alt/text gambar

Selasa, 23 Juni 2015

Topik Pilihan: ,

MENGAWAL ARAH POLITIK HUKUM: DARI PROLEGNAS SAMPAI JUDICIAL REVIEW [1]

Oleh: Moh. Mahfud MD[2]



Pendahuluan 


UUD 1945 hasil amandemen memiliki implikasi mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen tersebut kemudian disusul oleh perubahan dan penataan di berbagai bidang, tak terkecuali bidang hukum. Hal ini dilakukan sebagai merupakan implikasi langsung dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, adalah sudah semestinya untuk menjunjung tinggi supremasi hukum. Artinya, hukum diberi posisi sentral, untuk tidak lagi sekedar menjadi alat pembenar kehendak pemegang kekuasaan politik yang dominan. Untuk itu, reformasi bidang hukum dilakukan sebagai agenda yang tak terelakkan pasca perubahan UUD 1945.

Namun, meskipun reformasi sudah dijalankan, pembangunan tertib hukum belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan. Masih adanya peraturan perundang-undangan yang bermasalah baik secara vertikal maupun horizontal, adalah salah satu contoh sederhana. Di sisi lain, ada kesan bahwa pembentukan hukum kurang terkoordinasi dengan baik, menyangkut materi muatan maupun teknis prosedural pembentukannya.

Sejauh ini, ada beberapa problem yang teridentifikasi berkontribusi terhadap cengkarutnya bidang legislasi. Pertama, UU sebagai produk legislasi belum memadai secara kualitas sehingga kurang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Kedua, belum terpenuhinya target jumlah penyelesaian RUU yang telah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Ketiga, proses pembahasan RUU dianggap kurang transparan sehingga sulit diakses oleh publik. Keempat, masih lemahnya tingkat koordinasi di antara alat kelengkapan DPR dalam penyusunan dan pembahasan suatu RUU.
Problem-problem itu kemudian menumbuhkan kesan bahwa pembentukan hukum kurang dipersiapkan dengan baik sehingga banyak UU yang tidak memenuhi asas-asas pembentukan UU atau tidak layak sebagai UU. Akibatnya, banyak UU yang bukannya mengatasi masalah tetapi justru menimbulkan problem baru di lapangan. Entah karena tidak dapat diimplementasikan atau tumpang tindih.
Persoalan-persoalan itu tentu menjadi hambatan yang kontra produktif terhadap arah politik hukum nasional yang hendak dicapai. Agar arah politik hukum nasional tetap terjaga, sebenarnya sudah disediakan instrumen pengawalan, sejak pembentukan UU hingga UU tersebut berlaku, yaitu melalui Prolegnas dan mekanisme judicial review. Keduanya merupakan bagian penting dari pemikiran untuk mengawal politik hukum, agar tak sedetikpun boleh ada, aturan hukum yang melawan atau bertabrakan dengan konstitusi.  

