Senin, 27 Februari 2012
Nophee Yohana
Beberapa hari terakhir, televisi dipenuhi dengan berita bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian permohonan seorang perwakilan buruh dari Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik (AP2ML), Didi Suprijadi. Sang buruh ini mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Ketenagakerjaan 13/2003, khususnya pasal tentang perjanjian kerja kontrak dan outsourcing. MK menawarkan ‘jalan tengah’ bagi kaum buruh yang sudah resah karena nasibnya di ujung tanduk ancaman ketidakpastian kerja dari outsourcing, yakni pengalihan tanggung jawab perlindungan kerja kepada perusahaan penyedia jasa outsourcing.
Sementara itu, pemogokan oleh kawan-kawan buruh Bekasi di kawasan tol Cikampek – Jakarta telah mengakibatkan lumpuhnya ekonomi kota Bekasi. Aksi ini dilatar belakangi oleh mangkirnya para pengusaha dari kesepakatan yang ada, yakni gugatan Apindo mengenai UMK Bekasi 2012 di PTUN Bandung.
Dari kedua hal tersebut, menjadi contoh yang jelas bahwa dalam masyarakat kapitalis hukum dapat dirubah se-enaknya, sepanjang itu untuk kepentingan para kapitalis. Seperti dalam kasus Didi Suprijadi, MK tidak berpihak pada buruh sebagai kelas tertindas dan justru menawarkan ‘jalan tengah’ yang katanya untuk buruh, yakni dengan menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi buruh, atau istilah kerennya adalah TUPE, Transfer of Undertaking Protection of Employment. Maksudnya adalah mengalihkan tanggung jawab mengenai pemenuhan hak-hak buruh kepada perusahaan penyedia jasa outsourcing yang tercantum dalam perjanjian kerja. Padahal, mana ada perusahaan outsourcing yang mau terbebani dengan tanggung jawab tersebut? Bukankah mereka juga mencari untung dari menjual tenaga buruh secara murah? Lalu, bagaimana jika perusahaan penyedia jasa outsourcing tersebut juga mangkir dari tanggung jawabnya? MK kita hanya bisa menjawab, “Silahkan ajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial sebagai sengketa hak!” Yah, pada akhirnya, buruh harus berjuang lagi di meja hijau dengan ancaman bahwa sewaktu-waktu para pemodal bisa saja menggunakan uang mereka untuk menyumpal mulut para hakim di PHI. Selain itu, tentunya buruh tidak punya sumber daya – uang dan waktu – untuk selalu bisa membawa setiap gugatannya ke meja hijau. Butuh waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk menyelesaikan gugatan pengadilan. Selama itu, buruh mau makan apa? Apalagi untuk bayar pengacara yang tidak murah? Walhasil, buruh pasti kalah kalau hanya bertanding di meja hijau.
Di Bekasi, kawan-kawan buruh yang sadar bahwa para majikan mereka tidak bisa dilawan melalui pengadilan. Para bos harus dilawan dengan aksi massa. Dan terbukti ekonomi Bekasi lumpuh dalam waktu 1 hari dan para biroktrat negara seperti Muhaimin Iskandar dan yang lain hanya bisa kelimpungan dan menyetujui apa yang dituntut oleh buruh. Ini menunjukkan bahwa perimbangan kekuatan di meja hijau ditentukan oleh kesiapan dan kemampuan buruh untuk melakukan aksi massa, karena disitulah letak kekuatan buruh sesungguhnya. Buruh tidak punya uang untuk menyumpal mulut para hakim dan birokrat negara, tapi punya kekuatan untuk melumpuhkan ekonomi, dan juga sebenarnya punya kekuatan untuk memenangkan kekuasaan ekonomi dan politik.
Determinisme ekonomi menjelaskan bahwa manakala struktur dasar (ekonomi) suatu negara bercorak kapitalis, maka secara otomatis pendidikan, agama, budaya, seni, ilmu pengetahuan, bahkan hukum akan bercorak sama dengan watak ekonominya. Seperti Marx katakan, “Semua gerakan politik, sosial, intelektual dan etis dalam sejarah dideterminasi (ditentukan) oleh cara-cara dengan apa masyarakat mengorganisasi lembaga-lembaga sosial mereka dalam hal melaksanakan aktivitas-aktivitas produksi, pertukaran, distribusi dan konsumsi barang-barang … Setiap perkembangan historis penting pada dasarnya merupakan hasil perubahan-perubahan dalam cara bagaimana salah satu di antara aktivitas-aktivitas ekonomis tersebut dilaksanakan. Hal tersebut pada pokoknya merupakan penafsiran sejarah secara ekonomis.”
Rosa Luxemburg, sosialis terkemuka dari Jerman, mengkritik Eduard Bernstein, yang menganjurkan gagasan bahwa serikat buruh hanya cukup berjuang di ranah normatif, dan tidak perlu melangkah pada tuntutan politik karena segala persoalan bisa diselesaikan lewat jalur ‘demokratis’. Misalkan soal tuntutan upah bisa diajukan melalui jalur hukum. Namun, jika sang pembuat hukum, penegak hukum, dan lebih-lebih penguasa hukum datang dari kalangan antek-antek kapitalis, maka hukum itupun sebenar-benarnya adalah alat kapitalis untuk membenarkan penindasan terhadap buruh.
Maka dari itu, bagi serikat-serikat buruh, janganlah menggantungkan nasib pada ‘timbangan dan pedang dewi keadilan’, simbol dari keadilan yang katanya bakal didapat di meja pengadilan. Karena bagi buruh dan kaum miskin lainnya, keadilan tidaklah berlaku bagi mereka, melainkan berlaku bagi yang berduit. Hanya melalui perjuangan kelas yang terus meneruslah pada akhirnya buruh akan mendapat kesejahteraan, dan bukan melalui instrumen hukumnya kalangan borjuis.
_________________________________________
Nophee Yohana adalah anggota Militan Indonesia Sel Jakarta
Sumber: http://www.militanindonesia.org/analisa-perspektif/hukum-demokrasi/8271-jalur-hukum-atau-aksi-massa.html
0 komentar:
Posting Komentar