alt/text gambar

Rabu, 17 Juni 2015

Topik Pilihan:

Menumbuhkan Budaya Menulis di Kalangan Kader HMI

.

 Oleh: Nani Efendi[1]


  Salah satu kehebatan dari senior-senior HMI di masa lalu, yang sempat mengangkat prestise HMI di antara organisasi-organisasi lainnya, adalah kemampuan menulis dari mereka. Pendahulu-pendahulu HMIseperti Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid), Dawam Rahardjo, Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, dan masih banyak lagi yang laindiakui kehebatan intelektualnya karena mereka banyak menuangkan dan mempublikasikan ide, gagasan, pemikiran, dan sekaligus juga berpolemik (perang pena) melalui tulisan-tulisan. 

   Dalam bukunya, M. Wahyuni Nafis dan Rifki Mochtar (ed.), HMI Beban Sejarah Bagi Kadernya? (2002), dijelaskan bahwa, dulu, media massa seperti Panjimas, Prisma, Pelita, Kompas, dan sebagainya, banyak dipenuhi oleh tulisan-tulisan dari kader HMI.[2] Sewaktu Cak Nur masih belia, ia sudah berdebat (berpolemik) dengan seorang profesor (Rasjidi) melalui tulisan, mengenai ide ”sekularisasi”. Cak Nur juga menolak dominasi pemikiran Masyumi yang sangat politik-kepartaian-sentris, dengan melontarkan gagasan ”Islam yes, partai Islam no”.

”Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI”yang dijadikan landasan perjuangan HMI sampai saat inijuga ditulis oleh Cak Nur sewaktu ia masih belia. Sejak mahasiswa, Cak Nur sudah aktif menulis, di antaranya melalui bingkai ”Pikiran-pikiran Muda Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan”. Demikian juga Dawam Rahardjo, beliau berpolemik terbuka dengan Ketua Masyumi, Prawoto Mangkusasmito (pengganti Natsir), tentang pemikiran Negara Islam.[3] Ahmad Wahib menggoncangkan blantika pemikiran melalui Catatan Harian (Pergolakan Pemikiran Islam).
Namun kini, budaya menulis dalam lingkungan HMI agak sedikit menurun. Bahkan, di beberapa Cabang, terutama di daerah-daerah, boleh dikatakan budaya dan kesenangan menulis tidak ada sama sekali. Padahal, terbinanya insan akademis adalah tujuan pertama dari salah satu tujuan HMI. Dalam tujuan HMI dijelaskan, ”Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah s.w.t.” Jadi, kata ”terbinya insan akademis” diletakkan lebih awal di antara lima kualitas insan cita lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa HMI sebenarnya sangat mengutamakan bidang intelektual.

Nah, menulis adalah salah satu bentuk aktivitas intelektual yang mesti digiatkan di dalam komunitas intelektual semacam HMI. Tetapi, mengapa saat ini tidak begitu berkembang di kalangan kader-kader HMI, sebagaimana halnya kader-kader HMI di masa lalu? Apakah persoalan intelektualitas saat ini sudah tidak lagi diutamakan? Atau, karena tingkat intelektual dari kebanyakan kader HMI itu sendiri yang sudah menurun disebabkan kesalahan rekrutmen dan pengkaderan saat ini?

Menulis tugas kaum intelektual

Tulisan ini merupakan bentuk kegusaran dan keresahan saya melihat kondisi HMI Cabang Kerinci saat ini. Aktivitas membaca dan berdiskusi sudah tidak lagi diaktifkan. Budaya intelektual seperti membaca dan berdiskusi saja yang gampang sudah tidak lagi dilakukan, apalagi aktivitas menulis yang sedikit sulit. Padahal, aktivitas-aktivitas ini harus ditumbuhkan dan digalakkan oleh organisasi intelektual semacam HMI, sesuai dengan salah satu tujuan HMI itu sendiri: ”terbinanya insan akademis”.

Ciri-ciri kaum intelektual adalah, sering membaca, berdiskusi, dan menulis. HMI yang mengklaim dirinya sebagai organisasi intelektual dan kaum terpelajar tentunya harus melakukan ciri-ciri kaum intelektual tersebut. Kaum intelektual berkewajiban untuk mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan pemikiran dan ilmu pengetahuan dalam rangka membangun peradaban manusia yang lebih baik dan sempurna. Usaha dari kaum intelektual untuk mengembangkan pengetahuan, tentunya tidak cukup hanya dengan bahasa lisan yang terbatas dan mudah dilupakan orang. Dibutuhkan cara dan alat komunikasi yang baik. Salah satu cara yang baik adalah melalui bahasa tulisan.

