.
Oleh: Nani
Efendi[1]
Salah satu kehebatan dari senior-senior HMI di masa lalu, yang sempat mengangkat prestise HMI di antara organisasi-organisasi lainnya, adalah kemampuan menulis dari mereka. Pendahulu-pendahulu HMI—seperti Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid), Dawam Rahardjo, Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, dan masih banyak lagi yang lain—diakui kehebatan intelektualnya karena mereka banyak menuangkan dan mempublikasikan ide, gagasan, pemikiran, dan sekaligus juga berpolemik (perang pena) melalui tulisan-tulisan.
Dalam bukunya, M. Wahyuni Nafis dan Rifki Mochtar (ed.), HMI Beban Sejarah Bagi Kadernya? (2002), dijelaskan bahwa, dulu, media massa seperti Panjimas, Prisma, Pelita, Kompas, dan sebagainya, banyak dipenuhi oleh tulisan-tulisan dari kader HMI.[2] Sewaktu Cak Nur masih belia, ia sudah berdebat (berpolemik) dengan seorang profesor (Rasjidi) melalui tulisan, mengenai ide ”sekularisasi”. Cak Nur juga menolak dominasi pemikiran Masyumi yang sangat politik-kepartaian-sentris, dengan melontarkan gagasan ”Islam yes, partai Islam no”.
”Nilai-Nilai
Dasar Perjuangan (NDP) HMI”—yang dijadikan landasan perjuangan HMI sampai saat
ini—juga ditulis oleh Cak Nur sewaktu ia masih belia. Sejak mahasiswa, Cak Nur
sudah aktif menulis, di antaranya melalui bingkai ”Pikiran-pikiran Muda
Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan”. Demikian juga Dawam Rahardjo, beliau
berpolemik terbuka dengan Ketua Masyumi, Prawoto Mangkusasmito (pengganti
Natsir), tentang pemikiran Negara Islam.[3]
Ahmad Wahib menggoncangkan blantika pemikiran melalui Catatan Harian
(Pergolakan Pemikiran Islam).
Namun
kini, budaya menulis dalam lingkungan HMI agak sedikit menurun. Bahkan, di
beberapa Cabang, terutama di daerah-daerah, boleh dikatakan budaya dan
kesenangan menulis tidak ada sama sekali. Padahal, terbinanya insan
akademis adalah tujuan pertama dari salah satu tujuan HMI. Dalam tujuan HMI
dijelaskan, ”Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan
Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang
diridhai Allah s.w.t.” Jadi, kata ”terbinya insan akademis” diletakkan lebih
awal di antara lima kualitas insan cita lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa HMI
sebenarnya sangat mengutamakan bidang intelektual.
Nah,
menulis adalah salah satu bentuk aktivitas intelektual yang mesti digiatkan di
dalam komunitas intelektual semacam HMI. Tetapi, mengapa saat ini tidak begitu
berkembang di kalangan kader-kader HMI, sebagaimana halnya kader-kader HMI di
masa lalu? Apakah persoalan intelektualitas saat ini sudah tidak lagi
diutamakan? Atau, karena tingkat intelektual dari kebanyakan kader HMI itu
sendiri yang sudah menurun disebabkan kesalahan rekrutmen dan pengkaderan saat
ini?
Menulis tugas kaum intelektual
Tulisan
ini merupakan bentuk kegusaran dan keresahan saya melihat kondisi HMI Cabang
Kerinci saat ini. Aktivitas membaca dan berdiskusi sudah tidak lagi diaktifkan.
Budaya intelektual seperti membaca dan berdiskusi saja yang gampang sudah tidak
lagi dilakukan, apalagi aktivitas menulis yang sedikit sulit. Padahal, aktivitas-aktivitas
ini harus ditumbuhkan dan digalakkan oleh organisasi intelektual semacam HMI,
sesuai dengan salah satu tujuan HMI itu sendiri: ”terbinanya insan akademis”.
Ciri-ciri
kaum intelektual adalah, sering membaca, berdiskusi, dan menulis. HMI yang
mengklaim dirinya sebagai organisasi intelektual dan kaum terpelajar tentunya
harus melakukan ciri-ciri kaum intelektual tersebut. Kaum intelektual
berkewajiban untuk mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan
pemikiran dan ilmu pengetahuan dalam rangka membangun peradaban manusia yang
lebih baik dan sempurna. Usaha dari kaum intelektual untuk mengembangkan
pengetahuan, tentunya tidak cukup hanya dengan bahasa lisan yang terbatas dan
mudah dilupakan orang. Dibutuhkan cara dan alat komunikasi yang baik. Salah
satu cara yang baik adalah melalui bahasa tulisan.