Kerangka Pikir dan Arah Politik Hukum
Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah. Legal policy itu meliputi pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Dari pengertian itu, politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum, yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Melalui kalimat lain, politik hukum merupakan garis resmi yang dijadikan dasar pijak sekaligus cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan negara.
Dari pengertian itu, pembahasan politik hukum untuk mencapai tujuan negara dengan satu sistem hukum nasional mencakup sekurang-kurangnya lima hal berikut. (1) tujuan negara atau masyarakat Indonesia yang diidamkan sebagai orientasi politik hukum, termasuk panggilan nilai-nilai dasar tujuan negara sebagai pemandu politik hukum, (2) sistem hukum nasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, (3) perencanaan dan kerangka pikir dalam perumusan kebijakan hukum, (4) isi hukum nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, (5) pemagaran hukum dengan Prolegnas dan judicial review, legislative, review, dan sebagainya. Selanjutnya, apabila hukum adalah alat mencapai tujuan, maka sekali lagi, politik hukum harus diartikan sebagai arah yang harus ditempuh dalam pembuatan dan penegakan hukum guna mencapai cita-cita dan tujuan bangsa. Untuk itu, politik hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar sebagai berikut yakni mengarah pada cita-cita bangsa yakni masyarakat yang adil makmur berdasar Pancasila, ditujukan untuk mencapai tujuan negara sebagaimana disebutkan dalam Alenia IV Pembukaan UUD 1945, dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan keharusan untuk membangun sistem hukum Pancasila.[3] Kerangka dasar itu tidak terlepas dari kedudukan Pancasila yang menjadi cita hukum (rechtside) dan harus dijadikan dasar dan tujuan setiap hukum yang berlaku di Indonesia.
          Sebagai hukum tertinggi, UUD 1945 memuat arah kebijakan hukum yang harus dijalankan sesuai dengan tujuan nasional yang hendak dicapai dengan senantiasa berdasarkan Pancasila. Politik hukum berdasarkan UUD 1945 tersebut harus pula sesuai dengan prinsip negara hukum dan supremasi konstitusi. Sudah jelas bahwa Indonesia adalah negara hukum. Ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Konsepsi negara hukum yang dulu dikesankan menganut rechtstaat dinetralkan menjadi negara hukum tanpa ’embel-embel’ rechtstaat. Ini menunjukkan bahwa konsepsi negara hukum yang dianut oleh UUD 1945 diperoleh baik dari rechtstaats maupun the rule of law, bahkan sistem hukum lainnya yang mengintegrasi. Dalam implementasi, kesemuanya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan situasi.
Untuk merumuskan politik hukumnya, setiap negara berpijak kepada sistem hukum yang dianut. Bagi Indonesia, sistem yang dianut adalah sistem hukum Pancasila. Meskipun akhir-akhir ini tak banyak dibicarakan, sistem hukum Pancasila sesungguhnya merupakan sistem yang justru berakar dari budaya bangsa Indonesia. Ia merupakan kaidah penuntun arah pembangunan hukum untuk mencapai tujuan nasional. Pancasila adalah nilai dasar yang menjadi rambu-rambu bagi pembangunan hukum nasional. Nilai-nilai dasar tersebut kemudian melahirkan empat kaidah penuntun hukum yang harus dipedomani dalam pembangunan hukum.
 Pertama, hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa baik secara teritorial maupun ideologis. Hukum-hukum di Indonesia tidak boleh memuat isi yang berpotensi menyebabkan terjadinya disintegrasi wilayah maupun ideologi. Harus dicegah munculnya produk hukum yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Kedua, hukum harus bersamaan membangun demokrasi dan nomokrasi. Artinya, hukum harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat luas melalui mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel. Hukum di Indonesia tidak dapat dibuat berdasar menang-menangan jumlah pendukung semata tetapi juga harus mengalir dari filosofi Pancasila dan prosedur yang benar. Ketiga, hukum harus membangun keadilan sosial. Tidak dibenarkan munculnya hukum-hukum yang mendorong atau membiarkan terjadinya jurang sosial-ekonomi karena eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang lemah tanpa perlindungan negara. Hukum harus mampu menjaga agar yang lemah tidak dibiarkan menghadapi sendiri pihak yang kuat yang sudah pasti akan selalu dimenangkan oleh yang kuat. Keeempat, hukum harus membangun toleransi beragama dan berkeadaban. Hukum tidak boleh mengistimewakan atau mendiskrimasi kelompok tertentu berdasar besar atau kecilnya pemelukan agama. Indonesia bukan negara agama (yang mendasarkan pada satu agama tertentu) dan bukan negara sekuler (yang tak peduli atau hampa spirit keagamaan). Hukum negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama. Tetapi negara harus memfasilitasi, melindungi, dan menjamin keamanan jika warganya akan melaksanakan ajaran agama karena keyakinan dan kesadarannya sendiri.
          Oleh karena itu, untuk mengawal konsistensi pembuatan hukum dengan konstitusi, harus dilakukan melalui alur politik hukum nasional yang telah diatur dengan rapi agar setiap hukum selalu mengalir dan konsisten dengan tujuan negara, sistem hukum, kaidah penuntun dan konstitusi.

