasarkan
Pancasila. Politik hukum berdasarkan UUD 1945 tersebut harus pula sesuai dengan
prinsip negara hukum dan supremasi konstitusi. Sudah
jelas bahwa Indonesia
adalah negara hukum. Ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Konsepsi
negara hukum yang dulu dikesankan menganut
rechtstaat dinetralkan menjadi negara hukum tanpa ’embel-embel’ rechtstaat. Ini menunjukkan bahwa
konsepsi negara hukum yang dianut oleh UUD 1945 diperoleh baik dari rechtstaats maupun the rule of law, bahkan sistem hukum lainnya yang mengintegrasi.
Dalam implementasi, kesemuanya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan situasi.
Untuk merumuskan politik hukumnya, setiap negara
berpijak kepada sistem hukum yang dianut. Bagi Indonesia , sistem yang dianut
adalah sistem hukum Pancasila. Meskipun akhir-akhir ini tak banyak dibicarakan,
sistem hukum Pancasila sesungguhnya merupakan sistem yang justru berakar dari
budaya bangsa Indonesia .
Ia merupakan kaidah penuntun arah pembangunan hukum untuk
mencapai tujuan nasional. Pancasila adalah nilai dasar yang menjadi rambu-rambu
bagi pembangunan hukum nasional. Nilai-nilai dasar tersebut kemudian melahirkan
empat kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani dalam pembangunan hukum.
Pertama, hukum Indonesia
harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa baik secara teritorial maupun
ideologis. Hukum-hukum di Indonesia tidak boleh memuat isi yang berpotensi
menyebabkan terjadinya disintegrasi wilayah maupun ideologi. Harus dicegah
munculnya produk hukum yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa dan negara
Indonesia. Kedua, hukum harus bersamaan membangun demokrasi dan nomokrasi.
Artinya, hukum harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat
luas melalui mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel. Hukum di Indonesia
tidak dapat dibuat berdasar menang-menangan jumlah pendukung semata tetapi juga
harus mengalir dari filosofi Pancasila dan prosedur yang benar. Ketiga,
hukum harus membangun keadilan sosial. Tidak dibenarkan munculnya hukum-hukum
yang mendorong atau membiarkan terjadinya jurang sosial-ekonomi karena
eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang lemah tanpa perlindungan negara. Hukum
harus mampu menjaga agar yang lemah tidak dibiarkan menghadapi sendiri pihak
yang kuat yang sudah pasti akan selalu dimenangkan oleh yang kuat. Keeempat,
hukum harus membangun toleransi beragama dan berkeadaban. Hukum tidak boleh
mengistimewakan atau mendiskrimasi kelompok tertentu berdasar besar atau
kecilnya pemelukan agama. Indonesia bukan negara agama (yang mendasarkan pada
satu agama tertentu) dan bukan negara sekuler (yang tak peduli atau hampa
spirit keagamaan). Hukum negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama. Tetapi
negara harus memfasilitasi, melindungi, dan menjamin keamanan jika warganya
akan melaksanakan ajaran agama karena keyakinan dan kesadarannya sendiri.
Oleh
karena itu, untuk mengawal konsistensi pembuatan hukum dengan konstitusi, harus
dilakukan melalui alur politik hukum nasional yang telah diatur dengan rapi
agar setiap hukum selalu mengalir dan konsisten dengan tujuan negara, sistem
hukum, kaidah penuntun dan konstitusi.
Prolegnas
yang Tegas dan Imperatif
Selain mengatur jenis-jenis peraturan perundang-undangan
dan hierarkinya, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, juga mengatur materi muatan dan prosedur yang harus
ditempuh melalui koordinasi tertentu.[4] Di dalam UU tersebut
diperkenalkan secara resmi istilah Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan
Program Legislasi Daerah (Prolegda). Sebenarnya inti dari Prolegnas itu sudah
ada sejak 30 tahun yang lalu sebagai acuan dalam pembangunan nasional. Namun
baru pada UU inilah, istilah itu dimasukkan secara eksplisit, lebih tegas dan
imperatif.
Adanya Prolegnas, paling tidak akan
turut berkontribusi mencegah kesemrawutan perencanaan dan pembuatan UU. Di
samping itu, Prolegnas juga akan membuat pagar atau membatasi para pembuat UU,
terutama untuk mengusulkan RUU secara tiba-tiba tanpa kajian mendalam terlebih
dahulu. Usulan RUU yang tiba-tiba dan tanpa kajian mendalam seperti itu,
acapkali terjadi di Prancis. Hampir semua Menteri di Prancis ingin membuat UU
untuk alasan popularitas. Akibatnya, yang sering dimunculkan ke publik adalah
usulan RUU yang substansinya terlalu sepele, sudah ada aturannya, bahkan
berbenturan dengan UU lain yang sudah ada. Di Prancis, seorang Menteri ingin
agar namanya menempel pada sebuah UU. Meskipun secara resminya, setiap UU tidak akan dikaitkan dengan nama orang.
