Oleh: NANI EFENDI
Idealnya, kader HMI sejati itu harus menguasai dan memahami dua persoalan besar di samping menekuni disiplin ilmu yang menjadi pilihannya di kampus. Dua persoalan besar itu adalah persoalan bangsa (wawasan kebangsaan atau keindonesiaan) dan persoalan keagamaan dan keumatan (wawasan keislaman). Dua wawasan ini—kebangsaan dan keislaman—harus benar-benar dimiliki oleh setiap kader HMI. Karena, hal ini sesuai dengan tujuan atau ide dasar didirikannya HMI itu sendiri. Jika dua hal itu tidak dimiliki, berarti seorang kader HMI itu tidak memahami tujuan HMI dan tujuan ber-HMI.
Di samping itu, ada dua wawasan lain yang akan menopang kompetensi seorang kader: wawasan kemahasiswaan dan keorganisasian. Wawasan kebangsaan dan keindonesiaan yang dimiliki oleh kader-kader HMI membuat mereka memiliki kesadaran politik dan kepekaan sosial yang tinggi. Kesadaran ini sangat perlu dalam memperjuangkan cita-cita HMI mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia yang diridhoi oleh Allah s.w.t. Sedangkan wawasan keislaman akan menjadikan kader-kader HMI sebagai insan-insan moralis dan idealis yang selalu tunduk dan istiqomah untuk senantiasa memperjuangkan kebenaran yang berlandaskan al-Qur’an dan sunnah.
Ketundukan kepada kebenaran itu adalah konsekwensi logis dari sikap ber-islam, yakni tunduk, patuh, dan pasrah kepada Allah. Wawasan keislaman ini juga menuntut kader-kader HMI untuk selalu mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kenapa
kader-kader HMI harus mempunyai wawasan kebangsaan dan keislaman? Karena,
tujuan awal didirikannya HMI itu sendiri, yakni mempertahankan NKRI dan
mempertinggi derajat rakyat Indonesia serta mensyiarkan Islam.
Jadi, setiap
mahasiswa yang bergabung dengan HMI harus melek atau paham tentang politik,
walaupun tidak harus menjadi politisi atau terjun ke kancah politik praktis.
Kenapa kader-kader HMI harus melek politik? Karena, persoalan umat dan bangsa
tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik.
Bertolt
Brecht, seorang penyair Jerman, mengatakan, "Buta yang terburuk adalah
buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi
dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga
ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu, dan obat, semua tergantung pada
keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan
membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu
bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri
terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan
multinasional."
Oleh karena
itu, kader-kader HMI mutlak harus memahami politik. Tapi, maksudnya adalah
politik perjuangan untuk kebaikan dan kebenaran. Namun, sekali lagi saya
tegaskan maksud saya dalam hal ini adalah bukan mesti berbondong-bondong menjadi
politisi dalam pengertian praktis. Politik yang saya maksudkan adalah kesadaran
kebangsaan dan keumatan untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Karena
memang, HMI bukanlah organisasi pencetak kader politik, tetapi pencetak kader
umat dan kader bangsa. Politik yang saya maksudkan di sini adalah kepedulian
atau kesadaran sosial dan moral terhadap problem-problem kebangsaan dan
keumatan.
Kader HMI
tidak boleh apatis terhadap setiap problem sosial dan politikdalam pengertian
luas. Memahami berbagai persoalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
mulai dari persoalan sosial politik sampai persoalan ekonomi, hukum, budaya,
iptek, dan lain sebagainya adalah kewajiban setiap kader HMI.Pendek kata,
kader-kader HMI mesti memahami berbagai persoalan kehidupan berbangsa. Oleh
karena itu, komitmen untuk selalu belajar harus menjadi bagian dari jati diri
seorang kader HMI. Kader HMI harus menjadi insan-insan pembelajar. Belajar
tentunya tidak sebatas di institusi formal, seperti di sekolah atau di kampus
saja, tetapi bisa belajar di mana dan kapan saja.
Di atas semua
itu, nilai-nilai (values) dan
landasan keislaman tidak boleh lepas dari diri setiap kader-kader HMI. Islam
harus tetap menjadi ruh, spirit, sumber nilai, serta kekuatan dan landasan
moral bagi setiap kader HMI dalam perjuangannya. Profesionalitas dan
intelektualititas yang tinggi dengan dilandasi iman yang mantap (keislaman),
itulah sosok ideal kader HMI yang bisa membawa Indonesia menjadi bangsa yang
adil makmur. Persoalan bangsa hari ini ialah terjadi keterpisahan antara dua
wawasan itu (split personality).