Prolegnas yang Tegas dan Imperatif
Selain mengatur jenis-jenis peraturan perundang-undangan dan hierarkinya, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, juga mengatur materi muatan dan prosedur yang harus ditempuh melalui koordinasi tertentu.[4] Di dalam UU tersebut diperkenalkan secara resmi istilah Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Program Legislasi Daerah (Prolegda). Sebenarnya inti dari Prolegnas itu sudah ada sejak 30 tahun yang lalu sebagai acuan dalam pembangunan nasional. Namun baru pada UU inilah, istilah itu dimasukkan secara eksplisit, lebih tegas dan imperatif.
          Adanya Prolegnas, paling tidak akan turut berkontribusi mencegah kesemrawutan perencanaan dan pembuatan UU. Di samping itu, Prolegnas juga akan membuat pagar atau membatasi para pembuat UU, terutama untuk mengusulkan RUU secara tiba-tiba tanpa kajian mendalam terlebih dahulu. Usulan RUU yang tiba-tiba dan tanpa kajian mendalam seperti itu, acapkali terjadi di Prancis. Hampir semua Menteri di Prancis ingin membuat UU untuk alasan popularitas. Akibatnya, yang sering dimunculkan ke publik adalah usulan RUU yang substansinya terlalu sepele, sudah ada aturannya, bahkan berbenturan dengan UU lain yang sudah ada. Di Prancis, seorang Menteri ingin agar namanya menempel pada sebuah UU. Meskipun secara resminya, setiap UU tidak akan dikaitkan dengan nama orang. Dalam pemberitaan pers terkait sebuah UU, sering disebut UU yang disambung dengan nama menteri pengusulnya, misalnya UU Nicolas, UU Delcamp, UU Jeff dan sebagainya.
Di Indonesia, fenomena semacam itu tak bisa terjadi atau tak dimungkinkan dengan adanya Prolegnas. Melalui Prolegnas, diharapkan agar UU yang dihasilkan adalah UU yang baik, sinkron dan terarah serta konsisten dengan arah politik hukum nasional. Namun kenyataannya, harapan itu belum terwujud sepenuhnya. Masih sering dijumpai UU yang isinya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Karena , UU atau bagian dari UU itu secara vertikal tidak konsisten dengan UUD. Atau sangat boleh jadi karena secara horizontal tumpang tindih dengan UU lain, sehingga malah membuat ketidakpastian hukum.
Politik hukum yang menyangkut rencana pembangunan materi hukum pada saat sekarang ini sudah pasti termuat dalam Prolegnas. Artinya, pemetaan rencana tentang hukum-hukum apa yang akan dibuat dalam periode tertentu sebagai politik hukum dapat dilihat pada Prolegnas tersebut.
Menurut Pasal 1 angka 9 UU No. 10 Tahun 2004, Prolegnas adalah instrumen perencanaan dan pembentukan UU yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis yang memuat potret rencana hukum dalam periode tertentu disertai prosedur yang harus ditempuh dalam pembentukannya.[5] Prolegnas itu secara tegas dimaksudkan agar ada jaminan konsistensi antar peraturan perundang-undangan. Di samping itu agar setiap peraturan perundang-undangan dapat menjadi aliran nilai kaidah-kaidah penuntun hukum nasional yang bersumber pada Pancasila.
Prolegnas disusun oleh DPR bersama Pemerintah. Dalam proses penyusunannya, DPR yanmg melakukan koordinasi. Kenapa oleh DPR? Karena DPR adalah inilah konsekuensi logis dari hasil amandemen pertama UUD 1945 yang menggeser titik berat aktor legislasi dari Pemerintah ke DPR.
Kedudukan Prolegnas sebagai wadah politik hukum (untuk jangka waktu tertentu) sehingga kemudian dari sini akan terlihat setiap jenis UU yang akan dibuat untuk jangka waktu tertentu sebagai politik hukum. Seperti halnya pada awal Desember 2009 lalu DPR telah mengesahkan 248 RUU sebagai prioritas Prolegnas 2010-2014. Sebanyak 58 RUU diantaranya menjadi prioritas 2010. DPR dan Pemerintah hanya berani mengajukan 247 RUU tentu saja dengan mempertimbangkan segi kualitas dan berharap sistem pembahasan yang lebih efektif.
Jumlah RUU yang dituangkan dalam Prolegnas memang sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan DPR. Kemampuan tersebut dapat diukur misalnya dengan menghitung jumlah anggota, jumlah komisi dan kemungkinan jumlah terbentuknya pansus. Sehingga target yang akan dan harus dicapai cukup realistis. DPR periode 2004-2009 lalu hanya berhasil menyelesaikan 186 RUU dari 335 RUU yang direncanakan dalam Prolegnas 2005-2009. Artinya, DPR menyelesaikan hanya sekitar 56 persen selama lima tahun.
