alt/text gambar

Jumat, 05 Februari 2016

Topik Pilihan:

Realisme Sosialis dalam Novel Jejak Langkah Karya Pramoedya Ananta Toer


Oleh Murdianto (Peneliti Budaya IRCAS Ponorogo)


Materialisme Historis-Dialektis Dalam Novel Jejak Langkah

Sebagaimana telah disebut di muka, bangunan Realisme Sosialis sebagai sebuah aliran besar dalam karya sastra melandaskan diri pada falsafah materialisme dialektis dan materialisme historis dalam melihat realitas. Kedua hal ini sangat jelas tergambar secara simbolik dalam pernyataan-pernyataan Minke maupun konflik-konflik yang tergambar dalam hampir keseluruhan bagian novel Jejak Langkah.

Hal itu terutama dalam beberapa hal: pertama, perkembangan sejarah pada awal abad XX yang ditunjukkan novel Jejak Langkah, menunjukkan berbagai proses pertentangan, tesa dan anti tesa. Perbenturan nilai antara tradisionalisme (tesa) dengan modernisme (anti tesa). Antara masyarakat pribumi (tesa) dengan kekuatan kolonialisme (anti tesa), antara buruh pribumi dan majikan kolonial dan sebagainya. Bagaimana diantara perbenturan itu terjadi proses negasi, kontradiksi dan mediasi yang terus menerus, sehingga melahirkan sebuah zaman dan generasi baru.

Generasi yang dimatangkan oleh proses dialektika itu adalah Minke salah satunya. Minke sebagai seorang tokoh sentral dalam novel itu, hidup pada masa dimana pertentangan-pertentangan ini kian menjadi matang. Proses dimana ketegangan antar satu kutub nilai dan kepentingan dengan nilai dan kepentingan yang lain sedang mencapai puncaknya.

Deskripsi berikut ini akan mengilustrasikan bagaimana proses dialektika terjadi dalam perjalan sejarah, baik dialami individu maupun secara kolektif, digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah. Novel ini dirancang sedemikian rupa oleh Pramoedya Ananta Toer untuk menunjukkan proses sejarah yang selalu bergerak sesuai hukum materialisme dialektis. Gerak sejarah yang selalu merupakan perbenturan antar­kutub yang bertentangan kepentingan, dieksplorasi secara lebih natural dalam Jejak Langkah.

Di bagian yang paling awal novel Jejak Langkah kita sudah dengan mudah menemukan proses dialektika, yakni dialektika antara modernitas dan tradisi feodalistik. Tradisi feodalistik telah mencengkeram bangsa berabad-abad, memandang sejarah serba harmonis, metafisik, fatalistik dan bahkan irrasional. Sementara di sisi lain kolonialisme yang berdampak pada modernisasi dan modernitas di satu sisi, mengagungkan individualisme dan kemenangan logika kapitalisme.

Proses dialektika antara kehidupan feodalisme-tradisional dengan segala atribut irrasionalitas, mitos dan lain sebagainya disatu sisi, sebagai tesa, di perlawankan dengan kehidupan modern, yang diyakini penuh dengan rasionalitas dan sebuah zaman baru sebagai anti-tesa. Kesadaran Minke sebagai manusia yang terlahir dalam suasana yang demikian, ditunjukkan dengan berbagai pernyataan, dan renungan terhadap kehidupan di sekitarnya.

Pramoedya Ananta Toer melihat bahwa dalam alam sadar masyarakat pribumi yang masih feodal sejarah penuh mitos, dan pandangan-pandangan irasional yang kadangkala sangat menjebak. Akhirnya yang terjadi adalah sejarah dipandang sebagai sesuatu yang instan, peristiwa tiba-tiba dan given/turun dari langit, dan muncul tanpa proses panjang. Hal itu ditunjukkan dalam sebuah renungan Minke:

Aku datang untuk jaya, besar dan sukses. Menyingkir kalian, semua penghalang! Tak laku bagiku panji-panji Veni, Vidi, Vici. Diriku datang bukan untuk menang, tak pernah bercita-cita jadi pemenang atas sesama. Orang yang mengajari mengibarkan panji-panji Caesar itu-dia belum pernah menang. Hanya karena hendak membangun kejayaan dalam satu malam, seperti Bandung Bondowoso membangun Prambanan … (Toer, 2002:1)

Sementara modernitas juga tak luput dari refleksinya. Bahkan menyebut kehidupan modern sebagai kutukan, nampak bahkan di bagian awal novel Jejak Langkah, dalam sebuah pernyataan Minke:

Dan modern adalah juga kesunyian manusia yatim piatu, dikutuk untuk membebaskan diri dari segala ikatan yang tidak diperlukan: adat, darah, bahkan juga bumi, kalau perlu juga sesamanya.
… (Toer, 2002:2)

Menjadi modern selalu digambarkan banyak orang, ditampilkan dengan secara simbolik dengan aksesoris fisik seseorang yang menggambarkan dirinya sebagai kelas menengah. Hal ini nampak dengan cara Minke menertawakan diri sendiri, yang memancangkan diri sebagai manusia modern di tengah-tengah bangsanya sendiri yang dalam kenyataannya masih dikungkung feodalisme, dan penindasan kolonialisme:


itu dia si Minke, yang merasa diri manusia modern! Ya itu dia duduk sendiri di pojokan. Itu, yang kumisnya mulai tumbuh, tapi dagunya tandus merana! Ya, itu dia, pribumi yang lebih suka berpakaian Eropa, berlagak seperti sinyo-sinyo. Naik trem pun memilih kelas putih. Klas satu!

… (Toer, 2002:2)


Kehidupan modern juga digambarkan dengan cara satire. Kehidupan modern dilihat sebagai sebuah kemakmuran dan kebahagiaan semu, yang sesungguhnya tidak lain adalah hasil eksploitasi dari kehidupan lain yang lemah. Namun menjadi modern bagi Minke, adalah kenyataan yang tak terbantahkan, karena jika kita menghindar dari modernitas sama artinya dengan bunuh diri. Hal ini bisa kita lihat dari pernyataan:

…hanya orang modern yang maju di jaman ini, pada tangannya nasib manusia tergantung. Tidak mau menjadi modern? Orang akan jadi taklukan semua kekuatan yang bekerja diluar dirinya di dunia ini. Aku manusia modern. Telah ku bebaskan dekorasi dari tubuh, dari pandangan…(Toer, 2002:1)

Puh-puh-puh, betapa besar stasiun Gambir ini, seperti satu kampung dibawah satu atap. Apa saja yang diangkuti kereta api disini?tentu sama saja dengan kereta api Surabaya sana: kemakmuran dan kebahagiaan dari desa-desa, dieksport. Dan import juga juga: barang-barang pelupa, kemakmuran dan kebahagiaan yang sudah tergadai. Kau harus tetap ingat pada ciri-ciri kota besar jaman modern ini: dia berdiri atas ceceran lalu lintas kemakmuran dan kebahagiaan.

…Biar begitu, aku tempatkan diri pada golongan orang modern, golongan paling maju dalam jaman ini. Tak mau ikut kemajuan? Aku ikut terinjak-injak jadi kasut (Toer, 2002: 8-9)

Minke, seorang yang terlahir sebagai salah seorang bangsawan Jawa -pribumi dengan gelar Raden Mas, yang tentu hidup dalam lingkungan yang sangat feodalistik. Namun melihat kehidupan modern menjanjikan banyak hal, dan bertekad menjadi manusia modern dengan tradisi dan atribut modernitas. Minke bermimpi sebuah sintesa baru ‘dokter Jawa pribumi, seorang modern’. Oleh karena itu Minke memutuskan diri memancangkan cita-citanya menjadi manusia modern, seorang dokter pribumi.