Dalam pemberitaan pers terkait sebuah UU, sering disebut UU yang disambung
dengan nama menteri pengusulnya, misalnya UU Nicolas, UU Delcamp, UU Jeff dan
sebagainya.
Di Indonesia, fenomena semacam itu tak bisa terjadi atau
tak dimungkinkan dengan adanya Prolegnas. Melalui Prolegnas, diharapkan agar UU
yang dihasilkan adalah UU yang baik, sinkron dan terarah serta konsisten dengan
arah politik hukum nasional. Namun kenyataannya, harapan itu belum terwujud
sepenuhnya. Masih sering dijumpai UU yang isinya dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK). Karena , UU atau bagian dari UU itu secara vertikal tidak
konsisten dengan UUD. Atau sangat boleh jadi karena secara horizontal tumpang
tindih dengan UU lain, sehingga malah membuat ketidakpastian hukum.
Politik hukum yang menyangkut rencana pembangunan materi
hukum pada saat sekarang ini sudah pasti termuat dalam Prolegnas. Artinya,
pemetaan rencana tentang hukum-hukum apa yang akan dibuat dalam periode
tertentu sebagai politik hukum dapat dilihat pada Prolegnas tersebut.
Menurut Pasal 1 angka 9 UU No. 10 Tahun 2004, Prolegnas adalah
instrumen perencanaan dan pembentukan UU yang disusun secara berencana, terpadu
dan sistematis yang memuat potret rencana hukum dalam periode tertentu disertai
prosedur yang harus ditempuh dalam pembentukannya.[5] Prolegnas itu secara tegas dimaksudkan agar ada jaminan
konsistensi antar peraturan perundang-undangan. Di samping itu agar setiap
peraturan perundang-undangan dapat menjadi aliran nilai kaidah-kaidah penuntun
hukum nasional yang bersumber pada Pancasila.
Prolegnas disusun oleh DPR bersama Pemerintah. Dalam proses
penyusunannya, DPR yanmg melakukan koordinasi. Kenapa oleh DPR? Karena DPR
adalah inilah konsekuensi logis dari hasil amandemen pertama UUD 1945 yang
menggeser titik berat aktor legislasi dari Pemerintah ke DPR.
Kedudukan Prolegnas sebagai wadah politik hukum (untuk
jangka waktu tertentu) sehingga kemudian dari sini akan terlihat setiap jenis
UU yang akan dibuat untuk jangka waktu tertentu sebagai politik hukum. Seperti
halnya pada awal Desember 2009 lalu DPR telah mengesahkan 248 RUU sebagai
prioritas Prolegnas 2010-2014. Sebanyak 58 RUU diantaranya menjadi prioritas
2010. DPR dan Pemerintah hanya berani mengajukan 247 RUU tentu saja dengan
mempertimbangkan segi kualitas dan berharap sistem pembahasan yang lebih
efektif.
Jumlah RUU yang dituangkan dalam Prolegnas memang
sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan DPR. Kemampuan tersebut dapat diukur misalnya
dengan menghitung jumlah anggota, jumlah komisi dan kemungkinan jumlah
terbentuknya pansus. Sehingga target yang akan dan harus dicapai cukup
realistis. DPR periode 2004-2009 lalu hanya berhasil menyelesaikan 186 RUU dari
335 RUU yang direncanakan dalam Prolegnas 2005-2009. Artinya, DPR menyelesaikan
hanya sekitar 56 persen selama lima tahun.
Dari jumlah tersebut, RUU di luar Prolegnas sebanyak 166
RUU. Sedangkan RUU yang berasal dari Prolegnas sendiri sekitar 70 RUU. Kemudian
ada 15 UU yang sudah disahkan paripurna DPR kemudian diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Hal-hal seperti itu menunjukkan bahwa perencanaan Prolegnas boleh dikatakan kurang
matang dan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ke depan, diperlukan berbagai langkah dan upaya
perbaikan. Mulai dari prosedur, materi, konsistensi dan koordinasi pelaksanaan
Prolegnas, termasuk juga bagaimana upaya menghentikan kegenitan pembuat UU yang
suka menerobos atau membuat RUU tanpa berpijak kuat pada Prolegnas. Ke depan, Prolegnas
harus secara konsisten dijalankan meskipun tanpa menutup peluang RUU baru disisipkan di dalam Prolegnas prioritas. Dengan
catatan, ada alasan-alasan yang tepat dan memungkinkan.