Sebuah buku (tulisan) bisa berumur lebih panjang dari orang yang menulisnya. Kita lihat saja, misalnya, karya-karya Plato, Al-Ghazali, Ibn Kaldun, Ibn Rusyd, Issac Newton, Ibn al ’Arabi, Adam Smith, Karl Marx, Immanuel Kant, Max Weber, J.J. Rousseau, Ibn Sina (Avicena), Gunnar Myrdal, dan lain-lain. Jasad semua tokoh-tokoh ini telah hilang ditelan bumi. Namun, karya (tulisan)nya masih ada sampai saat ini, dan masih bisa dipergunakan sebagai referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Pemikiran-pemikiran yang mereka tuangkan dalam tulisan masih tetap hidup, dan bisa mempengaruhi benak jutaan manusia di muka bumi.

Inilah keistimewaan bahasa tulisan. Ia bisa bertahan lebih lama dibandingkan bahasa lisan. Tulisan bisa disebarluaskan ke berbagai penjuru, bisa dijadikan rujukan teori ilmiah, dan bisa dilihat berulang-ulang sewaktu kita lupa dengan maksud penulisnya. Oleh karena itu, menulis adalah skill yang mesti dimiliki, dan menulis merupakan suatu keharusan bagi kaum intelektual.

Tulisan dan peradaban

  Beberapa tahun yang lalu, saya pernah berdiskusi dengan salah seorang alumni HMI Yogyakarta, Wo Ghazali. Dalam diskusi itu beliau mengatakan bahwa salah satu kelemahan yang banyak dimiliki oleh mahasiswa dan juga sarjana-sarjana saat ini adalah ”tidak bisa menulis”. Padahal, kata beliau, setiap mahasiswa diwajibkan membuat skripsi. ”Jadi, skripsi itu siapa yang menulis?” tanya beliau. ”Kemungkinan besar ditulis oleh orang lain, dijiplak, atau di-copy-paste,” jawab saya dalam hati.

  Beliau juga menjelaskan, usaha manusia menemukan dan menggunakan bahasa tulisan dari sebelumnya bahasa lisan, berlangsung selama ratusan tahun. Artinya, pada awalnya, manusia hanya bisa berkomunikasi secara lisan. Baru setelah ratusan tahun, manusia menemukan tulisan dan bisa berkomunikasi melalui tulisan (mampu menulis, menuangkan pemikiran dan mengembangkan pengetahuan dan sejarahnya melalui tulisan). Dalam sejarah, kita mengetahui ada yang dinamakan ”masa prasejarah; prehistory” (zaman manusia belum mengenal tulisan) dan ”sejarah; history” (sudah mengenal tulisan).

  Jadi, kalau kita tidak bisa menulis, berarti kita masih tertinggal ratusan tahun dari orang-orang yang bisa menulis. Demikian kira-kira maksud Wo Ghazali. Atau, dapat juga dikatakan bahwa orang yang tidak bisa menulis adalah orang yang ”masih hidup dalam zaman prasejarah”. Tentu, kita tidak ingin tertinggal ratusan tahun dari orang-orang yang bisa menulis. Dan tentu kita merasa tersinggung jika kita dikatakan orang yang masih hidup dalam zaman prasejarah, bukan?

Oleh karena itu, kita juga mesti bisa menulis dan menuangkan pemikiran dan pengetahuan dalam bentuk tulisan. Yang membedakan manusia modern dan manusia prasejarah adalah pada kemampuannya menggunakan bahasa tulisan. Jika kita ingin menganggap diri kita sebagai manusia modern (kaum terdidik), maka kita harus mampu menulis.

Saya mempunyai sebuah makalah yang ditulis oleh Ibn Ghifarie berjudul ”Saatnya Mahasiswa Angkat Pena”, yang saya tidak ingat lagi kapan dan di mana saya mendapatkan makalah itu. Yang jelas, makalah itu kelihatannya di-download dari internet. Dalam makalah yang masih saya simpan itu, penulisnya menjelaskan bahwa menulis pada hakekatnya merupakan upaya mengekspresikan apa yang dilihat, didengar, dirasa, dan dipikirkan dalam bentuk tulisan. 