…dalam saku-dalam baju-tutupku tersimpan rapi dua lembar kertas pokok:ijasah sekolah dan surat panggilan dari sekolah dokter. Sesam! Bukan hanya Batavia, juga sekolah Dokter ini harus bukakan pintu bagiku. (Toer, 2002: 9)

Pernyataan Pramudya Ananta Toer tentang modernitas yang harus dicapai, dan meninggalkan titik ekstrem tradisi yang disebutnya sebagai ‘jahiliah’ sebelumnya juga nampak dalam pernyataan:

Dunia modern akan sedemikian memerinci kehidupan, percabangan dan perantingan ilmu dan kehidupan akan membikin seseorang akan jadi asing satu dari yang lain. Orang bertemu hanya karena urusan, atau hanya karena kebetulan. Orang tak dapat mudah mengenal atau mengetahui, yang dirawatnya orang mulia hati atau tidak. Tetapi kita dapat menduga pasien-pasien kita tidak atau tidak begitu mulia. Kemuliaan seseorang datang sebagai hasil pendidikan yang baik yang menjadi dasar perbuatan baik dan mulia. Bangsa-bangsa Hindia belum lagi mendidik putra dan putrinya. Bangsa kita masih hidup dialam jahil, manusianya juga jahil (Toer, 2002:146)
Namun kenyataan berkata lain, hidup dalam dua titik bertentangan, antara tradisi dan modernitas ternyata mengharuskan Minke memilih salah satu di antara dua titik ekstrim, tesa atau anti tesa. Minke mengalami pahit-getir bagaimana cita idealnya bersekolah di STOVIA, sekolah dokter. Dia harus terbentur dengan kenyataan sebagai pribumi memang tak berhak menjadi modern, Minke harus tetap setia dengan tradisi pribumi. Kita bisa melihat situasi ini, pada pernyataan berikut ini:

…Dimana-mana memang ada tata tertib. Mengapa yang disini begitu menyakitkan? sebagai orang Jawa, sebagai siswa, harus berpakaian Jawa: destar, baju tutup, kain batik, dan cakar ayam-tak boleh beralas kaki. (Toer, 2002:10)

Sebagaimana diyakini kebanyakan pemikir Marxis, dalam dialektika historis-materialis, kesadaran subyek sejarah ditentukan bagaimana struktur yang melingkupinya. Dalam suasana pertentangan antar idealisme ‘untuk menjadi modern’ dan regulasi modernitas ‘bahwa pribumi adalah tradisional’, munculah kesadaran baru bagi Minke, sebuah kesadaran baru, sebuah kesadaran kritis yang layak kita renungkan: …semua kurasai sebagai aniaya. Untuk jadi dokter, jadi sebuah sekrup mesin pada pabrik gula…( Pramoedya Ananta Toer, 2002:11).

Penggarapan situasi-situasi yang mirip dengan deskripsi di atas ditampilkan dalam novel Jejak Langkah ini. Dimana proses-proses pertentangan selalu mewarnai perjalanan sejarah, pertentangan yang selalu memperantarai satu sama lain, selalu berlawanan satu sama lain, yang kadangkala menemukan sintesa, namun kadangkala juga belum menemukan sintesa itu. Misalnya politik kolonial dalam memperlakukan konflik majikan – buruh pabrik gula, kasus-kasus yang menimpa pribumi, selalu saja ketidak-adilan selalu dialami kaum lemah pribumi. Dalam pertentangan seperti itu Minke selalu di satu titik yang lemah di hadapan kutub lain yang berkuasa. Penjelasan terkait penggunaan dialektika materialisme dalam memotret struktur sosial pada masa transisi kebangkitan nasional dalam novel Jejak Langkah akan dideskripsikan dalam sub bab B dalam bab V ini.

Dalam sebuah kasus ketika Minke memimpin koran Medan, ia selalu berada pada posisi membela rakyat pribumi yang menghadapi masalah dengan kekuasaan kolonial, atau selalu menggerogoti kebusukan-kebusukan politik kolonial. Upaya membuat sebuah anti tesa terhadap politik kolonial, menjadikan Minke selalu berhadapan dengan konflik yang kadangkala membahayakan kehidupan pribadinya. Dan kesadaran manusia ––dalam hal ini Minke–– sebagai subyek sejarah, ditempa terus menerus oleh proses dialektika itu.

Pramoedya Ananta Toer juga menampilkan hakikat hidup sebagai proses pergerakan antara dua kutub yang saling berlawanan yang khas, namun padu dalam proses dialektis. Misalnya pada pengalaman Minke menjadi seorang organisator, yang harus cerdas menggunakan prinsip dan metode dialektika, ditunjukkan Pramoedya Ananta Toer secara mendalam dalam Jejak Langkah:

…Telah aku sediakan diri jadi organisator. Jadi dalang dengan cerita pembangunan landasan organisasi bangsa ganda untuk jadi bangsa tunggal. Jadi brahmana dan sudra sekaligus…

…telah aku padukan kerja brahmana dengan kerja sudra, guru dan murid sekaligus, pendengar dan pembaca, peseru dan propagandis, penjaja impian hari depan, jadi dokter dan pasien, jadi psikolog dan psikiater sekaligus tanpa pendidikan, jadi pengatur dan plonco yang belajar menempatkan diri diantara yang diatur. Dan semua dilakukan di negeri sendiri, di antara orang-orang yang makan dan minum dari bumi yang sama…( Pramoedya Ananta Toer, 2002:421)

Keyakinan terhadap proses dialektika, sebagai jalan paling mungkin bagi perubahan, kembali ditegaskan Pramoedya Ananta Toer dalam pernyataan:

“jangan kehilangan keseimbangan! berseru-seru aku pada diri sendiri, memeperingatkan. Dimana-mana harus aku tolak persembahan gelar, jongkok dan sembah karena kita sedang menuju ke arah masyarakat, dimana setiap manusia sama harganya. Dibalik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Dibalik hidup adalah maut. Dibalik kebesaran adalah kehancuran. Dibalik persatuan adalah perpecahan. Dibalik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah—jalan ke arah kelestarian” (Toer, 2002: 442)

Dalam Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer, dialektika materialisme ini telah digunakan sedemikian rupa untuk menjelaskan tentang proses pengkelasan sosial, dan pertentangan-pertentangan antar kelas sosial yang memang merupakan fakta sejarah yang tidak bisa ditutupi. Proses dialektika ini menjadikan Pramoedya Ananta Toer lebih sering berada dititik anti tesa, pada kelas tertindas yang dihasilkan struktur sosial yang tidak adil.