Belajar dari pengalaman yang lalu, untuk alasan kualitas, memang akan sangat baik apabila pengembangan
Prolegnas diarahkan melalui skala prioritas. Hal ini dimaksudkan untuk
betul-betul menata perundang-undangan yang akan dibahas dan disahkan sebagai
kebutuhan yang mendesak dan urgen. Adapun kebutuhan mendesak dan urgen itu
dapat diketahui apabila perundang-undangan itu a). merupakan amanat dari UUD
1945, pelaksanaan dari suatu undang-undang, b). berkaitan dengan perlindungan
hak asasi manusia, c). berkaitan dengan pemulihan ekonomi dan yang menyangkut kehidupan
dan kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian, adakalanya juga pembahasan RUU diluar
yang sudah ditetapkan dalam Prolegnas. Setidaknya ada empat alasan yang
memungkinkan sebuah RUU baru disisipkan di dalam Prolegnas prioritas. Pertama,
kalau ada Perpu. Alasannya, jika ada Perpu, mau atau tidak mau harus disisipkan
di dalam prolegnas prioritas untuk dibahas pada masa sidang berikutnya. Kedua,
kalau ada putusan MK yang menyebabkan terjadinya kekosongan hukum. Kalau ada
putusan MK yang seperti itu, maka dapat segera dibuat RUU yang dapat disisipkan
di dalam Prolegnas prioritas. Ketiga, kalau ada perjanjian
internasional yang harus segera diratifikasi oleh DPR dengan UU. Keempat,
kalau ada situasi yang mendesak atau memaksa yang harus diselesaikan dengan UU. Hal ini dilakukan apabila substansi materi dalam
rancangan undang-undang tersebut benar-benar mendesak dan sangat diperlukan
oleh masyarakat maupun penyelenggara negara. Namun hal ini tetap harus
mendapatkan persetujuan kedua belah pihak, yaitu DPR dan Pemerintah. Ketentuan
mengenai hal ini diatur di dalam Pasal 17 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2004 yang
berbunyi, “Dalam keadaan tertentu, Dewan
Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang diluar
Program Legislasi Nasional.”
Dengan demikian, Prolegnas dapat dilihat baik sebagai isi
atau materi hukum yang akan dibuat maupun sebagai instrumen atau mekanisme
perencanaan hukum. Sebagai isi hukum, Prolegnas memuat daftar rencana
materi-materi hukum atau RUU yang akan dibentuk dalam periode tertentu guna
meraih tahap tertentu pencapaian cita-cita bangsa dan tujuan negara. Sedangkan
sebagai instrumen perencanaan hukum Prolegnas menentukan cara dan prosedur yang
harus ditempuh agar pembentukan peraturan perundang-undangan itu tidak keluar
dari landasan dan arah konstitusionalnya.
Dengan kata lain, Prolegnas menjadi penyaring isi
(penuangan) Pancasila dan UUD di dalam UU atau praturan perundang-undangan
lainnya dengan dua fungsi, pertama,
sebagai potret isi hukum untuk mencapai tujuan negara yang sesuai dengan
Pancasila, UUD 1945, dan sistem hukum nasional selama periode tertentu. Dalam
hal ini, rencana isi hukum dapat dibicarakan lebih dulu agar sesuai dengan
Pancasila dan kaidah-kaidah penuntun hukumnya. Kesalahan isi peraturan
perundang-undangan dalam arti Prolegnas yang pertama ini dapat dibatalkan
melalui judicial review melalui uji
materiil. Kedua, sebagai mekanisme atau
prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan agar apa yang telah ditetapkan
sebagai rencana dapat dilaksanakan dengan prosedur dan mekanisme yang benar.
Kesalahan dalam prosedur pembentukan dalam arti Prolegnas yang kedua ini dapat
dibatalkan dengan melalui uji formal.
Urgensi Naskah Akademik
Salah satu hal penting dalam penyusunan UU adalah
perlunya studi ilmiah yang dituangkan dalam Naskah Akademik (NA). NA ini harus
disusun atau disiapkan sebagai langkah pendahuluan sebelum pembahasan secara
resmi sebuah RUU dilakukan. NA sangat penting sebagai dasar sebuah RUU karena
di dalamnya memuat latar belakang pemikiran, landasan filosofis, sosiologis,
yuridis dan tujuan pembentukan RUU tersebut. Melalui NA dapat dipelajari atau
diketahui hal-hal yang berhubungan
dengan urgensi dan tujuan pengaturan, sasaran yang ingin diwujudkan,
pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur, dan jangkauan serta arah
pengaturan yang akan dicapai. Dengan dasar pemikiran seperti itu, NA menjadi
sangat penting sebagai sarana informasi, analisis, serta forecasting
atas suatu RUU sehingga dengan kehadirannya diharapkan dapat dihasilkan sebuah
UU yang berkualitas dan sesuai dengan kondisi serta kebutuhan masyarakat.