JK Rowling, penulis ”best seller” Harry Poter, mengungkapkan pengalaman menulisnya. Ia mengatakan, ”Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang Anda ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. Itu yang saya lakukan.” Ibn Ghifarie dalam makalah itu juga menerangkan, ”Menulis sangat erat kaitannya dengan sebuah peradaban. Sejumlah orang-orang besar seperti Carlyle, Kant, Mine Bean, dan Hena sangat percaya dan meyakini penemuan tulisan benar-benar telah membentuk awal dari sebuah peradaban.”

Secara cukup panjang lebar Ibn Ghifarie memaparkan dalam makalahnya:

Tentu saja, hampir setiap orang agaknya pernah melakukan corat-coret entah di atas pesan, memo, dan buku harian. Jadi ada pelbagai cara dalam menuangkan ide-ide atau gagasan. Namun, bila kita masih kesulitan memulai membikin gaya tulisan yang bersifat luas dan mendalam, maka kita bisa memulai latihan dengan cara membuat coretan yang ringan dan sederhana. Misalnya saja dengan membiasakan membikin surat pembaca dan diary. Perbuatan mulia ini, pernah dilakukan oleh Ahmad Wahib melalui ”Catatan Harian (Pergolakan Pemikiran Islam)”. Dalam dunia antropolog (Belb, 1926: 221-222) dan (Tanngan, 1983: 11), ada pameo, ”Sebagaimana bahasa membedakan manusia dengan binatang. Begitu pula tulisan membedakan manusia beradab dari manusia biadab.” (As language distinguisher man from animal, so writing distinguisher civilized man from barbarian). Kata Barbara Tuchmat, “Buku adalah pengusung peradaban, tanpa buku, sejarah menjadi sunyi, sastra bisu, ilmu pengetahuan lumpuh serta pikiran dan spekulasi mandek.” Lagi-lagi upaya merangkai kata dalam bingkai tulis. Terlebih dahulu simpan rasa ketakutan-ketakutan. Namun, ”tulislah,” ungkap Pramudya Ananta Toer, ”Semua harus ditulis. Apa pun, jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna.”

Penjelasan Ibn Ghifarieyang ia rujuk dari beberapa sumbermenunjukkan betapa pentingnya  kegunaan dan arti menulis dalam kehidupan manusia. Ia merupakan pembeda antara manusia beradab dan biadab. Dengan kata lain, tulisan merupakan pembeda antara manusia yang sudah berperadaban maju (civilized) dan yang belum berperadaban (uncivilized). Tulisan tidak dikenal dalam masyarakat primitif. Dan orang-orang primitif tidak bisa menulis dan tidak memahami bahasa tulisan.

Oleh karena itu, HMI sebagai salah satu pelopor kemajuan umat harus membudayakan kebiasaan menulis. Jadi, menulis itu harus dibudayakan. Dengan membiasakan diri untuk selalu menuliskan apa pun yang Anda pikir, lihat, rasa, dan dengar, kemampuan menulis Anda akan meningkat. Dan Anda juga akan merasakan manfaat yang sangat besar dari skill menulis yang Anda miliki. Henriette Anne Klauser, penulis Writing on Both Sides of the Brain, pernah mengatakan, “Menulislah hari ini, kemudian diam sejenak dan saksikan keajaiban yang terjadi.”[4] Jadi, jangan takut jika tulisan kita tidak dibaca oleh orang lain. Tuliskan saja, karena suatu saat pasti akan bermanfaat.

Nah, kaum intelektual itu harus mampu berkomunikasi dengan bahasa tulisan. Kaum intelektual harus mampu menuangkan pemikiran, ide, gagasan dan sebagainya dalam bentuk tulisan, guna mengembangkan ilmu pengetahuan dalam rangka mencerdaskan kehidupan manusia. Sebagai kaum intelektual, harus ada semacam kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat. Salah satu cara dan sarana untuk pencerdasan itu adalah melalui tulisan. Tulisan-tulisan itu bisa dalam berbagai bentuk, seperti tulisan-tulisan lepas yang tidak dipublikasikan, artikel-artikel (ilmiah dan ilmiah populer), makalah, skripsi, tesis, disertasi, buku-buku, opini dan lain sebagainya.

