Oleh: NANI EFENDI
Sebagian besar orang Indonesia pasti mengenal Bung Hatta. Tapi, tak banyak yang tahu sisi-sisi positif kehidupan dan karakter pribadi Bung Hatta. Bung Hatta adalah sosok pribadi yang sederhana. Suatu karakter kepemimpinan dan ketokohan yang sudah sangat langka di tengah kehidupan saat ini yang sudah serba berorientasi materialistik dan hedonisme.
Saat ini, jumlah kepemilikan materi dan jabatan dijadikan ukuran kesuksesan dan kehebatan seseorang. Tidak peduli dari mana sumber dan bagaimana cara mereka mendapatkan. Orang lebih hormat kepada seseorang karena harta, jabatan tinggi, dan kekuasaan ketimbang hormat kepada seseorang karena kemuliaan watak dan derajat kecendekiannya.
Dalam dunia politik sekarang pun seperti itu. Orientasi sebagian besar orang terjun ke dunia politik bukan lagi sebagai panggilan jiwa untuk memperjuangkan cita-cita luhur menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan dan martabat rakyat, tetapi tidak lain hanya mencari privelese dan power atau kekuasaan untuk meraup harta rakyat sebanyak mungkin demi kepentingan pribadi dan keluarga semata.
Orang sepertinya telah kehilangan figur teladan yang bisa menjadi sumber inspirasi dalam berjuang di dunia politik. Padahal, sangat banyak tokoh-tokoh bangsa ini yang bisa menjadi sumber inspirasi itu, yang mengajarkan cara-cara berpolitik secara benar dan wajib untuk diteladani oleh politisi kini. Di antaranya adalah Bung Hatta, aktivis dan pemikir sekaligus juga praktisi politik yang pernah dimiliki oleh bangsa ini.
Di akhir
jabatannya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, dan bahkan beliau juga
pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, beliau tidak meraup ataupun
mewariskan harta berupa uang yang bertumpuk-bertumpuk kepada anak-anak cucunya,
kecuali hanya buku-buku yang memenuhi rak-rak di perpustakaan pribadinya.
Bahkan, diceritakan oleh putri-putri Bung Hatta sendiri dalam acara Mata Najwa di MetroTV November 2014 lalu,
Bung Hatta tidak sanggup membeli sepatu Bally
sampai akhir hayatnya. Beliau hanya punya beberapa setelan jas yang beliau
kenakan dalam acara-acara resmi kenegaraan. Padahal, kalau beliau mau, apa yang
tidak mungkin bagi seorang wakil presiden. Tapi, tidak. Beliau tidak tergiur
dengan kehidupan yang serba mewah di tengah-tengah kehidupan rakyat yang sedang
susah.
Meutya Hatta sendiri,
salah seorang putrinya yang juga pernah menjabat sebagai menteri, ketika masih
sekolah dulu, kenangnya, hanya punya tiga setelan baju sekolah yang ia gunakan
secara bergantian: Senin, Selasa, dan Rabu. Baju itu diulang lagi dipakai pada
hari Kamis, Jumat, dan Sabtu. Kondisi itu sepertinya tidak mungkin kita temui
dalam kehidupan keluarga pejabat-pejabat tinggi negara saat ini. Jangankan
baju, mobil pun sanggup mereka beli untuk anak-anak mereka.
Kehidupan pejabat
publik saat ini identik dengan dunia kemewahan. Dunia glamor dengan segala
fasilitas yang serba luks. Mereka tidak dipandang hebat jika tidak mewah. Maka,
tidaklah mengherankan, jika korupsi meruyak dan negeri pun menjadi sekarat.
Padahal, jika pengelola bangsa ini mau mempraktikkan kehidupan sederhana
seperti yang dicontohkan Bapak Proklamator Bung Hatta, tidaklah terlalu sulit
bagi bangsa ini untuk keluar dari problem korupsi yang semakin hari semakin parah.
Bung Hatta politisi
yang intelektual
Di samping kesederhanaan,
Bung Hatta memiliki intelektualitas yang luar biasa. Intelektualitas Bung Hatta
tidaklah diragukan. Beliau seorang yang terpelajar yang berpikiran rasional.
Intelektualitas beliau terlihat dari penampilannya yang selalu necis berkemeja
putih sebagaimana terlihat di foto-foto dalam album sejarah. Tidak hanya
terlihat dalam tampilan fisik, intelektualitas Bung Hatta bisa dibuktikan dari
karya-karyanya berupa tulisan-tulisan di media massa dan karya-karya ilmiahnya berupa
buku-buku.
Bahkan, ketika menikah, beliau memberikan mahar yang tidak lazim
saat itu dan bahkan mungkin juga saat ini, yakni buku. Buku yang beliau berikan
sebagai mahar sewaktu pernikahan beliau adalah karyanya yang berjudul Alam Pikiran Yunani, sebuah buku
filsafat yang masih dijadikan referensi studi-studi filsafat saat ini. Dalam
segi agama, beliau juga seorang muslim yang sangat taat. Mungkin, itu juga yang
membatasi dirinya untuk tidak melakukan hal-hal tercela dalam kehidupan
politiknya.
Ya, Bung Hatta
memang politisi intelektual sekaligus juga seorang Muslim yang taat dalam
beragama. Beliau berpendidikan Eropa dan pernah mengajar di UGM. Beliau juga
salah seorang pendiri Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Beliau sangat
mencintai dunia pendidikan. Beliau seorang kutu buku serta menulis banyak buku.
Beliau sangat mencintai buku-buku. Oleh karenanya, tidaklah salah ada yang
mengatakan bahwa Ibu Rahmi bukanlah istri beliau yang pertama, tetapi istri
beliau yang pertama adalah buku.
Dalam salah kata bijaknya pun, Bung Hatta
mengatakan, “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku. Karena, bersama buku, aku
bebas.” Sewaktu ia diasingkan ke Boven Digul, ia membawa buku sebanyak 15 peti.
Karena kegemarannya membaca itulah, wawasannya menjadi sangat luas. Dan, hal
itu juga yang menjadikannya sebagai pemikir besar. Pemikiran-pemikirannya maju
mendahului zamannya. Beliau membaca banyak hal—pikiran kanan maupun kiri, Islam
maupun Marxisme. Bung Hatta juga menguasai banyak bahasa asing: Belanda,
Prancis, Jerman, dan lain-lain.
Sebaliknya,
kini, intelektualitas sepertinya nampak gersang dalam diri sebagian besar politisi-politisi
kita. Politisi kini lebih mengagungkan harta dan kuasa ketimbang watak dan
pikiran yang mulia. Mereka lebih rakus terhadap materi ketimbang ilmu dan
pengetahuan. Padahal, ilmulah yang akan menunjuki manusia ke jalan kebenaran. Oleh
karenanya, pikiran mereka pun terkotori oleh niat-niat yang tidak luhur dan
tidak ikhlas berbuat untuk rakyat.
Pikiran yang tak diterangi oleh ilmu dan
iman akan senantiasa berpikir untuk bagaimana korupsi, korupsi dan korupsi. Selalu
mencari jalan mudah untuk memperkaya diri dan keluarga. Jangan! Janganlah
begitu. Contohlah Bung Hatta, seorang politisi intelektual yang sederhana itu,
yang telah mewakafkan dirinya untuk Indonesia.
NANI EFENDI, Alumnus HMI, Penulis, Pemikir, dan Kritikus Sosial
0 komentar:
Posting Komentar