Akhirnya, banyak orang pintar, tetapi tidak memiliki integritas dan moral yang
baik. Sebaliknya, banyak juga orang yang mantap keimanan, integritas, dan
moralnya, tetapi tidak memiliki intelektualitas dan profesionalitas yang
mumpuni. Kedepan bangsa kita membutuhkan pemimpin-pemimpin dan orang-orang yang
memiliki keduanya: intelektualitas dan moral.
Nah, kita
berharap HMI memberikan kontribusi yang besar melahirkan kader-kader bangsa
yang intelektual dan bermoral. Untuk mencapai tujuan itu, HMI tentunya harus
berbenah diri dan mampu membaca peluang dan tantangan bangsa kedepan.
Membaca
indonesia hari ini dan kedepan, pertarungan HMI sudah banyak ke tataran
intelektual dan profesionalitas. Jika HMI tidak mampu melahirkan kader-kader
yang cerdas, kritis, dan profesional diberbagai bidang serta memiliki semangat
juang yang tinggi untuk mensejahterakan umat, maka kader-kader HMI harus
bersiap-siap ditinggalkan oleh massa rakyat. Kader HMI hanya mampu bertindak
reaktif-emosional, tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Kader HMI hanya sadar
dirinya dirugikan oleh struktur sosial politik dan ekonomi yang tidak adil,
tetapi tidak memahami secara persis kenapa itu terjadi dan bagaimana mengatasinya.
Persoalan
besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan umat Islam kedepan adalah banyak
ke persoalan-persoalan ekonomi politik, seperti persoalan keadilan sosial, kemiskinan,
kebodohan, pengangguran, dan penghisapan manusia oleh manusia. Perebutan sumber
daya ekonomi yang terjadi akibat sistem kapitalisme dan neoliberalisme akan
mewarnai problem-problem bangsa kedepan. Kedepan, kita tidak lagi menghadapi
musuh dalam bentuk fisik seperti ditahun 1940-an sampai 1960-an, tetapi musuh kita
kedepan datang dalam bentuk ideologi, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang
dapat meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ideologi
kapitalisme dan individualisme sedang menggerogoti sendi kehidupan bangsa kita
hari ini. Sehingga keserakahan dan kehidupan yang hedonis dan mementingkan diri
sendiri sudah menjadi tren kehidupan sebagian besar rakyat kita. Kesenjangan
sosial sudah kian melebar antara orang-orang kaya (the haves) dan orang-orang miskin (the haves-not). Pengangguran sudah menjadi problem besar bangsa
ini. Kepedulian sosial semakin menipis. Orang miskin semakin terpinggirkan.
Sementara kaum kaya sibuk memperkaya diri mereka sendiri.
Penjajahan
gaya modern tidak hanya datang dari bangsa asing dalam bentuk sistem ekonomi
kapitalis yang serakah, tetapi juga datang dari dalam bangsa sendiri dalam
berbagai bentuk dan strategi. Kebijakan yang tidak adil dan merugikan rakyat
yang lemah serta kebijakan-kebijakan koruptif
dalam berbagai bentuk adalah salah satu contoh dalam hal ini.
Nah, begitu
besar problem-problem umat dan bangsa yang harus diselesaikan oleh kader-kader
HMI ke depan. Pertanyaannya, mampukah kader-kader HMI mengatasi berbagai
persoalan bangsa ke depan, sehingga masyarakat adil dan makmur dapat terwujud?
Dengan
motto, “Yakin Usaha Sampai”, tentunya kader-kader HMI mesti mampu mencapai
semua cita. Dengan syarat, kader-kader HMI harus berbenah diri dan
mempersiapkan diri dengan meningkatkan intelektualitas, profesionalitas,
spiritualitas, dan idealisme atau semangat juang yang tinggi.Untuk itu, kader-kader
HMI harus banyak belajar.
Untuk
menghadapi masa depan yang penuh tantangan, ada beberapa bekal yang wajib dimiliki oleh kader-kader
HMI. Bekal ituantara lain: (1) penguasaan terhadap bahasa asing (minimal bahasa
Inggris), (2) penguasaan terhadap IT (information
technology), (3) kemampuan organisasi, leadership,
dan manajerial, dan (4) communication
skill (kemampuan berbicara, presentasi, pidato, dan menulis). Itu merupakan
beberapa bekal bagi kader HMI dalam berjuang mewujudkan kehidupan masyarakat
adil dan makmur. Tentu, bukan hanya itu. Komitmen atau sikap istiqomah untuk
mewujudkan cita-cita sosial juga mesti terus menyala dalam dada setiap kader
HMI.
Semoga, sacred mission (misi suci), yakni
terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah s.w.t. bisa dicapai
oleh HMI. Yakin Usaha Sampai, dan usaha sampai yakin! Jayalah HMI.
NANI EFENDI
Aktivis dan alumnus Advance
Training (Latihan Kader III) HMI
0 komentar:
Posting Komentar