NA diperlukan agar setiap UU yang akan dikeluarkan dapat
memenuhi syarat filosofis, yuridis, dan sosiologis. Syarat filosofis sebuah RUU
adalah keharusan setiap RUU untuk konsisten dengan dengan Kaidan Penuntun
Hukum. Sementara syarat yuridis sebuah UU adalah keharusan agar setiap UU
konsisten atau sinkron dengan peraturan perundang-undangan lain baik secara
vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal setiap UU haruslah sesuai
dengan UUD sebagai sumber hukum formal yang tertinggi sedangkan secara
horizontal setiap UU haruslah sinkron dengan berbagai UU lain yang mungkin ada
materinya yang saling berkaitan.
Syarat sosiologis mewajibkan bahwa setiap RUU haruslah
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat dengan segala tingkat
kemampuannya untuk memahami dan melaksanakan jika RUU tersebut nantinya menjadi
UU. Hal ini penting karena kenyataan-kenyataan di dalam masyarakat haruslah
selalu menjadi sumber hukum materiil mengingat bahwa hukum tidak berada dalam vacuum
melainkan haruslah menjadi pelayan masyarakatnya dengan segala kekhasannya.
Oleh sebab itu setiap rencana pembuatan suatu UU perlu menyerap aspirasi dan
mensinkronkan rencana itu dengan kenyataan-kenyataan masyarakat dimana UU itu
nantinya akan diberlakukan.
Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya NA sebelum
sebuah RUU dibahas untuk dijadikan UU, baik untuk menjamin konsistensi dengan
UUD, menjamin sinkronisasi dengan UU lain serta menyesuaikan dengan keadaan dan
aspirasi masyarakat yang akan dilayani atau diikat oleh UU tersebut. Namun di
dalam peraturan-peraturan yang mengatur mekanisme pembahasan sebuah RUU,
ternyata NA bukanlah instrumen yang harus ada. Keberadaannya hanyalah bersifat
alternatif dalam arti boleh ada dan boleh tidak ada, meski pun ada dorongan
agar sebaiknya setiap RUU dilengkapi dengan NA.
UU No. 10 tahun 2004 tidak menentukan kewajiban pembuatan
NA dalam penyusunan RUU. Namun kalau mau sebenarnya kita dapat menggunakan
ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 10 Tahun 2004 sebagai landasan pentingnya
NA dalam penyusunan sebuah RUU. Pasal 5 mengharuskan agar setiap RUU
memuat “asas-asas pembentukan peraturan
perundangan” yang baik. Asas-asas itu meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan,
dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Karena tidak ada keharusan pembuatan NA, maka dalam
praktiknya banyak RUU yang dimunculkan tanpa disertai NA. RUU yang berasal dari
pemerintah memang selalu disertai dengan keterangan RUU tetapi tidak selalu
disertai dengan NA. Begitu juga RUU yang lahir dari inisiatif DPR adakalanya
juga tidak disertai dengan NA bahkan ada yang tiba-tiba diusulkan padahal tak
pernah masuk di dalam Prolegnas yang ditetapkan oleh DPR sendiri.
Mengingat pentingnya NA dalam penyusunan suatu RUU maka
diperlukan kebijakan yang mewajibkan adanya NA sebagai instrumen yang harus ada
atau menyertai setiap RUU. Yang dulunya
NA hanya sebagai syarat alternatif perlu menjadikannya sebagai syarat kumulatif
bersama persyaratan lainnya.
Terkait dengan itu maka baik Pemerintah maupun DPR perlu
segera menyusun Pedoman
Penyusunan NA untuk keperluan internalnya masing-masing. Agar sebuah NA menjadi
komprehensif maka dalam Pedoman Penyusunan NA di lembaga eksekutif sebaiknya
dilibatkan juga pihak Bappenas atau
unitnya yang terkait dengan Hukum dan HAM. Selain itu dalam Pedoman NA yang
akan disusun itu dimungkinkan juga ada pengecualian bahwa pembahasan RUU
tertentu, karena sifatnya, memang tidak harus disertai NA, misalnya pembahasan
Perppu atau ratifikasi terhadap konvensi dan perjanjian internasional.