Sebuah
buku (tulisan) bisa berumur lebih panjang dari orang yang menulisnya. Kita
lihat saja, misalnya, karya-karya Plato, Al-Ghazali, Ibn Kaldun, Ibn Rusyd, Issac
Newton, Ibn al ’Arabi, Adam Smith, Karl
Marx, Immanuel Kant, Max Weber, J.J. Rousseau, Ibn Sina (Avicena), Gunnar
Myrdal, dan lain-lain. Jasad semua tokoh-tokoh ini telah hilang ditelan bumi.
Namun, karya (tulisan)nya masih ada sampai saat ini, dan masih bisa
dipergunakan sebagai referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pemikiran-pemikiran
yang mereka tuangkan dalam tulisan masih tetap hidup, dan bisa mempengaruhi
benak jutaan manusia di muka bumi.
Inilah
keistimewaan bahasa tulisan. Ia bisa bertahan lebih lama dibandingkan bahasa
lisan. Tulisan bisa disebarluaskan ke berbagai penjuru, bisa dijadikan rujukan
teori ilmiah, dan bisa dilihat berulang-ulang sewaktu kita lupa dengan maksud
penulisnya. Oleh karena itu, menulis adalah skill
yang mesti dimiliki, dan menulis merupakan suatu keharusan bagi kaum
intelektual.
Tulisan dan peradaban
Beberapa tahun yang lalu, saya pernah
berdiskusi dengan salah seorang alumni HMI Yogyakarta, Wo Ghazali. Dalam diskusi itu beliau mengatakan bahwa salah satu
kelemahan yang banyak dimiliki oleh mahasiswa dan juga sarjana-sarjana saat ini
adalah ”tidak bisa menulis”. Padahal, kata beliau, setiap mahasiswa diwajibkan membuat
skripsi. ”Jadi, skripsi itu siapa yang menulis?” tanya beliau. ”Kemungkinan
besar ditulis oleh orang lain, dijiplak, atau di-copy-paste,” jawab saya dalam hati.
Beliau juga menjelaskan, usaha manusia
menemukan dan menggunakan bahasa tulisan dari sebelumnya bahasa lisan,
berlangsung selama ratusan tahun. Artinya, pada awalnya, manusia hanya bisa
berkomunikasi secara lisan. Baru setelah ratusan tahun, manusia menemukan
tulisan dan bisa berkomunikasi melalui tulisan (mampu menulis, menuangkan
pemikiran dan mengembangkan pengetahuan dan sejarahnya melalui tulisan). Dalam
sejarah, kita mengetahui ada yang dinamakan ”masa prasejarah; prehistory” (zaman manusia belum
mengenal tulisan) dan ”sejarah; history”
(sudah mengenal tulisan).
Jadi, kalau kita tidak bisa menulis, berarti
kita masih tertinggal ratusan tahun dari orang-orang yang bisa menulis. Demikian
kira-kira maksud Wo Ghazali. Atau,
dapat juga dikatakan bahwa orang yang tidak bisa menulis adalah orang yang
”masih hidup dalam zaman prasejarah”. Tentu, kita tidak ingin tertinggal
ratusan tahun dari orang-orang yang bisa menulis. Dan tentu kita merasa
tersinggung jika kita dikatakan orang yang masih hidup dalam zaman prasejarah,
bukan?
Oleh
karena itu, kita juga mesti bisa menulis dan menuangkan pemikiran dan
pengetahuan dalam bentuk tulisan. Yang membedakan manusia modern dan manusia
prasejarah adalah pada kemampuannya menggunakan bahasa tulisan. Jika
kita ingin menganggap diri kita sebagai manusia modern (kaum terdidik), maka
kita harus mampu menulis.
Saya
mempunyai sebuah makalah yang ditulis oleh Ibn Ghifarie berjudul ”Saatnya
Mahasiswa Angkat Pena”, yang saya tidak ingat lagi kapan dan di mana saya
mendapatkan makalah itu. Yang jelas, makalah itu kelihatannya di-download dari internet. Dalam makalah yang masih saya simpan itu, penulisnya
menjelaskan bahwa menulis pada hakekatnya merupakan upaya mengekspresikan apa
yang dilihat, didengar, dirasa, dan dipikirkan dalam bentuk tulisan.