HMI berkewajiban mencerdaskan umat

Menurut pengamatan saya, ada beberapa  hal yang menjadi penyebab tidak begitu berkembangnya budaya menulis di kalangan kader HMI saat ini. Pertama, rendahnya tingkat intelektualitas kader. Hal ini dikarenakan kesalahan rekrutmen (recruitment) pada saat penerimaan calon kader sewaktu pelaksanaan LK I HMI (Basic Training) yang ”asal rekrut”. Dengan kata lain, kualitas calon kader tidak begitu diutamakan. Karena rendahnya tingkat intelektualitas, banyak kader yang tidak punya ”isi kepala” (baca: gagasan atau ide) yang dapat dituangkan dalam bentuk tulisan.

Kedua, tidak adanya pengetahuan tentang kiat-kiat menulis, menyusun tata bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta penggunaan tanda-tanda baca yang sesuai dengan ”Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” (EYD) secara benar. Banyak yang tidak paham dengan penggunaan tanda-tanda baca, seperti kapan menggunakan tanda koma, tanda titik, tanda petik, tanda titik koma, menggunakan huruf kapital (huruf besar), menggunakan huruf miring, dan sebagainya. Yang seharusnya koma, diberi tanda titik, dan yang seharusnya sudah diberi tanda titik, masih juga diberi tanda koma. Begitulah yang sering kita lihat kebanyakan kalimat-kalimat yang ditulis oleh orang-orang yang tidak memahami fungsi-fungsi tanda baca. Karena tidak memahami fungsi-fungsi tanda baca, akhirnya orang tidak bisa menulis dengan baik. Di samping itu, kesulitan menulis juga disebabkan oleh kurangnya membaca. Karena kurang membaca, mereka tidak memahami dan mengetahui bagaimana bentuk-bentuk (struktur) tulisan yang baik dan benar. Ditambah lagi dengan kurang terbiasanya mereka melatih tangan untuk menulis atau menuangkan ide, konsep, gagasan, pemikiran, pendapat, pendirian, sikap, pengalaman, perasaan, dan sebagainya ke dalam bentuk tulisan.

Ketiga, adanya rasa enggan untuk menuliskan berbagai hal, karena menganggap tulisannya juga tidak akan dibaca oleh orang lain dan juga tidak dapat dipublikasikan. Keempat, dikarenakan sistem pendidikan di negara kita. Sejak tingkat dasar sampai perguruan tinggi, tidak begitu ditekankan pentingnya menulis. Pelajar dan mahasiswa tidak begitu didorong dan diarahkan untuk mampu menulis dengan baik. Persoalan ini mungkin disebabkan oleh faktor tenaga pengajar di lembaga pendidikan kita sendiri yang juga masih banyak yang tidak mampu menulis dengan baik. Hal ini dapat kita lihat di sekolah-sekolah maupun di kampus-kampus. Sangat sedikit dari guru maupun dosen yang mempunyai kesenangan menulis. Kalaupun ada, hanya sekedar memenuhi tugas-tugas tertentu.

Sistem pendidikan di negara kita berbeda dengan sistem pendidikan di Amerika. Pendidikan di Amerika mengharuskan mahasiswanya banyak menulis, di samping membaca tentunya. Setiap dosen mewajibkan mahasiswa membaca buku, kemudian mengharuskan mahasiswa membuat laporan tentang buku yang dibacanya. Cara ini dilakukan tiap minggu, sehingga setiap mahasiswa mampu menulis dalam bentuk artikel ilmiah (Media Indonesia, 25 Maret 2006).

Tidak demikian halnya dengan di Indonesia. Pendidikan di negara kita tidak begitu menekankan arti pentingnya mempunyai kemampuan menulis. Saya masih ingat sewaktu kuliah, sepanjang pengalaman saya, tidak pernah diajarkan bagaimana cara menulis dengan baik. Dosen cuma bisa memerintahkan mahasiswa membuat makalah, namun tidak pernah diajarkan bagaimana cara menulis dan membuat makalah dengan baik. Hal ini kemungkinan besar dikarenakan dosen-dosen itu sendiri yang juga banyak yang tidak mempunyai kemampuan menulis dengan baik. Akhirnya, mahasiswa cuma  bisa menjiplak tulisan-tulisan orang, kemudian dikatakan hasil tulisan sendiri.