Penjuru penyusunan NA itu sendiri di tingkat lembaga
eksekutif hendaknya diletakkan di Dephuk-HAM dengan BPHN sebagai dapur utamanya; artinya sebelum sebuah RUU dan NA
keluar dari lembaga eksekutif untuk disampaikan kepada DPR haruslah didalami
dan diolah kembali oleh BPHN. Dengan demikian Dephuk-HAM harus diposisikan
sebagai satu-satunya dapur pengolah akhir atas RUU dan NA agar setiap RUU dan
semua UU dapat sinkron dan tidak tumpang tindih.
Selanjutnya perlu juga dipikirkan kemungkinan adanya unit permanen di DPR yang
beranggotakan tenaga-tenaga profesional dan yang benar-benar ahli untuk
menyiapkan dan mendalami NA untuk setiap RUU. Menyiapkan NA artinya menyiapkan NA untuk semua RUU inisiatif yang
akan dibuat oleh DPR. Sedangkan mendalami
NA artinya meneliti NA yang datang dari pihak eksekutif sebagai kelengkapan RUU
yang diajukannya.
Indikator ROCCIPI
Terkait dengan penyerapan aspirasi
masyarakat (agar sinkron secara sosiologis) ini ada hal yang juga penting yakni
adanya studi ilmiah yang dapat menghasilkan Naskah Akademik (NA) agar diperoleh
pandangan yang komprehensif mengenai UU yang akan dibuat. NA merupakan
kelengkapan suatu RUU. Sebagai kelengkapan, NA menjadi tanggungjawab penyusun
RUU. Meskipun menjadi tanggungjawab pembuat UU, dapat saja NA disusun oleh
pihak lain misalnya penetili, perancang, tenaga ahli, akademisi, perguruan
tinggi atau pakar tertentu. Yang penting NA itu dapat disiapkan mendahului
pembahasan, bahkan sebelum, penyusunan sebuah RUU. Oleh karena NA merupakan
bahan yang dapat menjadi pijakan dalam membuat sebuah RUU maka NA ini biasanya
dibuat pada tahapan ante legislatif (sebelum pengajuan RUU)
Ann
Seidman memperkenalkan cara
mengidentifikasi dan memecahkan masalah
hukum yang terkait dengan penyusunan produk legislasi seperti RUU yang
dirangkum dalam apa yang disebut ROCCIPI (Rules, Opportunity, Capacity,
Communication, Interest, Process, Ideology)[6].
ROCCIPI ini merupakan identifikasi tentang tujuh indikator dan/atau faktor yang
harus diperhatikan secara cermat karena kerapkali menimbulkan masalah dalam
berlakunya suatu peraturan perundang-undangan. Ketujuh indikator dan/atau
faktor itu kemudian dibedakan atas indikator atau faktor-faktor subyektif dan
indikator dan/atau faktor-faktor obyektif.
Termasuk dalam indikator dan/atau faktor subyektif adalah
interest dan ideology. Interest terkait dengan pandangan
tentang manfaat bagi pelaku peran (pembuat UU maupun yang yang akan terkena). Sedangkan
ideology terkait dengan masalah yang lebih luas cakupannya yakni nilai,
sikap, selera bahkan mitos-mitos dan asumsi-asumsi tentang dunia, agama,
kepercayaan, politik, sosial, ekonomi.
Dua hal yang termasuk indikator dan/atau faktor subyektif
ini harus benar-benar mendapat perhatian dan diperhitungkan secara matang sebab
setiap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ideology dan interest biasanya menimbulkan pro dan kontra serta
suasana panas yang dapat menyebabkan pembahasan menjadi macet dan
berlarut-larut.
Lihat kembali pembahasan tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi
(APP) atau tentang perda-perda yang oleh publik disebut sebagai Perda Syari’at.
Contoh lain adalah pembahasan RUU tentang Partai Politik yang memperdebatkan
asas parpol (menyangkut ideologi) sampai-sampai ada minderheidsnota saat
disahkan beberapa waktu yang lalu. Begitu juga pembahasan RUU tentang Pemilu
Legislatif yang memperdebatkan masalah sistem pemilu proporsional terbuka atau
proporsional terbatas (menyangkut interest) yang pembahasannya
berlarut-larut karena sulit mencapai titik temu. Setelah titik temu dicapai
melalui kompromi UU tentang Pemilu (UU No. 10 Tahun 2008) itu pun masih dilawan
lagi melalui pengujian materiil atau judicial review ke MK dan MK
benar-benar membatalkan beberapa bagian isinya melalui beberapa kali pengujian.
Sedangkan yang termasuk indikator dan/atau faktor
obyektif adalah Rules, Opportunity, Capacity, Communication, dan
Process.