Konsep Kelas dan Pertentangan Kelas dalam Novel Jejak Langkah Karya Pramoedya Ananta Toer

Pada bagian-bagian awal novel Jejak Langkah ini, konsep kelas dalam kehidupan masyarakat sudah muncul begitu nyata. Sebagaimana disimbolisasikan dalam deskripsi saat Minke naik trem (kereta api), yang dibagi-bagi dalam beberapa kelas, untuk memperlihatkan status dan kemampuan ekonomi seseorang. Oleh Pramudya Ananta Toer pembagian kedua kelas penumpang kereta api ini langsung diperhadapkan antara satu sama lain, sambil mengejek kelas dominan, kelas yang diuntungkan. Deskripsi ini dapat kita temukan dalam pernyataan sebagai berikut:

“ klas hijau memang penuh sesak; klas putih, klas satu yang aku tumpangi, longgar…” (Toer, 2002:2)

…. Dalam ruang klas satu trem ini yang ada hampir-hampir orang Peranakan Eropa melulu. Berkulit kerontang dan keangkuhan menjadi-jadi. Disampingku duduk seorang nenek peranakan Eropa yang sibuk menggaruki kepala, mungkin lupa menyisiri kutu. Di hadapanku seorang laki-laki setengah baya, kurus dengan kumis sebesar lengan. Di sampingnya seorang Totok sedang asyik membaca koran. (Toer, 2002: 6)

Di ruang kelas hijau orang terus menerus ribut. (Toer, 2002: 7)

Tampak juga pada deskripsi Pram yang lain :

Emigrasi buat petani Jawa-kasta yang sudah jadi pemakan daun, tak ada manfaatnya lagi bagi kasta pemakan daging. Dunia manusia? Dia punya peradaban, dia tak menerkam sekali habis, orang boleh menebus dan mencicil diri. (Toer, 2002: 136)

Di bagian lain, Pramudya Ananta Toer mendiskripsikan –bahkan secara detail—kehidupan masyarakat pribumi, kaum buruh, tani pedagang kecil, orang kebanyakan, kelas paling rendah dalam kehidupan kolonial. Hal serupa dengan deskripsi sebelumnya, deskripsi semacam ini kemudian di ikuti dengan deskripsi simbol kelas atas, sehingga terkesan sebagai ironi, sebuah kesenjangan yang amat tampak :

“…Penduduk sini laki-perempuan, pada gila bertaruh. Segala bangsa Tuan, persabungan ayam, domba,dadu, capjiki, sampai-sampai pertaruhan kadal. Kalau Pasar Gambir di buka, petaruh-petaruh seluruh negeri datang berhimpun. Ai, Tuan mesti lihat pasar Gambir.”

“pertunjukan apa yang menarik dikampung-kampung?”

“Tidak ada penduduk begitu keranjingan menonton seperti lelaki Betawi. Tuan. Solo? kala …( Toer, 2002: 7)

Tampak juga dalam deskripsi lain Pramudya Ananta Toer sengaja menghadirkan sebuah pengkelasan sosial. Dengan menunjukkan lekatan simbol gelar kebangsawanan yang merujuk dalam kelas sosial yang tinggi dalam masyarakat feodal Jawa. Hal ini tampak pada:

“Diantara siswa Jawa, hanya dua orang yang bergelar Raden Mas, gelar tertinggi disini. Gelar Raden empat orang. Sebagian besar hanya mas. Cuma seorang tanpa gelar: Sikun. (Toer, 2002: 52).

Pengkelasan sosial digambarkan Pramudya Ananta Toer terjadi pula dalam ritus-ritus sosial dalam masyarakat. Yang bahkan nampak sangat demonstratif Apalagi dalam ritus-ritus yang diciptakan oleh kelompok elit (the ruling class) dari sebuah masyarakat. Deskripsi yng terkait dengan hal ini bisa kita lihat dalam :

“ … Di pelataran istana semua undangan berpakaina hitam berdiri berderet – deret: para pembesar, residen atau asisten residen, sultan, bupati, direktur departemen, orang – orang terkemuka, administratur perkebunan, importir dan eksportir raksasa, para konsul…dalam golongan orang terkemuka ternyata terdapat aku dan istri. Siapa tak bakal heran!…aku orang terkemuka.”(Toer, 2002: 127)

Pengkelasan sosial dalam masyarakat pra kapitalis sebagaimana dialami terjadi pada masyarakat Hindia Belanda pada zaman politik etis, ditandai dengan dua proses stratifikasi. Pertama adalah dari sudut pandang ekonomi sebagaimana dilihat Marx dalam terminologi kapitalis, borjuis, proletar yang terjadi pada masyarakat Industri awal di Indonesia. Sementara dibagian lain, proses pengkelasan pada masyarakat feodal, yang terwujud dalam akumulasi nilai, mirip konsep kasta dalam tradisi jawa lama, kalangan priyayi dan abangan. Selain sebagai kelas sosial istilah ini juga merujuk pada identifikasi kultural.




Pandangan kaum feodal terhadap rakyat biasa sebagai kelas tertindas dalam masyarakat ditunjukkan Pramoedya Ananta Toer dalam pernyataan Ayahanda Minke kepada Minke dan Ang San Mei. “hanya orang desa saja yang, orang tani, dua-duanya bekerja. Atau pedagang-pedagang kecil itu. Dan orang desa atau pedagang kecil tidak bakal mendapat undangan Paduka Yang Mulia Tuan Besar Gubernur Jendral”(Toer, 2002:128)




Sementara dalam menjelaskan bagaimana antar kelas sosial, terjadi penindasan terhadap kelas yang paling tidak beruntung. Bangsa Hindia digambarkan sebagai tempat eksploitasi penjajahan kolonialisme, secara sadis menguras harta, tenaga rakyat Hindia untuk kemakmuran kaum dan bangsa kolonialal.







Bahwa dasawarsa-dasawarsa pertama Cultuurstelsel alias Tanam Paksa, telah menolong Nedherland dari timbunan utang setelah perang berlarut di Eropa, dimana Nedherland terlibat didalamnya. Keuntungan itu pula yang telah membiayai pembangunan dan modal effektif. Hindia bukan hanya membiayainya dengan keuntungan, juga dengan puluhan ribu jiwa petani Jawa yang tewas karena Tanam Paksa itu…( Toer, 2002: 31)







Rodi adalah sistem kerja kolektif tradisional, yang oleh Hindia dimanfaatkan untuk kepentingan Negeri dan masyarakat setempat. Dia adalah pengganti iuran negeri, dengan nilai tujuh setengah sen sehari kerja, masih akan lama Rodi bisa dihapus karena peredaran uang didesa dan didusun masih sangat terbatas







…bila kita hitung rodi yang telah dilakukan sejak Hindia menjadi milik Kerajaan, hitunglah sejak tahun 1870 itu, diluar cultuurstelsel atau tanam paksa, maka gubermen Hindia belanda bersama dengan Nedherland telah berhutang kepada pribumi sebanyak tiga pulu (tahun) kali tiga puluh juta gulden alias 900 gulden. Dan bila ditambah perampasan-perampasan jasa yang semakin tersembunyi, jumlah itu akan menjadi 1 milyar gulden.( Toer, 2002: 35)







tentang kerja bebas itu, Yang Terhormat Anggota Tweede Kamer, apa juga berarti bebas mengucil dan mengusir petani yang tak mau menyewakan tanahnya pada Pabrik Gula?” (Toer, 2002: 41)







Proses eksploitasi ini sama sekali tidak memberi apapun kepada pribumi selain kesengsaraan begitu rupa. Sementara bagi kaum penjajah, hasil eksploitasi berupa kelebihan uang dari jerih payah rakyat pribumi, dengan mudah diambil sebagai pundi-pundi harta, sekali lagi dengan cara tidak sah: korupsi.




“… Korupsi satu milyard gulden selama tiga puluh tahun sama sekali tidak punya persangkutan dengan pribumi” (Toer, 2002: 36)







Eksploitasi ekonomi ini berlanjut dengan penindasan politik, berupa agresi dan penyerangan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap ‘melawan’ kekuasaan kolonial. Perampasan tanah, perbudakan, penganiayaan, penistaan, dan pengasingan terjadi terhadap bangsa pribumi dan kelas tertindas di Hindia Belanda. Sama sekali bukan pertarungan yang seimbang apalagi berstatus terhormat, namun hanya menjadikan rakyat sebagai martir keserakahan kolonial. Dengan berbagai alasan, salah satunya untuk menjaga keamanan investasi.