Banyak makalah yang dibuat oleh mahasiswa-mahasiswa di kampus-kampus merupakan hasil dari menjiplak tulisan orang. Makalah hasil jiplakan inilah yang oleh Arip Musthopa (Ketua Umum PB HMI 2008-2010) diistilahkan dengan ”makalah copy-paste”. Tidak hanya makalah, skripsi pun terkadang dibuat oleh mahasiswa dengan cara menjiplak total. Bahkan ironisnya lagi, ada yang membayar orang lain untuk membuatkan skripsinya. Sebenarnya, hal itu merugikan mahasiswa itu sendiri, karena pada akhirnya, ia tidak bisa menulis karya ilmiah dengan baik. Padahal, seorang mahasiswa, terlebih lagi seorang sarjana, harus bisa menulis dengan baik guna untuk mengkomunikasikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Nah, kader-kader HMI tidak semestinya seperti itu. Kader-kader HMI sebagai calon intelektual masa depan (man of future) harus mampu menulis, mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan umat melalui tulisan. Setiap kader HMI harus merasa berkewajiban untuk mencerdaskan umat dan bangsa, sebagai salah satu bentuk pelaksanaan mission sacred (misi suci) HMI. Untuk tujuan ini, banyak cara dan sarana yang bisa digunakan. Di antaranya adalah melalui tulisan. Tulisan adalah cara pengembangan ilmu pengetahuan yang paling baik. Karena, tulisan mempunyai jangkauan yang luas dan dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan bahasa lisan.

Bagaimana cara memiliki kemampuan menulis?

  Tulis, tulis, tulis, dan tulis! (write, write, write, and write!) Demikianlah cara untuk menjadi penulis dan memiliki kemampuan menulis. Apa yang harus ditulis? Apa saja. Apa yang ada dalam ide, gagasan, pemikiran, perasaan, pengalaman, dan lain sebagainya. Pendek kata, apa yang terasa, tuliskan! Angkat pena, atau buka laptop, mulailah untuk menulis. Bagaimana dengan gaya bahasa dan aturan-aturan menulis lainnya? Pada tahap awal menulis, persoalan itu tidak usah begitu diperhatikan dan dirisaukan, karena akan membuat kita enggan dan gamang untuk menulis. 

Kita tidak perlu terlalu memperhatikan gaya bahasa dan kesempurnaan kalimat. Karena, hal tersebut bisa disempurnakan atau diedit (editing) pada tahap selanjutnya. Yang jelas, pada tahap awal, tuliskan saja apa yang ingin ditulis. Setelah ditulis semuanya, baru kemudian disempurnakan. Yang perlu diperhatikan pada tahap awal menulis hanyalah tanda titik dan koma.

Setelah ditulis semua apa yang mau ditulis, baru kemudian proses editing (mengedit atau melakukan penyempurnaan). Dalam tahap penyempurnaan (editing) inilah kita memperhatikan gaya bahasa, tanda baca, dan aturan-aturan lain. Lihat  mana yang lebih tepatnya diletakkan di awal, di tengah, di akhir, dihapus, ditambah, disisipkan, ditukar, ditukar tempatnya, dan lain sebagainya. 

Tahap penyempurnaan (editing) atau tahap revisi ini kita lakukan guna menyempurnakan kalimat atau tulisan kita, sehingga bisa dibaca dan dipahami oleh orang lain. Di samping itu, penulis yang baik juga harus memperhatikan keindahan atau aspek estetika dari tulisannya. Namun, yang terpenting dari menulis ialah penggunaan tanda titik dan tanda koma. Jika seseorang sudah memahami penggunaan tanda titik dan tanda koma, sebenarnya ia sudah mampu membuat tulisan yang lebih panjang dan lebih luas.

Dalam menulis, setiap selesai satu kalimat, beri tanda titik. Untuk memperjelas maksud kita dalam kalimat tersebut, beri tanda koma. Setelah selesai satu kalimat, beri tanda titik, kemudian lanjutkan lagi. Demikianlah seterusnya. Jika sudah mencapai lebih dari lima baris ketikan, bikin lagi paragraf baru. Satu paragraf hendaknya tidak kurang dari lima baris ketikan. Satu paragraf, idealnya sekitar 5-10 baris ketikan.