Dari jumlah tersebut, RUU di luar Prolegnas sebanyak 166 RUU. Sedangkan RUU yang berasal dari Prolegnas sendiri sekitar 70 RUU. Kemudian ada 15 UU yang sudah disahkan paripurna DPR kemudian diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal-hal seperti itu menunjukkan bahwa perencanaan Prolegnas boleh dikatakan kurang matang dan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ke depan, diperlukan berbagai langkah dan upaya perbaikan. Mulai dari prosedur, materi, konsistensi dan koordinasi pelaksanaan Prolegnas, termasuk juga bagaimana upaya menghentikan kegenitan pembuat UU yang suka menerobos atau membuat RUU tanpa berpijak kuat pada Prolegnas. Ke depan, Prolegnas harus secara konsisten dijalankan meskipun tanpa menutup peluang RUU baru disisipkan di dalam Prolegnas prioritas. Dengan catatan, ada alasan-alasan yang tepat dan memungkinkan.
Belajar dari pengalaman yang lalu, untuk alasan kualitas, memang akan sangat baik apabila pengembangan Prolegnas diarahkan melalui skala prioritas. Hal ini dimaksudkan untuk betul-betul menata perundang-undangan yang akan dibahas dan disahkan sebagai kebutuhan yang mendesak dan urgen. Adapun kebutuhan mendesak dan urgen itu dapat diketahui apabila perundang-undangan itu a). merupakan amanat dari UUD 1945, pelaksanaan dari suatu undang-undang, b). berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia, c). berkaitan dengan pemulihan ekonomi dan yang menyangkut kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian, adakalanya juga pembahasan RUU diluar yang sudah ditetapkan dalam Prolegnas. Setidaknya ada empat alasan yang memungkinkan sebuah RUU baru disisipkan di dalam Prolegnas prioritas. Pertama, kalau ada Perpu. Alasannya, jika ada Perpu, mau atau tidak mau harus disisipkan di dalam prolegnas prioritas untuk dibahas pada masa sidang berikutnya. Kedua, kalau ada putusan MK yang menyebabkan terjadinya kekosongan hukum. Kalau ada putusan MK yang seperti itu, maka dapat segera dibuat RUU yang dapat disisipkan di dalam Prolegnas prioritas. Ketiga, kalau ada perjanjian internasional yang harus segera diratifikasi oleh DPR dengan UU. Keempat, kalau ada situasi yang mendesak atau memaksa yang harus diselesaikan dengan UU. Hal ini dilakukan apabila substansi materi dalam rancangan undang-undang tersebut benar-benar mendesak dan sangat diperlukan oleh masyarakat maupun penyelenggara negara. Namun hal ini tetap harus mendapatkan persetujuan kedua belah pihak, yaitu DPR dan Pemerintah. Ketentuan mengenai hal ini diatur di dalam Pasal 17 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2004 yang berbunyi, “Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang diluar Program Legislasi Nasional.”
Dengan demikian, Prolegnas dapat dilihat baik sebagai isi atau materi hukum yang akan dibuat maupun sebagai instrumen atau mekanisme perencanaan hukum. Sebagai isi hukum, Prolegnas memuat daftar rencana materi-materi hukum atau RUU yang akan dibentuk dalam periode tertentu guna meraih tahap tertentu pencapaian cita-cita bangsa dan tujuan negara. Sedangkan sebagai instrumen perencanaan hukum Prolegnas menentukan cara dan prosedur yang harus ditempuh agar pembentukan peraturan perundang-undangan itu tidak keluar dari landasan dan arah konstitusionalnya.
Dengan kata lain, Prolegnas menjadi penyaring isi (penuangan) Pancasila dan UUD di dalam UU atau praturan perundang-undangan lainnya dengan dua fungsi, pertama, sebagai potret isi hukum untuk mencapai tujuan negara yang sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan sistem hukum nasional selama periode tertentu. Dalam hal ini, rencana isi hukum dapat dibicarakan lebih dulu agar sesuai dengan Pancasila dan kaidah-kaidah penuntun hukumnya. Kesalahan isi peraturan perundang-undangan dalam arti Prolegnas yang pertama ini dapat dibatalkan melalui judicial review melalui uji materiil. Kedua, sebagai mekanisme atau prosedur pembuatan peraturan perundang-undangan agar apa yang telah ditetapkan sebagai rencana dapat dilaksanakan dengan prosedur dan mekanisme yang benar. Kesalahan dalam prosedur pembentukan dalam arti Prolegnas yang kedua ini dapat dibatalkan dengan melalui uji formal.