JK
Rowling, penulis ”best seller” Harry Poter, mengungkapkan pengalaman
menulisnya. Ia mengatakan, ”Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang Anda
ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. Itu yang saya
lakukan.” Ibn Ghifarie dalam makalah itu juga menerangkan, ”Menulis sangat erat
kaitannya dengan sebuah peradaban. Sejumlah orang-orang besar seperti Carlyle,
Kant, Mine Bean, dan Hena sangat percaya dan meyakini penemuan tulisan
benar-benar telah membentuk awal dari sebuah peradaban.”
Secara cukup
panjang lebar Ibn Ghifarie memaparkan dalam makalahnya:
Tentu
saja, hampir setiap orang agaknya pernah melakukan corat-coret entah di atas
pesan, memo, dan buku harian. Jadi ada pelbagai cara dalam menuangkan ide-ide
atau gagasan. Namun, bila kita masih kesulitan memulai membikin gaya tulisan
yang bersifat luas dan mendalam, maka kita bisa memulai latihan dengan cara
membuat coretan yang ringan dan sederhana. Misalnya saja dengan membiasakan
membikin surat pembaca dan diary. Perbuatan mulia ini, pernah dilakukan oleh
Ahmad Wahib melalui ”Catatan Harian (Pergolakan Pemikiran Islam)”. Dalam dunia
antropolog (Belb, 1926: 221-222) dan (Tanngan, 1983: 11), ada pameo,
”Sebagaimana bahasa membedakan manusia dengan binatang. Begitu pula tulisan
membedakan manusia beradab dari manusia biadab.” (As language distinguisher man from animal, so writing distinguisher
civilized man from barbarian). Kata Barbara Tuchmat, “Buku adalah pengusung
peradaban, tanpa buku, sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu pengetahuan
lumpuh serta pikiran dan spekulasi mandek.” Lagi-lagi upaya merangkai kata
dalam bingkai tulis. Terlebih dahulu simpan rasa ketakutan-ketakutan. Namun,
”tulislah,” ungkap Pramudya Ananta Toer, ”Semua harus ditulis. Apa pun, jangan
takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang
penting tulis, tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna.”
Penjelasan
Ibn Ghifarie—yang ia rujuk dari beberapa sumber—menunjukkan betapa pentingnya kegunaan dan arti menulis dalam kehidupan
manusia. Ia merupakan pembeda antara manusia beradab dan biadab. Dengan kata
lain, tulisan merupakan pembeda antara manusia yang sudah berperadaban maju (civilized) dan yang belum berperadaban (uncivilized). Tulisan tidak dikenal
dalam masyarakat primitif. Dan orang-orang primitif tidak bisa menulis dan
tidak memahami bahasa tulisan.
Oleh
karena itu, HMI sebagai salah satu pelopor kemajuan umat harus membudayakan kebiasaan
menulis. Jadi, menulis itu harus dibudayakan. Dengan membiasakan diri untuk
selalu menuliskan apa pun yang Anda pikir, lihat, rasa, dan dengar, kemampuan
menulis Anda akan meningkat. Dan Anda juga akan merasakan manfaat yang sangat besar
dari skill menulis yang Anda miliki.
Henriette Anne Klauser, penulis Writing
on Both Sides of the Brain, pernah mengatakan, “Menulislah hari ini,
kemudian diam sejenak dan saksikan keajaiban yang terjadi.”[4] Jadi,
jangan takut jika tulisan kita tidak dibaca oleh orang lain. Tuliskan saja,
karena suatu saat pasti akan bermanfaat.
Nah, kaum intelektual
itu harus mampu berkomunikasi dengan bahasa tulisan. Kaum intelektual harus mampu
menuangkan pemikiran, ide, gagasan dan sebagainya dalam bentuk tulisan, guna mengembangkan
ilmu pengetahuan dalam rangka mencerdaskan kehidupan manusia. Sebagai kaum
intelektual, harus ada semacam kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan
masyarakat. Salah satu cara dan sarana untuk pencerdasan itu adalah
melalui tulisan. Tulisan-tulisan itu bisa dalam berbagai bentuk, seperti
tulisan-tulisan lepas yang tidak dipublikasikan, artikel-artikel (ilmiah dan
ilmiah populer), makalah, skripsi, tesis, disertasi, buku-buku, opini dan lain sebagainya.