Pribumi bertombak dan berpanah akan mati bergelimpangan lagi diatas perintahnya, entah dimana akan terjadi. Demi keutuhan wilayah, kata-kata lain dari: demi keamanan modal besar Hindia. Darah, jiwa, perbudakan, penganiayaan, perampasan, penghinaan akan terjadi lagi dibawah tudingan tangannya. Orang didepanku itu cukup menudingkan tongkat pada peta, dan disuatu tempat di Hindia, neraka akan jatuh dari langit merobohi pribumi. Yang tinggal hidup akan dikenakan rodi untuk memperbanyak penghasilan negeri yang tidak tercatat tidak terlaporkan…( Toer, 2002: 38)







Dengan dalih kerja bebas ––sebagai salah satu prinsip kerja baru ala politik etis–, digambarkan Pram sebagai penindasan tersembunyi. bahkan jika ada satu dua orang yang tidak mau menuruti kemauan kolonial harus rela diusir dari tanah yang menjadi sumber hidupnya.







“…Tentang kerja bebas, Yang Terhormat Anggota Twadee Kamer, apa juga berarti bebas mengucil dan mengusir petani yang tak mau menyewakan tanahnya pada pabrik Gula?” (Toer, 2002: 41)




“…polisi tidak pernah melakukan pengusutan terhadap pengucilan dan pengusutan terhadap pabrik gula.( Toer, 2002: 42)







Deskripsi lain yang menunjukkan sebuah kondisi telah semakin menjepit kaum tertindas, dimana orang bodoh akan semakin diinjak dan dibodohi. Eksploitasi atas kaum lemah dan rakyat kecil, bahkan mencapai tingkat yang sangat menyedihkan. Hukum hanya berlaku bagi orang lemah, sementara hal itu tidak berlaku bagi ‘yang besar’ dan ‘yang kuat’ ––hukum rimba––, telah menjadi fakta di era kolonialisme Belanda: Emas! Harapan! Kekalahan bagi yang kecil dan lemah. Kemenangan bagi yang besar dan kuat. (Toer, 2002:122)







Bahkan para priyayi pemimpin pribumi-pun, sudah tenggelam dalam keserakahan, dan menjadi budak dari kepentingan modal Belanda. Mereka bahkan menjual harta-harta warisan masa lalu—tanah adat—yang sesungguhnya merupakan suatu hal yang sangat tabu, dalam tradisi pribumi: Sudah selama tiga puluh tahun lebih beribu-ribu hektar tanah adat di Sumtera diobral menjadi tanah konsesi oleh keserakahan sultan – sultan kepada kaum modal perkebunan tembakau dan sekarang juga karet.(Toer, 2002: 185)




Di semua tempat segala bentuk pelecehan, kesewenang-wenangan terjadi, bahkan pada tempat yang seharusnya menjadi tempat rakyat mengadukan nasibnya: Perlakuan sewenag-wenang dalam perusahaan – perusahaan kereta api, perkebunan, kantor–kantor Gubermen, perampasan anak gadis dan isteri oleh pembesar – pembesar …(Toer, 2002:231)




Perselingkuhan atau ‘kongkalikong’ para pemegang kekuasaan dengan para pejabat seringkali menjadi sebab mengapa hukum tidak pernah berpihak pada kaum lemah. Perilaku kolutif ini sering tidak diketahui publik, rakyat yang terbodohi. Hal ini misalnya, diungkapkan dalam sebuah deskripsi:




Bekerja dikoranlelang pun ternyata memberikan pengetahuan baru: persengkongkolan kaum modal dengan para pejabat. Segalanya tentu atas kerugian yang lemah dan terlemah. Tidak kusangka-sangka lelangan barang menjadi suatu bentuk penyuapan terselubung. Pejabat Gubermen yang dimutasi ke lain tempat, biasa melelangkan seluruh perabot rumahtangganya sebelum pindah ke tempatnya yang baru. Para pengusaha Eropa, Tionghoa dan kaum modal orderneming akan menilai seberapa penting kedudukan pejabat tersebut dalam urusan-urusan perdagangan dan perkebunan. Lebih menentukan kedudukannya, lebih tinggi hasil lelangannya…( Toer, 2002:183)







Pola kolusi sedemikian ini dikamuflase dengan segala alasan. Misalnya pelelangan barang. Cerdas bukan? Faktanya bisa dengan realitas penyuapan yang terjadi di masa kini, misalnya: parcel hari raya untuk pejabat, fasilitas-fasilitas yang diperuntukkan bagi pejabat dari seorang pengusaha. Sebuah fakta baru telah diberikan Pramoedya Ananta Toer: kolusi adalah awal hukum tak tegak dan selalu berpihak pada kekuasaan dan kelas berkuasa.




Selain tentang pengkelasan sosial dan penindasan antar kelas, Jejak Langkah juga menunjukkan berbagai usaha kelas tertindas dalam menghadapi penindasan. Sehingga muncul berbagai bentuk pertentangan kelas. Kebencian akan penindasan ini diungkapkan Pramoedya Ananta Toer lewat pembicaraan Minke dengan Ang San Mei, istrinya. Para pembesar dan agen-agen kolonialisme digambarkan Pramoedya Ananta Toer dengan bahasa yang sarkastik sebagai “binatang buas”. Salah satu cara memberikan perlawanan terhadap kelas tertindas dilakukan dengan cara memberikan kritik terhadap perilaku manusia penindas yang tidak dapat dibedakan dari binatang buas.




Sebelum berangkat telah aku bisikkan pada istriku:




“kita akan memasuki sarang binatang buas”




Waktu ia mengetahui kami mendapat undangan setinggi langit, ia tertawa:




“Menghadiri resepsi dari seseorang yang melakukan penghinaan menetap atas bangsamu” katanya. “juga tak ada buruknya. Mari kita saksikan.”




Dan sekarang kami berada dalam sarang binatang buas itu. Semua yang berbaju resmi hitam ini anggota kelompok binatang buas. Kami hanya penonton, saksi hidup. (Toer, 2002:129)







Kelas penguasa, baik pejabat gubermen maupun para priyayi pribumi sesungguhnya sama saja, bahwa apapun kebijakan dan tingkah lakunya hanya diorientasikan untuk kepentingan ekonominya semata. Pramoedya Ananta Toer menyebutnya dengan dua kata sederhana ‘putih’ untuk pejabat dan pengusaha colonial Belanda dan coklat untuk para priyayi pribumi anthek kolonial. Sementara basis struktur ekonominya digabarkan dengan menyebut dengan simbol harta kepemilikan misalnya dengan kata ‘piring, periuk, dan lemari. Mereka akan melakukan sesuatu baik perilaku, kebijakan dan perkataan sesuai dengan kepentingan ekonominya. Dan untuk itu untuk melawan kelas penindas, seorang pejuang bagi kaum lemah dan tertindas harus mengetahui basis struktur ekonomi penindasnya. “Mereka itu sama saja, priyayi putih dan coklat, suara mulutnya hanya suara piringnya. Dengarkan piringnya dan kau akan tahu seluruh periuk dan lemarinya.” (Toer, 2002:284)







Hal ini misalnya dengan mendeskripsikan berbagai upaya dari beberapa bagian dari bangsa Hindia Belanda bangkit melawan penjajahan dan penindasan Belanda. Dalam banyak bagian novel ini Pramoedya Ananta Toer tidak dapat menyembunyikan kebanggaannya pada orang Bali yang dianggap sebagai yang telah melakukan perlawanan secara ksatria terhadap penajajahan. Apalagi penyerangan Belanda terhadap kerajaan Klungkung karena motivasi ekonomi dan politik terhadap Bali yang belum ditaklukan, sampai awal abad XX. Hal ini ditunjukkan:







Tuan, aku kira semua hanya akal golongan militer, yang dikuasai van Heutsz, untuk menakhlukkan Bali. Dalih harus dicari. Dalih atau alasan harus ada untuk melakukan tindakan atas fihak lain, karena itulah gaya berfikir Eropa. (Toer, 2002:189)







Di Klungkung, Bali, Kompeni melancarkan serangan besar-besaran. Desa-desa jatuh satu demi satu, Kusamba, Asah, Dawan, Satera, Tulikup, Takmung, Bukit Jimbul…Raja Klungkung I, Dewa Agung Djambe, bersama semua istri dan anaknya, semua keluarg dan semua rakyatnya mengenakan pakaian putih siap mati bersama (Toer, 2002:277)







Pernyataan Pramoedya Ananta Toer tentang perlawanan Klungkung yang begitu heroik terhadap kolonialisme di Bali dan Aceh edemikian rupa dan mendapatkan porsi yang besar dalam Jejak Langkah, yang ditunjukkan pada hubungan korespondensi Minke dengan teman Belanda nya Teer Harr, Miriam Frischboten mereka yang bersimpati terhadap pribumi.