Rules adalah
faktor bahwa orang berperilaku tidak hanya dalam satu peraturan, tetapi dalam
kerangka peraturan perundang-undangan yang sering saling terkait. Oleh sebab
itu pembuatannya harus selalu mengingat peraturan perundang-undangan lain yang
mungkin ada kaitannya baik vertikal maupun horizontal. Pembuat peraturan
perundang-undangan harus paham apa yang telah diatur oleh peraturan
perundang-undangan lain baik secara vertikal maupun secara horizontal. Kalau
ini diabaikan maka bisa timbul penolakan bahkan digugat secara hukum untuk
dibatalkan melalui judicial review.
Opportunity
adalah faktor lingkungan (eksternal) dari pihak-pihak yang akan dituju yang
juga harus diketahui secara jelas sehingga memungkinkan mereka berperilaku
sesuai dengan perintah atau larangan peraturan perundang-undangan yang akan
dibuat. Faktor ini menuntut pembentuk peraturan perundang-undangan memahami
tentang konfigurasi dan keadaan riil masyarakat yang akan dikenakan peraturan
yang akan dibuat sebab hukum yang tak berpijak pada realitas sosial tak akan
dapat bekerja secara efektif.
Capacity adalah
faktor yang terkait dengan ciri-ciri pelaku (internal) yang mungkin punya masalah yang bisa
mendorong mereka atau menyulitkan mereka atau tidak memungkinkan mereka untuk
mentaati peraturan perundang-undangan.
Communication adalah
faktor peran pihak yang berwenang atau aparat dalam mengambil langkah-langkah,
apakah sudah memadai atau belum, untuk mengkomunikasikan peraturan
perundang-undangan kepada pihak yang dituju. Pihak yang dituju untuk berlakunya
peraturan perundang-undangan itu harus mendapat informasi yang jelas juga,
bukan hanya kita yang harus mendapat informasi tentang mereka tetapi juga
mereka harus mendapat informasi dari kita tentang peraturan perundang-undangan
yang akan dibuat. Oleh sebab itu komunikasi
dan publikasi melalui media massa menjadi sangat penting.
Process
adalah prosedur bagi pelaku peran untuk memutuskan apakah akan memenuhi atau tidak akan mematuhi
terhadap peraturan perundang-undangan. Dari faktor ini terkandung juga
keharusan agar pembentukan peraturan perundang-undangan dibentuk melalui
prosedur dan mekanisme yang berlaku untuk itu yang jika tidak diperhatikan
produknya dapat terkena pengujian yudisial (judicial review) secara
formal.
Studi ilmiah melalui analisis ROCCIPI ini dituangkan
dalam sebuah NA yang sistematikanya tentu masih berbeda dengan sistematika
peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. NA belum tersusun dalam bentuk
bab-bab dan pasal-pasal. NA mementingkan analisis dalam aspek-aspek di atas
yang kajiannya harus mengaitkan secara tegas dengan dasar-dasar filosofis,
yuridis, sosiologis, ekonomis, sosial, budaya dan semua sub sistem
kemasyarakatan lainnya. Meski begitu agar tidak semata-mata bersifat ilmiah NA
perlu juga disertai semacam rangkuman yang memuat kerangka tentang pokok-pokok
isi penting yang sangat perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan.
MK dan
Judicial Review
Prolegnas menjadi penyaring isi (penuangan) Pancasila dan
UUD di dalam UU atau praturan perundang-undangan lainnya. Sementara, NA penting
sebagai sarana informasi, analisis, serta forecasting atas suatu RUU
sehingga akan dapat dihasilkan sebuah UU yang berkualitas dan sesuai dengan
kondisi serta kebutuhan masyarakat. Di dalam NA, termuat analisis
ROCCIPI, sehingga masalah dalam perbeerlakuan suatu peraturan
perundang-undangan, dapat dicegah atau diantisipasi.
Prolegnas, dengan NA dan ROCCIPI di atas, merupakan instrumen
dan mekanisme yang bergerak pada tahapan awal pembentukan atau penyusunan
hukum. Dalam hal ini, seharusnya bisa memberikan harapan besar bahwa UU yang dihasilkan sesuai dengan arah politik
hukum dan memiliki konsistensi dengan norma dan kaidah konstitusi. Namun
demikian, setelah diberlakukan, tidak jarang UU tersebut dirasakan masih mengandung
ketidakadilan atau ternyata bertentangan dengan kaidah konstitusi. Untuk hal
ini, meski sebuah peraturan perundang-undangan, khususnya UU, telah diproses
sesuai dengan Prolegnas, ia masih mungkin diuji lagi konsistensinya dengan UUD
atau dengan peraturan yang lebih tinggi melalui pengujian yudisial atau judicial review.