Kalimat yang baik, hendaknya jangan lebih dari 18 kata. Atau, satu kalimat jangan lebih dari tiga baris ketikan. Untuk lebih mudahnya menulis, kalimat jangan dibuat terlalu panjang.  Karena, kalimat yang terlalu panjang akan membuat bahasa menjadi rancu dan sulit dipahami maksudnya. Lebih baik menggunakan 2-3 kalimat yang pendek-pendek untuk menjelaskan satu ide, hal, objek, dan sebagainya, daripada dengan satu kalimat yang terlalu panjang.[5]

Coba praktekkan terus cara seperti ini. Karena, hanya dengan belajar dan praktek menulislah Anda bisa menulis dan memiliki kemampuan menulis dengan baik. Di samping itu, Anda harus sering membaca dan melihat bagaimana tata cara dan aturan-aturan penulisan yang baik dan benar. Karena ”menulis adalah meniru membaca”, dan ”berbicara  adalah meniru mendengar”.

Menulis adalah bagian dari berbahasa (berkomunikasi) yang paling sulit. Menulis adalah tingkat terakhir dari belajar berbahasa. Kemampuan menulis (writing) mesti dikuasai oleh kaum terdidik, di samping tiga kemampuan berbahasa lainnya, yakni mendengar (listening), berbicara (speaking), dan membaca (reading). Jadi, jika seseorang belum mampu menulis, berarti belum memiliki kemampuan berbahasa yang sempurna. Dan juga belum bisa digolongkan sebagai seorang intelektual. Kaum intelektual harus memiliki skill menulis untuk dapat menyampaikan pemikirannya melalui tulisan.

Untuk mengatasi masalah ini, supaya kita bisa digolongkan sebagai kaum intelektual, biasakanlah tangan kita untuk sering-sering menulis. Hanya dengan membiasakan tangan menuliskan berbagai hal, kemampuan menulis kita akan meningkat. Tuangkanlah berbagai hal, seperti apa yang sering kita bicarakan,  yang kita baca, diskusikan, perdebatkan, gagasan, perasaan, pengalaman, ide, dan pemikiran kita ke dalam bentuk tulisan. Lama-kelamaan, insya Allah, kita akan bisa menulis dengan baik. Hanya dengan sering praktek menulislah kita bisa mempunyai kemampuan menulis. Ingat, sebuah adagium, ”You will never know, till you have tried.” (Anda tidak akan pernah bisa sebelum Anda mencobanya).

Ada sebuah buku yang cukup menarik, namun saya tidak ingat lagi nama penulis dan judulnya, yang jelas buku tersebut mengajarkan tentang cara-cara untuk bisa menulis dan menjadi penulis. Saya benar-benar termotivasi dan terinspirasi untuk bisa menulis setelah membaca buku itu. Dalam buku itu, penulisnya menjelaskan, salah satu kiat untuk mempunyai skill atau keterampilan menulis adalah dengan cara menuliskan apa pun yang ingin ditulis, baik itu ide, pemikiran, pendapat, pendirian, sikap, gagasan, perasaan, pengalaman, pengetahuan, dan lain sebagainya. 

Pendek kata, apa yang mau ditulis, tuliskan. Setelah semuanya ditulis, baru kemudian disempurnakan dengan cara copy-paste, melihat mana sebaiknya tempat yang cocok dari masing-masing kalimat dan paragraf yang sudah kita tulis. Apakah ia cocoknya ditempatkan di atas, di tengah, di akhir, disisipkan, dihapus, ditambah, dan lain sebagainya.

Banyak orang yang mempunyai kemampuan berbahasa secara lisan, seperti berdiskusi, berdebat, mengeluarkan saran dan kritikan, berbicara, pidato, dan menyampaikan pemikiran. Tetapi, mampukah mereka menuangkan semua itu ke dalam bentuk tulisan? Saya yakin hanya sedikit mereka yang bisa. Berbicara itu mudah, dan banyak orang yang bisa berbicara. Coba angkat pena untuk menuliskan apa yang kita bicarakan! Bisa? Sudah tentu banyak yang tidak bisa. Oleh karena itulah orang yang disebut sudah memiliki kemampuan berbahasa yang sempurna ialah orang yang sudah memiliki kecakapan dalam menulis atau sudah mampu menuangkan pemikiran dalam bentuk tulisan.