Urgensi Naskah Akademik

Salah satu hal penting dalam penyusunan UU adalah perlunya studi ilmiah yang dituangkan dalam Naskah Akademik (NA). NA ini harus disusun atau disiapkan sebagai langkah pendahuluan sebelum pembahasan secara resmi sebuah RUU dilakukan. NA sangat penting sebagai dasar sebuah RUU karena di dalamnya memuat latar belakang pemikiran, landasan filosofis, sosiologis, yuridis dan tujuan pembentukan RUU tersebut. Melalui NA dapat dipelajari atau diketahui  hal-hal yang berhubungan dengan urgensi dan tujuan  pengaturan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur, dan jangkauan serta arah pengaturan yang akan dicapai. Dengan dasar pemikiran seperti itu, NA menjadi sangat penting sebagai sarana informasi, analisis, serta forecasting atas suatu RUU sehingga dengan kehadirannya diharapkan dapat dihasilkan sebuah UU yang berkualitas dan sesuai dengan kondisi serta kebutuhan masyarakat. 
NA diperlukan agar setiap UU yang akan dikeluarkan dapat memenuhi syarat filosofis, yuridis, dan sosiologis. Syarat filosofis sebuah RUU adalah keharusan setiap RUU untuk konsisten dengan dengan Kaidan Penuntun Hukum. Sementara syarat yuridis sebuah UU adalah keharusan agar setiap UU konsisten atau sinkron dengan peraturan perundang-undangan lain baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal setiap UU haruslah sesuai dengan UUD sebagai sumber hukum formal yang tertinggi sedangkan secara horizontal setiap UU haruslah sinkron dengan berbagai UU lain yang mungkin ada materinya yang saling berkaitan.
Syarat sosiologis mewajibkan bahwa setiap RUU haruslah sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat dengan segala tingkat kemampuannya untuk memahami dan melaksanakan jika RUU tersebut nantinya menjadi UU. Hal ini penting karena kenyataan-kenyataan di dalam masyarakat haruslah selalu menjadi sumber hukum materiil mengingat bahwa hukum tidak berada dalam vacuum melainkan haruslah menjadi pelayan masyarakatnya dengan segala kekhasannya. Oleh sebab itu setiap rencana pembuatan suatu UU perlu menyerap aspirasi dan mensinkronkan rencana itu dengan kenyataan-kenyataan masyarakat dimana UU itu nantinya akan diberlakukan.
Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya NA sebelum sebuah RUU dibahas untuk dijadikan UU, baik untuk menjamin konsistensi dengan UUD, menjamin sinkronisasi dengan UU lain serta menyesuaikan dengan keadaan dan aspirasi masyarakat yang akan dilayani atau diikat oleh UU tersebut. Namun di dalam peraturan-peraturan yang mengatur mekanisme pembahasan sebuah RUU, ternyata NA bukanlah instrumen yang harus ada. Keberadaannya hanyalah bersifat alternatif dalam arti boleh ada dan boleh tidak ada, meski pun ada dorongan agar sebaiknya setiap RUU dilengkapi dengan NA.
UU No. 10 tahun 2004 tidak menentukan kewajiban pembuatan NA dalam penyusunan RUU. Namun kalau mau sebenarnya kita dapat menggunakan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 10 Tahun 2004 sebagai landasan pentingnya NA dalam penyusunan sebuah RUU. Pasal 5 mengharuskan agar setiap RUU memuat  “asas-asas pembentukan peraturan perundangan” yang baik. Asas-asas itu meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Karena tidak ada keharusan pembuatan NA, maka dalam praktiknya banyak RUU yang dimunculkan tanpa disertai NA. RUU yang berasal dari pemerintah memang selalu disertai dengan keterangan RUU tetapi tidak selalu disertai dengan NA. Begitu juga RUU yang lahir dari inisiatif DPR adakalanya juga tidak disertai dengan NA bahkan ada yang tiba-tiba diusulkan padahal tak pernah masuk di dalam Prolegnas yang ditetapkan oleh DPR sendiri.
Mengingat pentingnya NA dalam penyusunan suatu RUU maka diperlukan kebijakan yang mewajibkan adanya NA sebagai instrumen yang harus ada atau menyertai setiap RUU.  Yang dulunya NA hanya sebagai syarat alternatif perlu menjadikannya sebagai syarat kumulatif bersama persyaratan lainnya.
Terkait dengan itu maka baik Pemerintah maupun DPR perlu segera menyusun Pedoman Penyusunan NA untuk keperluan internalnya masing-masing. Agar sebuah NA menjadi komprehensif maka dalam Pedoman Penyusunan NA di lembaga eksekutif sebaiknya dilibatkan juga pihak Bappenas atau unitnya yang terkait dengan Hukum dan HAM. Selain itu dalam Pedoman NA yang akan disusun itu dimungkinkan juga ada pengecualian bahwa pembahasan RUU tertentu, karena sifatnya, memang tidak harus disertai NA, misalnya pembahasan Perppu atau ratifikasi terhadap konvensi dan perjanjian internasional.
Penjuru penyusunan NA itu sendiri di tingkat lembaga eksekutif hendaknya diletakkan di Dephuk-HAM dengan BPHN sebagai dapur utamanya; artinya sebelum sebuah RUU dan NA keluar dari lembaga eksekutif untuk disampaikan kepada DPR haruslah didalami dan diolah kembali oleh BPHN. Dengan demikian Dephuk-HAM harus diposisikan sebagai satu-satunya dapur pengolah akhir atas RUU dan NA agar setiap RUU dan semua UU dapat sinkron dan tidak tumpang tindih.
Selanjutnya perlu juga dipikirkan kemungkinan adanya unit permanen di DPR yang beranggotakan tenaga-tenaga profesional dan yang benar-benar ahli untuk menyiapkan dan mendalami NA untuk setiap RUU. Menyiapkan NA artinya menyiapkan NA untuk semua RUU inisiatif yang akan dibuat oleh DPR. Sedangkan mendalami NA artinya meneliti NA yang datang dari pihak eksekutif sebagai kelengkapan RUU yang diajukannya.

Indikator ROCCIPI

Terkait dengan penyerapan aspirasi masyarakat (agar sinkron secara sosiologis) ini ada hal yang juga penting yakni adanya studi ilmiah yang dapat menghasilkan Naskah Akademik (NA) agar diperoleh pandangan yang komprehensif mengenai UU yang akan dibuat. NA merupakan kelengkapan suatu RUU. Sebagai kelengkapan, NA menjadi tanggungjawab penyusun RUU. Meskipun menjadi tanggungjawab pembuat UU, dapat saja NA disusun oleh pihak lain misalnya penetili, perancang, tenaga ahli, akademisi, perguruan tinggi atau pakar tertentu. Yang penting NA itu dapat disiapkan mendahului pembahasan, bahkan sebelum, penyusunan sebuah RUU. Oleh karena NA merupakan bahan yang dapat menjadi pijakan dalam membuat sebuah RUU maka NA ini biasanya dibuat pada tahapan ante legislatif (sebelum pengajuan RUU)