Tampak juga pada pernyataan lain yang menunjukkan sebuah kebanggaannya terhadap orang-orang Aceh yang memiliki tekat membaja untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme, bahkan tidak dapat ditemui pada suku bangsa manapun di dunia ini.







Ia mengagungkan wanita-wanita Aceh yang maju kemedan perangbbersama kaum pria, ikut tewas atau terluka. Dan itu tidak terjadi diEropa, yang sekarang pada puncak pekikannya menuntut persamaan hak.




Ia bercerita tentang kesetiaan pejuang-pejuang Aceh pada Negara, bangsa dan agamanya. Ia menceritakan kekalahan mereka mereka, yang mereka derita tanpa mengaduh—suatu macam perang, yang sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan Perang Boer di Afrika Selatan, ataupun peperangan-peperangan lain di Eropa –suatu perang yang khas Aceh, berlangsung tak mengenal siang ataupun malam. Satu-satunya perang dalam tiga abad di Hindia dengan idea untuk Merdeka…( Toer, 2002:191)







Berbagai perlwanan terhadap eksploitasi kolonialisme juga disajikan Pramoedya Ananta Toer dengan penuh nuansa reflektif. Di beberapa tempat di Sumatra terjadi perlawanan, melalui pemberontakan, proses hukum dan kerja jurnalisme. Juga perlawanan yang datang dari bangsa mereka sendiri. Hal ini memperlihatkan bahwa melawan ketidak adilan tidak terbatas pada sekat nation state, hal ini tentu sejalan dengan prinsip sosialisme yang tidak mengenal batas wilayah kenegaraan.







…Seperempat abad bangsa Aceh telah berperang melawan Belanda—- juga perempuan dan anak-anak! Multatuli, Roorda Van Esyinga, Van Hoevell. Kerakusan gula dan kebiadaban administrator-administraturnya. Pemberontakan petani jawa yang selalu patah pada gula. Petani Batak Karo yang ditumpas demi tembakau dan karet! pada risalah De Millioenen uit Deli, dari seorang advokat J Van den Brand yang pernah bekerja di Sumatra Timur. Dia telah bongkar praktek-praktek perlakuan kejam perusahaan-perusahaan Ordeneming terhadap kaum buruh tembakau disana. Entah karena Eropa dan Kristen yang baik yang tidak bisa melihat pemerasan oleh sebangsanya terhadap pribumi, entah karena gema politik Politik Ethiek kaum radikal telah menyengat dirinya. (Toer, 2002:184)







Selain itu Pramoedya Ananta Toer juga menunjukkan beberapa model pertentangan antar pribumi dan penjajah, dua kelas yang saling bertentangan. Hal ini ditunjukkan dalam deskripsinya mengenai pemberontakan petani Blora yang di pimpin oleh Samin Surontiko, yang dikenal dengan Gerakan Samin.







Pemberontakan petani yang menamai dirinya Golongan Samin, di Jawa Tengah, berpusat di desa Klopoduwur di selatan kota Blora, juga dihadapi dengan senjata. Petani sederhana dengan kekuatan limapuluh ribu jiwa itu setelah seperempat abad melawan kini tahu: kalah, mereka buang senjata tajam dan tumpul. Mengambil senjata baru, senjata yang lebih tumpul: pembangkangan social terhadap semua ketentuan dan perintah Gubermen. Mereka menolak membayar pajak, menolak rodi dengan semua aliasnya, dan dengan sukarela berbondong-bondong masuk dan berbondong-bondong keluar dari penjara (Toer, 2002:277)







Pramoedya Ananta Toer dalam banyak sisi, juga membeberkan bagaimana gerakan jurnalisme dalam berbagai majalah dan koran terbitan masa itu, juga ikut berperan serta dalam mematangkan pertentangan antar kelas dengan membeberkan borok-borok kolonialisme dan imperialisme, terutama terkait dengan pencaplokan tanah untuk kepentingan pengusaha Belanda. Berita-berita mengerikan dalam Sumatra Post tentang kerakusan –kerakusan penguasa perkebunan Eropa yang tak henti-hentinya mencari tanah subur di Sumatra Timur…Pejabat-pejabat negeri dengan penindasannya terhadap bangsa sendiri… (Toer, 2002:185).







Rupanya keyakinan Pramoedya Ananta Toer terhadap kekuatan tulisan dan media massa dan tugas-tugas sosial membeberkan berbagai penindasan, sehingga mempermatang kondisi yang memungkinkan melakukan perubahan terhadap hubungan sosial yang lebih adil. Hal ini ditunjukkan pada sebagian besar Jejak Langkah terutama dalam deskripsi tentang investigasi Koran Medan, dan tantangan yang harus diterima Minke ketika harus berhadapan dengan segala bentuk intimidasi terhadap apa yang dilakukannya




Deskripsi tentang masalah-masalah sosial dan kebobrokan penguasa kolonial, ketidakadilan perusahaan-perusahaan perkebunan dan gula terhadap buruhnya dikupas Minke dalam Koran Medan tentu bersama para pembantu dan awaknya yang semuanya adalah pribumi. Hal ini ditunjukkan Pramoedya Ananta Toer dalam fakta sejarah, ternyata banyak koran–koran hampir semuanya membela kepentingan penguasa. Pada saat seperti itulah dibutuhkan keberanian anak manusia yang mencintai keadilan dan kehidupan yang bebas penindasan kekuasaan untuk melahirkan sebuah Koran pembela pribumi, kelas tertindas.




“Koran-koran tidak berani memberitakan kebenaran, takut digulung atau diberangus. Sedang para priyayi rakus sekaligus beku dalam jabatannya, seperti katamu sendiri, pembesar hanya tahu menghukum. Kehidupan dikuasai sassus. Setiap orang boleh jadi korbannya, tanpa bisa membela diri. Hentikan itu, nak. Bikin harianmu jadi satu-satunya di Hindia yang bekerja untuk kebenaran, untuk keadilan, untuk semua sebangsamu.




…’Medan’ membuka kesempatan pada setiap pribumi, tak peduli berjabatan atau tidak, untuk mengajukan kesulitannya pada kami. Dalam hal apapun. Frischboten menyediakan seluruh tenaga untuk menggarap perkara yang masuk. Orang boleh mendapatkan konsultasi tanpa biaya. Dan dibawah nama harianku aku cantumkan keterangan: terbuka bagi setiap pribumi siapapun untuk mengungkapkan pendapatnya dan mengajukan perkaranya




Dalam tiga bulan setelah terbit, kantor redaksi kami di Jalan Naripan 1 Bandung, selalu ramai dengan orang yang berdatangan dari kota-kota lain, yang mengeluhkan penindasan, perampasan hak milik, penganiayaan atas diri merekaoleh para pembesar dan pejabat Gubermen, putih dan coklat. Kadang berbentuk persengkokolan antara dua-duanya, putih dan coklat… (Toer, 2002:279-280)







Pramoedya Ananta Toer menunjukkan betapa peran jurnalisme sangat besar terhadap perjuangan melawan ketidak adilah kolonialisme dengan berupaya membongkar kebobrokaannya. Media massa seperti koran, memiliki peran penting sebagai ‘corong’ sebuah kelompok kepentingan dan kelas sosial tertentu. Bagi pribumi, kaum paling lemah dan kelas tertindas dimasa penjajahan kolonialisme Belanda, media massa seringkali merupakan barang mahal yang sering tidak berpihak pada mereka. Bahkan sering menjadi alat memanipulasi kenyataan. Minke berniat kuat menjadikan koran ‘Medan’ sebagai alat propaganda gerakan.