Gagasan judicial review dalam suatu negara hukum
demokratis dilandasi oleh pemikiran bahwa hukum sebagai produk politik senantiasa
memiliki watak yang sangat ditentukan oleh konstelasi politik yang
melahirkannya. Hal itu memberi kemungkinan bahwa setiap produk hukum
mencerminkan kepentingan kekuatan politik dominan yang mungkin tidak sesuai
atau bahkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dasar ide akan
adanya mekanisme judicial review adalah
bagaimana caranya memaksa pembentuk undang-undang agar taat kepada konstitusi,
agar mereka tidak membuat undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang
dasar.
Judicial
review[7] adalah pengujian peraturan
perundang-undangan tertentu oleh hakim (yudikatif). Hal ini berarti hak atau
kewenangan menguji (toetsingsrecht)
dimiliki oleh hakim. Pengujian tersebut dilakukan atas suatu ketentuan
peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi. Artinya, judicial review bekerja atas dasar
adanya peraturan perundang-undangan yang tersusun hierarkis. Kewenangan judicial review dapat dimiliki oleh hakim
di semua tingkat, atau diberikan secara terpusat kepada Mahkamah Agung atau
Mahkamah Konstitusi.
Judicial review
lebih luas cakupan maknanya daripada toetsingsrecht[8]
atau hak menguji. Judicial
review tidak hanya bermakna the power of the court to declare laws
unconstitutional’ tetapi juga berpaut dengan kegiatan examination of
administration decisions by the court. Judicial review, menurut
Katherine Lindsay sebagaimana
dikutip Laica Marzuki, merupakan
nomenklatur yang juga berpaut dengan kegiatan judisiil ‘in which asuperior
court had power to determine questions of constitutional validity of enactment of
the legislature’. Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil
maupun formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji
kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif
maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang lebih tinggi derajat dan
hierarkinya. Hak menguji formal (formele toetsingsrecht) berpaut
dengan pengujian terhadap cara pembentukan (pembuatan) serta prosedur peraturan
perundang-undangan, sedangkan hak menguji material (materieele
toetsingsrecht) berpaut dengan pengujian terhadap substansi peraturan
perundang-undangan.
Di Indonesia, setiap upaya mengawal konstitusi menjadi yurisdiksi MK. MK secara
konstitusional telah disepakati menjadi penjaga konstitusi (the guardian of
constitution) agar ketentuan-ketentuan dalam konstitusi tidak sekedar
menjadi huruf dan kalimat mati, melainkan terjelma dan dipraktikkan dalam
kehidupan bernegara. Caranya adalah dengan memberikan interpretasi atas
ketentuan konstitusi itu, yang hasil interpretasinya mengikat secara hukum,
sehingga MK memiliki fungsi sebagai penafsir
konstitusi (the sole judicial interpreter
of the constitution). Di sini, melalui kewenangan melakukan judicial review, MK menjaga agar tidak
ada peraturan perundang-undangan yang diberlakukan tidak sesuai atau malah
bertentangan dengan konstitusi. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MK menguji undang-undang
terhadap UUD, artinya yang diuji bukan rancangan undang-undang atau yang
lainnya. Dengan kata lain, yang dapat diuji MK adalah undang-undang yang sudah
berlaku karena secara formil sudah diundangkan (promulgated).
Dalam hal mekanisme pengujian undang-undang, ada beberapa
hal yang penting untuk diperhatikan yakni siapa yang dapat mengajukan
permohonan dan apa saja yang dimohonkan? Menyoal siapa yang dapat mengajukan
permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Pasal 51 ayat (1) UU MK menentukan bahwa pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok
orang perorang yang mempunyai kepentingan sama;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat, atau;
d. Lembaga negara.
Dalam hal ini, hanya
‘pihak’ yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya suatu undang-undang, yang dapat dipandang memiliki kedudukan
hukum (legal standing) guna pengajuan
permohonan pengujian undang-undang ke hadapan MK. Pemohon wajib menguraikan
dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang dianggap merugikan itu.[9] Di sini berlaku adagium hukum point d’etre point
d’action, artinya tanpa kepentingan maka tidak ada gugatan (tindakan).