HMI berkewajiban mencerdaskan umat
Menurut
pengamatan saya, ada beberapa hal yang
menjadi penyebab tidak begitu berkembangnya budaya menulis di kalangan kader
HMI saat ini. Pertama, rendahnya
tingkat intelektualitas kader. Hal ini dikarenakan kesalahan rekrutmen (recruitment) pada saat penerimaan calon
kader sewaktu pelaksanaan LK I HMI (Basic
Training) yang ”asal rekrut”. Dengan kata lain, kualitas calon kader tidak
begitu diutamakan. Karena rendahnya tingkat intelektualitas, banyak kader yang
tidak punya ”isi kepala” (baca: gagasan atau ide) yang dapat dituangkan dalam
bentuk tulisan.
Kedua, tidak adanya pengetahuan tentang kiat-kiat menulis,
menyusun tata bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta penggunaan
tanda-tanda baca yang sesuai dengan ”Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan”
(EYD) secara benar. Banyak yang tidak paham dengan penggunaan tanda-tanda baca,
seperti kapan menggunakan tanda koma, tanda titik, tanda petik, tanda titik
koma, menggunakan huruf kapital (huruf besar), menggunakan huruf miring, dan
sebagainya. Yang seharusnya koma, diberi tanda titik, dan yang seharusnya sudah
diberi tanda titik, masih juga diberi tanda koma. Begitulah yang sering kita
lihat kebanyakan kalimat-kalimat yang ditulis oleh orang-orang yang tidak memahami
fungsi-fungsi tanda baca. Karena tidak memahami fungsi-fungsi tanda baca, akhirnya orang
tidak bisa menulis dengan baik. Di samping itu, kesulitan menulis juga disebabkan
oleh kurangnya membaca. Karena kurang membaca, mereka tidak memahami dan
mengetahui bagaimana bentuk-bentuk (struktur) tulisan yang baik dan benar.
Ditambah lagi dengan kurang terbiasanya mereka melatih tangan untuk menulis
atau menuangkan ide, konsep, gagasan, pemikiran, pendapat, pendirian, sikap,
pengalaman, perasaan, dan sebagainya ke dalam bentuk tulisan.
Ketiga, adanya rasa enggan untuk menuliskan berbagai hal,
karena menganggap tulisannya juga tidak akan dibaca oleh orang lain dan juga
tidak dapat dipublikasikan. Keempat,
dikarenakan sistem pendidikan di negara kita. Sejak tingkat dasar sampai
perguruan tinggi, tidak begitu ditekankan pentingnya menulis. Pelajar dan
mahasiswa tidak begitu didorong dan diarahkan untuk mampu menulis dengan baik.
Persoalan ini mungkin disebabkan oleh faktor tenaga pengajar di lembaga
pendidikan kita sendiri yang juga masih banyak yang tidak mampu menulis dengan
baik. Hal ini dapat kita lihat di sekolah-sekolah maupun di
kampus-kampus. Sangat sedikit dari guru maupun dosen yang mempunyai kesenangan
menulis. Kalaupun ada, hanya sekedar memenuhi tugas-tugas tertentu.
Sistem
pendidikan di negara kita berbeda dengan sistem pendidikan di Amerika.
Pendidikan di Amerika mengharuskan mahasiswanya banyak menulis, di samping
membaca tentunya. Setiap dosen mewajibkan mahasiswa membaca buku, kemudian
mengharuskan mahasiswa membuat laporan tentang buku yang dibacanya. Cara ini
dilakukan tiap minggu, sehingga setiap mahasiswa mampu menulis dalam bentuk
artikel ilmiah (Media Indonesia, 25
Maret 2006).
Tidak
demikian halnya dengan di Indonesia. Pendidikan di negara kita
tidak begitu menekankan arti pentingnya mempunyai kemampuan menulis. Saya masih
ingat sewaktu kuliah, sepanjang pengalaman saya, tidak pernah diajarkan
bagaimana cara menulis dengan baik. Dosen cuma bisa memerintahkan mahasiswa
membuat makalah, namun tidak pernah diajarkan bagaimana cara menulis dan
membuat makalah dengan baik. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan dosen-dosen
itu sendiri yang juga banyak yang tidak mempunyai kemampuan menulis dengan
baik. Akhirnya, mahasiswa cuma bisa
menjiplak tulisan-tulisan orang, kemudian dikatakan hasil tulisan sendiri.