Dengan penuh kebanggaan sering aku berseru-seru dalam hati: Pribumi sekarang kalian punya harian sendiri, tempat kalian mengadukan hal kalian. Jangan ragu. Tak ada kejahatan yang takkan malu dan tersipu pada penglihatan dunia! Kalian kini punya ‘Medan’, tempat menyatakan pendapat perkara kalian, tempat dimana setiap orang diantara kalian dapat bertimbang rasa dan keadilan. Minke yang akan membawa perkara kaliah ke hadapan sidang dunia (Toer, 2002: 281)







Berbagai persoalan kaum lemah, rakyat pribumi digambarkan Pramoedya Ananta Toer sangat membutuhkan perhatian dan kerja keras para pembela keadilan. Berbagai persoalan khas rakyat kecil dengan mudah akan ditemukan, bila seorang terpelajar mau menjadi tempat menumpahkan segala persoalannya. Salah satu contoh yang digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah adalah surat seorang pribumi, pegawai kecil gubermen yang kehilangan nyawa anaknya karena disiksa oleh gurunya, seorang Belanda kepada Minke, Redaktur Kepala Koran ‘Medan’.




“Sudi apa kiranya Paduka Tuan Besar yang budiman mempertimbangkan akan hal sahaya yang tiada sepatutnya ini, dan mohon apalah kiranya Paduka Tuan Besar sudi menolong sahaya dalam kesempitan. Adapun anak sahaya bernama, Marjam, umur sembilan tahun, sekolah pada sekolah Angka Satu klas tiga. Pada suatu hari rupa-rupanya ia mengantuk disekolah. Tuan Guru telah memukulnya. Anak sahaya pingsan selama empat harmal. Kemudian meninggal. Belum lagi habis berdukacita sahaya dan istri sahaya, Tuan Guru datang ke rumah mengancam akan membuang sahaya karena kelakuan anak sahaya yang hina dina, kelakuan yang tiada patut, katanya, sehingga menyusahkan pekerjaan guru-guru Gubermen yang didatangkan dari negeri Belanda…”( Toer, 2002:286)







Bagi seorang yang memiliki keyakinan terhadap keadilan dan harkat kemanusiaan, peristiwa semacam itu tentu akan membuat ‘emosi kemanusiaan’ terbakar. Namun bagi rakyat pribumi, yang mengalami masalah dengan seseorang dari kelas priyayi, seorang pejabat Gubermen adalah bencana yang tiada tara. Sehingga tidak jarang persoalan ini tidak terungkap, karena seorang pribumi takut akan konsekuensi yang akan ditanggungnya bila mengadukan hal ini ke pengadilan. Apalagi bila seorang sangat tergantung terhadap Gubermen, sebagai pegawai kecil pada instansi colonial. Mental ‘penakut’, ‘selalu merasa kalah dan bersalah’, dan ‘suka menyembah dan menghormat pejabat’ adalah penyakit pribumi yang harus disadarkan, untuk bangkit melawan penindasan. Minke, melakukan upaya membela dan membangkitkan keberanian pribumi untuk melawan. Upaya penyadaran pribumi tertindas, terlihat dalam dialog Minke dengan seorang Pribumi, pegawai kecil Gubermen yang kehilangan anaknya karena disiksa gurunya, seorang Belanda.




“kita akan bikin ini menjadi perkara. Berdiri kau. Jangan sembah aku. Jangan takut kepada Pengadilan. Mari ikut denganku”




“Kemana Tuan Besar?”




“Tidak ada Tuan Besar. Mari ke kantorku biar aku urus”




Ia menolak, takut kehilangan pekerjaan dan pensiun.




“Jadi kau tak bersedia menuntut?”




“Sungguh mati sahaya takut”




“biar begitu akan kubuatkan surat gugatan untukmu. Kau akan terpanggil oleh pengadilan juga akhirnya”




“jangan sahaya disangkut-sangkutkan”




…( Toer, 2002: 287)







Menjadi seorang pembela Pribumi –kelas tertindas–, seorang terpelajar harus mampu hidup mandiri, tidak butuh bintang, gelar pangeran, sembah dan hormat,mampu bunuh diri kelas dan menjadi bagian tak terpisahkan dari rakyatnya (Toer,202:343). Tidak ada cita-cita menjadi priyayi, atau bahkan menjadi Bupati sekalipun.




Hal inilah yang menjadi salah satu kritik Pramoedya Ananta Toer terhadap Boedhi Oetomo (BO)—organisasi yang kini dianggap cikal bakal bangkitnya kesadaran nasional—yang dianggap tidak lebih bertujuan mencetak calon priyayi, pegawai Gubermen. Melalui sindiran Minke terhadap Boedhi Oetomo, Pramoedya Ananta Toer menunjukkan kesalahan fatal sejarah kita (Toer, 2002:298). Boedi Oetomo tidak melakukan apapun untuk membangkitkan kesadaran pribumi atas ketertindasan bangsanya, namun hanya mengajak pribumi bermimpi dan bercita-cita menjadi priyayi yang kemudian akan menindas saudara sebangsanya sendiri. Seorang kaum terpelajar yang bertekad berjuang melawan penindasan kaum kolonial dan kelas penguasa, harus lah mampu menghindarkan diri dari keinginan-keinginan rendah semacam ini.

…propagandis BO, di desa-desa berseru: masuklah menjadi anggota B.O. karena hanya B.O. yang akan mendidik anak-anak dengan pendidikan Eropa. Tanpa pendidikan itu mereka tak akan menjadi priyayi.

Propaganda yang lucu tidak benar dan menyesatkan. Aku dan Wardi, juga orang-orang lain yang mendapatkan pendidikan Eropa, lebih banyak daripada yang bisa diberikan BO, justru menolak menjadi priyayi, jadi pegawai Gubermen, jadi pemakan gaji, jadi hamba. (Toer, 2002: 298)


Fakta sejarah, yang dibeber Pramoedya Ananta Toer (2002:299), karena mental priyayi inilah yang mengakibatkan kelas menengah terpelajar yang dilahirkan BO gagal mengangkat nasib bangsanya, karena yang terjadi tidak lain, adalah persengkokolan dan konflik kaum terpelajar sendiri untuk mendapatkan posisi elit dalam kemiskinan dan ketertindasan kaum sebangsanya. Dan dalam fakta sejarah BO dalam gerakannya telah disokong pemerintah kolonial Belanda.

Oleh karena itu kunci yang tidak dapat ditinggalkan untuk membangkitkan kaum pribumi tertindas, untuk melawan penindasan adalah ‘berorganisasi’ dan menyusun strategi untuk melakukan perlawanan. Pramoedya Ananta Toer (2002:305-306) mendeskripsikan pentingnya berorganisasi, dengan mengambil pelajaran dari usaha kaum Tionghoa, yang mampu membangun organisasi kuat untuk melawan penindasan. Segala bentuk tindak diskriminasi terhadap kaum Tionghoa di lawan dengan aksi ‘mogok’ massal untuk melakukan transaksi ekonomi dengan pengusaha Eropa. Hal ini mampu meggoyahkan dan meruntuhkan perusahan Belanda, peristiwa yang amat ditakuti. Akibatnya bahkan bisa dirasakan sampai ke desa-desa. Aksi mogok dan boikot ini, hanya bisa dilakukan karena kaum Tionghoa memiliki organisasi yang kuat, Tiong Hoa Hwee Koan yang berdiri tahun 1900. Karena organisasi inilah kaum Tionghoa berhasil mencapai kemajuan dengan meninggalkan kaum Arab dan pribumi pada umumnya.