Ann Seidman memperkenalkan cara mengidentifikasi dan memecahkan  masalah hukum yang terkait dengan penyusunan produk legislasi seperti RUU yang dirangkum dalam apa yang disebut ROCCIPI (Rules, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, Ideology)[6]. ROCCIPI ini merupakan identifikasi tentang tujuh indikator dan/atau faktor yang harus diperhatikan secara cermat karena kerapkali menimbulkan masalah dalam berlakunya suatu peraturan perundang-undangan. Ketujuh indikator dan/atau faktor itu kemudian dibedakan atas indikator atau faktor-faktor subyektif dan indikator dan/atau faktor-faktor obyektif.
Termasuk dalam indikator dan/atau faktor subyektif adalah interest dan ideology. Interest terkait dengan pandangan tentang manfaat bagi pelaku peran (pembuat UU maupun yang yang akan terkena). Sedangkan ideology terkait dengan masalah yang lebih luas cakupannya yakni nilai, sikap, selera bahkan mitos-mitos dan asumsi-asumsi tentang dunia, agama, kepercayaan, politik, sosial, ekonomi.
Dua hal yang termasuk indikator dan/atau faktor subyektif ini harus benar-benar mendapat perhatian dan diperhitungkan secara matang sebab setiap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ideology dan interest  biasanya menimbulkan pro dan kontra serta suasana panas yang dapat menyebabkan pembahasan menjadi macet dan berlarut-larut.
Lihat kembali pembahasan tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) atau tentang perda-perda yang oleh publik disebut sebagai Perda Syari’at. Contoh lain adalah pembahasan RUU tentang Partai Politik yang memperdebatkan asas parpol (menyangkut ideologi) sampai-sampai ada minderheidsnota saat disahkan beberapa waktu yang lalu. Begitu juga pembahasan RUU tentang Pemilu Legislatif yang memperdebatkan masalah sistem pemilu proporsional terbuka atau proporsional terbatas (menyangkut interest) yang pembahasannya berlarut-larut karena sulit mencapai titik temu. Setelah titik temu dicapai melalui kompromi UU tentang Pemilu (UU No. 10 Tahun 2008) itu pun masih dilawan lagi melalui pengujian materiil atau judicial review ke MK dan MK benar-benar membatalkan beberapa bagian isinya melalui beberapa kali pengujian.
Sedangkan yang termasuk indikator dan/atau faktor obyektif adalah Rules, Opportunity, Capacity, Communication, dan Process.
Rules adalah faktor bahwa orang berperilaku tidak hanya dalam satu peraturan, tetapi dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang sering saling terkait. Oleh sebab itu pembuatannya harus selalu mengingat peraturan perundang-undangan lain yang mungkin ada kaitannya baik vertikal maupun horizontal. Pembuat peraturan perundang-undangan harus paham apa yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan lain baik secara vertikal maupun secara horizontal. Kalau ini diabaikan maka bisa timbul penolakan bahkan digugat secara hukum untuk dibatalkan melalui judicial review.
Opportunity adalah faktor lingkungan (eksternal) dari pihak-pihak yang akan dituju yang juga harus diketahui secara jelas sehingga memungkinkan mereka berperilaku sesuai dengan perintah atau larangan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. Faktor ini menuntut pembentuk peraturan perundang-undangan memahami tentang konfigurasi dan keadaan riil masyarakat yang akan dikenakan peraturan yang akan dibuat sebab hukum yang tak berpijak pada realitas sosial tak akan dapat bekerja secara efektif.
Capacity adalah faktor yang terkait dengan ciri-ciri pelaku (internal)  yang mungkin punya masalah yang bisa mendorong mereka atau menyulitkan mereka atau tidak memungkinkan mereka untuk mentaati peraturan perundang-undangan.
Communication adalah faktor peran pihak yang berwenang atau aparat dalam mengambil langkah-langkah, apakah sudah memadai atau belum, untuk mengkomunikasikan peraturan perundang-undangan kepada pihak yang dituju. Pihak yang dituju untuk berlakunya peraturan perundang-undangan itu harus mendapat informasi yang jelas juga, bukan hanya kita yang harus mendapat informasi tentang mereka tetapi juga mereka harus mendapat informasi dari kita tentang peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. Oleh sebab itu komunikasi  dan publikasi melalui media massa menjadi sangat penting.
Process adalah prosedur bagi pelaku peran untuk memutuskan  apakah akan memenuhi atau tidak akan mematuhi terhadap peraturan perundang-undangan. Dari faktor ini terkandung juga keharusan agar pembentukan peraturan perundang-undangan dibentuk melalui prosedur dan mekanisme yang berlaku untuk itu yang jika tidak diperhatikan produknya dapat terkena pengujian yudisial (judicial review) secara formal.
Studi ilmiah melalui analisis ROCCIPI ini dituangkan dalam sebuah NA yang sistematikanya tentu masih berbeda dengan sistematika peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. NA belum tersusun dalam bentuk bab-bab dan pasal-pasal. NA mementingkan analisis dalam aspek-aspek di atas yang kajiannya harus mengaitkan secara tegas dengan dasar-dasar filosofis, yuridis, sosiologis, ekonomis, sosial, budaya dan semua sub sistem kemasyarakatan lainnya. Meski begitu agar tidak semata-mata bersifat ilmiah NA perlu juga disertai semacam rangkuman yang memuat kerangka tentang pokok-pokok isi penting yang sangat perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan.