Banyak
makalah yang dibuat oleh mahasiswa-mahasiswa di kampus-kampus merupakan hasil
dari menjiplak tulisan orang. Makalah hasil jiplakan inilah yang oleh Arip
Musthopa (Ketua Umum PB HMI 2008-2010) diistilahkan dengan ”makalah copy-paste”. Tidak hanya makalah,
skripsi pun terkadang dibuat oleh mahasiswa dengan cara menjiplak total. Bahkan
ironisnya lagi, ada yang membayar orang lain untuk membuatkan skripsinya.
Sebenarnya, hal itu merugikan mahasiswa itu sendiri, karena pada akhirnya, ia
tidak bisa menulis karya ilmiah dengan baik. Padahal, seorang mahasiswa, terlebih
lagi seorang sarjana, harus bisa menulis dengan baik guna untuk
mengkomunikasikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Nah,
kader-kader HMI tidak semestinya seperti itu. Kader-kader HMI sebagai calon
intelektual masa depan (man of future)
harus mampu menulis, mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan umat
melalui tulisan. Setiap kader HMI harus merasa berkewajiban untuk mencerdaskan
umat dan bangsa, sebagai salah satu bentuk pelaksanaan mission sacred (misi suci) HMI. Untuk tujuan ini, banyak cara dan
sarana yang bisa digunakan. Di antaranya adalah melalui tulisan. Tulisan adalah
cara pengembangan ilmu pengetahuan yang paling baik. Karena, tulisan mempunyai
jangkauan yang luas dan dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan bahasa
lisan.
Bagaimana cara memiliki kemampuan menulis?
Tulis,
tulis, tulis, dan tulis! (write, write, write, and write!)
Demikianlah cara untuk menjadi penulis dan memiliki kemampuan menulis. Apa yang
harus ditulis? Apa saja. Apa yang ada dalam ide, gagasan, pemikiran, perasaan,
pengalaman, dan lain sebagainya. Pendek kata, apa yang terasa, tuliskan! Angkat
pena, atau buka laptop, mulailah untuk menulis. Bagaimana dengan gaya bahasa dan aturan-aturan
menulis lainnya? Pada tahap awal menulis, persoalan itu tidak usah begitu
diperhatikan dan dirisaukan, karena akan membuat kita enggan dan gamang untuk
menulis.
Kita tidak perlu terlalu memperhatikan gaya bahasa dan kesempurnaan
kalimat. Karena, hal tersebut bisa disempurnakan atau diedit (editing) pada tahap selanjutnya. Yang
jelas, pada tahap awal, tuliskan saja apa yang ingin ditulis. Setelah ditulis
semuanya, baru kemudian disempurnakan. Yang perlu diperhatikan pada tahap awal
menulis hanyalah tanda titik dan koma.
Setelah
ditulis semua apa yang mau ditulis, baru kemudian proses editing
(mengedit atau melakukan penyempurnaan). Dalam tahap penyempurnaan (editing) inilah kita memperhatikan gaya
bahasa, tanda baca, dan aturan-aturan lain. Lihat mana yang lebih tepatnya diletakkan di awal,
di tengah, di akhir, dihapus, ditambah, disisipkan, ditukar, ditukar tempatnya,
dan lain sebagainya.
Tahap penyempurnaan (editing)
atau tahap revisi ini kita lakukan guna menyempurnakan kalimat atau tulisan
kita, sehingga bisa dibaca dan dipahami oleh orang lain. Di samping itu,
penulis yang baik juga harus memperhatikan keindahan atau aspek estetika dari
tulisannya. Namun, yang terpenting dari menulis ialah penggunaan tanda titik
dan tanda koma. Jika seseorang sudah memahami penggunaan tanda titik dan tanda
koma, sebenarnya ia sudah mampu membuat tulisan yang lebih panjang dan lebih
luas.
Dalam
menulis, setiap selesai satu kalimat, beri tanda titik. Untuk memperjelas
maksud kita dalam kalimat tersebut, beri tanda koma. Setelah selesai satu
kalimat, beri tanda titik, kemudian lanjutkan lagi. Demikianlah seterusnya.
Jika sudah mencapai lebih dari lima baris ketikan, bikin lagi paragraf baru.
Satu paragraf hendaknya tidak kurang dari lima baris ketikan. Satu paragraf,
idealnya sekitar 5-10 baris ketikan.