Untuk bisa menulis, tidak ada cara lain, kecuali hanya dengan mempelajari dan kemudian sering mempraktekkannya. Karena, ia tidak seperti kemampuan berbahasa lainnya yang bisa kita dapatkan secara spontan tanpa harus mempelajarinya secara serius seperti halnya kemampuan mendengar dan berbicara. Orang bisa memiliki kemampuan mendengar dan berbicara tanpa harus belajar secara khusus atau sungguh-sungguh,  karena kemampuan tersebut sudah melekat secara kodrati. Tetapi, kemampuan menulis tidaklah demikian. Ia harus benar-benar dipelajari dan dilatih sesering mungkin. Hanya dengan belajar dan berlatih menulislah kita bisa menulis dengan baik.

Penutup

Jadi, kemampuan menulis harus dimiliki oleh kaum terdidik, guna mencerdaskan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kader HMI sebagai bagian dari kaum intelektual harus menghidupkan aktivitas intelektual, terutama menulis, di samping membaca dan berdiskusi. Bagi kader-kader yang belum bisa menulis atau menuangkan pemikiran dalam bentuk tulisan, harus belajar menulis. Angkat pena, dan mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kecil dan sederhana, kemudian persoalan-persoalan yang luas dan besar. 

Mulailah dengan menuliskan berbagai hal yang menjadi concern HMI, seperti masalah-masalah kemahasiswaan, keislaman, dan kebangsaan. Jadikanlah tulisan-tulisan Anda sebagai bahan diskusi dalam forum-forum ilmiah, baik itu forum diskusi formal maupun tidak formal, seperti di sekretariat atau di tempat-tempat diskusi lainnya di kampus-kampus. Kemampuan menulis wajib dimiliki oleh kader-kader HMI sebagai komunitas intelektual (intellectual community).

Melalui tulisan saya ini, saya ingin menyampaikan saran dan harapan saya kepada kader-kader HMI. Pertama, hidupkan gerakan dan budaya menulis. Bagi yang belum bisa menulis, belajarlah menulis! Biasakanlah menuliskan berbagai hal, khususnya hal-hal  yang menjadi concern HMI, seperti kemahasiswaan, keislaman, dan kebangsaan. 

Pendek kata, tulislah apa yang mau ditulis dan dapat ditulis. Kemudian, hasil tulisan tersebut dipublikasikan, minimal di kalangan sesama kader HMI. Hasil tulisan tersebut juga harus dapat menjadi bahan diskusi secara ilmiah. Pada tahap awal, jangan malu jika tulisan kita tidak bagus, dan dikritik oleh orang lain. Karena dengan adanya kritikan itulah kita bisa menyempurnakan hasil tulisan kita. Yang penting, kita sudah bisa menulis dan menuangkan pemikiran kita dalam bentuk tulisan.

Kedua, pada tahap awal menulis, kita tidak perlu terlalu memperhatikan gaya bahasa yang digunakan. Setelah selesai draft (konsep) awal, barulah kemudian diperbaiki gaya bahasa. Syah (1972) sebagaimana dikutip oleh Moh. Nazir (2003), memberikan saran-saran dalam menulis (khususnya karya ilmiah), sebagai berikut: (1) tulislah sesuatu dengan jelas. Kalimat-kalimat harus dibuat sesederhana mungkin. Jangan menggunakan kalimat yang terlalu panjang. Lebih baik menggunakan 2-3 kalimat untuk menjelaskan satu ide, objek, atau hal, daripada dengan satu kalimat yang terlalu panjang, sehingga kalimat menjadi rancu dan tidak dapat dipahami dengan baik maksudnya, (2) gunakan paragraf yang pendek, (3) gunakan tata bahasa yang benar. Penggunaan koma, titik, titik koma, dan titik dua pada tempatnya (lihat Moh. Nazir, 2003). Setelah draft awal berhasil ditulis, baru kemudian penulis melakukan revisi-revisi. 

Hal-hal yang mesti diperhatikan dalam melakukan revisi: (1) membuat kalimat lebih jelas dan ringkas, (2) menghilangkan pengulangan-pengulangan, (3) memperhatikan penggunaan kata hubung dan memperbaiki gaya bahasa. Pada revisi pertama, perhatian ditujukan kepada konsistensi. Beberapa bagian mungkin perlu diganti, ditambah, dibuang, dan ditukar tempatnya (Mohd. Nazir, 2003). Melakukan revisi atau editing artinya menyempurnakan dengan cara meng-cut, men-delete, melakukan copy-paste, terhadap hasil tulisan yang telah diketik.