Belajar dari strategi perlawanan kaum Tionghoa ini, Pramoedya Ananta Toer mendeskripsikan bahwa kaum Pribumi harus belajar berorganisasi dan strategi sebagaimana dilakukan kaum Tionghoa.

…kemudian dia terangkan tentang ajaran Kapten Boycott. Bukan golongan kuat saja punya kekuatan, juga golongan lemah, asal berorganisasi. “dan hanya dengan organisasi, Tuan, golongan lemah bisa menunjukkan kekuatan diri sebenarnya. Boycott tuan, perwujudan kekuatan dari Golongan lemah”

“yang terpenting didalamnya hanya satu: unity of mind! “tambah Freschboten. Dan ia tidak mengajukan syarat-syarat lain. Dia tidak bicara tentang agama, keterpelajaran apalagi jabatan. Hanya kesatuan sikap, keseia-sekataan golongan lemah. Dan golongan lemah mempunyai banyak kepentingan bersama justru karena kelemahannya, yang dapat mempersatukan. (Toer, 2002:306)
Pramoedya Ananta Toer juga mencontohkan salah satu tekhnik perlawanan tehadap penguasa dan kelas penindas tanpa memakai kekerasan dengan strategi ‘boycott” yang berhasil dengan gemilang. Apalagi hal ini merupakan hasil langsung dari propaganda Medan. Hal ini sebenarnya telah dilakukan oleh Golongan Samin, namun rupanya bagi Pribumi yang lebih luas, organisasi sangat lah penting untuk melakukan tugas ini.
Tiga hari setelah tajuk terbit –dalam batas-batas tertentu– tiba pula berita tentang kejadian besar lainnya: Legiun Mangkunegaran telah diangkut dengan kereta api ke Surabaya, tujuan Bali dan Lombok. Mereka menolak naik berlayar. Belanda gagal memberangkatkan mereka untuk memerangi saudara-saudaranya sendiri. Berita boycott lain lagi: pembangkangan Samin (Toer, 2002:306)
Corak deskripsi-deskripsi sebagaimana diatas dapat kita temukan dengan mudah pada setiap lembar novel Jejak Langkah. Upaya membeber segala bentuk realitas sejarah yang dialektis, yang merupakan proses penindasan kelas berkuasa terhadap kaum lemah dan kecil dipotret ‘tanpa malu-malu. Dan pada saat yang sama Pramoedya Ananta Toer membangun semangat melawan, dengan segala bentuk kekuatan dan cara yang kita miliki. Pada beberapa hal bahkan mengajak pembaca untuk melihat pada pengalaman-pengalaman kelompok sosial yang lain yang mampu mengorganisir diri melawan penindasan.
Upaya menjadikan karya sastra untuk dijadikan alat menyampikan gagasan-gagasan tentang kelas dan perlawanan kelas semacam ini merupakan warna khas dari sastra realisme sosialis. Tidak bisa dihindari, bahwa corak semacam ini menjadikan novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer adalah sebuah ‘novel bertendens’ yang memang telah menjadi konsekuensi dari semboyan: ‘seni sebagai alat perjuangan kelas tertindas’.

Estetika Marxis dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer

Estetika Marxis dalam sebuah Jejak Langkah dapat ditemukan dalam beberapa hal: pertama, kentalnya determinisme ekonomi, baik dalam melihat hubungan-hubungan ekonomi pada struktur masyarakat. Seperti telah lazim menurut Marx disebutkan ekonomi basis struktur dan politik, sosial budaya sebagai supra struktur. Yang akhirnya struktur yang timpang dalam sebuah masyarakat melahirkan pertentangan kelas yang serius, antar kelompok/kelas di dalamnya.

Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer selalu menghadirkan fakta bahwa segala bentuk penindasan kolonialisme, berbagai pertentangan sesungguhnya didasari dan digerakkan oleh motifasi memperkuat basis struktur produksi ekonomi. Penjelasannya tentang perang kolonial-pribumi, konflik tanah antara petani dan pengusaha gula, penganiayaan terhadap pegawai rendahan, merupakan akibat dari telah dikuasainya seluruh basis struktur ekonomi ditangan penjajah (Toer, 2002:30).

Determinisme ekonomi, banyak digunakan untuk memotret kisah-kisah konflik, perang, pertentangan politik yang sesungguhnya adalah bentuk terselubung dari perebutan basis struktur ekonomi. Hal ini tentu dapat kita lihat pada deskripsi Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab B diatas.
Kedua, kriteria preferensi sastra sesuai dengan norma kesusastraan pada zamannya. Dalam beberapa hal memang kita tidak menemukan keseimbangan antara produksi artisitik dengan material ekonomi, misalnya seni Yunani Kuno yang telah mencapai kejayaan tak tertandingi, pada saat yang sama tingkat perkembangan sosial ekonominya ketika itu masih rendah. Walaupun demikian karya sastra yang bernilai menurut marxisme, tentu adalah karya sastra yang setia pada kenyataan historis zamannya.
Dalam preferensi sastra penulis akan lebih melihat pada kekhasan tokoh –– yang khas pada zamannya atau setting sosial yang menjadi latar novel Jejak Langkah–– yang dimunculkan dalam novel Jejak Langkah. Kekhasan tokoh atau bisa disebut karakter istimewa yang dimiliki tokoh utama dalam –Minke–, karakter yang secara tegas bisa diperlawankan dengan nilai yang hidup pada zaman itu. Minke telah melampaui zaman dimana para rakyat bangsanya dan leluhurnya hidup.

Pemunculan karakter tokoh yang khas pada suatu titik penting dalam perjalanan manusia Indonesia dalam Jejak Langkah digambarkan dengan karakter tokoh Minke yang begitu ulet dan gigih mempertahankan idealismenya, melawan penindasan kolonial dengan cara yang sangat baru –melalui tulisan dan pembelaan terhadap masalah-masalah rakyat. Suatu karakter dan sikap yang sulit ditemukan ketika cengkeraman penjajah sudah pada puncak kekuatannya. Minke bahkan rela mengorbankan kebahagian dirinya demi sebuah perjuangan sejati yaitu tegaknya keadilan bagi kemanusiaan. Karakter hal ini bisa kita lihat, dalam sebuah deskripsi ketika Minke ditinggal untuk selama-lamanya istri tercinta Ang San Mei, ––isteri keduanya––. Dalam kondisi yang sangat sulit, ia tetap dalam keteguhan mempertahankan sesuatu yang diyakininya, walaupun kenyataan yang menimpa dirinya dapat membuat dirinya tenggelam dalam kesedihan yang panjang. Hal ini terlihat dalam: pada jam tiga pagi waktu aku duduk di kursi di hadapannya ia menggerakkan bibir. Suaranya sangat lemah kupegang tangannya yang telah kehilangan daging itu. Ia meninggal tanpa meninggalkan kata (Toer, 2002:173). Dalam kondisi semacam itu bahkan Minke, menjadi semakin kuat untuk melakukan perjuangan, motivasi yang salah satunya ia dapatkan dari istrinya—seorang perempuan tangguh yang rela meninggalkan negerinya, demi perjuangan melawan penjajahan. Ang San Mei, memiliki karakter yang sangat kuat, bahkan sangat tidak lazim:
…tak pernah terdidik praktis, dalam arti tidak bisa menguangkan apa yang dapat ia kerjakan. Sejak kanak-kanak nampak ia telah menjuruskan hidupnya untuk jadi guru. Pergi mengikuti tunangannya menjadi propagandis dan barangkali juga organisator rendahan, mungkin juga tidak berhasil. Ia terkandas dinegeri orang dan tercecer dari teman-temannya yang tewas atau ditempat-tempat yang sangat jauh, terkapar seperti burung patah sayap (Toer, 2002:162).