Kalimat
yang baik, hendaknya jangan lebih dari 18 kata. Atau, satu kalimat jangan lebih
dari tiga baris ketikan. Untuk lebih mudahnya menulis, kalimat jangan dibuat
terlalu panjang. Karena, kalimat yang terlalu
panjang akan membuat bahasa menjadi rancu dan sulit dipahami maksudnya. Lebih
baik menggunakan 2-3 kalimat yang pendek-pendek untuk menjelaskan satu ide,
hal, objek, dan sebagainya, daripada dengan satu kalimat yang terlalu panjang.[5]
Coba
praktekkan terus cara seperti ini. Karena, hanya dengan belajar dan praktek
menulislah Anda bisa menulis dan memiliki kemampuan menulis dengan baik. Di
samping itu, Anda harus sering membaca dan melihat bagaimana tata cara dan
aturan-aturan penulisan yang baik dan benar. Karena ”menulis adalah meniru
membaca”, dan ”berbicara adalah meniru
mendengar”.
Menulis
adalah bagian dari berbahasa (berkomunikasi) yang paling sulit. Menulis adalah
tingkat terakhir dari belajar berbahasa. Kemampuan menulis (writing) mesti dikuasai oleh kaum
terdidik, di samping tiga kemampuan berbahasa lainnya, yakni mendengar (listening), berbicara (speaking), dan membaca (reading). Jadi, jika seseorang belum
mampu menulis, berarti belum memiliki kemampuan berbahasa yang sempurna. Dan
juga belum bisa digolongkan sebagai seorang intelektual. Kaum intelektual harus
memiliki skill menulis untuk dapat menyampaikan pemikirannya melalui tulisan.
Untuk
mengatasi masalah ini, supaya kita bisa digolongkan sebagai kaum intelektual,
biasakanlah tangan kita untuk sering-sering menulis. Hanya dengan membiasakan
tangan menuliskan berbagai hal, kemampuan menulis kita akan meningkat.
Tuangkanlah berbagai hal, seperti apa yang sering kita bicarakan, yang kita baca, diskusikan, perdebatkan,
gagasan, perasaan, pengalaman, ide, dan pemikiran kita ke dalam bentuk tulisan.
Lama-kelamaan, insya Allah, kita akan bisa menulis dengan baik. Hanya dengan
sering praktek menulislah kita bisa mempunyai kemampuan menulis. Ingat, sebuah
adagium, ”You will never know, till you
have tried.” (Anda tidak akan pernah bisa sebelum Anda mencobanya).
Ada sebuah buku yang
cukup menarik, namun saya tidak ingat lagi nama penulis dan judulnya, yang
jelas buku tersebut mengajarkan tentang cara-cara untuk bisa menulis dan
menjadi penulis. Saya benar-benar termotivasi dan terinspirasi untuk bisa
menulis setelah membaca buku itu. Dalam buku itu, penulisnya menjelaskan, salah
satu kiat untuk mempunyai skill atau keterampilan menulis adalah dengan cara
menuliskan apa pun yang ingin ditulis, baik itu ide, pemikiran, pendapat,
pendirian, sikap, gagasan, perasaan, pengalaman, pengetahuan, dan lain
sebagainya.
Pendek kata, apa yang mau ditulis, tuliskan. Setelah semuanya
ditulis, baru kemudian disempurnakan dengan cara copy-paste, melihat mana sebaiknya tempat yang cocok dari
masing-masing kalimat dan paragraf yang sudah kita tulis. Apakah ia cocoknya
ditempatkan di atas, di tengah, di akhir, disisipkan, dihapus, ditambah, dan
lain sebagainya.
Banyak
orang yang mempunyai kemampuan berbahasa secara lisan, seperti berdiskusi,
berdebat, mengeluarkan saran dan kritikan, berbicara, pidato, dan menyampaikan
pemikiran. Tetapi,
mampukah mereka menuangkan semua itu ke dalam bentuk tulisan? Saya yakin hanya
sedikit mereka yang bisa. Berbicara itu mudah, dan banyak orang yang bisa
berbicara. Coba angkat pena untuk menuliskan apa yang kita bicarakan! Bisa?
Sudah tentu banyak yang tidak bisa. Oleh karena itulah orang yang disebut sudah
memiliki kemampuan berbahasa yang sempurna ialah orang yang sudah memiliki
kecakapan dalam menulis atau sudah mampu menuangkan pemikiran dalam bentuk
tulisan.