Saran ketiga, buat komunitas intelektual (intellectual community) di tiap-tiap Komisariat maupun Cabang yang aktivitasnya menulis, membaca, berdiskusi tentang persoalan-persoalan umat kontemporer serta memberikan solusi pemecahannya. Hasil diskusi tersebut dituliskan, dipublikasikan (minimal di kalangan kader-kader HMI), kemudian dipolemikkan (berdebat melalui tulisan), dan begitulah seterusnya. Sehingga, tumbuh tradisi intelektual di kalangan kader-kader HMI. Dengan adanya aktivitas seperti ini, saya yakin, akan banyak kader yang ingin belajar menulis, mempublikasikan tulisannya dan berdebat, serta menawarkan solusi tentang berbagai persoalan kemahasiswaan, keislaman, dan keindonesiaan/kebangsaan melalui tulisan.

Keempat, pahami benar-benar aturan-aturan menulis yang sesuai dengan ”Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” (EYD), terutama tentang kegunaan tanda-tanda baca, penggunaan huruf besar (huruf kapital) dan huruf miring (italik). Adapun tanda-tanda baca yang mesti dipahami dengan baik ialah tanda titik, tanda koma, tanda petik, tanda petik tunggal,  tanda kurung, tanda kurung siku, tanda pisah, tanda titik koma, tanda titik dua, tanda hubung, tanda garis miring, tanda apostrof, tanda tanya, tanda seru, dan tanda elipsis.

Kelima, dalam merekrut calon kader di saat pelaksanaan LK I HMI (Basic Training), hendaklah benar-benar diperhatikan kemampuan intelektual dari calon kader, di samping akhlak (moral) dan minat untuk berorganisasi (ber-HMI). Keenam, jadikanlah sekretariat HMI sebagai ”rumah intelektual”, sebagai tempat diskusi untuk mengasah, meningkatkan, dan mengembangkan pengetahuan serta kapasitas intelektual. 

HMI harus dianggap sebagai ”kampus kedua” (the second campus) di samping kampus (almamater) tempat seorang kader menyelesaikan studi formalnya. Saya menyarankan hal ini karena saya melihat sekretariat HMI saat ini sudah banyak yang dijadikan hanya sekedar tempat kongkow-kongkow dan cerita kosong. Semoga tradisi menulis seperti yang dilakukan oleh kader-kader HMI di masa lalu kembali tumbuh dan berkembang. Hidup HMI, dan yakin usaha sampai!

Nani Efendi  Alumnus HMI

Referensi:

Ghifarie, Ibn, ”Saatnya Gerakan Mahasiswa Angkat Pena”, makalah (tt)

Madjid, Nurcholish, (1998), Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina.

Media Indonesia, 25/3/2006.

Media Sosialisasi Andi Sukmono Kumba, Kandidat Ketua Umum PB HMI pada Kongres XXVI HMI di Palembang, 2008.

Nazir, Mohd., (2003), Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Tahqiq, Nanang, (2002), “Bye Bye HMI”, dalam M. Wahyuni Nafis dan Rifki Mochtar (ed.), HMI Beban Sejarah Bagi Kadernya? Jakarta: FOSAL PB HMI.


Catatan kaki:



[1] Alumnus LK III (Advance Training) HMI
[2] Lihat Nanang Tahqiq, “Bye Bye HMI”, dalam M. Wahyuni Nafis dan Rifki Mochtar (ed.), HMI Beban Sejarah Bagi Kadernya? (Jakarta: FOSAL PB HMI, 2002), hlm. 81. Lihat juga Fachry Ali, “Intelektual, Pengaruh Pemikiran dan Lingkungannya; Butir-butir Catatan untuk Nurcholish Madjid”, “Pengantar” dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan; Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. xxxiv-xxxv.
[3] Ibid.
[4] Penjelasan Henriette Anne Klauser, ini saya kutip dari Media Sosialisasi Andi Sukmono Kumba, sewaktu menjadi Kandidat Ketua Umum PB HMI pada Kongres XXVI HMI di Palembang tahun 2008. Saya mendapatkan media sosialisasi ini karena saya sempat menghadiri Kongres HMI tersebut. Dan kebetulan saya kebagian media sosialisasi itu.
[5] Lihat  Mohd. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003).


0 komentar:

Posting Komentar