MK dan Judicial Review
Prolegnas menjadi penyaring isi (penuangan) Pancasila dan UUD di dalam UU atau praturan perundang-undangan lainnya. Sementara, NA penting sebagai sarana informasi, analisis, serta forecasting atas suatu RUU sehingga akan dapat dihasilkan sebuah UU yang berkualitas dan sesuai dengan kondisi serta kebutuhan masyarakat.  Di dalam NA, termuat analisis ROCCIPI, sehingga masalah dalam perbeerlakuan suatu peraturan perundang-undangan, dapat dicegah atau diantisipasi.
Prolegnas, dengan NA dan ROCCIPI di atas, merupakan instrumen dan mekanisme yang bergerak pada tahapan awal pembentukan atau penyusunan hukum. Dalam hal ini, seharusnya bisa memberikan harapan besar bahwa UU  yang dihasilkan sesuai dengan arah politik hukum dan memiliki konsistensi dengan norma dan kaidah konstitusi. Namun demikian, setelah diberlakukan, tidak jarang UU tersebut dirasakan masih mengandung ketidakadilan atau ternyata bertentangan dengan kaidah konstitusi. Untuk hal ini, meski sebuah peraturan perundang-undangan, khususnya UU, telah diproses sesuai dengan Prolegnas, ia masih mungkin diuji lagi konsistensinya dengan UUD atau dengan peraturan yang lebih tinggi melalui pengujian yudisial atau judicial review
Gagasan judicial review dalam suatu negara hukum demokratis dilandasi oleh pemikiran bahwa hukum sebagai produk politik senantiasa memiliki watak yang sangat ditentukan oleh konstelasi politik yang melahirkannya. Hal itu memberi kemungkinan bahwa setiap produk hukum mencerminkan kepentingan kekuatan politik dominan yang mungkin tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dasar ide akan adanya mekanisme judicial review adalah bagaimana caranya memaksa pembentuk undang-undang agar taat kepada konstitusi, agar mereka tidak membuat undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang dasar.
Judicial review[7] adalah pengujian peraturan perundang-undangan tertentu oleh hakim (yudikatif). Hal ini berarti hak atau kewenangan menguji (toetsingsrecht) dimiliki oleh hakim. Pengujian tersebut dilakukan atas suatu ketentuan peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi. Artinya, judicial review bekerja atas dasar adanya peraturan perundang-undangan yang tersusun hierarkis. Kewenangan judicial review dapat dimiliki oleh hakim di semua tingkat, atau diberikan secara terpusat kepada Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.
Judicial review lebih luas cakupan maknanya daripada toetsingsrecht[8] atau hak menguji.  Judicial review tidak hanya bermakna the power of the court to declare laws unconstitutional’ tetapi juga berpaut dengan kegiatan examination of administration decisions by the court. Judicial review, menurut Katherine Lindsay sebagaimana dikutip Laica Marzuki, merupakan nomenklatur yang juga berpaut dengan kegiatan judisiil ‘in which asuperior court had power to determine questions of constitutional validity of enactment of the legislature’. Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik materiil maupun formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang lebih tinggi derajat dan hierarkinya. Hak menguji formal (formele toetsingsrecht) berpaut dengan pengujian terhadap cara pembentukan (pembuatan) serta prosedur peraturan perundang-undangan, sedangkan hak menguji material (materieele toetsingsrecht) berpaut dengan pengujian terhadap substansi peraturan perundang-undangan.
Di Indonesia, setiap upaya mengawal konstitusi menjadi yurisdiksi MK. MK secara konstitusional telah disepakati menjadi penjaga konstitusi (the guardian of constitution) agar ketentuan-ketentuan dalam konstitusi tidak sekedar menjadi huruf dan kalimat mati, melainkan terjelma dan dipraktikkan dalam kehidupan bernegara. Caranya adalah dengan memberikan interpretasi atas ketentuan konstitusi itu, yang hasil interpretasinya mengikat secara hukum, sehingga MK memiliki fungsi sebagai penafsir konstitusi (the sole judicial interpreter of the constitution). Di sini, melalui kewenangan melakukan judicial review, MK menjaga agar tidak ada peraturan perundang-undangan yang diberlakukan tidak sesuai atau malah bertentangan dengan konstitusi. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MK menguji undang-undang terhadap UUD, artinya yang diuji bukan rancangan undang-undang atau yang lainnya. Dengan kata lain, yang dapat diuji MK adalah undang-undang yang sudah berlaku karena secara formil sudah diundangkan (promulgated).
Dalam hal mekanisme pengujian undang-undang, ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan yakni siapa yang dapat mengajukan permohonan dan apa saja yang dimohonkan? Menyoal siapa yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Pasal 51 ayat (1) UU MK menentukan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
a.    perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang perorang yang mempunyai kepentingan sama;
b.    kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.    Badan hukum publik atau privat, atau;
d.    Lembaga negara.
Dalam hal ini, hanya ‘pihak’ yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yang dapat dipandang memiliki kedudukan hukum (legal standing) guna pengajuan permohonan pengujian undang-undang ke hadapan MK. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dianggap merugikan itu.[9] Di sini berlaku adagium hukum point d’etre point d’action, artinya tanpa kepentingan maka tidak ada gugatan (tindakan). Apabila subyektum tidak ternyata dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya maka yang bersangkutan dipandang tidak memiliki kepentingan guna mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Zonder belang, het isgeen rechsingang.[10]
          Terkait dengan itu, ada pertanyaan, apakah kerugian hak dan atau kewenangan konstitusional itu harus aktual dan nyata-nyata terjadi? Terhadap pertanyaan ini, pendirian MK adalah bahwa kerugian tidak harus bersifat aktual melainkan juga dapat bersifat potensial. Hal ini tergantung pemohon dalam membuktikan bahwa kerugian itu menurut penalaran yang wajar, dapat dipastikan akan terjadi, maka bagi MK hal itu telah cukup membuktikan adanya kerugian.
Sesuai Pasal 51 ayat (3) UU MK, suatu undang-undang dapat dimohonkan pengujian ke MK baik jika pembentukannya dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD 1945 maupun jika materi muatan (ayat, pasal, atau bagian) dari undang-undang itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945, atau keduanya. Sehingga, dikatakan permohonan pengujian dapat dilakukan baik untuk pengujian formil maupun materiil.
Dalam hal pengujian formil, jika pemohon berhasil membuktikan bahwa pembentukan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, sehingga hal itu merugikan hak/dan atau kewenangan konstitusionalnya, maka berarti seluruh undnag-undnag itu akan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (2) UU MK. Sementara, apabila pengujian bersifat materiil, yaitu hanya mangangkat ayat, pasal, dan/atau bagian tertentu dari suatu undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, jika pemohon berhasil membuktikannya maka hanya ayat, pasal, dan/atau bagian tertentu dari undang-undang itulah yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ini ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (1) UU MK.
Dalam hal permohonan judicial review dikabulkan oleh MK, maka dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan wajib dimuat dalam Berita Negara. Selanjutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Putusan MK bersifat final. Artinya tidak ada upaya hukum lain lagi yang dapat ditempuh sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Putusan MK berlaku mengikat sejak dibacakan dalam sidang pembacaan putusan.[11] Semua pihak termasuk penyelenggara negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK harus patuh dan tunduk terhadap putusan MK.
Dalam perkara pengujian UU, yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Jadi, meskipun dasar permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi. Dalm hal ini, DPR dan Presiden, bukan sebagai tergugat atau termohon yang harus bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan, melainkan sebagai pihak terkait yang memberikan keterangan tentang latar belakang dan maksud dari ketentuan UU yang dimohonkan. Hal itu dimaksudkan agar ketentuan yang diuji tidak ditafsirkan menurut pandangan Pemohon atau MK saja, tetapi juga menurut pembentuk UU, sehingga diperoleh keyakinan hukum apakah bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Oleh karena itu yang terikat melaksanakan putusan MK tidak hanya pembentuk UU, tetapi adalah semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK.