Namun, keuletanya sering diuji oleh keinginan pribadinya sebagai manusia, yang tidak pernah terkabulkan. Minke tidak memiliki anak dari ketiga istrinya. ‘kemandulan’ ini pada satu episode hidup tokoh ini sempat membuat Minke terjatuh dalam kesedihan yang amat sangat. Sebuah fakta manusiawi, bahkan bagi seorang tokoh pergerakan dizamannya:
…Kebolongan dan kekosongan hati ini semakin terasa menggelimuti fikiranku. Pemandanga alam yang silih berganti tak urung menggugat kehadiranku:
“juga Mir tidak memberikan padamu seorang anak.”

“juga Mei tidak”

“Juga dia, dia itu, tidak.”

Aku gigit bibirku hingga hendak putus. Betulkah aku mandul? Tak pernah aku periksakan diriku. Selama ini aku takpernah sakit. Bahkan salesma pun hampir-hampir tak pernah. Betulkan aku mandul?…( Toer, 2002:453)

Lintasan-lintasan kesedihan Minke seperti ini tidak kemudian memupus kegigihan dan keuletan pribadinya menjadi seorang organisator, pembela kaum lemah pribumi.

Karakter dan sikapnya yang menjunjung tinggi persamaan derajat kemanusiaan adalah sikap yang tidak lazim bagi seorang priyayi, anak Bupati dalam kehidupan tradisi feudal di Jawa. Dalam keluarga terdekatnya saja, sembah, jongkok, penghormatan dari rakyat dan kawula pribumi menjadi bagian dari masa kecil dan remajanya yang sangat di benci oleh Minke. Sikap anti feodal ini sulit kita dapatkan bahkan pada kaum terpelajar dan penggerak organisasi, pada zamnnya, karena jelas sulit melepaskan gelar kepriyayian. Untuk itu bahkan Minke menolak sembah, sujud dan gelar-gelar kebangsawanan, yang merupakan sesuatu yang gampang didapatkan jika dia menginginkannya (Toer, 2002:343).

Kebanggaannya terhadap pendidikan modern yang menghasilkan kaum terpelajar—seperti Minke–, tidak membuatnya jauh dari persoalan rakyatnya. Padahal sebagaimana kita ketahui sikap kepriyayian kaum intelegensia dan cerdik cendikia, sering membuatnya menderita penyakit ‘elitisme’. Konstruksi pengetahuan modern dan warisan feodalisme sering menggiring orang menjadi ndoro-ndoro baru, yang jauh dari persoalan yang dihadapi rakyat bangsanya. Minke menyadari bahwa apa gunanya menjadi terpelajar kalau hanya bercita-cita menjadi anthek colonial, makan gaji gubermen, dan mengabdi untuk kepentingan modal. Keterpelajaran seseorang seharusnya menjadi alat untuk melepaskan belenggu penindasan terhadap rakyat bangsanya, bukan sebaliknya menjadi alat mengekalkan penindasan. Hal ini terlihat dalam pernyataan Pramoedya dalam Jejak Langkah sebagai berikut: …yang ada di sekelilingnya adalah penderitaan karena kebodohan, ketida-tahuan, di atasnya: Kepandaian, ilmu pengetahuan, kekuasaan berlebih-lebihan, yang justru membikin dan mempertahankan penderitaan.( Toer, 2002: 112)

Karakter yang sangat khas juga nampak pada karakter kepemimpinan organisasi yang merupakan posisi langka dan elit pada zamannya tidak membuatnya menjadi besar kepala, dan merasa paling menguasai keadaan. Minke sangat sadar bahwa dalam sejarah kehidupan manusia adalah proses dimana berbagai pertarungan antar kelas sosial dan antar nilai bisa saja menjungkirkan sembah menjadi umpat, kehormatan menjadi kebinasaan, hidup menjadi mati. kebesaran menuju kehancuran dan persatuan adalah perpecahan (2002:442)

Ketiga, sastra yang bernilai estetis adalah sastra yang membawa misi, yang membangkitkan kesadaran orang-orang yang tak berdaya untuk berani melakukan sesuatu untuk merubah nasibnya kelasnya sendiri. Bukan sekadar karya sastra pelipur lara. Sastra adalah sarana melawan terhadap ketidakadilan. Keindahan karya sastra terletak pada ’kemanusiaan dan perjuangan untuk kemanusiaan yakni pembebasan terhadap penindasan dan bukan melulu bersandar pada permainan bahasa yang serba indah di baca.

Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer, menggambarkan tradisi realisme tak hanya hadir begitu saja sebagai representasi kenyataan manusia dan masyarakat seutuhnya, atau dalam bentuknya yang semibiografis sebagaimana yang diterapkan oleh Gorky, tetapi juga menjelma dalam genrenya yang baru: novel sejarah. Dalam novel sejarahnya, Pramoedya juga menampilkan tokoh “orang-orang biasa”. Sejarah dilihat secara totalitas dalam Jejak Langkah.


Dalam Jejak Langkah tersebut, Pramoedya tak hanya menampilkan sosok Minke, sang pengubah sejarah. Sosok pahlawan pengubah sejarah telah hadir dalam roman-roman sejarah bahkan mite-mite klasik, juga dalam tradisi romantik. Akan tetapi, dalam Pramoedya, Jejak Langkah tak hanya merupakan kisah mengenai Minke-sebagai pribadi-, tetapi juga mengenai nasib sebuah bangsa, jika tidak bisa disebut nasib bangsa-bangsa (dalam bagian Jejak Langkah diperlihatkan bahwa pergolakan utama kisah ini juga meliputi kebangkitan nasional di China, semangat Revolusi Perancis, kemenangan Jepang atas Rusia, dan lain sebagainya). Pengalaman sejarah tak hanya milik Minke, tapi juga orang-orang di sekitarnya. Mereka semua merasakan “atmosfer tragis dari sebuah periode” , masa dimana mulai tersemainya kesadaran nasionalisme dikalangan kaum terpelajar Hindia Belanda. Sejarah digambarkan sebagai dialektika yang tiada henti, saling bertumburan dan saling mengadakan yang lain.


Dalam Jejak Langkah, tokoh protagonisnya hadir untuk berjuang demi cita-citanya secara gigih, tetapi kemudian secara terpaksa menyerah kepada kenyataan yang ada. Sejarah Pramoedya bukanlah sejarah orang-orang yang menang. Minke dalam novel Jejak Langkah meskipun berhasil melihat perkembangan organisasi dan perubahan kesadaran rakyat yang diidam-idamkannya, harus ditebus dengan sangat mahal oleh kenyataan bahwa ia harus berbenturan dengan kekuasaan tiranik dan sekaligus harus diasingkan karena sikap dan keyakinan atas tegaknya keadilan bagi yang lemah. Pramoedya sering kali memang tidak menempatkan karya sastranya dalam semboyan atau teriakan tentang cita-cita yang muluk. Yang terpenting bagi dirinya adalah bangkitnya kesadaran pembaca (masyarakat) akan tanggung jawab sebagai manusia untuk keadilan dan kebenaran. Suatu estetika yang khas.

0 komentar:

Posting Komentar