Apabila subyektum tidak ternyata dirugikan hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya maka yang bersangkutan dipandang tidak memiliki kepentingan
guna mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Zonder belang, het
isgeen rechsingang.[10]
Terkait
dengan itu, ada pertanyaan, apakah kerugian hak dan atau kewenangan
konstitusional itu harus aktual dan nyata-nyata terjadi? Terhadap pertanyaan
ini, pendirian MK adalah bahwa kerugian tidak harus bersifat aktual melainkan
juga dapat bersifat potensial. Hal ini tergantung pemohon dalam membuktikan
bahwa kerugian itu menurut penalaran yang wajar, dapat dipastikan akan terjadi,
maka bagi MK hal itu telah cukup membuktikan adanya kerugian.
Sesuai Pasal 51 ayat (3) UU MK, suatu undang-undang dapat
dimohonkan pengujian ke MK baik jika pembentukannya dianggap bertentangan atau
tidak sesuai dengan UUD 1945 maupun jika materi muatan (ayat, pasal, atau
bagian) dari undang-undang itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945, atau
keduanya. Sehingga, dikatakan permohonan
pengujian dapat dilakukan baik untuk pengujian formil maupun materiil.
Dalam hal pengujian formil, jika pemohon berhasil
membuktikan bahwa pembentukan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945,
sehingga hal itu merugikan hak/dan atau kewenangan konstitusionalnya, maka
berarti seluruh undnag-undnag itu akan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 57
ayat (2) UU MK. Sementara, apabila pengujian bersifat materiil, yaitu hanya
mangangkat ayat, pasal, dan/atau bagian tertentu dari suatu undang-undang yang
dianggap bertentangan dengan UUD 1945, jika pemohon berhasil membuktikannya
maka hanya ayat, pasal, dan/atau bagian tertentu dari undang-undang itulah yang
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Ini ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (1) UU MK.
Dalam hal permohonan judicial
review dikabulkan oleh MK, maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
putusan diucapkan wajib dimuat dalam Berita Negara. Selanjutnya,
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final. Artinya
tidak ada upaya hukum lain lagi yang dapat ditempuh sebagaimana putusan
pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Putusan
MK berlaku mengikat sejak dibacakan dalam sidang pembacaan putusan.[11]
Semua pihak termasuk penyelenggara negara yang terkait dengan ketentuan yang
diputus oleh MK harus patuh dan tunduk terhadap putusan MK.
Dalam perkara pengujian UU, yang diuji adalah norma UU
yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Jadi, meskipun dasar permohonan
pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun
sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh
masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi. Dalm hal ini, DPR dan Presiden, bukan
sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang
dilakukan, melainkan sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang
latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu
dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan Pemohon
atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh keyakinan
hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Oleh karena itu yang
terikat melaksanakan putusan MK tidak hanya pembentuk UU, tetapi adalah semua
pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK.
*****
[1] Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional yang
diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret (UNS) Surakarta, di Hotel Sunan, Solo, Sabtu, 20 Februari 2010.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
[3] Sistem hukum Pancasila ialah sistem hukum yang mengambil atau memadukan
berbagai nilai kepentingan, nilai sosial dan konsep keadilan ke dalam satu
ikatan hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya.
[4] Undang-Undang ini dibuat sebagai konsekuensi adanya perubahan jenis-jenis
perundang-undangan yang menurut hasil amandemen UUD 1945 tidak lagi mengenal
Ketetapan MPR.
[5] Selain Prolegnas, ada juga dalam UU itu istilah Prolegda yang mempunyai arti sama dengan Prolegnas tetapi lingkup berlakunya adalah
daerah.
[6] Aaan Seidmann at all, Legislative Drafting for Democratic Social
Change: A Manual for Drafters, First Published, Kluwer Law International,
London 2001, hlm. 95.
[7] Istilah ini kerap digunakan secara rancu dengan konsep constitutional review yang merupakan
pengujian suatu ketentuan perundang-undangan terhadap konstitusi. Parameter
pengujian dalam hal ini adalah konstitusi sebagai hukum tertinggi. Hal ini
berbeda dengan judicial review yang
dari lingkup materinya lebih luas karena menguji suatu peraturan
perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
jadi tidak terbatas pada konstitusi sebagai parameter pengujian. Namun dari
sisi lembaga yang dapat melakukan pengujian dapat dimiliki oleh yudikatif,
eksekutif, atau legislatif.
[8] Toetsingsrecht
secara harfiah berati hak uji. Istilah ini digunakan pada saat membicarakan hak
atau kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan yang dapat dimiliki
oleh hakim, pemerintah, atau legislatif.
[9] Pasal 51 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003.
[10] Laica
Marzuki, Judicial Review di Mahkamah
Konstitusi, www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+4&f.
[11] Lihat
Pasal 10 dan Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Sumber: http://mahfudmd.com/index.php?page=web.MakalahWeb&id=1&aw=1&ak=11
0 komentar:
Posting Komentar