*****




[1] Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, di Hotel Sunan, Solo, Sabtu, 20 Februari 2010.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
[3] Sistem hukum Pancasila ialah sistem hukum yang mengambil atau memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya.
[4] Undang-Undang ini dibuat sebagai konsekuensi adanya perubahan jenis-jenis perundang-undangan yang menurut hasil amandemen UUD 1945 tidak lagi mengenal Ketetapan MPR.
[5] Selain Prolegnas, ada juga dalam UU itu istilah Prolegda yang mempunyai arti sama dengan Prolegnas tetapi lingkup berlakunya adalah daerah.
[6] Aaan Seidmann at all, Legislative Drafting for Democratic Social Change: A Manual for Drafters, First Published, Kluwer Law International, London 2001, hlm. 95.
[7] Istilah ini kerap digunakan secara rancu dengan konsep constitutional review yang merupakan pengujian suatu ketentuan perundang-undangan terhadap konstitusi. Parameter pengujian dalam hal ini adalah konstitusi sebagai hukum tertinggi. Hal ini berbeda dengan judicial review yang dari lingkup materinya lebih luas karena menguji suatu peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, jadi tidak terbatas pada konstitusi sebagai parameter pengujian. Namun dari sisi lembaga yang dapat melakukan pengujian dapat dimiliki oleh yudikatif, eksekutif, atau legislatif.
[8] Toetsingsrecht secara harfiah berati hak uji. Istilah ini digunakan pada saat membicarakan hak atau kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan yang dapat dimiliki oleh hakim, pemerintah, atau legislatif.
[9] Pasal 51 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003.
[10] Laica Marzuki, Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+4&f.
[11] Lihat Pasal 10 dan Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Sumber: http://mahfudmd.com/index.php?page=web.MakalahWeb&id=1&aw=1&ak=11




0 komentar:

Posting Komentar