Untuk bisa
menulis, tidak ada cara lain, kecuali hanya dengan mempelajari dan kemudian
sering mempraktekkannya. Karena, ia tidak seperti kemampuan berbahasa lainnya
yang bisa kita dapatkan secara spontan tanpa harus mempelajarinya secara serius
seperti halnya kemampuan mendengar dan berbicara. Orang bisa memiliki kemampuan
mendengar dan berbicara tanpa harus belajar secara khusus atau
sungguh-sungguh, karena kemampuan
tersebut sudah melekat secara kodrati. Tetapi, kemampuan menulis tidaklah
demikian. Ia harus benar-benar dipelajari dan dilatih sesering mungkin. Hanya
dengan belajar dan berlatih menulislah kita bisa menulis dengan baik.
Penutup
Jadi,
kemampuan menulis harus dimiliki oleh kaum terdidik, guna mencerdaskan
kehidupan manusia. Oleh karena itu, kader HMI sebagai bagian dari kaum
intelektual harus menghidupkan aktivitas intelektual, terutama menulis, di samping
membaca dan berdiskusi. Bagi kader-kader yang belum bisa menulis atau
menuangkan pemikiran dalam bentuk tulisan, harus belajar menulis. Angkat pena,
dan mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kecil dan sederhana, kemudian
persoalan-persoalan yang luas dan besar.
Mulailah dengan menuliskan berbagai
hal yang menjadi concern HMI, seperti
masalah-masalah kemahasiswaan, keislaman, dan kebangsaan. Jadikanlah
tulisan-tulisan Anda sebagai bahan diskusi dalam forum-forum ilmiah, baik itu
forum diskusi formal maupun tidak formal, seperti di sekretariat atau di
tempat-tempat diskusi lainnya di kampus-kampus. Kemampuan menulis wajib
dimiliki oleh kader-kader HMI sebagai komunitas intelektual (intellectual community).
Melalui
tulisan saya ini, saya ingin menyampaikan saran dan harapan saya kepada
kader-kader HMI. Pertama, hidupkan
gerakan dan budaya menulis. Bagi yang belum bisa menulis, belajarlah menulis!
Biasakanlah menuliskan berbagai hal, khususnya hal-hal yang menjadi concern HMI, seperti kemahasiswaan, keislaman, dan kebangsaan.
Pendek kata, tulislah apa yang mau ditulis dan dapat ditulis. Kemudian, hasil
tulisan tersebut dipublikasikan, minimal di kalangan sesama
kader HMI. Hasil tulisan tersebut juga harus dapat menjadi bahan diskusi secara
ilmiah. Pada tahap awal, jangan malu jika tulisan kita tidak bagus, dan
dikritik oleh orang lain. Karena dengan adanya kritikan itulah kita bisa
menyempurnakan hasil tulisan kita. Yang penting, kita sudah bisa menulis dan
menuangkan pemikiran kita dalam bentuk tulisan.
Kedua, pada tahap
awal menulis, kita tidak perlu terlalu memperhatikan gaya bahasa yang
digunakan. Setelah selesai draft (konsep)
awal, barulah kemudian diperbaiki gaya bahasa. Syah (1972) sebagaimana dikutip
oleh Moh. Nazir (2003), memberikan saran-saran dalam menulis (khususnya karya
ilmiah), sebagai berikut: (1) tulislah sesuatu dengan jelas. Kalimat-kalimat
harus dibuat sesederhana mungkin. Jangan menggunakan kalimat yang terlalu
panjang. Lebih baik menggunakan 2-3 kalimat untuk menjelaskan satu ide, objek,
atau hal, daripada dengan satu kalimat yang terlalu panjang, sehingga kalimat
menjadi rancu dan tidak dapat dipahami dengan baik maksudnya, (2) gunakan paragraf
yang pendek, (3) gunakan tata bahasa yang benar. Penggunaan
koma, titik, titik koma, dan titik dua pada tempatnya (lihat Moh. Nazir, 2003).
Setelah draft awal berhasil ditulis,
baru kemudian penulis melakukan revisi-revisi.
Hal-hal yang mesti diperhatikan
dalam melakukan revisi: (1) membuat kalimat lebih jelas dan ringkas, (2)
menghilangkan pengulangan-pengulangan, (3) memperhatikan penggunaan kata hubung
dan memperbaiki gaya bahasa. Pada revisi pertama, perhatian ditujukan kepada
konsistensi. Beberapa bagian mungkin perlu diganti, ditambah, dibuang, dan
ditukar tempatnya (Mohd. Nazir, 2003). Melakukan revisi atau editing artinya menyempurnakan dengan
cara meng-cut, men-delete, melakukan copy-paste, terhadap hasil tulisan yang telah diketik.
Saran ketiga, buat komunitas intelektual (intellectual community) di tiap-tiap
Komisariat maupun Cabang yang aktivitasnya menulis, membaca, berdiskusi tentang
persoalan-persoalan umat kontemporer serta memberikan solusi pemecahannya.
Hasil diskusi tersebut dituliskan, dipublikasikan (minimal di kalangan
kader-kader HMI), kemudian dipolemikkan (berdebat melalui tulisan), dan
begitulah seterusnya. Sehingga, tumbuh tradisi intelektual di kalangan
kader-kader HMI. Dengan adanya aktivitas seperti ini, saya yakin, akan banyak
kader yang ingin belajar menulis, mempublikasikan tulisannya dan berdebat,
serta menawarkan solusi tentang berbagai persoalan kemahasiswaan, keislaman,
dan keindonesiaan/kebangsaan melalui tulisan.
Keempat, pahami benar-benar aturan-aturan menulis yang sesuai
dengan ”Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” (EYD), terutama tentang
kegunaan tanda-tanda baca, penggunaan huruf besar (huruf kapital) dan huruf
miring (italik). Adapun tanda-tanda baca yang mesti dipahami dengan baik ialah
tanda titik, tanda koma, tanda petik, tanda petik tunggal, tanda kurung, tanda kurung siku, tanda pisah,
tanda titik koma, tanda titik dua, tanda hubung, tanda garis miring, tanda
apostrof, tanda tanya, tanda seru, dan tanda elipsis.
Kelima, dalam merekrut calon kader di saat pelaksanaan LK I HMI
(Basic Training), hendaklah
benar-benar diperhatikan kemampuan intelektual dari calon kader, di samping akhlak
(moral) dan minat untuk berorganisasi (ber-HMI). Keenam, jadikanlah sekretariat HMI sebagai ”rumah intelektual”, sebagai
tempat diskusi untuk mengasah, meningkatkan, dan mengembangkan pengetahuan
serta kapasitas intelektual.
HMI harus dianggap sebagai ”kampus kedua” (the second campus) di samping kampus
(almamater) tempat seorang kader menyelesaikan studi formalnya. Saya
menyarankan hal ini karena saya melihat sekretariat HMI saat ini sudah banyak
yang dijadikan hanya sekedar tempat kongkow-kongkow dan cerita kosong. Semoga
tradisi menulis seperti yang dilakukan oleh kader-kader HMI di masa lalu kembali
tumbuh dan berkembang. Hidup HMI, dan yakin usaha sampai!
Nani Efendi — Alumnus HMI
Referensi:
Ghifarie, Ibn, ”Saatnya Gerakan Mahasiswa Angkat Pena”,
makalah (tt)
Madjid, Nurcholish, (1998), Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer, Jakarta: Paramadina.
Media Indonesia,
25/3/2006.
Media Sosialisasi Andi Sukmono Kumba, Kandidat Ketua Umum
PB HMI pada Kongres XXVI HMI di Palembang, 2008.
Nazir, Mohd., (2003), Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Tahqiq, Nanang, (2002), “Bye Bye HMI”, dalam M. Wahyuni
Nafis dan Rifki Mochtar (ed.), HMI Beban
Sejarah Bagi Kadernya? Jakarta: FOSAL PB HMI.
Catatan kaki:
[1] Alumnus LK III (Advance Training) HMI
[2] Lihat Nanang Tahqiq, “Bye Bye HMI”, dalam M. Wahyuni Nafis dan
Rifki Mochtar (ed.), HMI Beban Sejarah
Bagi Kadernya? (Jakarta :
FOSAL PB HMI, 2002), hlm. 81. Lihat juga Fachry Ali, “Intelektual, Pengaruh
Pemikiran dan Lingkungannya; Butir-butir Catatan untuk Nurcholish Madjid”, “Pengantar”
dalam Nurcholish Madjid, Dialog
Keterbukaan; Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta:
Paramadina, 1998), hlm. xxxiv-xxxv.
[3] Ibid.
[4] Penjelasan Henriette Anne Klauser, ini saya kutip dari Media Sosialisasi Andi Sukmono Kumba,
sewaktu menjadi Kandidat Ketua Umum PB HMI pada
Kongres XXVI HMI di Palembang tahun 2008. Saya mendapatkan media sosialisasi
ini karena saya sempat menghadiri Kongres HMI tersebut. Dan kebetulan saya
kebagian media sosialisasi itu.
[5] Lihat Mohd. Nazir, Metode Penelitian,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003).
0 komentar:
Posting Komentar